POTENSI KONFLIK PENDIRIAN RUMAH IBADAT DI INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Konsep negara hukum yang diusung Indonesia yang dituangkan di dalam Undang-Undnag Dasar 1945 pasal 1 ayat (3) yang mengandung arti bahwa diharapkan segala bentuk permasalahan dapat ditangani melalui proses pengundangan peraturan perundang-undangan yang baik. Namun, ketika kita melihat realitas sosial yang ada dalam masyarakat, maka disana akan terlihat beberapa dampak maupun kesenjangan yang lebih diakibatkan oleh munculnya beberapa peraturan perundang-undangan.

Hal yang sama dapat dilihat dalam peraturan bersama menteri Agama dan Menteri dalam negeri Nomor 8 Tahun 2006 dan Nomor 9 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama, pemberdayaan forum kerukunan umat beragama, dan pendirian rumah ibadat. Dapat dikalkulasikan bahwa hal-hal yang mengatur tentang pendirian rumah ibadat masih banyak terdapat kerancuan-kerancuan, sehingga pada akhirnya akan menimbulkan konflik terhadap umat beragama.

Letak kerancuan-kerancuan dapat kita lihat dalam Bab IV yang mengatur pendirian rumah ibadat. Disana dapat kita lihat bahwa tidak ada kepastian hukum dan ketidak jelasan hukum yang diamanatkan oleh pasal 13 sampai dengan pasal 21 Peraturan Bersama Nomor 8 Tahun 2006 dan Nomor 9 Tahun 2006. Kerancuan-kerancuan pasal demi pasal tersebut rawan terhadap adanya konflik baik antar umat beragama maupun sesama umat beragama.

Konsep hukum yang digunakan sebagai peredam konflik dalam masyarakat ternyata tidak demikian adanya. Hukum seringkali dibuat atas dasar kepentingan-kepentingan pribadi, kelompok, maupun golongan-golongan tertentu, sehingga yang terjadi bukan malah sebagai meminimalisir permasalahan, tetapi justru akan menimbulkan beberapa konflik-konflik baru yang pada akhirnya sulit untuk dipecahkan.

Agama sebagai benteng dari setiap individu manusia diharapkan dapat dijadikan pegangan moral maupun etika dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Namun, akhir-akhir ini cenderung terdapat penistaan agama yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan yang salah satunya melalui transformasi negara. Negara dalam mentrasformasikan penistaan-penistaan terhadap agama dapat dilakukan melalui bebrapa cara yang salah satunya melalui produk peraturan perundang-undangan maupun kebijakan-kebijakan yang cukup rawan dengan adanya konflik pada akhirnya.

Tidak dapat dipungkiri bahwa konfigurasi politik terhadap peraturan perundang-undangan sangat pekat dan sangat dominan dalam ranah politik hukum Nasional Indonesia. Contoh kecil misalkan apa yang terjadi dalam peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri dalam hal pendirian rumah ibadat, yang didalamnya terdapat beberapa ketidak jelasan maupun ketidak pastian hukum dan cenderung memihak terhadap penguasa negara yang ada. Sehingga pada akhirnya masyarakat umat beragama yang akan dijadikan objek permasalahan.

Dampak akan terlihat ketika peraturan perundang-undangan telah diundangkan dan dilaksanakan oleh umat beragama, saat inilah yang kemudian melahirkan adanya konflik-konflik tersebut. Bukan berarti perundang-undangan itu adalah penyebab konflik, sebab pada dasarnya pembuat peraturan itu menginginkan konflik dapat diatasi, namun karena peraturan itu sendiri yang menimbulkan adanya konflik, misalnya dengan ketidak jelasan yang diaturnya yang bahkan menumbuhkan timbulnya konflik baru.

Hal inilah menjadi permasalahan kita semua tentang bagaimana kita dapat membuat peraturan yang dapat menyelesaikan konflik dan tidak menimbulakn konflik baru, seperti peraturan tentang masalah agama ini. Peraturan masalah agama ini memang perlu mendapatkan perhatian yang cukup serius, sebab masalah agama adalah masalah yang sangat mudah untuk dijadikan suatu konflik, yang akhirnya dapat mengakibatkan adanya suatu benih-benih perpecahan dan pudarnya rasa persatuan dan kesatuan. Jika hal ini sudah menjadai suatu fenomena, maka Indonesia akan menunggu kehancurannya.

