NURANI KEADILAN ‘LES MISERABLES’

Dalam konteks ini saya akan membahas dari perspektif pemeran sentral dari masing-masing tokoh yang ada pada karya sastra yang berjudul “Les Miserables” dihubungkan dengan dasar kefilsafatan dalam upaya mencari nilai-nilai ensitas kearifan dan kebenaran perspektif pandangan beberapa tokoh filsafat. Adapun tokoh pemeran sentral dalam karya sastra tersebut adalah :

  • Jean Valjean/Monsieur Madeline (Walikota)

Pada dasarnya Jean Valjean merupakan orang baik, akan tetapi dikarenakan keterpaksaan demi membantu dan menolong keluarganya yang sedang membutuhkan pertolongan. Sikap tanggung jawab Jean Valjean ditunjukkan pada saat didalam penjara beliau tetap berusaha untuk memberikan yang terbaik untuk keluarganya, meskipun cara yang dilakukannya adalah jalan yang tidak tepat, yakni melalui jalan mencuri. Namun hal yang harus digaris bawahi bahwa nurani manusia tetaplah nurani manusia,[1] dia akan selalu sejalan dengan kebaikan, akan tetapi kondisi dan situasi menuntut yang lain, misalnya kebutuhan, kemiskinan dan hal lain yang mempengaruhi nurani untuk memaksa berbuat demi mempertahankan diri dan kelompoknya.

Hal itu dapat dibuktikan pada saat Jean Valjean diangkat menjadi Walikota, beliau memerintah dengan begitu arifnya, suka membantu yang lemah dan lain sebagainya. Dengan demikian sebenarnya membuktikan bahwa Jean Valjean merupakan orang yang baik, namun dikarenakan kondisi sosial ekonomi yang melatarbelakanginya,[2] dia terpaksa melakukan hal yang sebenarnya tidak baik untuk dikerjakan. Untuk itu sebenarnya diperlukan campur tangan Pemerintah untuk menyediakan ruang demi terciptanya lapangan pekerjaan yang layak untuk mengurangi nilai masyarakat yang berada dibawah kemiskinan.

Hidup di tengah kemiskinan Jean Valjean memaksa nuraninya untuk berbuat yang bertentangan dengan Nurani sebenarnya. Kemiskinan merupakan salah satu masalah terbesar dunia sekarang ini. Banyak orang hidup dengan pendapatan yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya sebagai manusia. Akibatnya, mereka terancam oleh kekurangan gizi, penyakit, dan beragam penderitaan hidup lainnya. Kemiskinan tidak hanya merusak raga manusia, tetapi juga mengancam jiwanya.

Ketika manusia kekurangan gizi, karena tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk memperoleh makanan yang layak, ia terancam oleh dua hal.[3] Pertama adalah oleh penyakit dan berbagai bentuk kelemahan biologis manusia lainnya. Kedua adalah dirinya sendiri, yakni insting bertahan hidup manusia yang bisa mendorongnya untuk melakukan apapun, termasuk tindakan paling ganas dan merusak terhadap orang lain, untuk mempertahankan hidupnya.

Secara filosofis, rumpun penjelasan yang dari waktu ke waktu terlibat serius memperdebatkan identitas genetis dari kemiskinan pertama-tama datang dari liberalisme, yang melihat kemiskinan lebih sebagai persoalan individual. Sebagai sistem filsasat, liberalisme meyakini satu kebenaran yaitu bahwa dalam posisi asalinya manusia adalah pemilik kebebasan sempurna, otonom, penolak segala hal menyakitkan. Dengan antropologi filsafat semacam ini maka situasi kemiskinan atau a state of being poor ditolak sebab fasilitas untuk merasakan kesakitan dinyatakan sudah built in di dalam diri individu.[4] Demikian posisi liberal. Sebagai implikasinya, kemiskinan –yang kini sudah bisa dijelaskan sebagai pemicu defisit kebahagiaan individual– dilihat sebagai external impuls yang mengancam keamanan rantai pasokan basic human needs orang per orang. Keterangan filosofis seperti ini kita dapatkan dari Thomas Hobbes dan John Locke. Dari Hobbes kita juga memetik satu pelajaran penting bahwa suplay energi resistensi terhadap situasi poverty diperoleh dari susunan logika hak pemeliharaan diri (right of self presevation).[5] Dari Locke kita pun mendapatkan silogisme filosofis yang relatif serupa, yakni daya tolak pada kondisi kemiskinan pertama-tama datang dari, dan kemudian harus diletakkan sebagai bagian tak terpisahkan dari hak individual. Hak individual ini selanjutnya ia sebut dalam istilah “property rights”, meliputi life, liberty dan estate. Dalam perkembangannya dua jenis hak pribadi ini menjadi fundamental filsafat ekonomi politik liberal, yaitu bahwa supremasi hak-hak individual mendahului segala teknik pengaturan sosial ekonomi politik. Dengan basis naratif seperti ini maka tak mengherankan jika segala upaya pengatasan terhadap situasi kemiskinan kerap dibebankan pada sistem ekonomi yang mengakomodir kompetisi kepentingan diri. Di level sistem politik, negara pun diminta menahan diri untuk tidak mencampuri urusan yang secara naratif terlanjur dianggap ‘terlalu pribadi’ ini.

