HUBUNGAN DAN KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN LEMBAGA NEGARA LAINNYA

  1. Latar Belakang

            Penyelenggaraan Negara yang menyimpang dari ideologi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 telah mengakibatkan ketidakseimbangan kekuasaan diantara lembaga-lembaga Negara. Ketidakseimbangan ini terlihat dari corak kekuasaan Presiden yang berlebihan dan absolut. Hal ini diperparah dengan tidak berfungsinya lembaga-lembaga Negara lainnya sebagaimana mestinya. Misalnya, lembaga Legislatif yang terkesan hanya sebagai lembaga legislator bagi kesewenang-wenangan Presiden, dan juga lembaga Peradilan yang tidak mendapatkan kemerdekaan dan kemandirian dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Hal ini pada akhirnya melahirkan budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) sehingga terjadi krisis multi dimensional pada hampir seluruh aspek kehidupan.

Reformasi pada akhirnya membawa perubahan mendasar dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, tidak terkecuali dalam bidang kehidupan hukum dan politik. Perubahan yang demikian seakan-akan telah membawa Indonesia kealam yang yang lebih demokratis dan konstitusional, meskipun pada tataran praktis masih banyak terdapat kesemrawutan kehidupan yang telah dianggap demokratis dan konstitusional.

Amandemen Undang-Undang Dasar Tahun 1945 telah menghasilkan beberapa perubahan struktural dalam bidang format kelembagaan negara.1) Format kelembagan lembaga yang dimaksud diantaranya yakni dengan dibentuknya lembaga baru yang disebut Mahkamah Konstitusi yang berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenagannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan hasil pemilu dan wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Kewenangan konstitusional yang dimiliki Mahkamah Konstitusi merupakan pelaksanaan dari prinsip checks and balance yang menempatkan semua lembaga Negara dalam kedudukan setara sehingga terdapat keseimbangan dalam penyelenggaraan Negara, sehingga tidak ada lembaga Negara yang merasa paling tinggi, dan tidak ada suatu lembaga Negara yang merasa paling rendah.

Fenomena keberadaan Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) itu sendiri, didalam dunia ketatanegaraan dewasa ini, secara umum memang dapat dikatakan merupakan suatu yang baru. Di seluruh dunia Mahkamah Konstitusi hanya dikenal di 45 (empat puluh lima) Negara. Mahkamah Konstitusi menjadi trend terutama di Negara-negara yang baru mengalami perubahan rezim dari otoriterian ke rezim demokratis.2)

Sejalan dengan subtansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkakara tertentu di bidang ketatanegaraan. Perkara-perkara yang dimaksud adalah melaksanakan peradilan dalam sistem konstitusi, sebagai The Guardian of Constitution (penjaga konstitusi), dan sebagai penafsir konstitusi.3) Fungsi-fungsi yang ada diatas merupakan representasi dari kewenangan yang dimiliki oleh Mahakamh Konstitusi yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 maupun dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi.

Dalam menjalankan tugas konstitusionalnya, Mahkamah Konstitusi berupaya mewujudkan visi kelembagaannya yang terus dijunjung tinggi demi tegaknya konstitusi yang ada, yaitu: “Tegaknya Konstitusi dalam rangka mewujudkan cinta Negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yag bermantabat”.4) Visi tersebut menjadi pedoman bagi Mahakamah Konstitusi dalam menjalankan kekuasaan kehakiman yang yang diembannya secara merdeka dan bertanggung jawab sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Gagasan pembentukan Mahakamh Konstitusi pada dasarnya tidak lain adalah merupakan dorongan dalam penyelenggaraan kekuasaan dan ketatanegaraan yang lebih baik, dan dapat diterima oleh semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat pada umumnya. Paling tidak ada empat hal yang melatar belakangi dan menjadi pijakan dalam pembentukan Mahkamah Konstitusi, yakni sebagai implikasi dari paham konstitusionalisme, mekanisme checks and balances, penyelenggaraan Negara yang bersih (good governance), serta prinsip demokrasi dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).5)

Mahkamah Konstitusi selalu membuka diri untuk menerima pengaduan dari masyarakat yang merasa hak-hak konstitusionalnya dilanggar.6) Namun agaknya ungsi ini belum dapat dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat. Hal ini dapat disebabkan oleh ketidak pahaman masyarakat awam akan fungsi konstitusi dan juga mungkin disebabkan oleh ketidak tahuan masyarakat akan keberadaan dan fungsi mahkamah konstitusi . oleh karenanya masuknya pengduan masyarakat yang hak konstitusionalnya dilanggar sangat terkait dengan pemahaman dan kesadaran masyarakat terhadap konstitusi dan sosialisasi peran, fungsi, kedudukan maupun hubungan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga Negara lainnya kepada masyarakat secara luas.

Kewenangan-kewenangan yang dimiliki beberapa lembaga Negara seringkali terdapat pertentangan antar lembaga Negara yang satu dengan lembaga Negara yang lainnya. Namun semua itu dapat terhindari apabila aparatur Negara paham dan mengetahui tentang peran, fungsi dari kedudukan yang digeluti. Apabila masing-masing lembaga Negara memahami akan wewenang yang ada pada dirinya yang temtunya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada, maka sangat kecil kemungkinan untuk adanya suatu sengketa antar lembaga Negara, begitupun sebaliknya. Wewenang dan kedudukan yang dimiliki setiap lembaga Negara tentu terdapat hubungan dengan lembaga Negara yang lain, tidak terkecuali terhadap hubungan dan kedudukan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga lainnya. Karena dapat dipastikan kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh setiap lembaga Negara dibatasi, dan saling melengkapi, untuk itu lembaga yang satu merupakan bagian dari lembaga yang lainnya.

