BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkara Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Provinsi Jawa Timur tahun 2008 kurang tepat apabila dimasukkan sebagai kategori tindak pidana korupsi[1] terhadap lembaga atau perseorangan penerima hibah, hal itu dikarenakan penerima hibah[2] merupakan warga swasta biasa dan bukan pegawai negeri atau pejabat publik/Negara. Apalagi mekanisme pengucuran anggaran Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) dilakukan secara hibah yang diikat melalui Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD), sehingga berlakulah hukum perjanjian hukum perdata yakni Pasal 1666 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang merupakan pemberian Cuma-Cuma.[3]
Dinamika Provinsi Jawa Timur dengan segenap potensi dan permasalahannya menjadi sebuah tantangan tersendiri dalam proses pengelolaannya. Dinamisasi tersebut terlihat jelas ketika menghadapi persoalan dan permasalahan yang spesifik dan memerlukan penanganan yang cepat dan segera (force majeur). Berkenaan dengan kondisi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan Provinsi Jawa Timur pada Tahun berjalan 2008 terkait dengan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang mengakibatkan kontraksi ekonomi dan dinamika sosial, maka pada tahap Perubahan APBD Tahun 2008, Pemerintah Provinsi melakukan intervensi kebijakan penanganan masalah ekonomi dan sosial sebagai bagian dari kontribusi Pemerintah Daerah terhadap kebijakan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat. Intervensi Pemerintah Provinsi itu dilakukan melalui hibah dalam bentuk Program Pengananan Ekonomi dan Sosial Masyarakat (P2SEM) yang meliputi 3 (tiga) kegiatan pokok yaitu (1). Program penciptaan lapangan kerja, (2).Program peningkatan daya beli, dan (3).Program penanganan masalah sosial.[4]
Susunan kalimat dalam paragrap diatas, itulah yang menjadi latar belakang lahirnya program P2SEM. Paragrap itu diambil dari Lampiran Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 72 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Provinsi Jawa Timur Tahun 2008. Dalam Pedoman Umum P2SEM tersebut ditentukan, kelompok atau lembaga penerima program yaitu kelompok masyarakat, lembaga kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, lembaga pendidikan swasta, dan lembaga lainnya yang diperbolehkan sesuai peraturan perundang-undangan. Diatur pula mekanisme penyaluran dan pencairan dana. Bantuan dana kegiatan P2SEM disalurkan langsung ke rekening kelompok sasaran atau penerima bantuan, yang sebelumnya telah mengajukan proposal dan menandatangani Nota Perjanjian Hibah Daerah (NPHD). Tata kelembagaannya pun diatur sedemikian rupa untuk menghindari penyalahgunaan, mulai tim koordinasi (TK) Provinsi yang terdiri atas Badan Pemberdayaan Masyarakat (BAPEMAS) Provinsi, Sekretariat Tetap (SEKTAP) Provinsi, dan tim assistensi yang beranggotakan tenaga ahli, setelah itu turun ke Badan Koordinasi Wilayah (BAKORWIL) di JATIM dan berlanjut ke SEKTAP Kabupaten/Kota. Kegiatan P2SEM dianggarkan dalam APBD melalui belanja Hibah, kode rekening 51405001 sebesar Rp. 1.475.452.300.000,- dan realisasi sampai dengan 31 Desember 2008 sebesar Rp. 1.283.926.009.927,- (data dari laporan atas kepatuhan dalam kerangka pemeriksaan laporan keuangan provinsi jawa timur tahun anggaran 2008, oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Perwakilan Prov. Jatim tanggal 25 Mei 2009).[5]
Namun demikian, ujung-ujungnya teryata dilapangan Program P2SEM ini banyak bermasalah, diselewengkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, mulai dari pelaksanaan program yang tidak jelas sampai dugaan LSM Fiktif. Yang lebih mencengangkan rekomendasi yang dikeluarkan anggota dewan (DPRD Prov. Jatim) untuk lembaga penerima teryata banyak yang diperdagangkan. Tidak sedikit para wakil rakyat itu melalui para makelar proposal momotong dana yang diperoleh, sebagai kompensasi diberikannya rekomendasi. Sudah menjadi rahasia umum, tak tanggung-tanggung anggota dewan meminta bagian 70 %, 30 % sisanya untuk lembaga penerima.[6] Mereka yang seharusnya menjadi pengontrol program pemerintah malah ikut-ikutan terlibat dalam pelaksanaan program. Mantan Ketua DPRD Jatim Fathorrasjid sudah masuk bui atas sangkaan korupsi.[7] Bak bola liar kasus ini juga banyak menerjang pihak-pihak penerima hibah (terutama LSM) hampir diseluruh Jawa Timur. Ir.Muhammad Yasin, M.Si (Anggota Sekretariat Tetap P2SEM Prov. JATIM, Korwil IV meliputi Madura, Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo) ketika dimintai keterangan sebagai saksi dalam satu kasus P2SEM di Pengadilan Negeri Bangkalan, menyatakan seluruh kabupaten-kota di jawa timur lebih dari seratus lembaga yang dicairkan. Dari seratus lebih lembaga tersebut beliaunya telah diminta keteranganya sebagai saksi untuk korwil IV saja, kab. pamekasan satu perkara, kab. bangkalan tiga perkara, kab. sidoarjo tiga perkara, surabaya lima perkara, dan kab. sampang satu perkara.
Pertanyaannya sekarang, hal apa yang dapat kita ambil sebagai sebuah evaluasi/catatan dari program P2SEM ini. Menurut penulis catatan pertama adalah Program Pengananan Ekonomi, dan Sosial Masyarakat (P2SEM) ini menggunakan istrument hibah. Dilihat dari pedoman umum tidak tepat rasanya apabila P2SEM ini berbentuk atau setidaknya disebut bantuan dana hibah. Berdasarkan lampiran PERGUB 72/2008 tentang Tugas dan Tanggung jawab Lembaga Penerima jo. Pasal 3 ayat (3) NPHD, Penerima Hibah wajib menyampaikan pertanggungjawaban penggunaan dana kepada Gubernur melalui SEKTAP Provinsi. Dari ketentuan ini terkesan ada keinginan dari pemerintah untuk menerima sebuah timbal balik (kontraprestasi/pengembalian) layaknya perjanjian jual beli atau piutang, berbeda dengan terminologi hibah.[8] Hibah atau schenking dalam bahasa belanda menurut Pasal 1666 B.W pada pokoknya adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah dengan cuma-cuma, menyerahkan suatu barang kepada orang lain si penerima hibah untuk dimiliki. Menurut Prof. Dr. Yohanes Sogar Simamora, S.H., H.Hum.,[9] guru besar Fakultas Hukum UNAIR, ketika dimintai keterangan ahli didepan persidangan menyatakan hibah itu sama dengan pemberian, jadi dengan terjadinya hibah maka terjadi perpindahan hak milik. Penerima P2SEM ini menerima bantuan dalam bentuk bantuan kegiatan sebagaimana proposal, dan dibebani kewajiban menyampaikan pertanggungjawaban. Dari alur seperti itu sudah tidak tepat apabila P2SEM ini menggunakan instrument hibah, lebih tepat menggunakan instrument kerjasama/parthership.