Dari liberalisme kita memperoleh insight filosofis yang humanis dalam menangani persoalan kemiskinan. Yaitu dalam prosesnya usaha ini mesti memperlihatkan keberpihakannya pada kebebasan, menjunjung tinggi otonomi dan meletakkan perlawanan terhadap kemiskinan sebagai bagian integral dari hak individual. Melalui pembacaan kembali terhadap segi-segi humanis-emansipatif dari liberalisme kita juga makin memahami bahwa kebebasan, otonomi, dan kepentingan diri merupakan identitas intrinsik manusia. Dengan demikian maka sistem ekonomi-politik yang mengakomodir kecenderungan-kecenderungan itu bisa dipastikan turut menyumbang pada pemajuan dan pengutamaan manusia. Sampai di sini, pendekatan competitive market economy (yang dasarnya tak lain dari doktrin supremasi hak-hak individual) masih relevan dan diperlukan, dari sisi manapun kita bermaksud melihatnya.[6]

Kendati demikian, liberalisme pun pada gilirannya mesti berhadapan dengan keterbatasan-keterbatasan naratifnya. Hal ini lebih tepat diartikan bahwa memang benar manusia membutuhkan kebebasan dan otonomi ketika berkompetisi memenuhi berbagai kepentingan diri, dan karenanya memerlukan afirmasi dari sistem politik serta fasilitasi secukupnya didalam sistem ekonomi yang mengakomodir pembawaan alamiahnya. Namun apakah hanya itu aggregat kuantitatif dari dimensi kualitatif manusia itu? Inilah pertanyaan terbesarnya. Sejauh yang kita perhatikan, value[7] ‘kompetisi kepentingan diri’ yang terakomodir didalam competitive market economy justru dianggap biang keladi dari makin menjadinya keserakahan manusia. Keserakahan inilah yang kemudian dijelaskan sebagai faktor pencipta sifat hubungan non-manusiawi yang eksploitatif. Bahkan penemuan serta kemajuan teknologi pun disebut-sebut ikut larut memperdalam jurang kesenjangan ekonomi yang berakibat pada terbentuknya konfigurasi situasi ketidakadilan sosial. Artinya, dengan semata mengandalkan pendekatan sistem ekonomi yang mengakomodasi kompetisi kepentingan diri, plus dukungan dari sistem politik yang mendalilkan negara mesti berjarak, hak ‘setiap’ individu untuk terbebas dari situasi scarcity tidak lantas terpenuhi—bahkan dengan faktor kemajuan teknologi sekalipun. Situasi naratif ini pada akhirnya membawa filsafat pada perenungan mendalam untuk kembali mempertanyakan presisi dari bermacam pendekatan sistemik yang dasarnya normativitas supremasi hak individual tadi.

Sejauh yang bisa kita ikuti, kritik akademis terhadap adaptability dari sistem pikir liberalisme pertama-tama datang dari sosialisme. Secara filosofis, kalangan sosialis memulai kritiknya dengan menyebut bahwa manusia memiliki dimensi kualitatif lain, yaitu bahwa secara sosial manusia tak mungkin terus menerus hidup secara solitary.[8] Di sini, berbeda dengan liberalisme yang memandang individualisme sebagai ‘the highest truth’, maka sosialisme melihat kolektivitas didalam masyarakat manusia sebagai ‘axiomatic truth’. Dua titik berangkat mengenai siapa itu manusia yang saling berlainan (yang secara naratif terlanjur diceraikan ini) pada gilirannya turut membentuk suatu kontras ideal kemasyarakatan yang berbeda, dengan pendekatan sistem ekonomi politik yang juga saling berseberangan. Ideal kemasyarakat versi sosialisme itu ialah suatu konfigurasi masyarakat tanpa kelas, yang bertumpu pada prinsip kolektivitas, terarah perwujudan cita-cita keadilan sosial. Adapun sistem ekonomi-politik yang dipilih sebagai pendekatan ialah sistem ekonomi sosialis. Yaitu sistem ekonomi non-kapitalis yang bertumpu pada peran negara, yang merencanakan ekonomi secara terpusat.

Pilihan pendekatan sistemik sebenarnya didasari oleh satu pandangan spesifik mengenai asal usul situasi kemiskinan dalam tradisi pikir marxisme klasik. Karl Marx meyakini bahwa alienasi merupakan sumber utama ketimpangan sosial dan kemiskinan.[9] Lokasi alienasi berada didalam momen produksi, dimana para pekerja tereksklusi dari mode produksi dominan. Kondisi alienasi merujuk pada terkucil atau terasingnya seorang pekerja dari hasil kerjanya. Sebagai akibat dari keterasingan itu seluruh surplus value dari hasil kerja yang dihasilkan kelas pekerja mengalir ke kelas borjuis yang menguasai alat produksi. Dengan demikian penyebab utama alienasi, dan pada gilirannya kemiskinan, sebenarnya tersembunyi dalam konsepsi ‘hak milik pribadi’. Inilah yang dimaksud marxisme dengan structural roots of poverty, yaitu kemiskinan yang pertama-tama lebih banyak disebabkan struktur ekonomi dalam mode produksi historis tertentu. Sebagai jalan keluarnya, sosialis umumnya setuju dengan konsensus yang menganjurkan penghapusan institusi hak milik pribadi. Penghapusan hak milik pribadi diandaikan akan memungkinkan distribusi sumber daya berlangsung secara lebih merata, sehingga jurang ketimpangan sosial bisa dikikis, yang dengan itu agenda keadilan sosial dilanjutkan. Bertumpu pada bangunan naratif seperti itu maka kita bisa memahami alasan sosiologis dibalik mengapa kalangan sosialis pada akhirnya menjatuhkan pilihan pada sistem ekonomi yang mengedepankan metode kepemilikan kolektif. Di ranah politik, kaum sosialis memposisikan negara sebagai perencana yang mengorganisir ekonomi secara terpusat.