Hubungan dan kedudukan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga Negara lainnya akan sangat penting untuk diketahui agar lebih mehamahami dan mengetahui seberapa jauh proses checks and balance yang dijalankan oleh masing-masing lembaga Negara.7) Pemahaman tentang hubungan dan kedudukan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga Negara lainnya cukup sulit dipahami, karena memang belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara spesialis dan spesifik tentang hubungan dan kedudukan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga Negara yang lainnya. Namun hal itu dapat dipahami dan dikaji dari Undang-Undang Dasar Tahun 1945 sebagai norma dasar (grundnorm) dan Undang-Undang sebagai aturan-aturan dasar Negara (staatgrundgesetz) yang mengatur tentang peran, fungsi, kedudukan lembaga Negara yang bersangkutan.

Uraian maupun penjelasan yang menyangkut mengenai hubungan dan kedudukan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga Negara lainnya belum banyak dibahas oleh para pakar Hukum Tata Negara atau bahkan boleh dikatakan tidak ada. Padahal mengingat dari kegunaan dari pemahaman akan hubungan dan kedudukan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga Negara lainnya sangat diperlukan guna mengantisipasi adanya sengketa kewenangan yang dimiliki oleh masing-masing lembaga Negara terutama sengketa salah satu lembaga Negara dengan Mahkamah Konstitusi. Karena disatu sisi Mahkamah Konstitusi berwenang memutus sengketa antar lembaga Negara, disisi yang lain Mahkamah Konstitusi juga merupakan lembaga Negara yang tidak menutup kemungkinan untuk adanya sengketa dengan lembaga Negara lainnya.

  1. Rumusan Masalah
  1. Bagaimana hubungan dan kedudukan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga Negara lainnya?
  2. Lembaga apa yang berhak menyelesaikan sengketa antara Mahkamah Konstitusi dengan lembaga Negara lainnya?

III. Penjelasan Judul

Dalam proposal penelitian yang berjudul “HUBUNGAN DAN KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN LEMBAGA NEGARA LAINNYA” penulis memberikan penjelasan judul sebagai berikut:

  1. Hubungan adalah keterkaitan tata kerja Mahkamah Konstitusi dengan lembaga Negara yang lainnya.
  2. Kedudukan adalah tingkatan dalam kelembagaan Negara.
  3. Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  4. Lembaga Negara lainnya adalah lembaga Negara selain Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  1. Alasan Pemilihan Judul

Dasar pemilihan judul penelitian ini adalah seringkali terdapat kesalahan persepsi tentang pemahaman hubungan dan kedudukan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga Negara lainnya oleh aparatur Negara maupun oleh kalangan masyarakat, sehingga terdapat persepsi bahwa suatu lembaga Negara tidak ada hubungannya dengan Mahkamah Konstitusi dan juga terdapat pemahaman bahwa suatu lembaga Negara lebih tinggi kedudukannya dengan lembaga yang lainnya.

Alasan yang cukup kuat adalah bahwa belum ditemukannya suatu lembaga yang dapat memutus sengketa antara suatu lembaga Negara dengan Mahkamah Konstitusi yang salah satu kewenangannya memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahunm 1945. Apakah dapat dibenarkan apabila Mahkamah Konstitusi yang bersengketa, maka Mahkamah Konstitusi sendiri yang memutus sengketa yang bersangkutan.

  1. Tujuan Penulisan

            Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan penelitian ini adalah:

  1. Untuk menjelaskan hubungan dan kedudukan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga Negara lainnya.
  2. Untuk menganalisis Lembaga yang berhak menyelesaikan apabila terdapat sengketa antara Mahkamah Konstitusi dengan lembaga Negara lainnya.
  1. Manfaat Penulisan

Adapun manafat yang dapat diperoleh penulis dalam pembuatan proposal penelitian ini, yakni:

  1. Secara teoritis dapat menambah keilmuan dalam bidang Hukum Tata Negara yang berkaitan dengan Lembaga Negara
  2. Manafat Praktis adalah untuk membangun kesadaran dan pemahaman kepada publik akan hubungan dan kedudukan Mahkamah Konstitusi dengan lembaga Negara lainnya.
  3. Dapat menyelesaikan tugas yang diberikan Indah Purbasari, S.H., S.Pd selaku dosen mata kuliah Metode Penelitian Hukum

VII. Kajian Pustaka

            Setelah Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen, banyak pergeseran yang terjadi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satunya adalah bergesernya kelembagaan Negara.8)

Dalam hal ini, hubungan dan kedudukan Mahkamah Konstitusi terhadap lembaga Negara lainnya tidak termaktub dalam suatu peraturan perundang-undangan yang jelas, hanya sebagian terdapat dalam konstitusi. Namun pada umumnya satu hal yang paling pokok adalah Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman adalah bahwa:

“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”(Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945)

Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 telah ditegaskan bahwa:

“Negara Indonesia adalah Negara hukum”

Dalam negara hukum yang pokok adalah adanya pembatasan oleh hukum. Dalam arti bahwa segala sikap, tingkah laku dan perbutan baik yang dilakukan oleh para penguasa negara maupun oleh para warga negaranya harus berdasarkan hukum.9)

            Untuk membatasi kekuasaan pemerintah, seluruh kekuasaan dalam pemerintah haruslah dipisahkan dan dibagi ke dalam kekuasaan yang mengenai bidang tertentu.10) Karena kalau kekuasaan tidak dipisahkan maka kekuasaan yang dimiliki akan cendrung semenang-menang.