Satu lagi catatan, Program P2SEM ini dijalankan tidak sebagaimana aturan yang ada (PERGUB 72 TAHUN 2008 sebagaimana telah diubah dengan PERGUB 137 TAHUN 2008). Didalam Lampiran PERGUB 72 TAHUN 2008 diatur mekanisme penyaluran P2SEM, yaitu kelompok sasaran atau penerima bantuan mengajukan Surat Permohonan Pencairan Dana kepada Gubernur dilengkapi dengan Proposal/RAB, rekening, dan legalitas lembaga penerima melalui SEKTAP Provinsi pada BAPEMAS. Sebelum diajukan, proposal diverifikasi kelengkapan dan kebenarannya oleh bakorwil tingkat daerah. BAPEMAS lantas melakukan seleksi administrasi pencairan dana. Selanjutnya diajukan kepada Gubernur untuk ditetapkan dalam SK (Surat Keputusan). Biro Keuangan kemudaian mencairkan anggaran dengan menstranfer ke rekening penerima hibah. Setiap lembaga penerima wajib memberikan Laporan pertanggungjawaban penggunaan dana kepada BAPEMAS. Kenyataan dilapangan berbeda, berdasarkan keterangan sejumlah pihak yang terlibat (anggota BAKORWIL, BAPEMAS, maupun Staf Sekretariat Dewan) pada saat diperiksa didepan persidangan diperoleh penjelasan bahwa penetapan atau pemilihan lembaga penerima P2SEM didasarkan pada Jaring Aspirasi Masyarakat (JASMAS) yang dilakukan oleh Anggota DPRD Prov. Jatim, yang tertuang dalam bentuk rekomendasi.[10] Padahal dalam PERGUB tidak ada satu pasal yang menyebut keterlibatan wakil rakyat itu dalam urusan memberi rekomendasi. Tanpa ada rekomendasi pengajuan proposal permintaan dana P2SEM tidak akan disetujui. Didalam rekomendasi tersebut telah jelas tertera nama lembaga penerima, nama kegiatan, dan jumlah dana yang diberikan. Hasil rekomendasi direkap oleh sekertariat dewan dan dikirim ke Sekretariat Tetap Provinsi dalam hal ini BAPEMAS Jawa Timur untuk diproses dalam penyusunan Keputusan Gubernur tentang Lembaga Penerima Hibah P2SEM, SEKTAP mengajukan Draf Surat Keputusan melalui biro hukum Sekda Provinsi untuk dikoreksi penulisannya untuk selanjutnya ditetapkan menjadi Surat Keputusan Gubernur Jatim. Setelah Surat Keputusan keluar baru kemudian lembaga penerima diminta untuk menyerahkan Proposal/RAB, rekening, dan legalitas, dihimpun oleh staf sekretariat dewan yang telah ditugaskan berdasarkan perintah lisan dari ketua dewan. Untuk kemudian diteruskan ke Bapemas Prov. Jatim. Oleh karena proposal diajukan setelah terbitnya SK, setelah diteliti oleh SEKTAP banyak terjadi kesalahan, alamat yang tidak sesuai dengan SK, nama lembaga yang berbeda dengan SK, sampai dengan jumlah nominal bantuan dana-nya.[11]
Menurut hasil laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dana P2SEM digunakan tidak sesuai dengan Tujuan. Dalam laporannya BPK menyatakan, berdasarkan hasil pemeriksaan secara uji petik atas dokumen Surat Pertanggungjawaban diketahui terdapat 5 (lima) kegiatan P2SEM yang digunakan untuk kegiatan di luar yang seharusnya, antara lain kegiatan untuk pelatihan saksi pemilu, pendidikan demokrasi bagi pemuda, pelatihan pendewasaan demokrasi pemuda, dan workshop pendidikan demokrasi.[12] Keseluruhan dana dari ke lima kegiatan itu sebesar Rp. 340.000.000,- yang harusnya digunakan untuk kegiatan yang menyangkut peningkatan kesejahteraan sosial dan meningkatan ekonomi masyarakat. Penggunaan dana yang tidak sesuai dengan tujuan disebabkan adanya kekurangcermatan SEKTAP dalam melakukan verifikasi. Atas permasalahan itu BPK RI merekomendasikan kepada Gubernur Jawa Timur agar memperingatkan Sekretariat Tetap (SEKTAP) untuk lebih cermat lagi dalam melakukan verifikasi. Melihat catatan-catatan tersebut seyogyanya pemerintah melakukan evaluasi dan mau belajar dari pengalaman dimasa lalu. Evaluasi yang terpenting itu adalah, setiap program baru harus benar-benar didasarkan pada pendataan secara langsung dilapangan sekaligus sosialisasi, disamping penjagaan yang ketat dan keterbukaan melalui media juga dibutuhkan, sehingga semua elemen masyarakat bisa mengetahui program-program pemerintah yang diorientasikan untuk kesejakteraan rakyat dan benar-benar dirasakan manfaatnya oleh rakyat secara menyeluruh.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah berdasarkan analisis diatas diantaranya :
- Bagaimana problematika penegakan perkara Program Penanganan sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Provinsi Jawa Timur tahun 2008 ?
- Bagaimanakah seharusnya penegakan perkara Program Penanganan sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Provinsi Jawa Timur tahun 2008 ?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan makalah ini diantaranya :
- Mengetahui problematika penegakan perkara Program Penanganan sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Provinsi Jawa Timur tahun 2008
- Menguraikan seharusnya penegakan perkara Program Penanganan sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Provinsi Jawa Timur tahun 2008
1.4 Manfaat Penulisan
Sedangkan yang menjadi manfaat dalam penulisan makalah ini diantaranya :
- Secara teoritis dapat menambah dan memperdalam keilmuan dalam bidang Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara yang berkaitan dengan Keuangan daerah
- Manafat praktis adalah untuk membangun kesadaran dan pemahaman kepada publik akan Penegakan perkara Program Penanganan sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Provinsi Jawa Timur tahun 2008
1.5 Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah metode penulisan hukum normatif, yaitu cara penulisan yang didasarkan pada analisis terhadap beberapa asas hukum dan teori hukum serta peraturan perundang-undangan yang sesuai dan berkaitan dengan permasalahan dalam makalah ini. Penelitian hukum normatif ini adalah suatu prosedur dan cara penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari segi normatifnya.[13]
Sedangkan pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah terdiri dari 2 (dua) pendekatan yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach).[14] Bahan hukum merupakan bahan dasar yang akan dijadikan acuan atau pijakan dalam penulisan makalah ini. Adapun yang menjadi bahan hukum dalam penulisan makalah ini terdiri dari 3 (tiga) bagian, yakni bahan hukum primer, skunder dan tersier. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.[15] Bahan-bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.