Dalam praktiknya, sistem ekonomi sosialisme mengalami kegagalan yang pahit. Ironisnya, sumber utama kegagalan itu disebut-sebut terletak pada kelebihan utamanya, yaitu metode central planning itu sendiri. Perencanaan terpusat ditujukan untuk menciptakan kesamaan dan mempersempit jurang ketimpangan sosial. Hal ini dilakukan dengan mendalilkan bahwa properti dan seluruh means of production harus dikuasai secara kolektif.[10] Negara sendiri merupakan representasi resmi dari yang-kolektif ini. Namun, alih-alih tercipta keadilan sosial, yang justru terjadi adalah raibnya kebebasan individu, tirani, kediktatoran dan inefiensi. Di ranah ekonomi, perencanaan terpusat menyebabkan hilangnya sistem insentif yang dibutuhkan bagi kemajuan ekonomi. Sebagai perbandingan, dalam sistem ekonomi kapitalistik, insentif memainkan peranan yang sangat besar. Insentif tersebut antara lain muncul dari sistem harga, untung-rugi dan hak kepemilikan pribadi. Harga pasar memberi informasi tentang kelangkaan relatif dan secara efisien mengkoordinasikan aktivitas ekonomi. Sistem untung-rugi membuat kompetisi terjadi, dan menghasilkan mekanisme disiplin yang mendorong efisiensi ekonomi. Sementara hak kepemilikan pribadi memberi insentif yang dibutuhkan agar ekonomi terus tumbuh. Sebaliknya, di bawah sistem ekonomi sosialisme, peranan insentif sepenuhnya diabaikan. Hilangnya berbagai insentif ini sebenarnya merupakan implikasi dari pandangan antropologis sosialisme yang menganut ordoksi bahwa manusia adalah mahluk kolektif. Dengan kalimat lain, fundamentalisme pada normativitas kolektif inilah yang secara naratif ‘membunuh’ individualisme dan seluruh sistem ekonomi politik yang berakar pada pandangan itu. Di titik ini, kritik mendalam terhadap kegagalan sistem ekonomi sosialisme mestilah dipusatkan pada fundamentalisme kolektivitas, atau kecenderungan sistem ini yang memberi perhatian terlalu besar pada kolektivitas sehingga menafikan seluruh pembawaan individualistik manusia. Pendeknya, sistem ini gagal mengakomodir nature atau kecenderungan alamiah dari manusia itu sendiri. Kendati demikian, ada satu hal yang nampak begitu jelas dari sosialisme, yaitu bahwa isu pemerataan dan keadilan sosial membutuhkan keterlibatan negara.

Di titik ini kita sudah menemukan, bahwa baik competitive market economy maupun sistem central planning pada dasarnya sama-sama berusaha melayani kecenderungan alamiah manusia. Sistem ekonomi kapitalistik memberi kemanusiaan peluang untuk bersaing di dalam kerangka kerja pasar ekonomi dalam usaha untuk keluar dari situasi kemiskinan.[11] Sementara sistem ekonomi sosialistik hadir dengan skema perencanaan ekonomi yang terpusat, dengan tujuan penciptaan keadilan sosial. Namun, sebagaimana juga kita saksikan, competitive market economy membuat kemanusiaan jatuh pada persaingan individu yang menyebabkan kendurnya ikatan solidaritas sesama manusia, sementara central planning memang menguatkan solidaritas namun kehilangan berbagai insentif yang dibutuhkan ekonomi agar bisa bekerja menciptakan keadilan sosial.

Merespons situasi ini, sosial demokrasi menawarkan pendekatan baru dalam menangani kemiskinan. Berdasar sekuens waktunya sosial demokrasi pertama-tama merupakan respon kritis terhadap dua rumpun penjelasan sebelumnya. Di tahap berikutnya sosial demokrasi berusaha mengajukan jalan keluar yang bersifat eclectic. Dilakukan dengan menyandingkan dua kelebihan utama dari dua pendekatan paradigmatik yang nampak tak terdamaikan ini. Ringkasnya, sosial demokrasi mengakomodir competitive market economy (yang dasarnya tak lain dari doktrin kebebasan individual) sembari dalam saat yang sama berusaha menunjukkan keutamaan ‘peran negara’ dalam menciptakan keadilan sosial dengan cara mengorganisir dan mengarahkan yang-ekonomi supaya berperan efektif sebagai pasok kesejahteraan bagi segenap warganya. Dalam praktiknya, sosial demokrasi sebagai sistem ekonomi politik bertumpu pada peranan pasar yang dibarengi dengan peranan aktif negara dalam meregulasi pasar dan dengan mempromosikan program-program welfare yang bersifat universal. Sosial demokrasi memahami pemberantasan kemiskinan tidak bisa hanya melibatkan pasar atau negara saja. [12]

Dalam pandangan sosial demokrasi, utamanya dalam jalur pikiran Pierro Straffa (1926), kemiskinan memang merupakan perjuangan kelas, namun lokusnya sendiri terletak pada sirkulasi alih-alih didalam momen produksi. Pandangan Straffa ini sendiri sebenarnya dibangun dari model ekonomi politik David Ricardo, yang dikombinasikan dengan pandangan Marxist dan Neo-Klasik sekaligus. Disini Straffa meyakini bahwa teori ekploitasi buruh memang benar, namun ia juga memandang keliru asumsi neo-klasik yang mengandaikan tidak adanya koersi di dalam transaksi pasar. Di sisi lain, berbanding terbalik dengan Marx, ia berpandangan bahwa perjuangan kelas tidak terletak pada antagonisme di dalam momen produksi, melainkan pada proses distribusi. Dengan susunan argumen ini, apa yang sebenarnya dimaksud oleh Straffa adalah bahwa perjuangan kelas kini tidak lagi hanya bisa dilakukan didalam momen produksi, namun juga bisa diperluas ke ranah perjuangan politik dimana proses distribusi atas komoditi dimediasi. Implikasi terpenting dari cara pandang tersebut adalah tata produksi kapitalisme tidak perlu ditinggalkan sebab kemiskinan bisa dieliminasi melalui perjuangan di ranah politik. Secara paradigmatik, sosial demokrasi berpandangan bahwa kemampuan kelas pekerja dalam meraih bagian yang fair dari total produksi sosial merupakan kunci yang menentukan peningkatan mutu kualitas hidupnya.

