METODE PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK

METODE PENYELESAIAN

SENGKETA INFORMASI PUBLIK DI PENGADILAN

  1. PENDAHULUAN

Globalisasi ditandai dengan adanya keterbukaan dan kebebasan dalam berbagai bidang kehidupan yang mengakibatkan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan yang berlangsung sangat cepat.[1] Melalui globalisasi serta keterbukaan teknologi informasi maka kegiatan di segala bidang menjadi bersifat terbuka sehingga mengakibatkan komunikasi dan informasi dapat diakses dan dilakukan dimana saja dan kapan saja. Bentuk informasi secara elektronik bukanlah merupakan suatu hal yang baru lagi, dimana dengan informasi erlektronik, maka segala yang berkaitan dengan informasi yang ingin diketahui dengan cara akses yang sangat mudah dan murah, yakni melalui media elektronik yang menyediakan secara lengkap mengenai informasi yang diinginkan.[2]

Konsekwensi dari globalisasi juga membawa pengaruh terhadap perkembangan hukum diberbagai bidang, hal itu sebagai akibat berkembangnya pranata-pranata teknologi informasi yang mau tidak mau juga melahirkan suatu pranata hukum baru yang bersifat mengimpor hukum asing khususnya hukum yang berasal dari tradisi hukum Anglo saxon dengan sistem hukum common law.[3] Sejalan dengan perkembangan tersebut, maka bentuk-bentuk informasi publik di era globalisasi ini terus berkembang cepat mengikuti perkembangan bentuk-bentuk perkembangan ilmu dan teknologi. Bahkan pengaruh perkembangan teknologi informasi kadang belum mampu diikuti oleh perkembangan hukum yang dianut oleh suatu negara.

Dengan kemajuan teknologi maka telah berkembang bentuk-bentuk informasi dan komunikasi yang merupakan bentuk informasi serta hubungan hukum yang ramai dibicarakan sebagai online, yaitu informasi yang dilakukan secara elektronik dengan memadukan jaringan (networking) dari sistem informasi berbasis komputer dengan sistem komunikasi yang berbasis jaringan dan jasa telekomunikasi.[4] Sehingga dalam hal ini telah melahirkan resolusi informasi secara elektronik yang meliputi informasi yang berkenaan dengan kebutuhan publik akan informasi yang cepat, mudah dan murah. Melalui informasi elektronik ini maka telah beralih pelaksanaan informasi yang berpedoman kepada kertas disertai tandatangan yang berwenang sebagai dokumen informasi menjadi informasi secara elektronik dengan dokumen-dokumen eketronik yang dapat diakses setiap saat secara online oleh semua kalangan.

Perubahan tersebut terjadi karena kebutuhan informasi yang dikehendaki oleh sebagian besar masyarakat, yang dapat membantu memberikan informasi yang jelas, tepat dan akurat.[5] Dalam hal yang demikian juga terdapat beberapa konsekwensi perubahan perilaku social, yakni Perilaku Professional, perilaku transparan, perilaku akuntabel, perilaku efektif dan efisien. Perilaku professional adalah perilaku yang sangat penting dalam menjalankan roda organisasi baik organisasi publik maupun organisasi non publik, perilaku transparan merupakan perilaku yang mampu memberikan penjelasan dengan seterang-terangnya terhadap sesuatu yang dianggap menimbulkan multi tafsir dan kerancuan oleh khalayak.[6] Perilaku akuntabel juga merupakan bagian yang sangat penting dalam menjalankan roda pemerintahan dan roda organisasi lainnya, sedangkan perilaku yang terakhir adalah perilaku yang efektif dan efeisien tentunya juga merupakan hal pokok yang sangat menunjang bagi terselenggaranya pelayanan yang lebih baik.

  1. DASAR HUKUM KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK

Berbicara tentang dasar hukum, maka erat kaitannya dengan sumber hukum. Dalam bahasa Inggris, sumber hukum disebut source of law. Perkataan sumber hukum berbeda dengan dasar hukum,landasan hukum ataupun payung hukum. Dasar hukum adalah legal basis atau legal ground yaitu norma hukum yang mendasari suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu sehingga dapat dianggap sah atau dapat dibenarkan secara hukum. Sedangkanperkataan sumber hukum lebih menunjuk kepada pengertian tempat darimana asalmuasal suatu nilai atau norma tertentu berasal.

Menurut Hans Kelsen source of law mengandung banyak pengertian. Pertama, yang dapat dipahami sebagai source of law ada dua yaitu custom dan statute.[7] Oleh karena itu source of law biasa dipahami sebagai a method of creating law, custom, and legislation, yaitu customary and statuary creation of law.[8] Kedua, source of law juga dapat dikaitkan dengan cara untuk menilai alasan atau the reason for the validity of law.[9] Ketiga, source of law dapat juga dipakai untuk hal-hal yang bersifat non-juridis, seperti norma, moral, etika, prinsip-prinsip politik, ataupun pendapat para ahli, dansebagainya yang dapat mempengaruhi pembentukan suatu norma hukum, sehingga dapat pula disebut sebagai sumber hukum atau the source of law.[10]

Pengertian yang lain bahwa Sumber Hukum adalah segala apa yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yaitu aturan yang kalau dilanggar akan mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata. Menurut Prof. Soedikno ada beberapa arti sumber hukum:[11]

  1. Sebagai asas hukum
  2. Hukum terdahulu yang memberi bahan
  3. Dasar berlakunya
  4. Tempat mengetahui hukum
  5. Sebab yang menimbulkan hukum.

Dengan demikian pengertian dasar hukum adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa. Artinya aturan-aturan yang jika dilanggar mengakibatkan sanksi yang  tegas dan nyata. Para ahli membedakan sumber hukum ke dalam 2 (dua) bagian, yaitu Sumber hukum dalam arti material dan sumber hukum dalam arti formal.[12] Sumber Hukum dalam arti material, yaitu suatu keyakinan/ perasaan hukum individu dan pendapat umum yang menentukan isi hukum. Dengan demikian keyakinan/ perasaan hukum individu (selaku anggota masyarakat) dan juga pendapat umum yang merupakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan hukum.[13]

Sedangkan sumber hukum dalam arti Formal, yaitu bentuk atau kenyataan dimana kita dapat menemukan hukum yang berlaku. Jadi karena bentuknya itulah yang menyebabkan hukum berlaku umum, diketahui, dan ditaati. Adapun yang termasuk sumber hukum dalam arti formal adalah :

  1. Undang-undang

Undang-undang dilihat dari bentuknya, hukum dibedakan menjadi:[14]

  1. Hukum tertulis
  2. Hukum tidak tertulis

Undang-undang merupakan salah satu contoh dari hukum tertulis. Jadi, Undang-undang adalah peraturan negara yang dibentuk oleh alat perlengkapan negara yang berwenang untuk itu dan mengikat masyarakat umum. Dari definisi undang-undang tersebut, terdapat 2 (dua) macam pengertian:

  1. Undang-undang dalam arti materiil, yaitu: setiap peraturan yang dikeluarkan oleh Negara yang isinya langsung mengikat masyarakat umum.
  2. Undang-undang dalam arti formal, yaitu: setiap peraturan negara yang karena bentuknya disebut Undang-undang atau dengan kata lain setiap keputusan/peraturan yang dilihat dari cara pembentukannya.
  3. Kebiasaan atau hukum tak tertulis

Kebiasaan atau Hukum tak tertulis, Kebiasaan (custom)[15] adalah semua aturan yang walaupun tidak ditetapkan oleh pemerintah, tetapi ditaati oleh rakyat, karena mereka yakin bahwa aturan itu berlaku sebagai hukum.[16] Agar kebiasaan memiliki kekuatan yangberlaku dan sekaligus menjadi sumber hukum, maka harus dipenuhi syarat sebagai berikut:

  1. Harus ada perbuatan atau tindakan tertentu yang dilakukan berulangkali dalam hal yang sama dan diikuti oleh orang banyak/ umum.
  2. Harus ada keyakinan hukumdari orang-orang/ golongan-golongan yang berkepentingan. dalam arti harus terdapat keyakinan bahwa aturan-aturan yang ditimbulkan oleh kebiasaan itu mengandung/ memuat hal-hal yang baik dan layak untuk diikuti/ ditaati serta mempunyai kekuatan mengikat
  3. Yurisprudensi

Yurispudensi adalah keputusan hakim terdahulu yang kemudian diikuti dan dijadikan pedoman oleh hakim-hakim lain dalam memutuskan suatu perkara yang sama.[17]

  1. Traktat

Traktat Adalah perjanjian yang dilakukan oleh kedua negara atau lebih.[18] Perjanjian yang dilakukan oleh 2 (dua) negara disebut Traktat Bilateral, sedangkan Perjanjian yang dilakukan oleh lebih dari 2 (dua) negara disebut Traktat Multilateral. Selain itujuga ada yang disebut sebagai Traktat Kolektif yaitu perjanjian antara beberapa negara dan kemudian terbuka bagi negara-negara lainnya untuk mengikatkan diri dalam perjanjian tersebut.

  1. Doktrin

Doktrin Hukum Adalah pendapat para ahli atau sarjana hukum ternama/ terkemuka.[19] Dalam Yurispudensi dapat dilihat bahwa hakim sering berpegangan pada pendapat seorang atau beberapa sarjana hukum yang terkenal namanya. Pendapat para sarjana hukum itu menjadi dasar keputusan-keputusan yang akan diambil oleh seorang hakim dalam menyelesaikan suatu perkara.

Berkaitan dengan pembahasan yang penulis kemukakan, yakni tentang keterbukaan informasi publik, maka terdapat beberapa dasar hukum yang menjadi dasar dalam memberikan akses informasi kepada pengguna layanan publik, diantaranya :

  1. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
  2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
  3. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan
  4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
  5. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik
  6. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 tentang Pedoman Pengelolaan Pelayanan Informasi dan Dokumentasi di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah;
  7. Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik;
  8. Peraturan Komisi Informasi Nomor 2 Tahun 2010 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik;
  9. Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 02 Tahun 2011 tentang tata cara Penyelesaian Sengketa Informasi Publik di Pengadilan
  10. KEBEBASAN MEMPEROLEH INFORMASI PUBLIK

Keterbukaan Informasi publik merupakan sarana untuk mengoptimalkan pengawasan publik terhadap penyelenggaraan negara dan badan publik lainnya serta segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik.[20] Di era keterbukaan informasi publik sebagaimana yang di amanatkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang hadir dengan semangat bahwa  salah satu elemen penting dalam mewujudkan penyelengaraan negara yang terbuka adalah hak publik untuk memperoleh informasi yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, semangat inilah yang menjadi dasar pertimbangan tentang arti pentingnya manfaat yang terkandung dalam penyelenggaraan informasi publik oleh segenap penyedia layanan baik lembaga publik maupun lembaga privat negeri maupun swasta dengan tidak ada pengecualian.

Hak atas informasi merupakan hak dasar yang menjadi sokoguru pemerintahan yang transparan dan partisipatoris, merupakan jalan lempang bagi tersedianya jaminan pemenuhan hak-hak fundamental dan kebebasan lainnya.[21] Hak atas informasi hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan UU. Pemenuhan hak atas kebebasan memperoleh informasi publik merupakan salah satu indikator dianutnya konsepsi negara hukum sekaligus demokrasi yang bercirikan pengakuan atas hak asasi. Menurut Jimly Asshidiqie, dalam konsep negara hukum yang demokratis  (democratische rechtsstaat) atau negara demokrasi berdasar atas hukum, salah satu ciri pokoknya adanya pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.[22] Ini mengandung makna hak atas kebebasan memperoleh informasi publik mutlak dijamin sebagai bagian dari hak asasi manusia. Gagasan dasar atau konsep negara hukum demokratis itu sendiri bagi Margarito Kamis menimbulkan beberapa implikasi. Pertama, tuntutan kepastian hukum, hukum berlaku sama bagi semua orang. Kedua, adanya legitimasi demokratis, artinya proses pembuatan hukum harus mengikutsertakan pendapat masyarakat. Ketiga, negara hukum merupakan tuntutan akal budi.[23]

Salah satu unsur penting yang dapat berperan dalam penyebaran informasi dan menumbuhkan kesadaran serta motivasi tentang program pembangunan masyarakat adalah pers. Kemampuan pers untuk menyampaikan informasi kepada sejumlah khalayak dalam waktu yang singkat tidak diragukan lagi. Pers atau surat kabar yang berfungsi sebagai penyebar informasi dapat berperan dalam penyampaian kebijaksanaan dan program pembangunan kepada masyarakat.[24] disamping itu masyarakat juga dapat menggunakan pers sebagai penyalur aspirasi dan pendapat serta kritik. Bentuk dari hak publik jumlahnya banyak, salah satu diantaranya adalah hak publik untuk mendapatkan informasi dimana hak tersebut merupakan hak asasi manusia yang sangat hakiki, yang diperlukan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.[25] Salah satu sarana untuk memperoleh informasi adalah dari pers, oleh karena itu sudah sepatutnya apabila kemerdekaan pers dijamin melalui suatu undang-undang. Jaminan terhadap kemerdekaan pers yang merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis, adalah juga jaminan terhadap kemerdekaan mengeluarkan pikiran dan pendapat sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

Kebebasan memperoleh informasi publik juga sangat erat kaitannya dengan good governance. Istilah governance dapat di artikan sebagai ” the way state power is used in managing economic and social resources for development of society”, tergantung pada sudut pandangnya maka istilahgovernance dapat diartikan sebagai ” the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels”.[26] Yang terahir ini lebih menekankan pada cara pemerintah mengelola sumber daya sosial dan ekonomi untuk kepentingan pembangunan masyarakat. Pengertian yang biasa good governance adalah kepemerintahan yang baik. Pengelolaan negara lebih menekankan pada aspek politik, ekonomi dan adminstratif sehingga pengertian good governance sering diartikan selain sebagai kepemerintahan yang baik, good governance itu adalah suatu manajemen pembangunan yang dilkakukan pemerintah yang solid dan bertanggung jawab yang sejalan dengan perinsip demokrasi , efisien, efektif, mencegah korupsi dan penyalah gunaan wewenang, memberikan kebebasan berlakunya pasar, disiplin menjalankan anggaran serta menciptakan legal and political frame work bagi tumbuhnya suatu aktifitas usaha.