Bahan hukum skunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.[16] Adapun bahan hukum skunder yang digunakan untuk memberikan penjelasan mengenai materi yang terdapat dalam bahan hukum primer berasal dari beberapa literatur, buku tesk, jurnal hukum, karangan ilmiah dan buku-buku lain yang berkaitan langsung dengan tema penulisan makalah ini. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder.[17] Bahan hukum ini sebagai alat bantu dalam penulisan makalah ini. Adapun bahan hukum tersier ini dapat berupa kamus-kamus hukum yang berkaitan langsung dengan makalah ini.
Dalam makalah ini di gunakan metode analisis induktif kualitatitif,[18] yaitu metode analisa dengan melakukan analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan (rumusan masalah) yang terdapat dalam makalah ini untuk kemudian di korelasikan dengan beberapa asas dan teori yang menjadi landasan atau pisau analisa dalam penulisan makalah ini sebagai langkah untuk menemukan konklusi, jalan keluar maupun konsepsi ideal tentang hal-hal yang menjadi pembahasan.
BAB 2
LANDASAN TEORI
2.1 Teori Pengawasan Keuangan Daerah
Pengertian keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam kerangka penyelenggaraan pemerintahan yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.[19] Pengertian keuangan negara adalah semua hak &kewajiban negara serta segala sesuatu yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban tersebut yang dapat dinilai dengan uang.[20] Bertolak dari pengertian keuangan negara tersebut diatas, maka pengertian keuangan daerah pada dasarnya sama dengan pengertian keuangan “daerah”.
Pengawasan keuangan daerah diperlukan untuk mengetahui apakah perencanaan yang telah di susun dapat berjalan secara efisien, efektif dan ekonomis. Pengawasan menurut Keputusan Presiden Nomor 74 Tahun 2001 tentang Tata Cara Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintah Daerah. Pasal 1 ayat (6) menyebutkan, bahwa: “Pengawasan pemerintah daerah adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar pemerintah daerah berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
Berdasarkan ruang lingkup pengawasan Fatchurrochman (2002) membedakanya menjadi dua, yaitu: (1). Pengawasan internal yang terdiri dari pengawasan melekat dan pengawasan fungsional, dan (2). Pengawasan eksternal. Pengawasan internal adalah pengawasan yang dilakukan oleh baik atasan langsung dan aparat pengawas fungsional yang berasal dari lingkungan internal organisasi pemerintah, atau juga yang dikenal sebagai APIP (Aparat Pengawas Internal Pemerintah). APIP terdiri dari BPKP (Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan), Inspektorat Jendral Departemen (Irjen) atau Unit Pengawas Lembaga Non Departemen, Inspektorat Wilayah (Itwil), serta Satuan Pengawas Intern (SPI).
Pengawasan melekat adalah pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan atau atasan langsung suatu organisasi terhadap kinerja bawahan dengan tujuan untuk mengetahui atau menilai apakah kerja yang ditetapkan telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan pengawasan fungsional adalah pengawasan internal yang dilakukan oleh aparat fungsional baik yang berasal dari lingkungan internal depertemen, lembaga negara atau BUMN termasuk pengawasan dari lembaga khusus pengawasan.
Pengawasan yang dilakukan oleh Dewan dapat berupa pengawasan secara langsung dan tidak langsung serta preventif dan represif.[21] Pengawasan langsung dilakukan secara pribadi dengan cara mengamati, meneliti, memeriksa, mengecek sendiri di tempat pekerjaan dan meminta secara langsung dari pelaksana dengan cara inspeksi. Sedangkan pengawasan tidak langsung dilakukan dengan cara mempelajari laporan yang diterima dari pelaksana. Pengawasan preventif dilakukan melalui pre-audit yaitu sebelum pekerjaan dimulai. Pengawasan represif dilakukan melalui post audit dengan pemeriksaan terhadap pelaksanaan ditempat (inspeksi).
Pengawasan yang dilakukan oleh DPRD terhadap eksekutif dimaksudkan agar terdapat jaminan terciptanya pola pengelolaan anggaran daerah yang terhindar dari praktik-praktik kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN) baik mulai dari proses perencanaan, pengesahan, pelaksanaan serta pertanggungjawabannya.[22] Disamping DPRD mengawasi secara langsung tentang mekanisme anggaran, DPRD juga menggunakan aparat pengawasan eksternal pemerintah, yang independen terhadap lembaga eksekutif di daerah yaitu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Pengawasan merupakan tahap integral dengan keseluruhan tahap pada penyusunan dan pelaporan APBD. Pengawasan diperlukan pada setiap tahap bukan hanya pada tahap evaluasi saja (Mardiasmo, 2001).
Azas akuntabilitas adalah azas yang menentukan bahwa setiap kegaitan dan hasil akhir dari kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi. Akuntabilitas bersumber kepada adanya pengendalian dari luar (external control) yang mendorong aparat untuk bekerja keras. Birokrasi dikatakan accountable apabila dinilai secara objektif oleh masyarakat luas.
Menurut Sulistoni[23] pemerintahan yang accountable memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (1) Mampu menyajikan informasi penyelenggaraan pemerintah secara terbuka, cepat, dan tepat kepada masyarakat, (2) Mampu memberikan pelayanan yang memuaskan bagi publik, (3) Mampu memberikan ruang bagi masyarakat untuk terlibat dalam proses pembangunan dan pemerintahan, (4) Mampu menjelaskan dan mempertanggungjawabkan setiap kebijakan publik secara proporsional, dan (5) Adanya sarana bagi publik untuk menilai kinerja pemerintah. Melalui pertanggungjawaban publik, masyarakat dapat menilai derajat pencapaian pelaksanaan program dan kegiatan pemerintah.