Selain Straffa, di jalur pikir ini ada beberapa pemikir lain, salah satunya Amrtya Sen. Sen secara umum mengajukan pikiran bahwa social entitlement merupakan metode untuk mereduksi kemiskinan. Ia percaya bahwa pasar tidak dapat melakukan tugas untuk mendistribusikan kemakmuran sendirian. Oleh karena itu negara perlu turut serta mengambil peran. Hal ini terutama dibasiskan pada pandangannya bahwa didalam masyarakat modern negara bersifat terbuka bagi seluruh warga. Sebagai implikasinya, bagi Sen, tidak terlampau penting mendiskusikan kelas, yang lebih penting ialah membicarakan akses ke dalam negara itu sendiri. Dalam mereduksi kemiskinan, Sen berargumen bahwa tekanan terhadap negara yang dilakukan oleh kelompok yang secara formal tidak berada di dalam lingkup kekuasaan sangat menentukan keberhasilan agenda pengentasan kemiskinan. Di titik ini, sama halnya dengan kalangan sosial demokrat, Sen percaya bahwa struktur masyarakat modern yang telah sedemikian terbuka bisa dimanfaatkan untuk memitigasi dampak kemiskinan dengan cara menciptakan lebih banyak social entittlement untuk seluruh warga negara.

Mahatma Gandhi pernah merumuskan tujuh dosa sosial. Salah satunya adalah kekayaan, tanpa kerja keras, misalnya karena warisan, menipu, atau korupsi. Saya ingin menambahkan setidaknya satu dosa sosial lainnya, yakni kemiskinan, walaupun orang sudah bekerja keras. Kemiskinan struktural adalah dosa sosial yang harus diakhiri.

Cara paling ampuh untuk memerangi kemiskinan adalah menciptakan kesamaan kesempatan untuk setiap orang (die gleichen Gelegenheiten). Artinya, setiap orang, apapun ras, jenis kelamin, agama, ataupun latar belakangnya, berhak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu dan tanpa biaya, atau setidaknya amat murah. Disini, pendidikan, seperti dinyatakan oleh Anies Baswedan, adalah tangga sosial untuk naik ke tingkat ekonomi maupun sosial yang lebih tinggi. Kesetaraan kesempatan bukanlah kesetaraan mutlak (absolute Gleichheit), dimana setiap orang diperlakukan secara sama, tanpa peduli perbedaan mereka.

Untuk memerangi kemiskinan, pemerintah, bekerja sama dengan seluruh bagian masyarakat, harus berusaha untuk menciptakan kesetaraan kesempatan bagi setiap warganya, supaya bisa meningkatkan dirinya melalui kerja keras. Inilah, pada hemat saya, hal yang paling penting di dalam politik.

 

  • Pastur

Melalui sikap yang ditunjukkan oleh seorang pastur yang berusaha membantu Jean Valjean, meskipun sempat dicuri barang-barang berharganya oleh Jean Valjean, aka tetapi pastur menunjukkan kearifan dan kebijakannya. Dia sangat matang sekali melihat fenomena hidup dan kehidupan sehingga mampu memberikan efek yang signifikan terhadap kesadaran hidup seorang manusia. Sang Jean Valjean yang awalnya memiliki sikap yang tidak baik dikarenakan factor-faktor sosial ekonomi mampu diretas oleh usaha-usaha dan pendidikan karakter oleh sang Pastur, hingga pada akhirnya Jean Valjean tersadarkan dan mampu kembali pada fitrah hidup yang sebenarnya.

Pastur memberikan gambaran akan esensi hidup dan kehidupan yang sebenarnya. Di dalam proses kehidupan manusia pasti terjadi beberapa fenomena alam yang terjadi.[13] manusia akan dihadapkan dengan beberapa masalah hidup yang kian terus menerus menghadangnya. Seperti diketahui semesta alam yang begitu luas dan mungkin tak terbatas tidaklah mudah untuk dipahami, belum lagi manusia akan dihadapkan oleh beberapa masalah hidup dalam mempertahankan hidupnya di dunia sebagai makhluq hidup yang mempunyai berbagai kepentingan dan mempunyai berbagai kebutuhan yang kompleks.

Manusia pada dasarnya dilahirkan ke dunia sebagai bayi yang tidak dapat berbuat apa-apa tanpa pertolongan orang lain.mereka memerlukan bantuan orang lain untuk dapat memepertahankan hidupnya. Dalam hidupnya manusia akan dihadapkan kepada beberapa kemungkinan. Apa yan dibawanya sejak lahir merupakan potensi dasar yang masih harus dikembangkan dalam lingkungan melalui bantuan pihak lain, berupa pendidikan. Untuk dapat memilih dan melaksanakan cara-cara hidup yang baik dalam berbagai masalah kehidupan,manusia harus mendapatkan pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan merupakan suatu keharusan bagi manusia.

Dengan pendidikan manusia akan berkembang menjadi manusia yang lebih dewasa. Karena pendidikan merupakan suatu upaya mendewasakan manusia yaitu membimbing agar menjadi manusia yang bertanggungjawab. Dengan tanggungjawab manusia akan menunjukkan adanya kesadaran normatif pada dirinya, dimana dia menyadari dan membedakan mana perbuatan yang baik dan buruk.dengan itu mereka telah membuktikan akan adanya kata hati dan hati nurani mereka.