Dengan pengertian ini maka good governance pastilah bercirikan[27]  adanya keterlibatan masyarakat dalam membuat suatu kebijakan publik, penegakan hukum yang adil tanpa pilih kasih, transparansi yaitu membangun atas dasar kebebasan memperoleh onformasi, reponsiveness[28] dimana lembaga-lembaga publik harus cepat dan tanggap dalam melayani kepentingan masyarakat dan berorientasi kepada kepentingan masyarakat, equity[29] berarti setiap masyarakat mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh kesejahteraan dan keadilan, efficiency dan effectiveness[30] dimana pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara berdaya guna dan berhasilguna, accountability bertanggung jawab kepada pihak atas setiap kegiatan yang telah dilakukan, memiliki visi yang jauh kedepan untuk menjangkau kenerja yang baik.

Pada 30 April 2008 telah ditetapkan Undang-Undang tentang Keterbukaan Informasi Publik yang berlaku efektif pada tanggal 1 Mei 2010, dalam arti bahwa Peraturan Pemerintah sudah diterbitkan, petunjuk tehnis, sosialisasi sarana dan prasarana serta hal-hal lain yang terkait dengan pelaksanaan undang undang ini harus sudah rampung. Dengan berlaku efektif nya UUKIP ini maka seluruh warga sudah harus menerima dan melaksanakannya secara konsekuen dan konsisten. Maksud diterbitkannya Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) adalah dimana Pemerintah Negara Kesatuan RI sebagai negara yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat mengedepankan hak asasi manusia dalam hal ini hak setiap warganegara untuk memperoleh dan memanfaatkan informasi yang berasal dari lembaga publik dengan seluas-luasnya.[31]

Keterbukaan Informasi Publik memberi hak kepada setiap orang untuk memperoleh informasi dengan mengakses data yang ada di badan publik, dan menegaskan bahwa setiap informasi publik itu harus bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap pengguna informasi publik, selain dari informasi yang dikecualikan yang diatur oleh Undang-Undang ini. Undang-Undang ini mengisyaratkan adanya jaminan kepada setiap individu atau kelompok masyarakat atau badan publik lainnya untuk memperoleh informasi yang diinginkan dan dapat digunakan untuk kepentingan sendiri atau publikasi.[32] Dalam kerangka implementasi Undang-Undang Keterbukaan Informasi public ini maka pihak Pemerintah telah mempersiapkan lembaga independent yaitu Komisi Informasi guna menyelesaikan sengketa informasi. Sesuai dengan pasal 23 undang-undang ini bahwa Komisi Informasi merupakan lembaga yang mandiri berfungsi menjalankan undang-undang ini dan peraturan pelaksanaannya , menetapkan petunjuk tehnis standar layanan informasi publik dan menyelesaikan sengketa informasi publik melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi.

Tujuan utama adalah menjadikan masyarakat peduli dan ikut serta dalam kerangka merencanakan suatu kebijakan publik yang menyangkut kepentingan bersama, atau segala seuatu yang direncanakan pemerintah untuk perencanaan atau program kedepan.[33] Semangat pemerintah menuju pemerintahan yang good governance melalui membangun masyarakat yang sejahtera melalui keterbukaan informasi publik yang merupakan ciri pemerintahan demokratis menjunjung tinggi asas kedaulatan rakyat.[34] karena undang-undang ini mengandung makna dan mempunyai korelasi dan relevansi UUKIP ini juga mempunyai korelasi dan relevansi dengan Undang-Undang no.39 Th.1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), dan Undang-Undang yang baru muncul sebelum undang-undang ini yaitu Undang-Undang No.11 Th.2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang terkait dengan informasi penting bagi kehidupan dan masa depan bangsa.

Setiap Undang-undang yang dibuat tentu mengandung konsekuensi untuk dilaksanakan, didalamnya telah ada klausula akibat hukum bagi yang melanggarnya, apakah dengan hukuman denda atau hukuman kurungan badan atau kedua-duanya.[35] Contohnya pada pasal 52 UUKIP ini disebutkan; badan publik yang dengan sengaja tidak menyediakan , tidak memberikan,dan/atau tidak menerbitkan informasi publik berupa informasi publik secara berkala,informasi publik yang wajib diumumkan secara serta merta,informasi publik yang wajib tersedia setiap saat,dan/atau informasi publik yang harus diberikan atas dasar permintaan sesuai dengan undang-undang ini, dan mengakibatkan kerugian bagi orang lain dikenakan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.5.000.000,-(lima juta rupiah).

Permasalahannya ialah karena undang-undang ini masih baru memerlukan sosialisasi dan pemahaman kepada para anggota masyarakat, untuk itulah perlu pengkajian dan pembuktian tentang efektifitasnya dilapangan untuk implementasi dikalangan masyarakat, terutama didaerah-daerah, kehawatiran ini muncul dan adalah saya kira wajar jangan sampai undang-undang ini dibuat justru akan menambah serangkaian permasalahan[36] yang justru tidak menguntungkan bagi terbentuknya undang-undang ini. Diasumsikan apabila undang-undang ini berlaku efektif dikalangan lembaga-lembaga publik mungkin saja akan menimbulkan sinisme bagi pihak-pihak yang terkendala dengan UUKIP ini, bahwa setiap orang atau organisasi yang menginginkan informasi memnta copy Surat Pertannggung Jawaban (SPJ) ataudokumen pelaksanaan anggaran yang dikelola bendaharawan atau Pejabat Pengelola Keuangan pada lembaga-lembaga publik terkait, hawatir bilamana terjadi kesalahan dalam administrasi yang dapat terungkap oleh publik. Kalau hal ini terjadi maka keberatan atas pemberian informasi ini menjadi berbentuk persengketaan karena informasi yang diminta tidak bertentangan dengan Undang-Undangnya dan terpaksa harus dimediasi melalui penyelesaian oleh Komisi Informasi.

Hal ini tentu memerlukan dukungan dari segenap masyarakat atau stake holders,[37] kesadaran akan semangat untuk menciptakan pemerintahan yang good governance itulah yang dapat membuat pelaksanaan undang-undang ini konsisten dan diakui sebagai suatu Undang-Undang yang mengatur terselenggaranya informasi public yang transparan dan bebas dapat dilihat dan digunakan oleh siapapun.[38] Dengan tranparansi itu apapun yang dilakukan didalam melaksanakan kebijakan public pada lembaga-lembaga public akan memberikan kepercayaan kepada semua orang, sehingga berapapun dana yang dialokasikan untuk penyelenggaraan kebijakan umum dan bagaimanapun hasilnya semua orang bisa memberikan penilaian yang positip termasuk rekomendasi yang membangun dan bukan kecurigaan serta komen-komen yang bersifat munafik.