Akuntabilitas publik akan tercapai jika pengawasan yang dilakukan oleh dewan dan masyarakat berjalan secara efektif. Hal ini juga di dukung oleh pendapatnya Rubin (1996) yang menyatakan bahwa untuk menciptakan akuntabilitas kepada publik diperlukan partisipasi pimpinan instansi dan warga masyarakat dalam penyusunan dan pengawasan keuangan daerah (APBD). Sehingga akuntabilitas publik yang tinggi akan memperkuat fungsi pengawasan yang dilakukan oleh dewan, sehingga hipomakalah utamanya dirumuskan sebagai berikut: Akuntabilitas publik berpengaruh signifikan terhadap hubungan antara pengetahuan anggaran dengan pengawasan keuangan daerah.[24]
2.2 Hibah Menurut Hukum Perdata
Yang dimaksud dengan hibah dalam bahasa Belanda adalah “Schenking”. Sedangkan menurut istilah yang dimaksud hibah, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1666 Kitab Undang-undang Hukum Perdata, adalah :
“Sesuatu persetujuan dengan mana si penghibah di waktu hidupnya, dengan Cuma-Cuma dan dengan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan suatu benda guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan itu.”[25]
Bahwa, yang dimaksud dengan penghibah adalah digolongkannya pada apa yang dinamakan Perjanjian Cuma-Cuma dalam bahasa Belanda “Omniet”. Maksudnya, hanya ada pada adanya prestasi pada satu pihak saja, sedangkan pihak yang lain tidak perlu memberikan kontra prestasi sebagai imbalan. Perkataan “di waktu hidupnya” si Penghibah adalah untuk membedakan penghibahan ini dengan pemberian-pemberian yang lain yang dilakukan dalam testament (surat wasiat), yang baru akan mempunyai kekuatan dan berlaku sesudah pemberi itu meninggal, dapat diubah atau ditarik kembali olehnya. [26]
Pemberi dalam testament menurut BW (Burgerlijk Wetboek) dinamakan legaat (hibah wasiat), yang diatur dalam Hukum Waris, sedangkan penghibah ini adalah suatu perjanjian, maka dengan sendirinya tidak dapat ditarik kembali secara sepihak oleh si penghibah.24 Dengan demikian Hibah menurut BW (Burgerlijk Wetboek) ada 2 (dua) macam, yaitu: hibah dan hibah wasiat yang ketentuan hibah wasiat sering berlaku pula dalam ketentuan penghibah.
Mengenai penghibahan dalam Hukum Perdata Indonesia, telah diatur dalam beberapa pasal yang terdapat dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Adapun ketentuan tersebut adalah :
- Pasal 1667 Kitab Undang-undang Hukum Perdata:
“Hibah hanyalah dapat mengenai benda-benda yang sudah ada, jika ada itu meliputi benda-benda yang baru akan dikemudian hari, maka sekedar mengenai itu hibahnya adalah batal ”.[27]
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jika dihibahkan barang yang sudah ada, bersama suatu barang lain yang akan dikemudian hari, penghibahan mengenai yang pertama adalah sah, tetapi mengenai barang yang kedua adalah tidak sah.
- Pasal 1668 Kitab Undang-undang Hukum Perdata :
“ Si penghibah tidak boleh memperjanjikan bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan kepada orang lain suatu benda termasuk dalam penghibahan semacam ini sekedar mengenai benda tersebut dianggap sebagai batal”.[28]
Janji yang diminta si penghibah, bahwa ia tetap berkuasa untuk menjual atau memberikan kepada orang lain, berarti bahwa hak milik atas barang tersebut, tetap ada padanya karena hanya seseorang pemilik yang dapat menjual atau memberikan barangnya kepada orang lain, hal mana dengan sendirinya bertentangan dengan sifat dan hakekat penghibahan.
Sudah jelas, bahwa perjanjian seperti ini membuat penghibahan batal, yang terjadi sebenarnya adalah hanya sesuatu pemberian nikmat hasil.
- Pasal 1669 Kitab Undang-undang Hukum Perdata :
“Adalah diperbolehkan kepada si penghibah untuk memperjanjikan bahwa ia tetap memiliki kenikmatan atau nikmat hasil benda-benda yang dihibahkan, baik benda-benda bergerak maupun benda-benda tidak bergerak, atau bahwa ia dapat memberikan nikmat hasil atau kenikmatan tersebut kepada orang lain, dalam hal mana harus diperhatikan ketentuan-ketentuan dari bab kesepuluh buku kedua
kitab undang-undang ini”.[29]
Bab kesepuluh dari Buku Kedua Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang dimaksud itu adalah bab yang mengatur tentang Hak Pakai Hasil atau Nikmat Hasil. Sekedar ketentuan-ketentuan itu telah dicabut, yaitu mengenai tanah, dengan adanya Undang-undang Pokok Agraria (UU No. 5 Tahun 1960), tetapi ketentuan-ketentuan itu mengenai barang yang bergerak masih berlaku.[30]
Tentang kecakapan untuk memberikan sesuatu hibah telah diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1676, yaitu :
“Setiap orang diperbolehkan memberi dan menerima sesuatu sebagai hibah kecuali mereka yang oleh Undang-undang dinyatakan tidak cakap untuk itu”.[31]
Selanjutnya dalam Pasal 1678 Kitab Undang-undang Hukum Perdata:
“Dilarang adalah penghibahan antara suami-isteri selama perkawinan “[32]
Pasal 1678 Kitab Undang-undang Hukum Perdata melarang penghibahan antara suami-isteri selama perkawinan, namun ketentuan tersebut tidak berlaku terhadap hadiah atau pemberian benda-benda bergerak yang bertubuh yang harganya tidak terlalu tinggi mengingat kemampuan si Penghibah.
Tentang cara menghibahkan sesuatu telah diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Perdata, sebagaimana diatur dalam pasal di bawah ini :
- Pasal 1682 Kitab Undang-undang Hukum Perdata :
“ Tiada suatu hibah kecuali yang disebutkan dalam Pasal 1687, dapat atas ancaman batal, dilakukan selainnya dengan akta notaris, yang aslinya disimpan oleh notaris itu ”.[33]
- Pasal 1683 Kitab Undang-undang Hukum Perdata :
“ Tiada suatu hibah mengikat si penghibah atau menerbitkan sesuatu akibat yang bagaimanapun, selainnya mulai saat penghibahan itu dengan kata-kata yang tegas diterima oleh si penerima hibah sendiri atau oleh seorang yang dengan suatu akta otentik oleh si penerima hibah itu telah dikuasakan untuk menerima penghibahan-penghibahan yang telah diberikan oleh si penerima hibah atau akan diberikan kepadanya dikemudian hari. Jika penerima hibah tersebut telah dilakukan di dalam suratnya hibah sendiri, maka itu akan dapat dilakukan di dalam suatu akta otentik, kemudian yang aslinya harus disimpan, asal yang demikian itu dilakukan di waktu si penghibah masih hidup, dalam hal mana penghibahan terhadap orang yang terakhir hanya berlaku sejak saat penerima itu diberitahukan kepadanya “[34]
BAB 3
PEMBAHASAN
3.1 Kesesatan Penerapan Hukum
Bantuan dana kegiatan P2SEM disalurkan langsung ke rekening kelompok sasaran atau penerima bantuan, yang sebelumnya telah mengajukan proposal dan menandatangani Nota Perjanjian Hibah Daerah (NPHD). Tata kelembagaannya pun diatur sedemikian rupa untuk menghindari penyalahgunaan, mulai tim koordinasi (TK) Provinsi yang terdiri atas Badan Pemberdayaan Masyarakat (BAPEMAS) Provinsi, Sekretariat Tetap (SEKTAP) Provinsi, dan tim assistensi yang beranggotakan tenaga ahli, setelah itu turun ke Badan Koordinasi Wilayah (BAKORWIL) di JATIM dan berlanjut ke SEKTAP Kabupaten/Kota.