Proses kehidupan manusia juga tidak bisa lepas dari pemikiran-pemikiran manusia akan suatu hal atau fenomena yang terjadi. Di dalam diri manusia terdapat akal pikiran yang senantiasa bergolak dan berpikir, karena akal pikiran tersebut dan dikarenakan oleh situasi dan kondisi alam dimana dia hidup selalu berubah-ubah dan penuh dengan peristiwa-peristiwa penting bahkan terjadi dengan dahsyat, yang kadang-kadang tidak kuasa untuk menentang dan menolaknya, menyebabkan manusia itu tertegun, termenung, memikirkan segala hal yang terjadi disekitar dirinya. Dan disini pemikiran secara filsafati akan membawa manusia iti menuju kesuatu keputusan yang bijaksana. Karena filsafat melatih kita untuk menjadi manusia yang bijaksana, arif dan percaya diri. Dalam kompleksnya kehidupan manusia, manusia dituntut untuk menjadi manusia yang bijaksana dan bertanggungjawab. Oleh karena itu tidak kita pungkiri tentang adanya hubungan yang erat anatara manusia, filsafat dan pendidikan dalam kehidupan manusia untuk tetap dapat mempertahankan hidupnya di dunia.

Kondisi geografi yang tenang, keadaan sosial-ekonomi dan politik yang damai memungkinkan orang berpikir bijak, memunculkan filsuf yang memikirkan bagaimana keadilan itu sebenarnya, akan kemana hokum diberlakukan bagi seluruh anggota masyarakat, bagaimana ukuran objektif hukum berlaku secara universal yang berlaku untuk mendapatkan penilaian yang tepat dan pasti. Perkembangan filsafat hukum di Romawi tidak sepesat di Yunani, karena filosof tidak hanya memikirkan bagaimana ketertiban harus berlaku tetapi juga karena wilayah Romawi sangat luas serta persoalan yang dihadapi cukup rumit.[14] Untuk membangun kondisi ini diperlukan pemikiran yang mendalam “apakah keadilan, dimana letak keadilan serta bagaimana membangun keadilan itu? Keadilan dibentuk oleh pemikiran yang benar, dilakukan secara adil dan jujur serta bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan. Rasa keadilan dan hukum harus ditegakkan berdasarkan Hukum Positif untuk menegakkan keadilan dalam hukum sesuai dengan realitas masyarakat yang menghendaki tercapainya masyarakat yang aman dan damai.

Keadilan harus dibangun sesuai dengan cita hukum (rechtidee) dalam Negara hukum (rechtsstaat), bukan negara kekuasaan (machtsstaat). Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia, penegakkan hukum harus memperhatikan 4 unsur :

  1. Kepastian hukum (rechtssicherkeit)
  2. Kemanfaat hukum (zeweckmassigkeit)
  3. Keadilan hukum (gerechtigkeit)
  4. Jaminan hukum (doelmatigkeit)[15]

Penegakan hukum dan keadilan harus menggunakan jalur pemikiran yang tepat dengan alat bukti dan barang bukti untuk merealisasikan keadilan hokum dan isi hukum harus ditentukan oleh keyakinan etis, adil tidaknya suatu perkara. Persoalan hukum menjadi nyata jika para perangkat hukum melaksanakan dengan baik serta memenuhi, menepati aturan yang telah dibakukan sehingga tidak terjadi penyelewengan aturan dan hukum yang telah dilakukan secara sistematis artinya menggunakan kodifikasi dan unifikasi hukum demi terwujudnya kepastian hukum dan keadilan hokum.

Pada dasarnya manusia menghendaki keadilan, manusia memiliki tanggung jawab besar terhadap hidupnya, karena hati nurani manusia berfungsi sebagai index, ludex, dan vindex.[16] Proses reformasi menunjukkan bahwa hukum harus ditegakkan demi terwujudnya supremasi hukum dalam rangka menegakkan kebenaran dan keadilan sesuai dengan tujuan hukum: Ketertiban, keamanan, ketentraman, kedamaian, kesejahteraan, kebenaran dan keadilan. Pemikiran filosofis keadilan yang berkaitan dengan filsafat hukum berkaitan erat dengan pemikiran John Rawls mengungkapkan 3 faktor utama yaitu :

  1. perimbangan tentang keadilan (Gerechtigkeit)
  2. kepastian hukum (Rechtessisherkeit)
  3. kemanfaatan hukum (Zweckmassigkeit).[17]

Keadilan berkaitan erat dengan pendistribusian hak dan kewajiban, hak yang bersifat mendasar sebagai anugerah Ilahi sesuai dengan hak asasinya yaitu hak yang dimiliki seseorang sejak lahir dan tidak dapat diganggu gugat. Keadilan merupakan salah satu tujuan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Keadilan adalah kehendak yang ajeg, tetap untuk memberikan kepasa siapapun sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan masyarakat dan tuntutan jaman.

Para ilmuwan dan filosof memberikan pengertian keadilan berbeda-beda sesuai dengan pandangan dan tujuannya:

  1. Aristoteles, keadilan adalah kebajikan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia: keadilan legalis, distributif dan komutatif.
  2. Thomas Aquinas, keadilan terbagi 2 yaitu keadilan umum (justitia generalis) dan keadilan khusus (justitia specialis)
  3. Friedmann, keadilan yang diformulasikan Aristoteles merupakan kontribusi pengembangan filsafat hukum, beliau membedakan keadilan menjadi tiga: keadikan hukum, keadilan alam dan keadilan abstrak dan kepatutan.
  4. Notohamidjojo, membagi keadilan menajdi 3 yaitu keadilan kreatif (iustitia creativa), keadilan protektif (iustitia protetiva) dan keadilan sosial (iustitia socia)
  5. Rouscoe Pound, keadilan 2 bagian : keadilan bersifat yudicial dan keadilan administrative
  6. John Rawl, keadilan adalah keadaan keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan bersama
  7. Paul Scholten, keadilan tidak boleh bertentangan dengan hati nurani, hokum tanpa keadilan bagaikan badan tanpa jiwa.[18]