Dari contoh negative melihat hasil pembangunan fisik, yang dibangun lokasinya tidak sesuai dengan tata ruang yang ada tanpa pertimbangan sosial maupun ekonomi masyarakat setempat sehingga bangunan yang dibangun tidak akan bermanfaat sama sekali yang berarti kita menghamburkan dana yang sia-sia atau mabazir, hal ini sudah jelas tidak mengikut sertakan masyarakat setempat berarti tidak transparan, merencanakan Sesuatu itu harus terlebih dahulu membentuk opini dengan menarik aspirasi masyarakat atau stakeholdersnya.[39] Pembangunan jalan/jembatan yang belum satu tahun sudah rusak, Jalan atau jembatan yang dibangun, belum samapai 3 bulan diresmikan sudah pada berlubang, menunjukkan pembangunan yang tidak sesuai dengan bestek, atau kurang pengawasan atau salah dalam membuat dan menerapkan design proyek, sehingga menimbulkan banyaknya kebocoran-kebocoran anggaran, menimbulkan dugaan adanya korupsi dan penyalah gunaan wewenang, serta kentalnya nepotisme dengan memberikan pekerjaan kepada seseorang yang bukan ahlinya. Hal ini tentu termasuk kegiatan yang tidak transparan, kalau lembaga-lembaga public menyadari dan memahami betapa berbahaya akibat kesalahan ini maka hal ini tidak akan terjadi, kita butuh pemimpin yang bertanggung jawab atau accountable.[40]

Disektor hukum, terhadap kondisi yang dikemukakan tersebut diatas hendaknya para penegak hukum aktif meneliti keluhan dan laporan masyarakat mengenai ketidak beresan yang terjadi pada badan-badan publik, jangan sampai ada anjing menggonggong tapi kafilah tetap berlalu, biasa-biasa saja ataupun tenang-tenang saja, bahkan kura-kura dalam perahu pura-pura tidak tahu, kalau hal ini yang terjadi ini namanya penyelenggara atau oknum yang tidak bertanggung jawab. Penegakan hukum menjadi penting guna mengawal implementasi undang-undang ini terutama mengawali pelaksanaannya dimulai dari lembaga kita sendiri kita sudah mempersiapkan data informasi yang ada dengan memberikan sosialisasi dan pemahaman kepada masyarakat tentang informasi yang terkait pada lembaganya serta kinerja dan laporan pertanggung jawabannya.

Kita berharap bahwa sesuai dengan tujuan kita merdeka ini adalah mencapai masyarakat yang sejahtera adil dan mamur, mencerdaskan kehidupan bangsa serta hidup berdampingan secara bermartabat dengan bangsa lain,[41] saya kira upaya tranparansi melalui keterbukaan informasi ini merupakan upaya positip dan salah satu upaya yang apabila ini kita lakukan dengan benar dengan segala permasalahan yang ada dapat diselesaikan bersama dan tujuan kita untuk merdeka ini bisa terselenggara.

Undang-undang ini sesungguhnya akan dapat mengungkapkan seluas-luasnya tentang program kebijakan dan peraktek penyelenggaraan penyelenggara negara ,serta memberikan peluang bagi setiap orang atau organisasi-organisasi, lembaga social lainnya untuk ikut melakukan pengawasan publik.[42] Untuk itulah maka lembaga-lembaga atau Badan-Badan publik baik eksecutive, legislative ataupun yudicative harus siap untuk melayani informasi kepada publik sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. Secara kelembagaan dan fungsional maka untuk mengawal implementasi Undang-Undang Keterbukaan Informasi public ini maka Komisi informasi yang ditugaskan dengan tugas dan wewenang antara lain ;

  1. menerima,memeriksa dan memutus permohonan penyelesaian sengketainformasi publik, menetapkan kebijakan umum pelayanan informasi publik,menetapkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk tehnis.
  2. dalam menjalankan tugas Komisi Informasi (KI) memiliki wewenang memanggil dan/mempertemukan para pihak yang bersengketa, meminta catatan atau bahan yang relevan yang dimiliki oleh badan publik, menerima keterangan atau menghadirkan pejabat badan publik atau pihak yang terkait sebagai saksi,mengambil sumpah setiap saksi untuk didengar keterangannya dalam memediasi dan melakukan sidang ajudikasi nonlitigasi untuk menyelesaikan sengketa informasi publik.
  3. membuat kode etik yang diumumkan kepada publik sehingga masyarakat dapat menilai kinerja Komisi Informasi.
  4. Membuat standar layanan informasi dan pedoman umum kebijakan standar pelayanan informasi publik.

Jika saja semua individu faham dengan makna yang terkandung pada ide-ide UUKIP ini maka barangkali permasalahan KKN tidak akan ada lagi dinegeri ini. Pemahaman ini membutuhkan kemauan politik disemua stakeholders kemampuan untuk memperdayakan lembaga-lembaga public untuk bekerjasama dengan stakeholders dalam kerangka merencanakan dan memutuskan kebijakan publik.[43] Namun demikian kita berharap agar UUKIP ini dapat merupakan sarana bagi anggota masyarakat yang menginginkan perubahan bagi masa depan hidupnya, karena ada beberapa point penting pada undang-undang ini yaitu :

  1. adanya pengakuan hak bagi setiap warga untuk menentukan masa depannya.
  2. adanya peluang masyarakat berpartisipasi dalam proses pengambilan kebijakan publik.
  3. merangsang masyarakat untuk berperan aktip dalam pengambilan kebijakan publik.
  4. dapat terwujudnya penyelenggaraan negara yang baik,tranparan.efektif dan efisien,akuntabel dan dapat dipertanggung jawabkan.
  5. masyarakat harus mengetahui alasan kebijakan publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
  6. berkembangnya ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa
  7. meningkatnya pengelolaan dan pelayanan informasi dilingkungan badan publik untuk menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.
  8. SUBJEK HUKUM PENYEDIA INFORMASI PUBLIK

Pengertian subyek hukum (rechts subyek) menurut Algra dalah setiap orang mempunyai hak dan kewajiban, yang menimbulkan wewenang hukum (rechtsbevoegheid),[44] sedengkan pengertian wewenang hukum itu sendiri adalah kewenangan untuk menjadi subyek dari hak-hak. Subjek hukum adalah setiap makhluk yang berwenang untuk memiliki, memperoleh dan menggunakan hak serta kewajiban dalam lalu lintas hukum.

Beberapa pengertian subjek hukum :

  1. Subjek hukum adalah sesuatu yang menurut hukum berhak/berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap untuk bertindak dalam hukum.
  2. Subjek hukum adalah sesuatu pendukung hak yang menurut hukum berwenang/berkuasa bertindak menjadi pendukung hak.
  3. Subjek hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajian.