Mengenai pemisahan kekuasaan ada doktrinyang sangat populer, yaitu doktrin trias politika. Trias politika adalah suatu prinsip normatif bahwa kekuasaan-kekuasaan negara sebaiknya tidak diserahkan kepada orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.11) Dalam dokrin ini kekuasaan dipisah menjadi 3 (tiga) bagian kekuasaan, yaitu: Kekuasaan Ekskutif, Kekuasaan Legislatif, dan Kekuasaan Yudikatif. Dokrin ini yang banyak dianut dan dikembangkan oleh hampir seluruh negara di dunia dengan berbagai varian yang ada.

Dari segi kelembagaan, prinsip trias politika biasanya diorganisasikan melalui dua cara, yaitu melalui sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaa (distribution of power).12) pemisahan kekuasaan bersiat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang yang sederajat saling mengimbangi (checks and balance). Sedangkan pembagian kekuasaan bersiat vertical dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertical kebawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemeganga kedaulatan rakyat.

Seperti yang dikatakan sebelumnya , bahwa Indonesia di bawah Undang-Undang Dasar 1945 teramandemen menganut teori pemisahan kekuasaan (pemisahan fungsi) yang di dalamnya terdapat mekanisme checks and balance. Fungsi oleh Hasan Zaini diartikan sebagai suatu lingkungan kerja untuk mencapai tujuan tertentu. Kedudukan suatu lembaga negara ditentukan oleh fungsinya. Menurut Undang-Undang Dasar 1945, suatu fungsi dapat dipegang oleh lebih dari 1 (satu) lembaga negara dan sebaliknya 1 (satu) lembaga negara dapat memegang (mempunyai) lebih dari 1 (satu fungsi) . untuk menjalankan fungsinya lembaga negara harus dilengkapi dengan wewenang (kekuasaan). Sebagai negara hukum, maka segala lembaga negara tunduk dan berada di bawah Undang-Undang Dasar.13)

Berdasarkan Pasal 24C ayat (1), salah satu kewenangan dari Mahkamah Konstitusi adalah memutus sengketa kewenangan antara lembaga negara, yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Penegasan ini yang cukup multitafsir dan banyak diperdebatkan oleh kalangan praktisi hukum.14) Hal ini disebabkan pasca amandeman, konstitusi tidak memberikan kejelasan konsepsi tentang lembaga negara. Sedangkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi ternyata juga tidak memberikan kejelasan konsepsi tentang lembaga negara. Tidak adanya kejelasan konsepsi tentang lembaga negara menjadi kompetensi Mahkamah Konstitusi memang dapat menimbulkan penasiran yang beragam.

Pergeseran format kelembagaan negara yang ditandai dengan direduksinya status Majelis Permusyawaratan Rakyat yang kini tidak lahi sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat. Dengan demikian tidak dikenal lembaga tertinggi negara dan lembaga tinggi negara, yang ada hanyalah lembaga negara. Disamping itu ada beberapa lembaga yang sebelumnya merupakan bagian dari kekuasaan ekskuti, namun setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 lembaga tersebut independensinya dijamin oleh konstitusi.

Dalam menjalankan ungsi-fungsinya serinkali lembaga negara melakukan hubungan atau kerja sama, hubungan-hubungan itu memungkinkan untuk adanya konlik, yakni manakala suatu lambaga negara tidak bekerja dengan sebagaimana mestinya. Agar sistem itu tetap bekerja sesuai dengan yang dituju, konflik harus diselesaikan.15) disitulah peran Mahkamah Konstitusi sangat diperlukan dalam kerangkan mekanisme checks and balance.

            Namun akan menjadi permasalahan apabila yang bersengketa adalah Mahkamah Konstitusi dengan lembaga lembaga negara yang lainnya, maka lembaga apa yang dapat menyelesaikan sengketa tersebut. Akankah Mahkamah Konstitusi juga yang akan memutus sengketa kewenangan tersebut.

VIII. Metodologi

  1. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 junto Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

  1. Bahan Hukum

Bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini meliputi:

  1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang berupa peraturan perundang-undangan seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 junto Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

  1. Bahan Hukum Skunder

Bahan hukum skunder adalah bahan hukum yang berupa buku-buku referensi, media-media informasi yang berkaitan langsung maupun tidak dengan pembahasan.

  1. Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan adalah teknik dokumentasi yakni mengumpulkan dan mengkaji bahan-bahan hukum yang ada baik hukum primer maupun bahan hukum skunder. Sedangkan pengolahan bahan hukum yang digunakan adalah dengan menginventarisasi bahan-bahan hukum yang ada kemudian disinkronkan dengan permasalahan-permasalahan yang berkembang terutama hal-hal yang berkaitan dengan pelayanan publik.

  1. Metode Analisis Data

Metode analisis data yang digunakan dalam pembuatan penelitian ini adalah metode induksi, yakni mengkaji dari hal-hal yang bersifat khusus untuk menghasilkan kesimpulan yang bersifat umum.

  1. Penutup

            Demikian proposal penelitian ini penulis buat, dengan harapan semoga dapat diterima dan dipergunakan dengan sebagai mana mestinya, atas perhatiannya penulis sampaikan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Buku Referensi

Bambang Sutiyoso. 2005. Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta. UII Press

_______________. 2006. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Bandung. Citra Aditya Bakti.

Fatkhurohman, dkk. 2004. Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung.