Berdasarkan asumsi-asumsi logis di atas, maka penulis mencoba untuk mengkaji maupun menganalisis tentang letak potensi konflik dari izin mendirikan tempat ibadah sebagaimana diatur dalam peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 sekaligus mencari formula yang tepat untuk meminimalisir potensi konflik yang ada. Mengingat begitu pentingnya penyelesaian masalah agama, maka diperlukan adanya suatu kehati-hatian di dalam membentuk peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama.

I.2 Rumusan Masalah

Dari berbagai uraian di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh tentang potensi konflik dari izin pendirian rumah ibadat. Untuk itu perlu dirumuskan beberapa pokok permasalahan, diantaranya:

  1. Dimana letak potensi konflik dari izin pendirian rumah ibadat berdasarkan peraturan bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 ?
  2. Bagaimana cara meminimalisir potensi konflik dari izin pendirian rumah ibadat tersebut ?

I.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah:

  1. Untuk mengetahui sebab-sebab timbulnya konflik dari izin pendirian rumah ibadat.
  2. Untuk mengetahui cara-cara yang dapat digunakan untuk meminimalisir potensi konflik dari izin pendirian rumah ibadat.

I.4 Manfaat Penulisan

Adapun manfaat dari penulisan karya tulis ini adalah:

  1. Dapat dijadikan renungan maupun acuan pemerintah dalam membuat peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan izin pendirian rumah ibadat.
  2. Agar masyarakat dan pemerintah mengetahui hal-hal apa yang dapat menimbulkan konflik terkait dengan izin pendirian rumah ibadat.

BAB II

TELAAH PUSTAKA

  1. Negara adalah suatu susunan masyarakat yang integral, segala golongan, segala bagian, segala anggotanya berhubungan erat satu sama lainnya dan merupakan satu masyarakat yang organis. Yang terpenting dalam Negara yang berdasarkan aliran integral adalah penghidupan abngsa seluruhnya. Negara tidak memihak pada satu golongan yang paling kuat, atau paling besar, tidak menganggap kepentingan seseorang sebagai pusat akan tetapi Negara menjamin keselamatan hidup bangsa seluruhnya sebagai kesatuan bangsa yang tidak terpisahkan.1]
  2. Jika yang individualistisch adalah jiwa dan bentuk pergaulan yang individualistisch. Dalam bentuk pergaulan yang individualistisch masing-masing individu yang memberikan pengaruhnya pada kehidupan social. Disini kepribadian manusia mendapatkan penghargaan yang setinggi-tingginya. Masyarakat hanya ada untuk kepentingan individu. Jiwa dari masayarakat yang demikian ini disebut individualistisch. Sebaliknya dalam kehidupan yang colectivistisch manusia tidak hidup untuk diri sendiri, melainkan nomor satu untuk masyarakat, masyarakatlah yang nomor satu dan didahulukan dalam kehidupan social. Dalam pergaulan hidup yang demikian manusia ada dalam keadaan yang terikat, sebagian besar dari hidupnya terpengaruh oleh lingkunangn sosialnya, perbuatan kelakuan-kelakuannya ditentukan, dipengaruhi oleh norma-norma agama, prikemanusiaan, hukum, dan aturan lain yang keluar dari masyarakatnya. Jiwa masyarakat yang seperti ini disebut jiwa colektivistisch.2]
  3. Untuk mencegah perlawanan dari umat Islam karena hukum anak negeri dan hukum islam dilanggar, haruslah diiktiarkan sedapat-dapatnya agar orang-orang pribumi yang beragama islam dapat tetap tinggal dalam lingkungan hukum agama dan adat istiadat mereka. 3]
  4. Pergerakan Islam pulalah yang meretas jalan dinegeri ini dalam kegiatan politik yang mencita-citakan kemerdekaan, yang telah menggambarkan benih kesatuan Indonesia, yang telah mengubah wajah-wajah isolasi berbagai pulau dan roman muka provinsialis yang juga pertama-tama menanamkan benih persaudaraan dengan orang-orang seiman, sekeyakinan diluar batas-batas Indonesia.4]
  5. Manusia pertama yang diperintahkan Allah turun kebumi, diberi pesan agar mengikuti petunjuknya, jika petunjuk tersebut sampai kepadanya (QS, 2:38). Petunjuk pertama yang melahirkan agama adalah ketika Adam dalam perjalanannya dibumi menemukan kebenaran, keindahan, dan kebaikan. Kemudian, ditemukan kebenaran dalam ciptaan Tuhan yang terbentang di alam maya dan di alam dunia sendiri. Gabungan dari ketiga hal ini melahirkan kesucian. Sang manusia yang memiliki naluri ingin tahu, berusaha untuk mengetahui apakah yang paling benar, indahnya dan baik? Jiwa dan akalnya mengantarkannya bertemu dengan yang maha suci dan ketika ia berusaha untuk berhubungan dengan-Nya, bahkan dari sinilah dimulainya proses beragama sebagai upaya manusia untuk dapat mencontoh sifat-sifat yang maha suci. Dalam hadist Nabi SAW ditemukan perintah untuk itu, yaitu berakhlaklah kalian dengan akhlak Allah.5]
  6. Jika kamu mengubah masa laulumu dan bekerjasama dalam semangat bahwa setiap orang diantara kamu tidak memperdulikan hubungan-hubungan apa yang telah terjadi denganmu di masa lampau, tidak memperdulikan warna kulit, kasta atau kepercayaan, warga negara kelas pertama, kedua, dan kelas bawah. Negara ini dengan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dan penghormatan-penghormatan yang sama, maka kemajuan-kemajuan yang kamu buat tidak akan berakhir. Sekarang kamu dapat mengatakan dengan jujur bahwa setiap orang adalah warga negara, warga negara Inggris yang sama dan mereka merupakan anggota dari negara yang sama. Sekarang saya berpendapat bahwa kita harus mempertahankan hal itu di depan kita, sebagai tujuan akhir dan kamu akan menemukan hal itu selama orang-orang Hindu berhenti menjadi orang Hindu dan orang-orang Islam berhenti menjadi orang-orang Islam, bukan dalam pengertian agama, karena hal itu merupakan keyakinan pribadi dari setiap individu, tetapi dalam pengertian politik sebagai warga negara dari suatu negara. 6]