Menurut teori tradisional, subjek hukum adalah orang yang merupakan subjek dari suatu kewajiban hukum atau suatu hak. Teori tradisional mengidentikkan konsep “subjek hukum” dengan konsep “person“. Definisi Person menurut teori tradisional adalah manusia sebagai subjek dari hak dan kewajiban. Konsep pemegang hak dan kewajiban memainkan peran sangat penting dalam teori tradisional yang membahas tentang konsep “legal person“. Jika pemegang hak dan kewajiban adalah manusia, berarti yang dibicarakan oleh teori tradisional adalah “orang secara fisik” (physical person), jika pemegang hak dan kewajiban itu merupakan entitas lain, berarti yang dibicarakan teori tradisional adalah “badan hukum” (juristic person).[45]

Pada dasarnya yang menjadi subjek hukum adalah manusia/orang atau person. Ada dua pengertian orang/person sebagai subjek hukum yaitu :

  1. Naturlijk person adalan mens person, yang disebut orang atau manusia pribadi.
  2. Rechtperson adalah yang berbentuk badan hukum yang dapat di bagi dalam :
  3. Publiek rechts-person, yang sifatnya ada unsur kepentingan umum seperti Negara, Daerah, Desa. Badan Hukum Publik (Publiek Rechts Persoon) adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan publik untuk yang menyangkut kepentingan publik atau orang banyak atau negara umumnya. Dengan demikian badan hukum publik merupakan badan hukum negara yang dibentuk oleh yang berkuasa berdasarkan perundang-undangan yang dijalankan secara fungsional oleh eksekutif (Pemerintah) atau badan pengurus yang diberikan tugas untuk itu, seperti Negara Republik Indonesia, Pemerintah Daerah tingkat I dan II, Bank Indonesia dan Perusahaan Negara.[46]
  4. Privaat rechtpersoon/badan hukum privat, yang mempunyai sifat/adanya unsur. Badan Hukum Privat (Privat Recths Persoon) adalah badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum sipil atau perdata yang menyangkut kepentingan banyak orang di dalam badan hukum itu. Dengan demikian badan hukum privat merupakan badan hukum swasta yang didirikan orang untuk tujuan tertentu yakni keuntungan, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan lain-lain menurut hukum yang berlaku secara sah misalnya perseroan terbatas, koperasi, yayasan, badan amal

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, Informasi Publik[47] adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Kemudian dipertegas mengenai Badan Publik yang dimaksud adalah Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.[48]

Untuk itu dengan demikian yang dikatakan Badan  Publik  adalah  Badan  Publik  Negara  dan  Badan  Publik  selain  Badan  Publik  Negara. Badan  Publik  Negara  adalah  lembaga  eksekutif,  leregislatif,  yudikatif,  dan  badan  lain yang  fungsi  dan tugas  pokoknya  berkaitan  dengan  penyelenggaraan  Organisasi,  yang sebagian  atau seluruh  dananya  bersumber  dari anggaran  pendapatan  dan belanja dan/atau  anggaran  pendapatan  dan  belanja  daerah. Badan  Publik  selain  Badan  Publik  Negara  adalah  adalah  BUMN,  BUMD,  organisasi  non pemerintah  dan partai  politik  yang  sebagian  atau  seluruh  dananya  bersumber  dari anggaran  pendapatan  dan  belanja    dan/atau  anggaran  pendapatan  dan  belanja daerah,  sumbangan  masyarakat,  dan/atau  luar  negeri.[49]

Kepublikan dipandang sebagai kunci untuk memAhami organisasi publik. Kepublikan menurut Bary Bozeman adalah kebsahannya terlegitimasi oleh kekuasaan politik, tidak harus hanya dalam organisasi kepemerintahan. Meskipun demikian sebagian besar penggunaan istilah organisasi publik akan mengacu pada organisasi pemerintah. Hal ini dapat dipahami karena kepublikan mencerminkan sifat memenuhi kebutuhan masyarakat secara umum, tanpa diskriminasi. Artinya, baik yang sanggup membayar maupun tidak wajib mendapat pelayanan (public service). Organisasi publik mempunyai karakteristik yang berbeda dengan organisasi privat, sekalipun ada beberapa bagian yang sama secara fungsional. Perbedaan yang mencolok adalah pada tujuan, kondisi dan beban yang ditanggung oleh organisasi publik (John Stewart & Stewart Ranson).[50]

Indikator Pembedaan karakteristik organisasi publik dan organisasi non publik (Benn & Gauss) sebagai berikut:[51]

  1. Interest (kepentingan) apakah keuntungan dan kerugiannya ditanggung secara komunal atau individual
  2. Akses: apakah fasilitas, sumber daya dan informasi dapat diakses secara umum atau tidak
  3. Agency (badan) apakah seseorang atau suatu organisasi bertindak secara individu atau sebagai perwakilan masyarakat.

Dengan demikian cakupan mengenai subjek hukum penyedia informasi publik sangat luas cakupannya, yakni meliputi Badan  Publik  Negara  dan  Badan  Publik  selain  Badan  Publik  Negara, dengan demikian hampir semua yang menyelenggarakan informasi publik untuk masyarakat dapat dikategorikan sebagai subjek hukum informasi publik. hal itu diarenakan pengertian dari badan publik yang bermakna luas, diantaranya Badan  Publik  Negara  adalah  lembaga  eksekutif,  leregislatif,  yudikatif,  dan  badan  lain yang  fungsi  dan tugas  pokoknya  berkaitan  dengan  penyelenggaraan  Organisasi,  yang sebagian  atau seluruh  dananya  bersumber  dari anggaran  pendapatan  dan belanja dan/atau  anggaran  pendapatan  dan  belanja  daerah. Badan  Publik  selain  Badan  Publik  Negara  adalah  adalah  BUMN,  BUMD,  organisasi  non pemerintah  dan partai  politik  yang  sebagian  atau  seluruh  dananya  bersumber  dari anggaran  pendapatan  dan  belanja    dan/atau  anggaran  pendapatan  dan  belanja daerah,  sumbangan  masyarakat,  dan/atau  luar  negeri.[52]

  1. TUGAS DAN WEWENANG KOMISI INFORMASI PUBLIK

Komisi Informasi Publik adalah lembaga independen yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi publik disingkat dengan UUKIP (Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik). Tepatnya pada Bab VII UUKIP mengatur tentang fungsi, tugas dan wewenang serta tanggung jawab Komisi Informasi serta tata cara pembentukan, proses rekruitment Komisi Informasi dari tingkat pusat hingga Provinsi dan Kabupaten/Kota di seluruh wilayah Republik Indonesia.[53] Berdasarkan ketentuan UUKIP bahwa pembentukan Komisi Informasi (KI) tingkat pusat harus sudah terbentuk satu tahun semenjak diundang UUKIP ini yaitu Tahun 2009, sedangkan untuk tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota paling lambat sudah harus terbentuk 2 tahun semenjak di undangkan UUKIP yaitu pada tgl.31 April 2010, namun pada kenyataan nya hingga saat ini KI tingkat Provinsipun baru ada di empat Provinsi antara lain Jawa Tengah, Jawa Timur, Pakan Baru dan Lampung namun dalam tahun 2011 diharapkan di 33 Provinsi proses pembentukan Komisi Informasi Provinsi sudah rampung.