Penerapan Filsafat Hukum dalam kehidupan bernegara mempunyai variasi yang beraneka ragam tergantung pada filsafat hidup bangsa (Wealtanchauung) masing-masing. Di dalam kenyataan suatu negara jika tanpa ideologi tidak mungkin mampu mencapai sasaran tujuan nasionalnya sebab negara tanpa ideologi adalah gagal, negara akan kandas di tengah perjalanan. Filsafat Hidup Bangsa (Wealtanchauung) yang lazim menjadi filsafat atau ideologi negara, berfungsi sebagai norma dasar (groundnorm) (Hans Kelsen, 1998: 118). Nilai fundamental ini menjadi sumber cita dan asas moral bangsa karena nilai ini menjadi cita hukum (rechtidee) dan paradigma keadilan, makna keadilan merupakan substansi kebermaknaan keadilan yang ditentukan oleh nilai filsafat hidup (wealtanchauung) bangsa itu sendiri (Soeryono S., 1978: 19).

Permasalahan Filsafat hukum yang muncul dalam kehidupan tata Negara yang berkaitan dengan Hukum dan Kekuasaan bahwa hukum bersifat imperatif, agar hukum ditaati, tapi kenyataannya hukum dalam kehidupan masyarakat tidak ditaati maka hukum perlu dukungan kekuasaan, seberapa dukungan kekuasaan tergantung pada tingkat “kesadaran masyarakat”, makin tinggi kesadaran hokum masyarakat makin kurang dukungan kekuasaan yang diperlukan. Hukum merupakan sumber kekuasaan berupa kekuatan dan kewibawaan dalam praktek kekuasaan bersifat negatif karena kekuasaan merangsang berbuat melampaui batas, melebihi kewenangan yang dimiliki. Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah dholim. Hukum mempunyai hubungan erat dengan nilai sosial budaya. Hukum yang baik adalah hukum yang mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, masyarakat berubah tak dapat dielakkan dan perubahan itu sendiri dipertanyakan nilai-nilai mana yang dipakai

Di dalam perubahan pasti ada hambatan antara lain: (a) nilai yang akan dirubah ternyata masih relevan dengan kepribadian Nasional, (b) adanya sifat heterogenitas dalam agama dan kepercayaan yang berbeda, (c) adanya sikap masyarakat yang tidak menerima perubahan dan tidak mempraktekkan perubahan yang ada. Penegakan hukum dan keadilan harus menggunakan jalur pemikiran yang tepat dengan alat bukti dan barang bukti untuk merealisasikan keadilan hokum dan isi hukum harus ditentukan oleh keyakinan etis, adil tidaknya suatu perkara. Persoalan hukum menjadi nyata jika para perangkat hukum melaksanakan dengan baik serta memenuhi, menepati aturan yang telah dibakukan sehingga tidak terjadi penyelewengan aturan dan hukum yang telah dilakukan secara sistematis, artinya menggunakan kodifikasi dan unifikasi hukum demi terwujudnya kepastian hukum dan keadilan hukum.

Kasus yang menimpa Jean Valjean, terjadi karena aparat hukum terlalu berpatokan pada teks yang tertulis dalam Peraturan. Hal ini tidak salah, namun berisiko mencederai rasa keadilan di masyarakat. Aparat seharusnya tak hanya mengeja atau membaca teks Peraturan. Aparat mestinya juga menggunakan pendekatan hati nurani dan akal sehat. Sebab, ketika aparat hanya mengacu pada teks undang-undang, keadilan yang didapat masyarakat hanya bersifat formal. Berbeda dengan ketika menggunakan akal sehat dan hati nurani, yang didapat adalah keadilan substansial. Penggunaan akal sehat dan hati nurani dalam hukum. Aparat hukum bisa menghentikan suatu kasus jika merasa, ketika kasus dibawa ke tingkat lebih tinggi, justru akan melukai rasa keadilan. Di kepolisian dikenal adanya diskresi, yakni penghentian perkara pidana selama penyidikan. Adapun di kejaksaan dikenal istilah deponering atau penghentian perkara demi kepentingan umum.

Jadi memang korelasi antara filsafat hukum dan keadilan sangat erat, karena terjadi tali temali antara kearifan, norma dan keseimbangan hak dan kewajiban. Hukum tidak dapat dipisahkan dengan masyarakat dan negara, materi hukum digali, dibuat dari nilai-nilai yang terkandung dalam bumi pertiwi yang berupa kesadaran dan cita hukum (rechtidee), cita moral, kemerdekaan individu dan bangsa, perikemanusiaan, perdamaian, cita politik dan tujuan negara. Hukum mencerminkan nilai hidup yang ada dalam masyarakat yang mempunyai kekuatan berlaku secara yuridis, sosiologis dan filosofis. Hukum yang hidup pada masyarakat bersumber pada Hukum Positif, yaitu :

  1. Undang-undang (Constitutional)
  2. Hukum kebiasaan (Costumary of law)
  3. Perjanjian Internasional (International treaty)
  4. Keputusan hakim (Jurisprudence)
  5. Doktrin (Doctrine)
  6. Perjanjian (Treaty)
  7. Kesadaran hukum (Consciousness of law).[19]

Tata rakit antara filsafat hukum dan keadilan, dengan filsafat sebagai induk ilmu (mother of science), adalah untuk mencari jalan keluar dari belenggu kehidupan secara rational dengan menggunakan hukum yang berlaku untuk mencapai keadilan dalam hidupnya. Peranan filsafat Hukum tak pernah selesai, tidak pernah berakhir karena filsafat Hukum tidak menyelidiki satu segi tetapi tidak terbatas objeknya, namun filsafat Hukum tetap setia kepada metodenya sendiri dengan menyatakan semua di dunia ini tidak ada yang abadi yang tetap hanya perubahan.