BAB III

METODE PENULISAN

III.1 Jenis Penulisan

Adapun yang menjadi jenis kajian penulisan adalah menggunakan kajian yuridis normatif terhadap Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006.

III.2 Pendekatan Penulisan

            Pendekatan penulisan yang digunakan adalah pendekatan secara yuridis normatif terhadap Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006

III.3 Sumber Bahan

Adapun sumber bahan yang dijadikan sebagai kajian adalah terdapat dua bagian, yakni :

  1. Data Primer

Data Primer adalah data yang didapat dari proses pengkajian terhadap       Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006

  1. Data Skunder

Data Skunder adalah data yang didapat dari berbagai macam buku bacaan yang terkait dengan pokok permasalahan yang dibahas.

III.4 Teknik Penelusuran Bahan

Bahan-bahan yang dijadikan alat bantu baik yang berupa buku bacaan maupun peraturan perundang-undangan adalah sebagin milik sendiri dan bagian yang lainnya adalah hasil dari peminjaman diperpustakaan, serta ada sebagian yang didapat dari internet.

III.5 Teknik Analisis Bahan

Dalam penulisan karya tulis ini, penulis menggunakan data yang telah diperoleh dari buku-buku, jurnal dan Undang-Undang dengan menggunakan teknik deskriptif kualitatif, artinya data yang diperoleh akan digambarkan sedemikian rupa sehingga memperoleh suatu kesimpulan.

BAB IV

PEMBAHASAN

IV.1 Sekilas Tentang Peraturan Bersama Nomor 8 dan 9 Tahun 2006

            Bangsa Indonesia adalah bangsa yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Keyakinan akan adanya Tuhan Yang Maha Esa tersebut telah ada sejak sebelum masuknya agama-agama besar di dunia sekarang ini seperti Islam, Hindu, Budha, dan Nasrani. Kepercayaan kepada Tuhan Yang maha Esa tersebut telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam masyarakat untuk memilah dan memilih perbuatan-perbuatan yang baik dan yang buruk. Bahkan dibanyak daerah tertentu, sampai saat ini masih diberlakukan hukum-hukum agama untuk menyelesaikan konflik-konflik sosial yang terjadi dalam masyarakat. Kesadaran sikap percaya kepada keberadaan Tuhan Yang Maha Esa telah menjadi suatu keyakina bahwa kemerdekaan yang dicapai oleh seluruh bangsa indonesia saat ini tidak mungkin terwujud jika tidak ada rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa.

Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa juga melahirkan komitmen negara untuk menjaga anugrah dan rahmat Tuhan yang diberikan kepada setiap manusia. Impelementasi dari hal ini salah satunya diwujudkan dalam bentuk perlindungan hak asasi manusia khususnya yang berkatan dengan kebebasan berpikir. Meyakini dan menaati suatu ajaran tidak sekedar dapat dilakukan dengan semata-mata mengikuti kehendak orang lain. Tetapi diperlukan proses kreatif berpikir oleh manusia untuk melihat, memikirkan dan merasakan kebenaran-kebenaran ajaran agama itu. Oleh karena itu akan jelas tampak perbedaan-perbedaan dalam beragama yang itu didasari oleh perbedaan kemampuan berfikir tiap-tiap orang. Maka sudah semestinya jika dalam hal ini pemerintah memberikan perlindungan bagi tiap warga negara untuk menemukan dan meyakini kebenaran tiap-tiap agama dan keyakinnya itu. Hal ini merupakan kesadaran dari negara dan khususnya pemerintah, bahwa agama dan kepercayaan tidak dapat dipaksakan kepada siapapun juga.

Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 dibuat atas dasar bahwa hak beragama adalah Hak Asasi Manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan setiap orang bebas memilih agama dan beribadat menurut keyakinannya masing-masing, serta negara berkewajiban melindungi setiap usaha penduduk melaksanakan ajaran agama dan ibadat pemeluk-pemeluknya, sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tidak menyalahgunakan dan menodai agama serta tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban umum.

Disini pemerintah mempunyai tugas untuk memberikan bimbingan dan pelayaan agar setiap penduduk dalam melaksanakan ajaran agamanya dapat berlangsung dengan lancar, rukun, dan tertib, maka pemerintah harus menentukan arah kebijakan dalam pembangunan nasional di bidang agama antara lain dengan peningkatan kualitas pelayanan dan pemahaman agama, kehidupan beragama, serta peningkatan kerukunan intern antar umat beragama.

Pemerintah daerah dalam menyelenggarakan otonomi, mempunyai kewajiban melksanakan urusan wajib bidang perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan tata ruang serta kewajiban melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena kerukunan umat beragama merupakan bagian penting dari kerukunan nasional.

Di dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006, disana disebutkan bahwa peraturan itu ada karena menimbang adanya beberapa faktor, yaitu adanya hak untuk beragama, yang mana hak ini merupakan salah satu dari hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi oleh siapapun dan oleh keadaan apapun. Oleh karena adanya suatu pengakuan tentang hak seseorang untuk memilih agama yang mereka yakini dan mereka imani, maka merekapun mempunyai hak untuk beribadat menurut aturan agama yang mereka pilih. Adanya pemberian kebebasan dan jaminan kemerdekaan yang diberikan pemerintah kepada penduduk Indonesia untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya tersebut, seperti yang telah tercantum di dalam pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945, menjadi suatu dasar mereka melakukan pembangunan rumah ibadat.

Karena pemerintah telah memberi kebebasan dan memberi jaminan kepada penduduk Indonesia untuk memilih agama dan untuk beribadat menurut agamanya tersebut, maka pemerintah juga mempunyai kewajiban untuk melindungi setiap usaha penduduk Indonesia yang berusaha untuk melaksanakan ajaran agama, beribadat, dan membangun rumah ibadat, selama hal tersebut tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak menyalahgunakan atau menodai serta tindakan yang mereka lakukan tidak menggangu ketentraman dan ketertiban umum.

Oleh karena masih rawannya tindakan-tindakan yang dapat mengganggu kebebasan untuk memilih dan beribadah menurut agama yang mereka yakini atau penyalahgunaan kebebasan itu sendiri, maka pemerintah juga harus memberikan bimbingan dan pelayanan1] semaksimal mungkin agar dalam melaksanakan setiap ajaran agamanya, penduduk Indonesia dapat berlangsung secara rukun, lancar, dan tertib. Untuk itu pemerintah harus mempunyai arah kebijakan dalam pembangun di bidang agama, seperti peningkatan kualitas pelayanan dan pemahaman agama yang harus dipahami oleh berbagai pemeluk agama sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan yang diyakini.