Hasan Zaini. 1999. Pengantar Hukum Tata Negara. Bandung. Alumni.

Jimly Asshiddiqie. 2005. Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945. Yogyakarta. UII Press.

Mahfud MD. 1999. Pergulatan Politik dan Hukum. Yogyakarta. Gama Media.

Miriam Budiardjo. 2002. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta. Gramedia.

Soehino. 1985. Hukum Tata Negara. Yogyakarta. Liberty.

Zairin Harahap. 2005. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta KonPres.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Amandemen

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPDRD

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD

Makalah

  1. Muktie Fajar. Lembaga Negara Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen. Makalah pada seminar Lembaga Negara yang diadakan PP-Otoda FH Brawijaya. 22 Oktober 2004.

KRHN. “Gagasan Pembentukan Mahkamah Konstitusi” Suatu Analisis Kritis. Makalah pada Semiloka “Rancangan Undang-Undang (RUU) Mahkamah Konstitusi” yang diselenggrakan oleh PP-Otoda FH Unibraw bekerja sama dengan KRHN. Batu, 18-19 Desember 2002.

Internet

Prakata dalam Home Page Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, http://mahkamah konstitusi.gi.id/

*****

1) Jimly Asshiddiqie. 2005. Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945. Yogyakarta. UII Press. Hal. 4

2) KRHN. “Gagasan Pembentukan Mahkamah Konstitusi” Suatu Analisis Kritis. Makalah pada Semiloka “Rancangan Undang-Undang (RUU) Mahkamah Konstitusi” yang diselenggrakan oleh PP-Otoda FH Unibraw bekerja sama dengan KRHN. Batu, 18-19 Desember 2002. Hal 3

3) Fatkhurohman, dkk. 2004. Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Citra Aditya Bakti. Bandung. Hal 78

4) Prakata dalam Home Page Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,

http://mahkamah konstitusi.gi.id/

5) Bambang Sutiyoso. 2006. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Bandung. Citra Aditya Bakti. Hal. 8

6) Bambang Sutiyoso. 2005. Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta. UII Press . Hal. 50

7) A. Muktie Fajar. Lembaga Negara Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen. Makalah pada seminar Lembaga Negara yang diadakan PP-Otoda FH Brawijaya. 22 Oktober 2004. Hal. 4

8) Fatkhurohman, dkk. Ibid. Hal.59

9)     Soehino. 1985. Hukum Tata Negara. Yogyakarta. Liberty. Hal.9

10)   Mahfud MD. 1999. Pergulatan Politik dan Hukum. Yogyakarta. Gama Media. Hal.280

11)   Miriam Budiardjo. 2002. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta. Gramedia. Hal. 151

12) Jimly Asshiddiqie. Ibid. Hal. 35

13) Hasan Zaini. 1999. Pengantar Hukum Tata Negara. Bandung. Alumni. Hal. 261

14) Zairin Harahap. 2005. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta KonPres. Hal.36

15) Zairin Harahap. Ibid. Hal. 277

Continue Reading

TINJAUAN KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

Pasca Undang-Undang Dasar Amandemen, terdapat beberapa pergeseran lembaga Negara yang semula terdapat lembaga tertinggi Negara dalam hal ini adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), kini lembaga Negara yang ada memiliki kedudukan yang sama sebagai lembaga yang memiliki tugas dan fungsi yang berbeda. Hal itu sesuai dengan prinsip ‘check and balance’ dimana berfungsi sebagai pengontrol terhadap kewenangan regulatif baik yang dimiliki oleh Presiden/Pemerintah serta lembaga-lembaga lain yang mendapat kewenangan regulatif dari Undang-Undang.[1]

Mahkamah Konstitusi yang merupakan lembaga baru pasca UUD 1945 amandemen memiliki kedudukan yang strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, selain berkedudukan sebagai lembaga kekuasaan kehakiman serta memiliki kedudukan terhadap Mahkamah Agung dan lembaga Negara lainnya.[2] Mahkamah Konstitusi dikatakan sebgai salah satu kekuasaan kehakiman sebagaimana tertuang dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen yang berbunyi:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi (kursif dari penulis)

Adapun yang menjadi kewenangan mahkamah Konstitusi adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagimana disebutkan dibawah ini:

  • Mahkamah Knsitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
    • Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
    • Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
    • Memutus pembubaran partai politik;dan
    • Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
  • Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presidendiduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindk pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana diamksud dalam Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Mahkamah Konstitusi juga memiliki kedudukan terhadap lembaga Negara yang lain, diantaranya dengan Mahkamah Agung (MA), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Yang kesemuanya saling melengkapi sehingga akan tercipta suasana pemerintahan yang yang saling melengkapi antara fungsi lembaga Negara yang satu dengan yang lainnya.[3]

a.1.Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Mahkamah Agung

Sepintas dapat dipastikan bahwa kedua lembaga ini merupakan dua lembaga yang merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman, namun tentunya kedua lembaga ini memiliki kewenangan yang berbeda. Dalam pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi (kursif dari penulis)

Ketika melihat bunyi pasal diatas, maka jelas bahwa antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi merupakan sama-sama kekuasaan kehakiman, namun perlu dilihat pula tentang kewenangan dari Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan undang-undang ”

Sedangkan wewenang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Selain kewenangan diatas, Mahkamah konstitusi memiliki kewengan satu lagi yang sangat urgen yakni sebagaimana diatur dalam pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”