Kegiatan P2SEM dianggarkan dalam APBD melalui belanja Hibah, kode rekening 51405001 sebesar Rp. 1.475.452.300.000,- dan realisasi sampai dengan 31 Desember 2008 sebesar Rp. 1.283.926.009.927,- (data dari laporan atas kepatuhan dalam kerangka pemeriksaan laporan keuangan provinsi jawa timur tahun anggaran 2008, oleh Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia Perwakilan Prov. Jatim tanggal 25 Mei 2009). [35]
Teryata dilapangan Program P2SEM ini banyak bermasalah, diselewengkan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, mulai dari pelaksanaan program yang tidak jelas sampai dugaan LSM Fiktif. Yang lebih mencengangkan rekomendasi yang dikeluarkan anggota dewan (DPRD Prov. Jatim) untuk lembaga penerima teryata banyak yang diperdagangkan. Tidak sedikit para wakil rakyat itu melalui para makelar proposal momotong dana yang diperoleh, sebagai kompensasi diberikannya rekomendasi. Sudah menjadi rahasia umum, tak tanggung-tanggung anggota dewan meminta bagian 70 %, 30 %[36] sisanya untuk lembaga penerima.
Mereka yang seharusnya menjadi pengontrol program pemerintah malah ikut-ikutan terlibat dalam pelaksanaan program.[37] Mantan Ketua DPRD Jatim Fathorrasjid sudah masuk bui atas sangkaan korupsi. Bak bola liar kasus ini juga banyak menerjang pihak-pihak penerima hibah (terutama LSM) hampir diseluruh Jawa Timur. Ir.Muhammad Yasin, M.Si (Anggota Sekretariat Tetap P2SEM Prov. JATIM, Korwil IV meliputi Madura, Surabaya, Gresik, dan Sidoarjo) ketika dimintai keterangan sebagai saksi dalam satu kasus P2SEM di Pengadilan Negeri Bangkalan, menyatakan seluruh kabupaten-kota di jawa timur lebih dari seratus lembaga yang dicairkan. Dari seratus lebih lembaga tersebut beliaunya telah diminta keteranganya sebagai saksi untuk korwil IV saja, kab. pamekasan satu perkara, kab. bangkalan tiga perkara, kab. sidoarjo tiga perkara, surabaya lima perkara, dan kab. sampang satu perkara.
Pertanyaannya sekarang, hal apa yang dapat kita ambil sebagai sebuah evaluasi/catatan dari program P2SEM ini. Menurut penulis catatan pertama adalah Program Pengananan Ekonomi, dan Sosial Masyarakat (P2SEM) ini menggunakan istrument hibah. Dilihat dari pedoman umum tidak tepat rasanya apabila P2SEM ini berbentuk atau setidaknya disebut bantuan dana hibah. Berdasarkan lampiran PERGUB 72/2008 tentang Tugas dan Tanggung jawab Lembaga Penerima jo. Pasal 3 ayat (3) NPHD, Penerima Hibah wajib menyampaikan pertanggungjawaban penggunaan dana kepada Gubernur melalui SEKTAP Provinsi. Dari ketentuan ini terkesan ada keinginan dari pemerintah untuk menerima sebuah timbal balik (kontraprestasi/pengembalian) layaknya perjanjian jual beli atau piutang, berbeda dengan terminologi hibah.
Hibah atau schenking dalam bahasa belanda menurut Pasal 1666 B.W pada pokoknya adalah suatu perjanjian dengan mana si penghibah dengan cuma-cuma, menyerahkan suatu barang kepada orang lain si penerima hibah untuk dimiliki. Menurut Prof. Dr. Yohanes Sogar Simamora, S.H., H.Hum.,[38] guru besar Fakultas Hukum UNAIR, ketika dimintai keterangan ahli didepan persidangan menyatakan hibah itu sama dengan pemberian, jadi dengan terjadinya hibah maka terjadi perpindahan hak milik. Penerima P2SEM ini menerima bantuan dalam bentuk bantuan kegiatan sebagaimana proposal, dan dibebani kewajiban menyampaikan pertanggungjawaban. Dari alur seperti itu sudah tidak tepat apabila P2SEM ini menggunakan instrument hibah, lebih tepat menggunakan instrument kerjasama/parthership.[39]
Program P2SEM ini dijalankan tidak sebagaimana aturan yang ada (PERGUB 72 TAHUN 2008 sebagaimana telah diubah dengan PERGUB 137 TAHUN 2008). Didalam Lampiran PERGUB 72 TAHUN 2008 diatur mekanisme penyaluran P2SEM, yaitu kelompok sasaran atau penerima bantuan mengajukan Surat Permohonan Pencairan Dana kepada Gubernur dilengkapi dengan Proposal/RAB, rekening, dan legalitas lembaga penerima melalui SEKTAP Provinsi pada BAPEMAS. Sebelum diajukan, proposal diverifikasi kelengkapan dan kebenarannya oleh bakorwil tingkat daerah. BAPEMAS lantas melakukan seleksi administrasi pencairan dana. Selanjutnya diajukan kepada Gubernur untuk ditetapkan dalam SK (Surat Keputusan). Biro Keuangan kemudaian mencairkan anggaran dengan menstranfer ke rekening penerima hibah. Setiap lembaga penerima wajib memberikan Laporan pertanggungjawaban penggunaan dana kepada BAPEMAS.
Kenyataan dilapangan berbeda, berdasarkan keterangan sejumlah pihak yang terlibat (anggota BAKORWIL, BAPEMAS, maupun Staf Sekretariat Dewan) pada saat diperiksa didepan persidangan diperoleh penjelasan bahwa penetapan atau pemilihan lembaga penerima P2SEM didasarkan pada Jaring Aspirasi Masyarakat (JASMAS) yang dilakukan oleh Anggota DPRD Prov. Jatim, yang tertuang dalam bentuk rekomendasi. Padahal dalam PERGUB tidak ada satu pasal yang menyebut keterlibatan wakil rakyat[40] itu dalam urusan memberi rekomendasi. Tanpa ada rekomendasi pengajuan proposal permintaan dana P2SEM tidak akan disetujui.
Didalam rekomendasi tersebut telah jelas tertera nama lembaga penerima, nama kegiatan, dan jumlah dana yang diberikan. Hasil rekomendasi direkap oleh sekertariat dewan dan dikirim ke Sekretariat Tetap Provinsi dalam hal ini BAPEMAS Jawa Timur untuk diproses dalam penyusunan Keputusan Gubernur tentang Lembaga Penerima Hibah P2SEM, SEKTAP mengajukan Draf Surat Keputusan melalui biro hukum Sekda Provinsi untuk dikoreksi penulisannya untuk selanjutnya ditetapkan menjadi Surat Keputusan Gubernur Jatim. Setelah Surat Keputusan keluar baru kemudian lembaga penerima diminta untuk menyerahkan Proposal/RAB, rekening, dan legalitas, dihimpun oleh staf sekretariat dewan yang telah ditugaskan berdasarkan perintah lisan dari ketua dewan. Untuk kemudian diteruskan ke Bapemas Prov. Jatim. Oleh karena proposal diajukan setelah terbitnya SK, setelah diteliti oleh SEKTAP banyak terjadi kesalahan, alamat yang tidak sesuai dengan SK, nama lembaga yang berbeda dengan SK, sampai dengan jumlah nominal bantuan dana-nya.