 

  • Javert (Inspektur Polisi)

Jevert terjebak pada sebuah penegakan hukum normative, ambisi untuk menaklukkan hukum normative dengan menjalankan sepenuhnya perintah Undang-Undang terbukti dengan konsisten melakukan penangkapan terhadap Jean Valjean dan berusaha secara keras untuk dapat menaklukkan sesuai dengan perintah Undang-Undang dan atasan. Hukum normative bagi Jevert merupakan suatu keharusan yang harus dilaksanakan. Untuk itu dia berjuang dengan sekuat tenaga apapun rintangan yang dihadapinya. Akan tetapi pada akhirnya Jevert merasa sadar bahwa hukum normative tidak mampu mengalahkan hati nuraninya yang terus berkecamuk melihat realitas yang tidak sesuai dengan pengertian hukum dalam perundang-undangan, hingga pada akhirnya dia merasa tidak mampu menahan pertentangan antara hukum dan logika moral nurani dalam jiwanya, sehingga menceburkan diri kedalam sungai Seine.

Apabila dihubungkan dengan metode filsafat, maka Jevert dapat dikategorikan penganut positivisme. Aliran positivisme ini sebenarnya banyak dipengaruhi oleh dua ahli hukum terkemuka, yakni Jeremy Bentham[20] dan John Austin[21] yang mengemukakan Command Theory, serta teori konvensi social oleh Hans Kelsen[22] dan Hart[23]. Namun pada tulisan ini akan lebih banyak dibahas dari perspektif Positivisve yang diajarkan Hans Kelsen dan muridnya Adolf Merkl dan Hans Nawiasky.

Dua teori besar Hans Kelsen, pertama ajaran yang bersifat murni, sedangkan yang kedua adalah berasal dari muridnya Adolf Merkl adalah Stufenbau des Recht yang mengutakan adanya hierarkis dari perundang-undangan. Dari unsur etis Hans Kelsen tidak memberikan tempat bagi berlakunya suatu hukum alam, etika memberikan penilaian tentang baik dan buruk, Kelsen menghindari diri dari yang demikian itu. Dari unsur sosiologis ajaran Kelsen tidak memberik tempat bagi hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang di masyarakat.

Hans Kelsen dalam teorinya yakni teori hukum Murni adalah keinginan untuk membebaskan ilmu hukum dari anasir-anasir atau unsur-unsur social, ekonomi, politik, budaya dan lain sebagainya. Hukum diwajibkan bebas nilai, dan harus terbebas dan tidak tercemari oleh unsur-unsur yang bersifat ideologis. Keadilan menurut Kelsen dipandang sebuah konsep ideologis. Ia melihat dalam keadilansebuah ide yang tidak rasional dan teori hukum murnitidak dapat menjawab tentang pertanyaan apa yang membentuk keadilan, karena pertanyaan ini tidak dapat dijawab secara ilmiah. Jika keadilan harus diidentikkan dengan legalitas, dalam arti tempat, keadilan berarti memelihara sebuah tatanan (hukum) positif melalui aplikasi kesadaran atasnya.

Teori hukum murni ini menurut Kelsen adalah sebuah teori hukum yang bersifat positif. Sehingga kemudian dapat disimpulkan bahwa teori hukum ini ingin berusaha menjawab pertanyaan tentang “apa hukum itu?” tetapi bukan pertanyaan “apa hukum itu seharusnya”. Teori ini mengkonsentrasikan pada hukum saja dan menginginkan lepas dengan ilmu pengetahuan yang lainnya, dengan atas dasar bahwa ilmu hukum berdiri sendiri dan merupakan sui generis.[24] Kelsen sekali lagi ingin memisahkan pengertian hukum dari segala unsur yang berperan dalam pembentukan hukum seperti unsur-unsur psikologi, sosiologi, sejarah, politik, dan bahkan juga etika.[25] Semua unsur ini termasuk ide hukum atau isi hukum. Isi hukum tidak pernah lepas dari unsur politik, psikis, social budaya dan lain-lain. Sehingga pengertian hukum menurut Hans Kelsen adalah hukum dalam konteks formalnya, yaitu sebagai peraturan yang berlaku secara yuridis, itulah hukum yang benar menurut perspektif teori hukum murni (das reine Recht)

Pandangan positivism juga menganggap bahwa kewajiban yang terletak pada kaidah hukum adalah kewajiban yang bersifat yuridis, hal itu dikarenakan karena kaidah hukum termasuk pada keharusan ekstern, yaitu karena ada paksaan atau ancaman apabila tidak mentaati, dikarenakan dasar dari hukum adalah undang-undang dasar negara, dalam relasi itulah maka terdapat ada yang memberi perintah dan ada yang mentaati perintah.

Pandangan kedua adalah kewajiban dari ektern, yakni dorongan dari batin bahwa yang demikian itu merupakan kewajiban yang harus ditaati. Kewajiban yuridis itulah dianggap sebagai dorongan kewajiban yang tidak dapat terelakkan. Han Kelsen juga mengatakan bahwa hukum dapat mewajibkan secara batin, hal itu dikarenakan adanya kewajiban yuridis, dan memang demikian pengertian hukum. Sehinga peraturan yang tidak normative tidak masuk akal maka tidak dapat dikatakan hukum.[26] Immamuel Kant mengatakan bahwa kelsen berpendapat bahwa kewajiban hukum termasuk dalam pengertian transedental-logis[27]. Menurut Kant ada norma dasar (grundnorm)[28] bagi moral (yang berbunyi : berlakulah sesuai dengan suara hatimu), maka menurut Hans Kelsen dalam hukum juga terdapat norma dasar yang harus dianggap sebagai sumber keharusan dibidang hukum. Norma dasar (grundnorm) tersebut berbunyi : orang-orang harus menyesuaikan dirinya dengan apa yang telah ditentukan.