Berdasarkan uraian permasalahan diatas, maka pemerintah dalam hal ini Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri megeluarkan Paraturan Bersama Nomor 8 dan 9 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragma, dan Pendirian Rumah Ibadat, adalah untuk menjawab tantangan dan hambatan permasalahan-permasalahan agama yang berdampak terhadap konflik yang akan sulit untuk terselesaikan. Karena Peraturan Perundang-Undangan dibuat bukan untuk menimbulkan efek yang tidak diinginkan baik oleh pembuat maupun oleh masyarakat pada umumnya.2]

Akan sama apa yang dikatakan oleh Sudikno Mertokusumo3] bahwa sebenarnya hukum dibuat bukan untuk dilanggar melainkan hukum dibuat untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang ada dalam masyarakat. Artinya adalah hukum sangat diharapkan dapat dijadikan sebagai formula untuk menjawab segala permasalahan-permasalahan yang ada dimasyarakat, bangsa dan juga negara.

Namun dalam tataran kenyataan seringkali hukum terintervensi oleh kepentingan politik, dan seringkali hukum harus menyerah ketika melawan politik, cendrung sama ketika melihat Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 yang didalamnya terdapat beberapa kepentingan-kepentingan pemerintah untuk melegalkan keinginan pribadi, kelompok, atau golongan yang pada akhirnya akan ada pihak-pihak yang dirugikan.

IV.2 Letak Kerancuan Peraturan Bersama Nomor 8 dan 9 Tahun 2006

Banyak permasalahan sebenarnya yang terdapat dalam Peraturan Bersama Nomor 8 dan 9 Tahun 2006, namun penulis mencoba untuk mengkaji permasalahan pendirian rumah ibadat yang dinilai banyak konfrontatif dikarenakan adanya beberapa pasal yang mencerminkan ketidakpastian dan ketidakjelasan hukum terutama terdapat dalam pasal yang mengatur tentang pendirian rumah peribadatan yakni pasal 13, pasal 14, pasal 16 pasal 17, dan pasal 21 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/wakil kepala daerah Dalam pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan pendirian rumah ibadat. Kerancuan-kerancuan diantaranya :

  1. Dalam pasal 13 ayat (1), (2), dan (3) yang berbunyi sebagai berikut :

Pasal 13

  • Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan umat beragama yang bersangkutan
  • Pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan
  • Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah kelurahan/desa sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau propinsi

Berdasarkan bunyi pasal 13 baik ayat (1), (2), dan (3), maka dapat dikatakan terdapat beberapa kerancuan yakni :

  1. Terlalu sempit misalkan seperti apa yang dimanatkan Pasal 13 ayat (1) bahwa pendirian rumah ibadat hanya didasarkan hanya keperluan nyata dan jumlah penduduk, artinya bahwa penafsiran dari Pasal 13 ayat (1) tersebut terlalu sempit adalah dikarenakan bahwa pasal tersebut tidak mencakup tempat-tempat ibadah yang bersifat pribadi. Dikatakan pribadi karena adanya tempat-tempat ibadah yang hanya digunakan oleh golongan-golongan orang tertentu dan tidak membolehkan golongan diluar mereka untuk masuk dalam tempat peribadatannya. Apakah hal yang demkian termasuk yang membutuhkan izin atau belum ditegaskan dalam Peraturan Bersama tersebut. Intervensi negara terhadap perijinan yang terlalu rumit adalah bentuk interfensi secara keseluruhan, lucunya pemerintah seakan-akan tidak mau dijadikan kambing hitam, oleh karena itu pemerintah melipatkan sedemikian luas unsur-unsur masyarakat untuk memeberikan rekomendasi perijinan, hal ini merupakan bukti bahwa pemerintah belum menghargai keragaman. Harusnya masalah-masalah seperti ini dibiarkan tumbuh dan berkembang secara alami dalam masyarakat dengan tanpa campur tangan negara, dan agama tidak memebutuhkan negara untuk bersaing, tetapi diakui atau tidak sebenarnya negara lahir dari pemahaman agama, dan konsep seperti ini yang sangat bertentangan dengan Pasal 1 angka 1.
  2. Dikatakan dalam Pasal 13 ayat (2) bahwa pendirian rumah ibadat tersebut dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan. Hal ini jelas menimbulkan pertanyaan dalam benak kita bahwa ketentraman dan ketertiban umum yang bagaimana yang dimaksudkan oleh pemerintah serta apa ukuran yang dijadikan dasar penilaian oleh pemerintah bahwa tempat ibadah tersebut layak atau tidak masuk dalam kriteria ketentraman dan ketertiban umum tersebut.
  1. Dalam Pasal 14 Ayat (1), (2), (3) yang berbunyi :