Persoalannya dalam tataran penegakan hukum dilapangan terjadi perbedaan putusan pengadilan. Pengadilan Negeri Bangkalan dan Tuban misalnya memutus perkara P2SEM sebagai murni perkara Perdata[41], dikarenakan berpedoman kepada Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD), dimana dalam perjanjian dikemukakan dana yang diberikan adalah berbentuk hibah yang mana wajib dipertanggung jawabkan kepada Badan Pemberdayaan Masyarakat Jawa Timur. Kasus yang sama terjadi pada saat kasasi perkara P2SEM Kabupaten Bangkalan ke Mahkamah Agung, Mahkamah Agung dalam putusannya menguatkan putusan Pengadilan Negeri Bangkalan[42], dimana perkara P2SEM adalah murni perdata, dikarenakan terikat pada NPHD dan jenis dananya adalah hibah daerah.
Sangat berbeda dengan putusan pengadilan baik ditingkat pertama, banding dan kasasi, dimana rata-rata diputus berdasarkan pasal tindak pidana korupsi. Hal ini tentu terjadi ketidaksamaan putusan dalam perkara yang sama, sehingga sampai sekarangpun masih menjadi perdebatan atau persoalan. Dalam periode terbentuknya Pengadilan tindak pidana korupsi di Provinsi misalnya, mereka malah menolak untuk mengadili perkara P2SEM[43], dikarenakan status hukumnya adalah murni perdata, bukan termasuk kategori tindak pidana korupsi. Hal ini yang menimbulkan tafsir ganda terhadap satu kasus yang sama.
Apabila dianalisa secara mentetail, seharusnya yang bertanggung jawab adalah DPRD Provinsi Jawa Timur sebagai perekomendasi, serta Bapemas sebagai kepanjangan tangan dari Gubenur Jawa Timur sebagai tim pengawas dari program P2SEM, keduanya merupakan subjek dari tindak pidana korupsi, bukan malah lembaga swadaya masyarakat sebagai korban dari kesewenang-wenangan dari Pemerintah Daerah Jawa Timur. Mengingat selama masa pemerikasaan dilapangan banyak yang menjadi korban adalah lembaga swadaya masyarakat yang disidik bahkan diputus oleh Pengadilan.
3.2 Perkara P2SEM Murni Perdata Bagi Penerima Hibah
Apabila dianalisa dari sudut pandang hukum administrasi negara, maka perkara penyelewengan dana Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) senilai Rp13 miliar itu sangat lucu, hal itu dikarenakan “Kasus P2SEM, pelaku yang menjadi tersangka, terdakwa dan terpidana itu sebagian besar dari kalangan swasta, padahal proyek itu tanggung jawab pemerintah selaku pemberi proyek. Dari sekian banyak penegakan hukum yang dilakukan oleh Kejaksaan Negeri dan Pengadilan Negeri, mereka yang di sidik dan di ekskusi rata-rata merupakan kalangan swasta, yakni merupakan ketua atau penyelenggara dari kegiatan yang mendapat kucuran dana dari pemerintah daerah Provinsi Jawa Timur.
Sesungguhnya proyek P2SEM itu berasal dari pemerintah, sedangkan pihak swasta hanya terikat dengan kontrak atau perjanjian dengan pemilik proyek. Sehingga yang bertanggung jawab secara hukum adalah pemerintah daerah[44], sedangkan lembaga penerima hanya bertanggung jawab secara perdata kepada pemerintah daerah jawa timur melalui Bapemas. Sehingga tidak dapat dijerat dengan pasal tindak pidana korupsi. Yang dapat di jerat tindak pidana korupsi sebenarnya adalah Pemerintah Daerah Jawa Timur sebagai kuasa dan pemilik anggaran.
“Kalau swasta disalahkan itu seharusnya cuma wanprestasi (atas dasar NPHD) atau kalangan swasta itu terlibat dalam kasus itu karena suap, bukan karena dia menyalahgunakan wewenang, sebab wewenang itu bukan milik swasta,”. Namun dalam kenyataan dilapangan penerima dana hibah yang menjadi tersangka tidak dijerat dengan pasal suap, akan tetapi murni melakukan tindak pidana korupsi. Padahal dari sudut pandang hukum administrasi Negara swasta tidak memiliki wewenang apapun terkait dengan keuangan Negara/daerah, yang memiliki wewenang hanyalah pemerintah dan pemerintah atau pemerintah daerah.[45] Untuk itu kurang tepat apabila ketua lembaga penerima dana hibah dinyatakan sebagai penyalahgunaan wewenang, karna dia tidak memiliki wewenang.
Penyalahgunaan wewenang itu masuk kategori perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh pejabat, bukan swasta. “Jadi, kalangan swasta itu tidak bisa dituduh korupsi, tapi dia bisa dituduh melakukan suap yang sanksi hukumnya juga berbeda. Kalau mau menjerat swasta itu seharusnya menggunakan perdata karena melakukan wanprestasi karena menyalahi kontrak atau perjanjian,”
Aparat kejaksaan dan pengadilan juga sering melakukan kesalahan dalam menerapkan sanksi pidana dengan menggunakan dakwaan primair dan subsidair yakni perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang. “Pejabat yang bersalah itu seharusnya hanya dikenai perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang, bukan perbuatan melawan hukum dan sekaligus penyalahgunaan wewenang, karena sanksi hukumnya juga berbeda. Sanksi perbuatan melawan hukum itu minimal empat tahun penjara, sedangkan penyalahgunaan wewenang hanya satu tahun. Hal itu terjadi dalam perkara P2SEM, dimana dakwaan primair dan subsidairnya menggunakan kedua-duanya yakni perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang.