Ajaran yang kedua menurut Hans Kelsen adalah ajaran tentang norma hukum (stufentheori)[29], dimana ia berpendapat bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Demikian seterusnya sampai pada suatu norma dasar (Grundnorm). Teori jenjang norma hukum Hans Kelsen ini diilhami oleh seorang muridnya yang bernama Adolf Merkl yang mengemukakan bahwa suatu norma hukum harus selalu mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsanlitz), yakni norma hukum itu keatas ia bersumber dan berdasar pada norma diatasnya, tetapi kebawah juga menjadi dasar bagi norma yang ada dibawahnya.

[1] Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Renungan Tentang Filsafat Hukum, Jakarta, Rajawali, 1982, hlm.83.

[2] Andi Hamzah memberikan pengertian tentang factor-faktor seseorang melakukan perbuatan pidana. Lihat, Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Di Indonesia, Edisi Revisi, Jakarta, Sinar Grafika, , 1996, hlm. 251.

 

[3] Mochtar Kusumaatmadja dan B. Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum, Suatu Pengenalan Pertama Ruang Lingkup Berlakunya Ilmu Hukum,  Bandung, Alumni, 2000, hlm.  4.

[4] Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung, Nuansa dan  Nusamedia, 2004, hal 239.

 

[5] Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam lintasan sejarah, cet VIII, Yogyakarta: kanisius, 1995 hlm. 196

[6] Pan Mohamad Faiz, Teori Keadilan John Rawls, dalam Jurnal Konstitusi, Volue 6 Nomor 1 (April 2009), hlm. 135.

 

[7] John Rawls, A Theory of Justice, London: Oxford University press, 1973, yang sudah diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori Keadilan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2006.

 

[8] Kahar Masyhur, Membina Moral dan Akhlak, Jakarta, Kalam Mulia, 1985, hlm.71.

[9] David L. Harvey dan Michael Reed, “Paradigms of Poverty: a Critical Assessment of Contemporary Perspective”, dalam International Journal of Politics, Culture and Society, Volume 6, No 2, 1992, hal: 283

[10] Pierro Straffa, Production of Commodities by Commodities: Prelude to a Critique of Economic Theory, (Cambridge: Cambridge University Press, 1960).

[11] Amartya Sen, Freedom and Famine, (The New York Review Book: 1990).

[12] Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations, (New York: Modern Library, 1776);  David Ricardo, On the Principles of Political: Economy and Taxation, (Cambridge: Cambridge University Press, 1917); Robet M. Solow, “Technical Change and the Aggregate Production Function”, dalam Review of Economics and Statistics, 1957.

[13] Simon Kuznets lebih dikenal dengan penemuannya tentang efek pertumbuhan ekonomi terhadap distribusi pendapatan (kurva U terbalik), dimana pada negara yang relatif miskin pertumbuhan ekonomi akan menambah disparitas antara orang kaya dan orang miskin, dan sebaliknya di negara maju, dalam Simon Kuznets, Modern Economic Growth,  (New Haven: Yale University Press, 1966).

[14] Theo Huijbers, Lintasan Filsafat Hukum, Liberty, Yogyakarta : 1982: 31

[15] Dardji Darmodihardjo, Ilmu Hukum, Sinar Harapan, 2002: hal 36

 

[16] Poedjawijatna, Hukum dalam Pembangunan, Bulan Bintang, 1978: 12

[17] Soetandyo, Hukum dan Metode, Pustaka Huma, Jakarta 2002: 18

[18] Tasrif, Filsafat Ilmu, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987: 39

[19] Sudikno M, Mengenal Hukum, Sebuah Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1988: 28

[20] Dalam bukunya yang terkenal Jeremy Bentham, The Theory of Legislation, NM Tripathi Private Limited, Bombay, 1979

 

[21] Buku yang terkenal adalah Austin, The Province of Jurisprudence Determined, (1832) Lecture VI (edisi 1954)

 

[22] Buku yang spektakuler dari Hans Kelsen, Pure Theori of Law, Berkely: University California Press, 1978. Atau ada lagi Hans Kelsen, Geberal Theory Law And State, The School of Law of The New York University, 1937

[23] Karya agung H.L.A Hart, The Concept of Law, New York: Clanrendon Press-Oxford, 1997

[24] Dikatakan sui generis dikarenakan Ilmu Hukum adalah merupakan ilmu jenis sendiri, diakatakan jenis sendiri dikarenakan ilmu hukum dengan kualitas ilmiah sulit dikelompokkan dalam salah satu cabang pohon ilmu. Untuk mengetahui lebih lanjut masalah ini, sialakan baca Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005, Hal 1-3

 

[25] Untuk memperjelas masalaha ini, baca : Hans Kelsen, Pure Theori of Law, Berkely: University California Press, 1978, Hal 5-13

 

[26] Pandangan itulah yang kemudian menjadi dasar dalam teori ini yang kemudian disebutkan sebagai teori hukum Murni, karena hukum adalah undang-undang, dan bukan yang lain.

 

[27] Yaitu mewajibkan harus diterima sebagai syarat yang tidak dapat dielakkan untuk mengerti hukum sebagai hukum

[28] Grundnorm merupakan norma dasar yang menjadi pijakan oleh norma-norma yang ada dibawahnya. Lebih lanjut baca : Benyamin Akzin, Law, State, and International Legal Order: Essays in Honor of Kelsen, Knokville, The University of Tennesse, 1964, Hal 3-5

 

[29] Stufentheori adalah menyatakan bahwa norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber, dan berdasar pada norma yang lebih tinggi.

Continue Reading