Pasal 14

  • Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administartif dan persyarata teknis bangunan gedung
  • Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi:
    1. Daftar nama dan kartu tanda penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat bats wilayah sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3)
    2. Dukungan rakyat setempat paling paling sedikit 60 (enem puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa
    3. Rekomendasi tertulis kepada kantor departemen agama kabupaten/kota; dan
    4. Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota
  • Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a terpenuhi sedangkan persyratan huruf b belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memefasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat

Berdasarkan bunyi pasal 14 ayat (1), (2), dan (3), maka juga terdapat beberapa kerancuan yang diantaranya:

  1. Persyaratan yang memepergunakan kartu tanda penduduk sebagai persyaratan khusus sangat rawan dimanipulasi, dikarenakan ketika kondisi ekonomi yang tidak menentu, maka tidak menutup kemungkinan terjadi jual beli dukungan, dan tentu dikemudian hari karena tidak didasarkan pada kebutuhan riil yang sebenarnya, maka justru rekomendasi warga ini akan menimbulkan permasalahan-permasalahan baru. Untuk itu maka sebaiknya syarat ini untuk lebih baiknya diganti dengan melalui persetujuan RT/RW atau kepala desa, akan tetapi terlebih dahulu dilalui dengan proses musyawarah.
  2. Berdasarkan bunyi ayat (2) huruf b, maka disana ada yang kurang jika hanya memepertimbangkan pendapat yang setuju saja dengan tanpa mengindahkan pihak-pihak yang tidak setuju adalah kurang bijak, artinya meskipun mereka bersuara lain harus tetap didengarkan dan harus dipertimbangkan. Dengan demikian konflik-konflik yang mungkin akan lahir dapat diantisipasi sedini mungkin.
  3. Bunyi Pasal 14 ayat (2) c dan d juga sangat rancu, artinya disana juga terdapat ketidakpastian yang digunakan sebagai pertimbangan-pertimbangan. Pertimbangan-pertimbangannya bisa bermacam-macam, dapat berupa bertimbangan hukum, sosial dan budaya, ekonomi, dan yang paling berbahaya jika yang digunakan berupa pertimbangan politik yang justru sangat rawan memicu konflik antar umat beragama.
  1. Dalam Pasal 16 Ayat (1) dan (2) yang berbunyi:

Pasal 16

  • permohonan pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pasal 14 diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadat kepada Bupati Wali Kota untuk memperoleh IMB rumah ibadat.
  • Bupati/Wali Kota memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Berdasarkan bunyi pasal 16 ayat (2), maka kerancuannya adalah timbulnya ketidakpastian hukum, sebab dalam ayat tersebut tidak dicantumkan sebab hukum yang terjadi apabila keputusan Bupati/Wali Kota tidak dikeluarkan dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari. Apakah IMB tersebut akan berlaku secara otomatis atau tidak diberikannya IMB tersebut. Hal ini berbeda pada Rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama, namun tidak disahkan oleh Presiden , maka dalam jangka 30 (tiga puluh) hari semenjak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan.

  1. Dalam pasal 17 yang berbunyi:

Pasal 17

Pemerintah daerah memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan gedung rumah ibadat yang telah memiliki IMB yang dipindahkan karena perubahan rencana tata ruang wilayah.

Dalam pasal 17 tersebut, maka letak kerancuannya adalah menimbulkannya keresahan dan ketidakpastian hukum, karena dalam pasal tersebut mengandung unsur hukum yang retroaktif (berlaku surut). Padahal teradapat asas-asas hukum yang menyebutkan hukum diharapkan tidak berlaku surut.

IV.3 Meminimalisir Konflik Dalam Peraturan Bersama Nomor 8 Dan 9 Tahun 2006.

Berdasarkan beberapa letak kerancuan yang cenderung menimbulkan konflik yang terdapat dalam Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama nomor 8 dan 9 Tahun 2006, maka dapat diupayakan agar terdapat formula maupun cara yang tepat untuk meminimalisir konflik antar umat beragama.

Formula maupun cara yang dapat dilakukan Pemerintah adalah dengan mencantumkan peraturan tentang komunitas tempat peribadatan dengan jelas, karena seperti yang dikatakan di atas bahwa banyak kita temukan tempat-tempat ibadah yang hanya digunakan satu komunitas orang-orang tertentu. Artinya perlu dijelaskan lagi komunitas tempat peribadatan seperti apa yang harus melalui proses perizinan dalam hal pendirian rumah ibadat.