Sesuai dengan ketentuan yang diatur didalam UUKIP bahwa Komisi Informasi adalah Lembaga Independent, sesuai dengan sistem admininstrasi pemerintahan secara hierarchis dibentuk sebagai berikut :[54]

  1. Komisi Informasi Pusat berkedudukan di Jakarta ibukota NKRI.yang sekarang exist dan baru saja menyelesaikan ajudikasi nonlitigasi termohon ICW atas termohon POLRI tentang kasus rekening 17 orang pejabat POLRI.
  2. Komisi Informasi Provinsi berkedudukan di ibukota Provinsi.
  3. Komisi Informasi Kabupaten/Kota berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota

Komisi Informasi Pusat berjumlah 7 (tujuh) orang yang mencerminkan unsur pemerintah dan unsur masyarakat, terdiri dari seorang ketua merangkap anggota dan wakil ketua merangkap anggota, serta 5 orang anggota-anggotanya.[55] Sedangkan Komisi Informasi Kabupaten/Kota berjumlah 5 orang yang mencerminkan unsur pemerintah dan unsur masyarakat yang terdiri dari seorang Ketua merangkap anggota, dan wakil Ketua merangkap anggota serta 3 orang anggota-anggotanya.

Tugas dan wewenang Komisi Informasi itu ialah ;[56]

  1. Secara umum bertugas
  2. Menerima, memeriksa, dan memutus permohonan penyelesaian sengketa informasi publik melalui Mediasi dan/atau Ajudikasi nonlitigasi yang diajukan oleh setiap pemohon informasi publik berdasarkan alasan sebagaimana dimaksud dalam UUKIP.
  3. Menetapkan kebijakan umum pelayanan informasi publik;dan
  4. Menetapkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk tehnis.
  5. Komisi Informasi Pusat bertugas:
  6. Menetapkan prosedur pelaksanaan penyelesaian sengketa melalui mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi;
  7. Menerima, memeriksa, dan memeutus sengketa informasi publik didaerah selama Komisi Informasi Provinsi dan/atau Komisi Informasi Kabupaten/Kota belum terbentuk;dan
  8. Memberikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya berdasarkan UUKIP kepada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat RI setahun sekali atau sewaktu-waktu jika diminta.
  9. Komisi Informasi Provinsi dan Komisi Informasi Kabupaten/Kota bertugas menerima, memeriksa, dan memutus sengketa informasi publik didaerah melalui Mediasi dan/atau ajudikasi nonlitigasi.

Dalam menjalankan tugasnya Komisi Informasi memiliki wewenang sesuai dengan wilayah yurisdiksi masing-masing antara lain ;[57]

  1. Memanggil dan/atau mempertemukan para pihak yang bersengketa
  2. Meminta catatan atau bahan yang relevan yang dimiliki oleh badan publik terkait untuk mengambil keputusan dalam upaya menyelesaikan sengketa informasi publik;
  3. Meminta keterangan atau menghadirkan pejabat badan publik ataupun pihak yang terkait sebagai saksi dalam penyelesaian sengketa Informasi Publik;
  4. Mengambil sumpah setiap saksi yang didengar keterangannya dalam ajudikasi nonlitigasi penyelesaian sengketa informasi publik;dan
  5. Membuat kode etik yang diumumkan kepada publik sehingga masyarakat dapat menilai kinerja Komisi Informasi.
  6. Kewenangan Komisi Informasi pusat dapat meliputi KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA Informasi Publik yang menyangkut Badan Publik pusat dan badan Publik Provinsi dan Kabupaten/Kota yang belum terbentuk Komisi Informasinya.

 

Komisi Informasi pusat bertanggung jawab kepada Presiden dan menyampaikan laporan tentang pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenangnya kepada DPR RI, sedangkan Komisi Informasi Provinsi,Kabupaten/Kota bertanggung jawab kepada Kepala Daerah masing-masing dan menyampaikan laporan lengkap tentang pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenangnya kepada DPRD setempat, lapora lengkap yang disampaikan bersifat terbuka untuk umum. Komisi Informasi dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya didukung oleh sekretariat Komisi yang dibentuk berdasarkan undang-undang, kepala sekretariat disebut dengan Sekretaris, dan staf sektretariatnya adalah Pegawai Negeri Sipil yang berfungsi tugas membidangi informasi dan komunikasi. Sedangkan beban biaya pelaksanaan tugas Komisi Informasi ditetapkan oleh APBN untuk Komisioner Pusat, sedangkan pembiayaan Komisioner Provinsi,Kabupaten/Kota ditetapkan oleh APBD masing-masing daerah.

Proses rekruitmen komisioner dilakukan berdasarkan pasal 30,31,32,33 UUKIP dilaksanakan secara terbuka, jujur, dan objektif dilaksanakan oleh tim seleksi yang terdiri dari unsur-unsur ; pemerintah, perguruan tinggi, pers, lembaga sosial masyarakat, dan daftar calon anggota komisi informasi wajib diumumkan kepada masyarakat melalui papan pengumuman dan media cetak/elektronik, setiap orang berhak mengajukan pendapat dan penilaian terhadap calon anggota komisi informasi itu. Karena Komisi informasi pusat sudah terbentuk, dan Komisi informasi Provinsi Lampung juga sudah terbentuk, maka disini saya ingin menyampaikan bahwa calon anggota komisi informasi Kabupaten/Kota hasil rekruitment yang dilaksanakan Tim seleksinya ( Pasal 30 ayat (2) UUKIP ) diajukan kepada DPRD setempat oleh Bupati/Walikota paling sedikit 10(sepuluh)orang calon dan paling banyak 15(lima belas) orang calon, yang selanjutnya DPRD Kabupaten/Kota melakukan uji kepatutan dan kelayakan terhadap calon-calon yang diajukan Bupati/Walikota. Hasil uji kepatutan selanjutnya ditetapkan oleh Bupati/Walikota untuk 5 (lima) orang calon yang terbaik berdasarkan rangking hasil penilaiannya. Sesuai dengan pasal 33 UUKIP bahwa Komisi Informasi diangkat untuk masa jabatan 4(empat) tahun dan dapat diangkat kembali untuk satu periode berikutnya.

Untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan yang good governance sangat diharapkan pada tahun 2011,Komisi informasi Kabupaten/Kota di empat belas Kabupaten/Kota di Provinsi Lampung agar dapat terbentuk, sehingga Komisi Informasi Provinsi mempunyai jaringan kerja guna memudahkan penyelenggaraan Keterbukaan Informasi Publik.[58] Diharapkan sesuai dengan maksud dan tujuan dibentuknya Undang-Undang No.14 tahun 2008 antara lain adalah agar supaya masyarakat dapat mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program dan proses pengambilan keputusan, serta alasan pengambilan keputusan publik berpartisipasi dan berperan aktip dalam pengambilan kebijakan dan pengelolaan badan publik yang baik mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan masyarakat, serta meningkatnya pengelolaan pelayanan informasi dilingkungan badan-badan publik, serta meningkatnya kualitas informasi publik.