Berdarsakan bunyi Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Dasar diatas, maka antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung adalah sama-sama sebagai pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia. Maka dengan demikian pula dapat disimpulkan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia menganut sistem bifurkasi (bifurcation system), dimana kekuasaan kehakiman terbagi dalam 2 (dua) cabang, yaitu cabang peradilan biasa (ordinary court) yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan cabang peradilan Konstitusi yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi.[4]

Dengan demikian jelas bahwa antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung merupakana 2 (dua) lembaga tinggi negara yang sejajar yang sama-sama sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dalam sistem Kekuasaan di Negara Republik Indonesia.[5] Namun tentunya antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung memiliki perbedaan baik dari segi yrisdiksi maupun dari segi kompetensinya. Meskipun jika dilihat secara politis dari kewenangan Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi relatif lebih tinggi dari Mahkamah Agung.

a.2. Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

Dengan diamandemennya Undang-Undang Dasar 1945 maka telah terjadi pergesesan kekuasaan lembaga Negara, salah satunya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang sebelum amandemen merupakan lembaga tertinggi Negara, namun setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945, maka kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi sebagai penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia dan pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat. Oleh karena itu dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa kedaulatan derada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945), sehingga penumpukan kekuasaan di satu lembaga dapat diminimalisir.

Mengenai kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka dapat dilihat dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar”

Dalam ayat (2) disebutkan bahwa:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden”

Dalam ayat (3) disebutkan bahwa:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang dasar”

Berdasarkan bunyi Pasal-pasal diatas, maka antara Mahkamah Konstitusi dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah sama-sama sebagai lembaga negara yang sejajar, yakni lembaga yang satu tidak lebih tinggi (subordinat) terhadap lembaga Negara lainnya.

a.3Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Presiden

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa:

“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”

Sedangkan Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku sekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung sebagaimana tertuang dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 terdapat banyak pasal yang mengatur tentang keberadaaan Presiden. Namun dari sekian banyak pasal tersebut tidak satupun yang mengatur kedudukan Presiden terhadap Mahkamah Konstitusi. Namun hal yag penting adalah sebagimana tertuang dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”

Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat ditegaskan bahwa:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara”

Berdasarkan penjelasan pasal diatas, maka dapat diartikan bahwa semua lembaga negara termasuk Presiden tidak dapat melakukan intervensi terhadap Mahkamah Konstitusi selaku kekuasaan kehakiman di Indonesia. Untuk itu, maka dapat disimpulkan bahwa antara Presiden dan Mahkamah Konstitusi adalah sama-sama lembaga Negara yang memiliki tugas dan wewenang yang berbeda namun memiliki kedudukan yang sejajar.

a.4.Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Dewan Perwakilan Rakyat

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 20 ayat (1) disebutkan bahwa:

“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”

Undang-Undang Dasar 1945 tidak dijelaskan tentang kedudukan Mahkamah Konstitusi terhadap Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat ditegaskan bahwa:

“Dewan Perwakilan Rakyat merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara”

Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan antara Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Rakyat adalah sejajar dan kedua-duanya adalah lembaga Negara.

a.5.Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia merupakan lembaga baru pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat ditegaskan bahwa:

“Dewan Perwakilan Dakyat merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara”

Berdasarkan pasal diatas, maka jelas bahwa Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sama-sama sebagai lembaga negara, sehingga kedudukan kedua lembaga tersebut adalah sederajat, namun tentunya memiliki kewenangan yang berbeda.

a.6.Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

Tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diatur dalam Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa:

“untuk melaksanakan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas mandiri”

Mengenai kedudukan Mahkamah Konstitusi terhadap Badan Pemeriksa Keuangan tidak terdapat satu pasalpun dalam peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Namun karena antara Mahkamah Konstitusi dan Badan Pemeriksa Keuangan adalah sama-sama lembaga negara, maka kedudukan kedua lembaga tersebut adalah sejajar.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan Mahkamah Konstitusi terhadap lembaga negara yang lainnya yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 amandemen, maka tidak terdapat satu lembagapun secara hukum yang dapat dikatakan (subordinat) lebih tinggi atau lebih rendah, walaupun terdapat sebagian yang mengatakan secara politis masih terdapat lembaga yang paling tinggi apabila dilihat dari segi kewenangan yang dimiliki.

  1. FUNGSI DAN TUGAS MAHKAMAH KONSTITUSI MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974, istilah fungsi berarti adalah sekelompok pekerjaan, kegiatan, dan usaha yang satu sama lainnya ada hubungan erat untuk melaksanakan suatu tugas pokok. Dari sudut bahasa, fungsi (Belanda=functie, Inggris=function) berarti jabatan, atau kerja.[6] Jadi berdasarkan pengertian diatas, maka fungsi adalah salah satu peran yang dapat dilaksanakan untuk melaksanakan salah satu wewenang yang melekat pada suatu kelompok/lembaga.

Secara filosofis ide dasar gagasan pembentukan Mahkamah Knstitusi adalah untuk menciptakan sebuah sistem ketatanegaraan di Indonesia yang menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) serta inginmenerapkan konsep “check and balance” untuk secara bertahap menggantikan asas pendistribusian kekuasaan (distribution of power), dengan alasan bahwa: [7]

  1. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa dan negara yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan.
  2. Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenagnya yang ditentukan dalam UUD 1945.
  3. Berdasarkan ketentuan yang termuat dalam UUD 1945 (Pasal 24C) pengaturan tentang pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, dan ketentuan lainnya diatur dalam undang-undang.