Interfensi negara terhadap perizinan yang terlalu rumit yang terdapat dalam peraturan bersama tersebut diharapkan dapat disesuaikan maupun diubah karena perizinan yang terlalu rumit merupakan bentuk interfensi keseluruhan bagi umat beragama. Untuk itu pemerintah perlu menghargai keragaman yang ada, dan sudah seharusnya pemerintah dalam hal ini tidak terlalu ikut campur dalam permasalahan pendirian rumah ibadah. Harusnya permasalahan agama dibiarkan tumbuh dan berkembang secara alami dalam masyarakat dengan tanpa adanya suatu campur tangan dari negara, karena pada dasarnya agama tidak membutuhkan negara untuk berkembang, akan tetapi negaralah yang lahir dari pemahaman agama.4]

Persyaratan yang digunakan oleh pemerintah dalam hal pembuatan tempat peribadatan yang disana menyebutkan harus ada kartu tanda penduduk sebagai bukti untuk menentukan pendirian rumah ibadat, ternyata persyaratan itu sangat rawan untuk dimanipulasi, sebab dalam kondisi ekonomi yang masih tidak menentu kartu tanda penduduk sangat mudah diperoleh, cukup dengan melalui proses jual beli dukungan, maka mereka sudah dapat memiliki kartu tanda penduduk yang selanjutnya mempermudah mereka untuk mendirikan tempat peribadatan. Karena jika hanya mempertimbangkan pendappat yang setuju saja adalah kurang bijak, pendapat-pendapat yang tidak setuju juga harus didengarkan dan dipertimbangkan. Dengan demikian konflik-konflik yang mungkin akan lahir dapat diantisipasi sedini mungkin. Artinya pemerintah tidak mendasarkan kebutuhan riil dari temapat peibadatan, sehingga rekomendasi warga syarat akan menimbulkan permasalahan-permasalahan yang baru. Untuk itu syarat yang seperti ini lebih baik diganti dengan hanya persetujuan RT/RW atau kepala desa dengan proses permusyawaratan tentunya. Kecuali apabila pemerinmtah mampu mengatasi masalah tersebut, seperti membuat peraturan yang sangat ketat dalam pembuatan kartu tanda penduduk, sehingga orang tidak dengan mudah mendapatkan kartu tanda penduduk tersebut.

Ketidak jelasan maupun ketidak pastian hukum juga merupakan bagian dari kerancuan-kerancuan yang terdapat dalam peraturan bersama tersebut. Dalam pasal 16 disebutkan pendirian rumah ibadat diajukan oleh panitia pembangunan rumah ibadat kepada Bupati/Wali Kota untuk memperoleh IMB rumah ibadat, dan Bupati/Wali Kota harus memberikan keputusan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari sejak permohonan pendirian rumah ibadat diajukan. Hal itu yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Bagaimana jika setelah sampai waktu 90 (sembilan puluh) hari Bupati/Wali Kota belum memberikan keputusan? Disana belum dijelaskan tentang hal tersebut.

Kerancuan juga terdapat dalam pasal 17 bahwa pemerintah daerah memfasilitasi penyediaan lokasi baru bagi bangunan gedung rumah ibadat yang telah memiliki IMB yang dipindahkan karena perencanaan tata ruang. Disana juga menimbukhan keresahan dan ketidakpastian hukum, sebab disana cenderung adanya berlaku surutnya suatu peraturan perundang-undangan.

Perlu diperhatikan bahwa sebenarnya pemerintah tidak terlalu ikut campur dalam hal izin pendirian tempat peribadatan, dikrenakan ruang wilayah negara indonesia sebagai wadah atau tempat bagi manusia dan makhluk lainnya untuk hidup dan melakukan kegiatannya yang merupakan karunia Tuha Yang Maha Esa kepada bangsa indonesia. Artinya sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, maka perlu disyukuri, dilindungi, dan dikelola serta wajib dikembangkan dan dilestarikan pemanfaatannya secara optimal dan berkelanjutan demi kelangsunag hidup yang berkualitas.

Pemerintah dalam hal pembuatan peraturan perundang-undangan diiharapkan tidak hanya melihat dari segi politik saja, melainkan harus melihat aspek-aspek yang lain, seperti aspek sosial, budaya, hukum, dan ekonomi yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat.