  1. PENYELESAIAN SENGKETA INFORMASI PUBLIK      

Setiap Badan Publik mempunyai kewajiban untuk membuka akses atas Informasi Publik yang berkaitan dengan Badan Publik tersebut untuk masyarakat luas. Lingkup Badan Publik dalam Undang-undang Nomor 14 TAhun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik meliputi lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif, serta penyelenggara negara lainnya yang mendapatkan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dan mencakup pula organisasi nonpemerintah, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum, seperti lembaga swadaya masyarakat, perkumpulan, serta organisasi lainnya yang mengelola atau menggunakan dana yang sebagian atau seluruhnya bersumber dari APBN/APBD, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.

Sesuai dengan yang diamanat dalam pasal 13 UU No. 14 Tahun 2008 setiap Badan Publik menunjuk Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) dan membuat dan mengembangkan sistem penyediaan layanan informasi secara cepat, mudah, dan wajar sesuai dengan petunjuk teknis standar layanan Informasi Publik yang berlaku secara nasional.[59] Hal ini merupakan langkah awal berkerjanya PPID sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya untuk mewujudkan pelayanan cepat, tepat, dan sederhana setiap Badan Publik. Peraturan Pemerintah No.61 Tahun 2010 mengamanatkan PPID harus sudah ditunjuk paling lama 1 (satu) tahun terhitung sejak peraturan pemerintah diundangkan pada tanggal 23 Agustus 2010.

Keberadaan Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik sangat penting sebagai landasan hukum yang berkaitan dengan (1) hak setiap Orang untuk memperoleh Informasi; (2) kewajiban Badan Publik menyediakan dan melayani permintaan Informasi secara cepat, tepat waktu, biaya ringan/proporsional, dan cara sederhana; (3) pengecualian bersifat ketat dan terbatas; (4) kewajiban Badan Publik untuk membenahi sistem dokumentasi dan pelayanan Informasi.

Melalui mekanisme dan pelaksanaan prinsip keterbukaan, akan tercipta kepemerintahan yang baik dan peran serta masyarakat yang transparan dan akuntabilitas yang tinggi sebagai salah satu prasyarat untuk mewujudkan demokrasi yang hakiki. Dengan membuka akses publik terhadap Informasi diharapkan Badan Publik termotivasi untuk bertanggung jawab dan berorientasi pada pelayanan rakyat yang sebaik-baiknya. Dengan demikian, hal itu dapat mempercepat perwujudan pemerintahan yang terbuka yang merupakan upaya strategis mencegah praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), dan terciptanya kepemerintahan yang baik (good governance).[60]

            Adapun upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan sengketa informasi publik adalah diawali dengan adanya upaya keberatan yang ditujukan kepada badan penyedia informasi, apabila tidak mendapatkan jawaban atau tanggapan yang memuaskan, maka dapat melakukan laporan atau pengaduan melalui Komisi Informasi, Komisi informasi akan melakukan persidangan sesuai dengan standart yang berlaku, dan akan memanggil para pihak untuk dimintakan keterangan, setelah mendapatkan keterangan yang memadai, Komisi Informasi Publik akan memutuskan sengketa yang dimintakan oleh yang tidak puas dengan adanya informasi yang diberikan oleh instansi atasu lembaga yang menjadi terlapor.[61] Apabila para pihak masih belum puas, maka dapat melakukan upaya keberatan melalui Pengadilan, sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yang akan dibahas secara spesifik pada bab berikutnya.

  1. KOMISI INFORMASI

Penyelesaian sengketa informasi melalui Komisi Informasi dilakukan apabila upaya keberatan terhadap Badan Publik tidak mendapat tanggapan atau jawaban yang memuaskan, maka kemudian dapat melakukan upaya keberatan kepada Komisi Informasi. Dasar hukum yang mengatur mengenai penyelesaian sengketa melalui Komisi Informasi diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Informasi Publik juncto Peraturan Komisi Informasi Nomor 2 Tahun 2010 tentang Prosedur Penyelesaian Sengketa Informasi Publik. Upaya penyelesaian Sengketa Informasi Publik diajukan kepada Komisi Informasi Pusat dan/atau Komisi Informasi provinsi dan/atau Komisi Informasi kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya apabila tanggapan atasan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi dalam proses keberatan tidak memuaskan Pemohon Informasi Publik.

  1. Para Pihak dan Alasan Keberatan

Apabila terjadi perselisihan antara badan publik yang mengharuskannya memberikan informasi kepada masyarakat, perorangan atau sekelompok orang, namun karena adanya ketentuan undang-undang atau informasi yang dapat dikatagorikan pengecualian, maka masyarakat yang ingin memperoleh namun tertunda karena permasalahan tersebut maka ia dapat mengajukan keberatan melalui penyelesaian sengketa oleh Komisi Informasi yang ada. Hal ini dapat dilakukan    secara    tertulis    kepada    atasan    pejabat    pengelola    informasi    dan dokumentasi berdasarkan alasan :[62]

  1. penolakan karena pengecualian, yang tercantum pada pasal 17 Undang-undang No.14 th.2008 tentang keterbukaan informasi Publik selanjutnya disingkat dengan UUKIP.
  2. tidak disediakan informasi secara berkala yang meliputi; informasi tentang badan publik tersebut, kegiatan dan kinerjanya, laporan keuangannya dan/atau yang diatur oleh undang-undang.
  3. tidak ditanggapinya permintaan informasi; atau ditanggapi tidak sepenuhnya
  4. tidak dipenuhinya permintaan informasi
  5. pengenaan biaya yang tidak wajar
  6. penyampaian informasi yang tidak tepat waktu

Keberatan yang diajukan oleh pemohon adalah dalam jangka waktu 30 hari kerja setelah alasan tersebut, selanjutnya atasan pejabat pengelola informasi memberikan tanggapan keberatan yang diajukan pemohon paling lambat 30 hari kerja. Apabila tanggapan atasan pejabat pengelola informasi tersebut tidak dapat diterima oleh pemohon maka ia mengajukan kepada Komisi Informasi untuk mendapat keputusan penyelesaian sengketa. Oleh Komisi Informasi sesuai dengan fungsi tugas dan wewenang yang diberikan oleh UUKIP itu maka langkah pertama ia memanggil pihak-pihak yang bersengketa untuk diselesaikan dengan cara mediasi, dan apabila dengan jalan mediasi tidak di temukan suatu jalan keluar maka selanjutnya ditempuh jalan Ajudigasi.