Tentang nilai kerugian negara dalam sebuah proyek yang diperintahkan pejabat dan dikerjakan kalangan swasta itu, hal itu menjadi tanggung jawab pemilik proyek (pejabat pemerintah). Karena itu, kasus P2SEM seharusnya mengarah kepada pejabat yang memiliki proyek itu dan bukan semuanya dikenakan kepada kalangan swasta. Itu lucu, karena pemilik proyek itulah yang bertanggung jawab terhadap pengawasan proyek, sedangkan rekanan hanya terikat kontrak. Yang bertanggung jawab mengawasi seharusnya yang bertanggung jawab terhadap anggaran daerah, seperti tergambar dalam Peraturan Gubernur Jawa Timur nomor 72 tahun 2008 tentang pedoman umum program penanganan sosial ekonomi masyarakat (p2sem) provinsi jawatimurtahun 2008 sebagai berikut:
STRUKTUR ORGANISASI PENGELOLA P2SEM
BAB 3
PENUTUP
3.1 Simpulan
a. Dalam penegakan hukum terkait P2SEM, terdapat tidak konsistennya aparat penegak hukum dalam penerapan sanksi hukum, terdapat perbedaan putusan pengadilan dalam perkara yang sama, sehingga Yurisprudensi menjadi diabaikan.
b. Yang menjadi subjek tindak pidana terkait perkara P2SEM rata-rata kurang tepat, sebagian besar adalah swasta yang didakwa melakukan tindak pidana korupsi, padahal seharusnya Pemerintah sebagai pemilik kuasa anggaran sekaligus sebagai pengawas dilapangan.
3.2 Saran
a. Diharapkan terdapat sinkronisasi dan konsistensi aparat penegak hukum dalam upaya penegakan hukum, sehingga tidak terdapat perbedaan-perbedaan yang sangat menonjol dalam putusan perkara yang sama.
b. Diharapkan aparat penegak hukum mampu bersifat objektif dan mandiri tidak mudah terintervensi oleh golongan manapun dalam memutuskan perkara.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, A., Muslim, M. dkk, 2002, Good governance dan Penguatan Institusi Daerah, Masyarakat Transparansi Indonesia, Jakarta.
Andriani, Rini, 2002, Pengaruh Pengetahuan dan RPPs terhadap peranan DPRD dalam Pengawasan Anggaran (Studi Kasus pada DPRD se-Propinsi Bengkulu, Makalah Program Pasca Sarjana UGM, Jogjakarta.
Bazwir, Revrisond, 1999, Akutansi Pemerintah Indonesia, Edisi Tiga BPFE Jogjakarta.
Fatchurrochman, Agam, 2002, Manajemen Keuangan Publik, Materi Pelatihan Anti Korupsi, Indonesian Coruption Watch, 23-25 Januari 2002, Jakarta.
Halim, Abdul, 2003, Bunga Rampai Keuangan Daerah, UPP AMP YKPN, Jogjakarta.
Indradi, Syamsiar, 2001, Pengaruh Pendidikan dan Pengalaman anggota DPRD dengan Proses Pembuatan Peraturan Daerah, Makalah S2 Tidak di Publikasikan, Program Pasca Sarjana Ilmu Administrasi Negara, Universitas Brawijaya Malang.
Kaiser, H. Dan Rice, J., 1974, Educational and Psycological Measurement, Volume 34, No.1, hal 111-117.
Luthfi, JK., 2003, Diskusi Anggaran Publik, 2 Agustus 2003, Malang Coruption Watch, Malang
Mardiasmo, 2001, Pengawasan, Pengendalian, dan Pemeriksaan Kinerja Pemerintah Daerah dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah, Andi, Jogjakarta.
Mardiasmo, 2002, Otonomi dan Manajemen Keuangan daerah, Andi, Jogjakarta.
Mardiasmo, 2003, Konsep Ideal Akuntabilitas dan Transparansi Organisasi Layanan Publik, Majalah Swara MEP, Vol. 3 No. 8 Maret, MEP UGM, Jogjakarta.
Nunnaly, 1967, Psycometric Theory, McGraw-Hill, New York.
Republik Indonesia, 2001, Undang-Undang No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, Citra Umbara, Bandung.
_______________, 2001, Peraturan Pemerintah No. 105 tahun 1999 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Anggaran, Citra Umbara, Bandung.
Pramono, Agus H., 2002, Pengawasan Legislative terhadap Ekesekutif dalam Penyelenggaraan Pemerintah Daerah, Makalah S2 Tidak di Publikasikan, Program Pasca Sarjana Ilmu Administrasi Negara, Universitas Brawijaya Malang.
Rubin, Irene, 1996, Budgetting for Accountability: Municipal Budgeting for the 1990s, Jurnal Public Budgeting & Finance, Summer, hal. 112-132.
Sjamsudin, Syamsiar, 2001, Hubungan Kualitas Anggota DPRD terhadap Partisipasinya dalam Proses Kebijakan Daerah di Kabupaten Malang, Laporan Penelitian dalam Jurnal Ilmiah Sosial, Vol.13, No.2, Malang.
Sopanah dan Mardiasmo, 2003, Pengaruh Partisipasi Masyarakat dan Transparansi Kebijakan Publik terhadap Hubungan antara Pengetahuan Dewan tentang Anggaran dengan Pengawasan Keuangan Daerah, Simposium Nasional Akuntansi (SNA) VI 16-17 Oktober di Surabaya.
Sopanah, 2004, Menyoal Anggaran Publik, dalam Pesangon Gate, Bulletin Suara Korban, Malang Corruption Watch (MCW), Edisi 1 Maret 2004
______, 2004, Membongkar Jaringan Asmara, dalam Menyingkap Sisi Gelap Musbangkel Bulletin Suara Korban, Malang Corruption Watch (MCW), Edisi III Mei 2004
Sulistoni, G., 2003, Fiqh korupsi: Amanah Vs Kekuasaan, SOMASI, Nusa Tenggara Barat.
Sutarnoto, Tejo, 2002, Pengaruh Kualitas SDM Aparatur terhadap Kinerja Pegawai, Makalah S2 Tidak di Publikasikan, Program Pasca Sarjana Ilmu Administrasi Negara, Universitas Brawijaya Malang.
Yudoyono, Bambang, 2002, Optimalisasi Peran DPRD dalam Penyelenggaraan PemerintahDaerah,http://www.bangda.depdagri.go.id./jurnal/jendela/jendela3.htm.
[1] Dalam kenyataannya banyak penyidikan perkara P2SEM dimasukkan kategori tindak Pidana Korupsi, padahal pelakunya swasta, bukan termasuk suap, hanya pertimbangan yang dilakukan adalah membantu perbuatan tindak pidana korupsi, padahal yang dibantu tidak diproses secara hukum.
[2] Bentuk dana P2SEM adalah dana hibah daerah yang terdapat Naskah Perjanjian Hibah daerah antara lembaga penerima dengan Pemerintah Daerah, dimana lembaga penerima bertanggung jawab kepada pemerintah daerah provinsi melalui gubernur Jawa timur yang diwakilkan oleh Bapemmas Jawa Timur
[3] Kalau mengacu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang dikatakan hibah adalah pemberian Cuma-Cuma yang tidak dapat diminta kembali oleh siapapun, kecuali terdapat perjanjian sebelumnya
[4] Terdapat dalam Peraturan Gubernur Jawa Timur Nomor 72 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) Provinsi Jawa Timur Tahun 2008
[5] Dana sebagaimana maksud diatas disalurkan kepada lembaga/pokmas yang sebelumnya mendapatkan rekomendasi dari anggota DPRD Propinsi Jawa Timur Periode 2004-2009
[6] Untuk itu kemudian dalam penelenggaraan dilapangan banyak penyimpangan-penyimpangan oleh lembaga-lembaga penerima, karena memang dalam penyalurannya sudah bermasalah, apalagi dalam pengerjaannya di lapangan.