BAB V

PENUTUP

V.1 Simpulan

  1. Negara dalam hal ini tidak dapat secara langsung mengatur tentang perizinan pembuatan tempat peribadatan karena hal tersebut secara tidak langsung telah mendiskriminasi umat beragama dalam hal mendirikan rumah ibadah.
  2. Untuk meminimalisir konflik, maka disana diharapkan suatu peraturan perundang-undnangan yang jelas, artinya tidak menimbulkan ketidakjelasan ataupun ketidakpastian hukum.

V.2 Saran

  1. Sebaiknya negara tidak menginterfensi umat beragama dalam hal pendirian tempat peribadatan, dikarenakan akan menimbulkan beberapa konflik yang akan terjadi di kemudian hari.
  2. Alangkah baiknya pemerintah sebelum membuat suatu peraturan perundang-undangan untuk lebih melihat keadaan sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang ada dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu. 1991. Perbandingan Agama. Jakarta : Penerbit Rineka Cipta.

Ali, Moh. Daud. 1984. Kedudukan Hukum IslamDalam Sistem hukum Indonesi. Jakarta : Yayasan Risalah.

Anshori,Endang Saifuddin. 1985. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsensus Nasional Antara Nasionalis Religius dan Nasionalis Sekuler Tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959. Bandung : Pustaka Perpustakaan Salman ITB.

Little,David., Jhon Kelsay, Abdul Aziz A. Sachedina. 1997. Kebebasan Beragama dan Hak Asasi Manusia. Yogyakarta : Pustaka pelajar.

MD, Mahfud. 2000. Demokrasi dan Konstitusi Di Indonesia : Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan. Yogyakarta : Rineka Cipta.

Nasution, Adnan Buyung.1995. Aspirasi Pemerintah Konstitusional di Indonesia : Studi Sosio-Legal atad Konstitusi 1956-1959. Jakarta : Grafiti.

Shihab, Quraish. 1992. Membumikan Alquran. Bandung : Penerbit Mizan.

Wahid, Abdurrahman. 1999. Hukum Islam Di Indonesia, Pemikiran dan Praktek. Bandung : Penerbit Remaja Rosdakarya.

Wahid, Solahuddin. 2001. Piagam Jakarta : Perspektif Hukum dan Politik. Dalam Jurnal Civility, Vol. 1 , No. 2, November 2001-Januari 2002. Jakarta.

Yamin, Moh. 1959. Naskah Persiapan UUD 1945 : Disiarkan Dengan Dibumbuhi Catatan Oleh Prof. Mr. Haji mohammad Yamin Guru Besar Dalam Hukum Konstitusi dan Sejarah Asia Tenggara. Jakarta : Sigumtang.

Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV.

Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama Dan Pendirian Rumah Ibadat.

1] Moh. Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945: Disiarkan Dengan Dibumbuhi Catatan Oleh Prof. MR. Haji Mohammad Yamin Guru Besar Dalam Hukum Konstitusi Dan Sejarah Asia Tenggara, Jakarta, Siguntang, 1959, Hal. 111

2] Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan KonstitusionalDi Indonesia: Studi Sosio-Legal Atas Konstitusi 1956-1959, Jakarta, Grafitti, 1995, Hal 99

3] Sholahuddin Wahid, Piagam Jakarta: Perspektif Hukum Dan Politik, Dalam Jurnal Civility, Jakarta, Forum Indonesia Bersatu, 2001, Hal. 80-81

4] Endang Syaifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Bandung, Pustaka Perpustakaan Salman ITB, 1985, Hal. 8.

5] Quraish Sihab, Membumikan Al Quran, Bandung, Penerbit Mizan, 1992, Hal. 210.

6] David Litle, Kebebasan Beragama Dan Hak Asasi Manusia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997, Hal. 58.

1] Pelayanan disini dapat diartikan sebagai pelayanan yang berbasis kompetensi dinamis sesuai dengan kemampuan skill yang dimiliki pemerintah dalam hal menjalankan peran dan fungsinya sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat. Lihat Djumaidi Soemardi, Hukum Dan Pelayanan Publik, Grasindo, Jakarta. 2003, Hal.43

2] Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan, Mandar Maju, Bandung, 1998. Hal. 29

3] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (suatu pengantar), Liberty, Yogyakarta, 1986, Hal.37

4] Abdurrahman Wahid, Jangan Diskriminasi Mendirikan Rumah Ibadah, Dalam Suara Karya, 27 April 2000.

Continue Reading