 

  1. Fungsi Mahkamah Konstitusi Sebagai Lembaga Kekuasaan Kehakiman

     Format awal dibentuknya Mahkamah Konstitusi adalah semangat membangun lembaga kekuasaan Kehakiman yang tugas dan wewenangnya berkaitan dengan peran dan tugas konstitusionalitas dari Undang-Undang Dasar 1945.

Kekuasaan Kehakiman setelah UUD 1945 diubah, tetap menjadi kekuasaan yang sangat fundamental dan sebagai bagian dari poros kekuasaan yang memiliki fungsi menegakkan keadilan.[8] Kekuasaan kehakiman dalam susunan kekuasaan negara menurut UUD 1945 setelah perubahan tetap ditempatkan sebgai kekuasaan yang mandiri, bebas campur tangan dari kekuasaan lain, hal itu sesuai dengan bunyi Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”

Dalam susunan kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA), badan-badan peradilan lain dibawah MA (Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer, Peradilan Agama) serta Mahkamah Konstitusi (pasal 24 ayat (2) UUD 1945). Untuk menjaring hakim-hakim yang profesional dan mempunyai integritas terhadap profesinya sebagai penegak hukum dan keadilan, terdapat lembaga khusus diadakan untuk rekrutmen calon-calon Hakim Agung yaitu Komisi Yudisial (Pasal 24B UUD 1945).

Dengan demikian maka Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, perlu memperhatikan mengenai asas-asas hukum umum kekuasaan kehakiman/peradilan yang baik (Algemene Rechtsbeginsellen van Behorrrlijk Rechtspraak). Asas hukum (Rechtsbeginsellen) adalah pokok pikiran yang bersifat umum yang menjadi latar belakang dari peraturan hukum yang konkret (hukum positif).[9] Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH mengatakan bahwa asas hukum adalah jiwanya peraturan hukum, karena ia merupakan dasar lahirnya peraturan hukum, ialah rasio legisnya peraturan hukum.[10] Asas hukum ini dapat ditemukan dan disimpulkan langsung ataupun tidak langsung dala peraturan-peraturan hukum yang pada hakikatnya mengandung unsur-unsur asas-asas hukum yang bersangkutan.[11]

Seperti asas-asas hukum lainnya, kekuasaan kehakiman juga memiliki beberapa asas yang menjadi dasar dari ketentuan-ketentuan dalam kekuasaan kehakiman secara umum. Adapun asas-asas hukum kekuasaan kehakiman yang baik diantaranya:[12]

  1. Asas kebebasan hakim
  2. Hakim bersifat menunggu
  3. Pemeriksaan berlangsung terbuka
  4. Hakim aktif
  5. Asas hakim bersifat pasif (Tut Wuri)
  6. Asas kesamaan (Audi et Alteram Partem)
  7. Asas objektivitas
  8. Putusan disertai alasan (Motiverings Plicht)
  1. Fungsi Mahkamah Konstitusi Sebagai Penjaga Konstitusi

Ketika melihat wewenang Mahkamah konstitusi dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Selain kewenangan diatas, Mahkamah konstitusi memiliki kewengan satu lagi yang sangat urgen yakni sebagaimana diatur dalam pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”

Berdasarkan kewenanagan diatas, maka dalam segala apapun untuk menjalankan kewenangannya, maka Mahkamah Konsitusi selalu mengatasdasarkan Undang-Undang Dasar sebagai (staatsfundamentalnorm)[13]. Untuk itu sering dikatakan bahwa fungsi dari Mahkamah Konstitusi adalah berfungsi sebagai The Guardian of Constitution (penjaga konstitusi).

Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan diatas maka salah satu subtansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga Negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita demokrasi.

Dasar yang dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah berfungsi sebagai The Guardian of Constitution (penjaga konstitusi) adalah bahwa Mahkamah konstitusi merupakan lembaga peradilan dalam bidang Tata Negara yang dalam segala kewenangannya harus berdasarkan atas Undang-Undang Dasar 1945, baik dalam menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, maupun dalam memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Sebagai The Guardian of Constitution (penjaga konstitusi), maka Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat memutus segala wewenang yang melekat padanya harus berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, bukan berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang lainnya seperti politik, ekonomi, sosial dan lain sebagainya. Untuk itu juga sangat diperlukan dalam segala pertimbangan yang dilakukan hakim konstitusi adalah pertimbangan hukum, bukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang lainnya.[14]

 

  1. Fungsi Mahkamah Konstitusi Sebagai Penafsir Konstitusionalitas Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar 1945

Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar (judicial reviuw) merupakan tugas yang mendominasi kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tampak dari putusan yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.[15] Secara teoritis terdapat 2 (dua) pengujian norma hukum, yakni pengujian secara formal (formele toetsingrecht) dan pengujian secara materiil (materiele toetsingrecht).[16]

Pengujian secara formal adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk hukum legislatif dibuat sesuai prosedur ataukah tidak. Serta apakah lembaga tertentu berhak atau tidak dalam mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Sedangkan pengujian secara materiil adalah wewenang untuk menyelidiki dan menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi.[17]