[7] Fathurrajid adalah mantan Ketua DPRD Jawa Timur Periode 2004-2009, dimana dalam putusan Pengadilan Negeri Surabaya beliau dinyatakan bersalah, dalam tingkatan banding juga demikian, kasasi juga demikian, sekarang dalam proses Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung
[8] Apabila terminology hibah digunakan, maka berlaku hukum perdata, dimana hibah adalah pemberian Cuma-Cuma, jadi tidak dapat dimintakan kembali, kecuali terdapat perjanjian sebelumnya.
[9] Wawancara yang dilakukan Penulis pada tahun 2009, pada saat penulis mengambil Program Pascasarja di Fakultas Hukum Universitas Airlangga
[10] Hal inilah yang menjadi janggal, dimana dalam Peraturan Gubernur tentang mekanisme pencairan dana P2SEM tidak sedikitpun disebut adanya rekomendasi dari DPRD Provinsi, namun pada kenyataannya dilapangan dana P2SEM tidak dapat cair atau dicairkan tanpa adanya rekomendasi dari salah satu anggota DPRD Jawa Timur Periode 2004-2009
[11] Itulah yang menjadi sumber persoalan, dimana terjadi administrasi yang berjenjang, dan sangat rawan adanya korupsi kolusi dan nepotisme.
[12] Hal itu tidak sesuai denga tujuan awal pemberian bantuan P2SEM, dimana peruntukannya sebagai penguatan ekonomi masyarakat daerah.
[13] Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2006, Hal.57
[14] Untuk lebih lebih jelasnya tentang macam-macam pendekatan dalam penelitian hukum normatif bandingkan Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001, Hal. 14 dengan Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada media, Jakarta, 2006, Hal. 93-137 dan Johnny Ibrahim, Op Cit, Hal. 299-321
[15] Peter Mahmud Marzuki, Op Cit, Hal. 141
[16] Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Op Cit, Hal.13
[17] Soerjono Soekanto, Op Cit, Hal. 52
[18] Metode induktif adalah metode yang merupakan kesimpulan-kesimpulan umum yang diperoleh berdasarkan proses pemikiran setelah mempelajari peristiwa-peristiwa khusus atau peristiwa-peristiwa yang konkret. Untuk lebih jelasnya baca : Sjachran Basah, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 60
[19]Arifin.P. Soeriaatmadja, Keuangan Publik dalm Perspektif Hukum. 2009. Jakarta : PT Rajawali Press. Hlm 83
[20] Revrisond Bazwir, 1999, Akutansi Pemerintah Indonesia, Edisi Tiga BPFE Jogjakarta. Hal 26
[21] A. Muslim, M. dkk, 2002, Good governance dan Penguatan Institusi Daerah, Masyarakat Transparansi Indonesia, Jakarta, Hal 54
[22] Abdul Halim, 2003, Bunga Rampai Keuangan Daerah, UPP AMP YKPN, Jogjakarta.
[23] Sulistoni, G., 2003, Fiqh korupsi: Amanah Vs Kekuasaan, SOMASI, Nusa Tenggara Barat. Hal 73
[24] Sopanah, 2004, Menyoal Anggaran Publik, dalam Pesangon Gate, Bulletin Suara Korban, Malang Corruption Watch (MCW), Edisi 1 Maret 2004. Hal. 57
[25] R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo, Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Cet ke-25, Jakarta: Pradnya Paramita, 1992, hlm. 365.
[26] R. Subekti, Aneka Perjanjian, cet ke-10 Bandung, Citra Aditya Bakti, 1995, hlm, 94-95.
[27] R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo, Op Cit, Hal. 367
[28] R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo, Ibid
[29] R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo, Ibid
[30] Eman Suparman, Intisari Hukum Waris Indonesia, Bandung: Mandar Maju, 1995, hlm. 74-75.
[31] R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo, Ibid
[32] R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo, Ibid
[33] R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo, Ibid
[34] R. Subekti dan R. Tjitrosudibyo, Ibid
[35] Catatan laporan tahunan BPK-RI perwakilan Jawa Timur Tahun 2009
[36] 70% untuk perekomendasi melalui calo-calonya, sedangkan 30% diberikan kepada penerima hibah untuk dilaksanakan dilapangan, sehingga pelaksaaannya tidak optimal, dikarenakan terdapat pemotongan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
[37] Andriani, Rini, 2002, Pengaruh Pengetahuan dan RPPs terhadap peranan DPRD dalam Pengawasan Anggaran (Studi Kasus pada DPRD se-Propinsi Bengkulu, Makalah Program Pasca Sarjana UGM, Jogjakarta. Hal. 38
[38] Wawancara dengan Yohanes Sogar Simamora pada saat mengikuti perkuliahan di Program Pascasarjana Ilmu Hukum Univeristas Airlangga Surabaya 2009
[39] Hal ini berkaitan dengan pertanggungjawaban dana hibah, apabila dana hibah, maka yang bertanggung jawab adalah Pemerintah Daerah selaku pemiliki kuasa anggaran, apabila partnership maka yang bertanggung jawab adalah pihak yang mendapatkan dana hibah.
[40] Wakil rakyat disini sebagai media perekomendasi dalam proses pencairan anggaran P2SEM, sehingga rekomendasi dari DPRD Jawa Timur sangat berpengaruh terhadap pencairan dana P2SEM
[41] Putusan Pengadilan Negeri Bangkalan dan Tuban, memutus perkara P2SEM sebagai perkara perdata, hal itu dijelaskan dalam amar putusannya bahwa perkara P2SEM terikat dengan kontrak, sehingga tidak dapat dikenakan tindak pidana korupsi.
[42] Pada saat Jaksa banding dan Kasasi, Mahkamah Agung menyatakan bahwa perkara tersebut adalah perkara perdata, sehingga yang bersangkutan harus segera direhabilitasi
[43] Dalam hal ini sampai ini banyak perkara P2SEM yang belum mempunyai kekuatan hukum mengikat dan ngambang, hal itu diakibatkan pengadilan tindak pidana korupsi jawa timur menolak untuk mengadili atau memproses para penerima dana hibah ditingkatan banding, dikarenkan hal itu termasuk novum hukum perdata, bukan tindak pidana korupsi.
[44] Pemerintah Daerah yang seharusnya bertanggungjawab terhadap perkara P2SEM ini tidak dilakukan proses lebih lanjut oleh aparat penegak hukum
[45] Philipus M Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah pada Universitas Airlangga Surabaya, 2002. Hal 3