Berdasarkan kewenangannya untuk menguji konstitusionalitas Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya dapat menyatakan bahwa materi rumusan dari suatu Undang-Undang tidak mempunyai kekuatan hukum karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Begitupun terhadap suatu Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan keberlakuannya karena tidak sesuai dan tidak berdasar terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Melalui penafsiran ataupun interpretasi terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai peradilan yang secara positif mengoreksi Undang-Undang yang dihasilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama-sama Presiden dalam penyelenggaraan negara yang berdasarkan hukum yang mengatur perikehidupan masyarakat bernegara. Dengan demikian Undang-Undang yang dihasilkan oleh legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden) diimbangi oleh pengujian (formal dan materiil) dari cabang yudisial yakni Mahkamah Konstitusi.[18]

Contoh kecil dalam hal kewenangan formal dalam menguji Undang-Undang misalkan dalam bidang legislasi adalah Mahkamah konstitusi dapat mendorong efektifitas penyelenggaraan fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dikerdilkan. Artinya Maahkamah Konstitusi dapat menyatakan bahwa pembentukan suatu Undang-Undang adalah tidak sah menurut Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat karena tidak melibatkan atau mengabaikan peranan, pertimbangan, maupun pandangan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Konteks diatas berarti Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi sebagaiKonstitusionalitas Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar 1945, baik melalui pengujian secara materiil dan formal terhadap suatu Undang-Undang mempunyai fungsi control dalam suatu sistem hukum yang mengatur kehidupan bernegara. Hal itu terwujud dalam bentuk pengujian (materiil dan formal) terhadap Undang-Undang oleh Mahkamah konstitusi.

  1. HUBUNGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN LEMBAGA TINGGI NEGARA LAINNYA

Seperi pembahasan sebelumnya bahwa Mahkamah Konstitusi selain berkedudukan yang sejajar dan tidak (subordinat) terhadap lembaga tinggi negara lainnya, maka selain itu juga Mahkamah Konstitusi juga memiliki hubungan dengan lembaga tinggi lainnya, baik dengan Mahkamah Agung (MA), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Badan Pemeriksa Keuangan.

  1. Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Mahkamah Agung

Pasal 24C ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Mahkamah Konstitusi terdiri tersiri 9 (sembilan) orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. Aturan peralihan Pasal III Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya dibentuk pada 17 Agustus 2003, sebelum Mahkamah konstitusi terbentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya permohonan pengujian Undang-Undang dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan di catat dalam buku register perkara konstitusi.

Pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila Undang-Undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi (Pasal 55 UU No. 23 Tahun 2003). Begitupun juga Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, dan Mahkamah Agung (MA) (Pasal 59 UU No. 23 Tahun 2003).

Berdasarkan bunyi pasal diatas, maka hubungan kedua lembaga negara ini telah dimulai sebelum dibentuknya Mahkamah Konstitusi. Dalam rangka mengisi jabatan hakim konstitusi, maka Mahkamah Agung berhak mengajukan 3 (tiga) orang hakim konstitusi dari 9 (sembilan) orang hakim konstitusi yang nantinya ditetapkan oleh Presiden.

Dalam menjalankan tugasnya pun Mahkamah Konstitusi melakukan hubungan denga Mahkamah Agung seperti ketika Mahkamah Konstitusi menangani Judicial Reviuw. Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya permohonan pengujian Undang-Undang dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku register perkara konstitusi.

Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila Undang-Undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah KOnstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, dan Mahkamah Agung (MA).

Dari itu, maka dapat dilihat terdapat hubungan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, hal itu merupakan konsekwensi dari lembaga yang sama-sama berwenang melakukan judicial reviuw terhadap peraturan perundang-undangan.

  1. Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Reduksi pergeseran kekuasaan lembaga negara ternyata juga berimplikasi terhadap bergesernya hubungan antar lembaga negara negara, begitu pula dengan hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Mengenai kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka dapat dilihat dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar”

Dalam ayat (2) disebutkan bahwa:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden”

Dalam ayat (3) disebutkan bahwa:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang dasar”

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang susunan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Majelis Permusyawaratan Rakyat Merupakan lembaga permusyawaratan rakyat ysngs berkududukan sebagai lembaga Negara”

Karena kedua lembaga baik Mahkamah Konstitusi maupun Majelis Permusyawaratan Rakyat sama-sama sebagai lembaga Negara, maka dalam menjalankan tugas dan wewenangnya kedua lembaga tersebut terdapat hubungan. Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindakpidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden (pasal 7A Undang-Undang Dasar 1945). Lembaga yang memiliki kewajiban untuk memeriksa, mengadili, dan memutus dugaan bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden telah melakukan pelanggagaran hukum sebagai mana diamksud diatas adalah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945)

Dalam penyelesaian sengketa pemilu Presiden dan wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi menyampaikan putusan hasil perhitungan suara kepada MPR, dalam hal MPR menjadi para pihak dalam peradilan Konstitusi, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil dan mendengar keterangan MPR dalam persidangan.

Berdasarkank pemaparan diatas, maka jelas bahwa kedua lembaga negara merupakan lembaga yang sejajar yang memiliki hubungan tata kerja antar lembaga negara yang ada.

  1. Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Presiden

     Sama halnya dengan Mahkamah Agung, maka Presiden juga berhak mengajukan 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi dari 9 (sembilan) orang Hakim Konstitusi, dan Presiden berwenang menetapkan 9 (sembilan) orang Hakim Konstitusi tersebut (Pasal 24C ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945)

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden (pasal 7A Undang-Undang Dasar 1945). Lembaga yang memiliki kewajiban untuk memeriksa, mengadili, dan memutus dugaan bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden telah melakukan pelanggagaran hukum sebagai mana diamksud diatas adalah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945)

Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan Judicial Reviuw terhadap Undang-Undang yang merupakan produk yang dibuat DPR dan Presiden (Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945). Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi kepada DPR dan Presiden untuk diketahui dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari. Mahkamah Konstitusi dapa tmeminta risalah dan keterangan yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. Mahkamah Konstitusi menyampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan Mahkamah Agung terhadap putusan mengenai pengujian Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 59 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003).

Dalam hal penyelesaian sengketa pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi menyampaikan putusan hasil perhitungan suara kepada Presiden (Pasal 68 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden). Hakim Konstitusi mengucap sumpah dihadapan Presiden (Pasal 21 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003). Pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi. Dalam hal Presiden menjadi para pihak dalam peradilan Konstitusi, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil dan mendengar keterangan Presiden dalam persidangan.

Berdasarkan ulasan singkat diatas, maka jelas terdapat hubungan tata kerja antara Mahkamah Konstitusi dengan Presiden. Juga terdapat hubungan protokoler dalam hal Hakim Konstitusi mengucap sumpah.

  1. Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Dewan Perwakilan Rakyat

     Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan Judicial Reviuw terhadap Undang-Undang yang merupakan produk yang dibuat DPR dan Presiden (Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945). Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi kepada DPR dan Presiden untuk diketahui dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari. Mahkamah Konstitusi dapa tmeminta risalah dan keterangan yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. Mahkamah Konstitusi menyampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan Mahkamah Agung terhadap putusan mengenai pengujian Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 59 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003).

Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945). DPR berhak mengajukan 3 (tiga) orang hakim konstitusi dari sembilan orang hakim konstitusi yang nantinya ditetapkan oleh Presiden (pasal 24C ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 ). Dalam hal DPR menjadi para pihak dalam peradilan konstitusi, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil dan mendengar keterangan DPR dalam persidangan.

Sedikit berdasarkan rumusan pasal-pasal diatas, maka dapat menunjukkan dalam hal-hal tertentu terdapat hubungan tata kerja lembaga antara Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Rakyat.

  1. Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Dewan Perwakilan Daerah

Mahkamah Konstitusi dapa tmeminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Presiden.Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi kepada DPR dan Presiden untuk diketahui dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari. Mahkamah Konstitusi dapa tmeminta risalah dan keterangan yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. Mahkamah Konstitusi menyampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan Mahkamah Agung terhadap putusan mengenai pengujian Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 59 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003).

Dalam hal Dewan Perwakilan Daerah menjadi para pihak dalam sengketa kewenangan lembaga Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil dan meminta keterangan Dewan Perwakilan Daerah dalam persidangan (pasal 41 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003)

Sama halnya dengan lembaga yang lainnya, berdasarkan penjelasan diatas, maka hubungan antara Mahakamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Daerah adalah hubungan tata kerja antar lembaga negara.

  1. Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Badan Pemeriksa Keuangan

Badan Pemeriksa Keuangan merupakan lembaga negara yang memiliki wewenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara (Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945).

Menurut Pasal 12 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 bahwa:

 

“Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab untuk mengatur organisasi, administrasi, personalia, dan keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang bersih”

Sehingga dalam hal ini, Badan Pemeriksa Keuangan berwenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan prinsip pemerintahan yang bersih (good governnance). Begitupun juga dalam hal Badan Pemeriksa Keuangan menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil dan mendengar keterangan Badan Pemeriksa Keuangan dalam persidangan.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka terdapat hubungan antara Mahkamah konstitusi dan Badan Pemeriksa Keuangan adalah hubungan tata kerja antar lembaga negara.

 

DAFTAR PUSTAKA

Arinanto, Satya, Politik Hukum 1, Program Pascasarjana UI, Jakarta, 2001

Arinanto, Satya, Politik Hukum 2, Program Pascasarjana UI, Jakarta, 2001

Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2005,

Fatkhurohman, et.al, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004

Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2005

Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi (Memahami keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia), PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2006,

J.H.A. Logeman, Tentang Teori Suatu Tata Hukum Positif, Ichtiar Baru, Jakarta

Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 2002

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2004

Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Hukum, Pustaka Kartini, Jakarta, 1991

Maria Farida Indarti, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Jakarta, 1998

Maruar Sihaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Konsitusi Press, Jakarta, 2005

Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006

Sri Soemantri, Hak Menguji Materiil di Indonesia, Alumni, Bandung 1986

Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006

[1] Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2005, Hal. 21

[2] Fatkhurohman, et.al, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, Hal. 59

[3] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2005, Hal. 27

[4] Fatkhurohman, et.al, Opcit, Hal. 62

[5] Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi (Memahami keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia), PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2006, Hal. 44

[6] J.H.A. Logeman, Tentang Teori Suatu Tata Hukum Positif, Ichtiar Baru, Jakarta, Hal.104

[7] Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, Hal. 167-168

[8] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Opcit, Hal. 26

[9] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 2002, Hal. 32

[10] Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2004, Hal. 85

[11] Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Hukum, Pustaka Kartini, Jakarta, 1991, Hal. 138

[12] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Opcit, Hal. 66

[13] Maria Farida Indarti, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Jakarta, 1998, Hal.47

[14] Maruar Sihaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Konsitusi Press, Jakarta, 2005, Hal 138

[15] Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal.38

[16] Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006. Hal 5

[17] Sri Soemantri, Hak Menguji Materiil di Indonesia, Alumni, Bandung 1986, Hal. 5-12

[18] Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006, Hal. 276

Continue Reading