  1. Mediasi

Mediasi adalah penyelesaian sengketa informasi publik antara para pihak melalui bantuan mediator komisi informasi (hanya untuk informasi yang tidak dikecualikan).[63]

Dalam pasal 3 ayat 2 paraturan komisi informasi tentang prosedur penyelesaian sengketa informasi dinyatakan, Penyelesaian Sengketa Informasi Publik melalui Komisi Informasi dapat ditempuh dengan mediasi apabila:[64]

  1. Pemohon tidak puas terhadap tanggapan atas keberatan yang diberikan oleh atasan PPID; atau
  2. Pemohon tidak mendapatkan tanggapan atas keberatan yang telah diajukan kepada atasan PPID dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak keberatan diterima oleh atasan PPID.

Proses mediasi dilaksanakan oleh mediator dan mediator pembantu. Mediator adalah ketua dan anggota pihak komisioner dari komisi informasi, sedangkan mediator pembantu adalah komisioner pada komisi informasi atau mediator selain komisi informasi. Diantara tugas dari para mediator adalah: wajib mendorong para pihak menelusuri dan menggali kepentingan mereka untuk mencapai kesepakatan, dan Mediator juga wajib mengusulkan agar kesepakatan para pihak memuat pula sanksi bagi pihak yang dikemudian hari tidak melaksanakan kesepakatan dan putusan yang telah diambil.

Dalam pasal 35 Peraturan komisi informasi dinyatakan bahwa, Mediator menyatakan proses mediasi gagal apabila:[65]

  1. salah satu pihak atau para pihak menyatakan secara tertulis bahwa proses mediasi gagal.
  2. salah satu pihak atau para pihak menarik diri dari perundingan sehingga kesepakatan belum tercapai dalam waktu sebagaimana dimaksud.
  1. Adjudikasi

Ajudigasi adalah proses penyelesaian sengketa antara pihak yang di putus oleh komisi informasi. Dalan ajudigasi ada dua bentuk yaitu Ajudikasi subtansi, yaitu penolakan berdasarkan pengecualian informasi (pasal 17 UU KIP) dan Ajudikasi prosedur, yaitu apabila mediasi gagal (untuk informasi terbuka). Penyelesaian sengketa informasi Publik melalui ajudikasi nonlitigasi oleh Komisi Informasi ditempuh mana kala proses mediasi tidak berhasil, maka Komisi Informasi menggelar sidang ajudikasi nonlitigasi. Sidang Komisi Informasi yang memeriksa dan memutus perkara terdiri dari paling sedikit 3 orang anggota Komisi atau lebih dan harus berjumlah ganjil, dan bersifat terbuka untuk umum. Dalam hal pemeriksaan yang bersifat pengecualian sebagaimana tercantum pada pasal 17 UUKIP, maka sidang pemeriksaan perkara bersifat tertutup.[66]

  1. Putusan Komisi Informasi

Putusan Komisi Informasi atas penyelesaian sengketa dengan ajudikasi ini berupa ;

  1. pemberian atau penolakan akses terhadap seluruh atau sebagian informasi yang diminta berisikan salah satu perintah dibawah ini:[67]
  2. Membatalkan putusan atasan badan publik dan memutuskan untuk memberikan sebagian atau seluruhnya informasi yang diminta oleh pemohon informasi publik sesuai dengan keputusan Komisi Informasi; atau
  3. mengukuhkan putusan atasan pejabat pengelola informasi dan dokumentasi untuk tidak memberikan informasi yang diminta baik sebagian atau seluruhnya.
  4. putusan Komisi Informasi tentang pokok keberatan tidak disediakan informasi secara berkala yang meliputi; informasi tentang badan publik tersebut, kegiatan dan kinerjanya, laporan keuangannya dan/atau yang diatur oleh undang-undang, tidak ditanggapinya permintaan informasi; atau ditanggapi tidak sepenuhnya tidak dipenuhinya permintaan informasi, atau pengenaan biaya yang tidak wajar serta penyampaian informasi yang tidak tepat waktu, berisikan salah satu perintah ;[68]
  5. memerintahkan pejabat pengelola informasi dan dokumentasi untuk menjalankan kewjibannya sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang,
  6. memerintahkan Badan Publik untuk memenuhi kewajibannya dalam jangka waktu pemberian informasi sebagaimana diatur dalam UUKIP.
  7. Mengukuhkan pertimbangan atasan Badan Publik atau memutuskan mengenai biaya penelusuran dan/atau penggandaan onformasi.

Putusan Komisi Informasi diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, kecuali keputusan yang menyangkut informasi yang dikecualikan. Komisi Informasi selanjutnya memberikan salinan keputusannya kepada pihak yang bersengketa. Untuk memperjelas mekanisme penyelesaian di Komisi Informasi, dapat melihat gambar berikut ini :

  1. PENGADILAN

                        Berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang informasi Publik joncto Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2011 tentang tata cara penyelesaian sengketa Informasi Publik di Pengadilan maka upaya yang dapat dilakukan oleh para pihak yang tidak menerima atau tidak puas terhadap Putusan Komisi Informasi, maka dapat melakukan gugatan kepada Pengadilan yang berwenang.[69] Pengadilan yang dimaksud adalah Pengadilan Umum atau Pengadilan Tata Usaha Negara. Apabila keberatan diajukan kepada Peradilan  Negeri, maka Peradilan Negeri berwenang  untuk  mengadili  sengketa  yang  diajukan  oleh Badan Publik  selain  Badan  Publik  Negara  dan/atau  Pemohon  Informasi  yang  meminta informasi  kepada  Badan  Publik  selain  Badan  Publik Negara, sedangkan bagi Peradilan Tata Usaha Negara  berwenang  untuk  mengadili  sengketa  yang  diajukan oleh Badan  Publik  Negara  dan/atau  Pemohon  Informasi  yang meminta  informasi kepada  Badan  Publik  Negara.

  1. Kompetensi Pengadilan

Dalam Hukum acara di Indonesia mengenal 2 (dua) macam kekuasaan mengadili yang disebut yurisdiksi (jurisdiction) atau kompetensi/kewenangan mengadili, yaitu pengadilan yang berwenang mengadili sengketa tertentu sesuai dengan ketentuan yang digariskan peraturan perundang-undangan.[70] Tujuan utama membahas kekuasaan/kewenangan mengadili adalah untuk memberi penjelasan mengenai masalah pengadilan mana yang benar dan tepat berwenang mengadili suatu sengketa atau kasus yang timbul, agar pengajuan dan penyampaiannya kepada pengadilan tidak keliru. Ada 2 (dua) macam kewenangan yaitu kewenangan mutlak (absolute competentie) dan kewenangan relatif (relative competentie).[71]

Kompetensi absolute adalah wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak bisa diperiksa oleh badan pengadilan lain. Dengan kata lain Kompetensi absolute adalah berbicara mengenai Badan Peradilan macam apa yang berwenang untuk mengadili suatu perkara. Apakah Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha Negara terhadap sengketa Informasi Publik. Sedangkan Kompetensi relatife adalah pembagian kekuasaan kehakiman yang berkaitan dengan wilayah hokum suatu peradilan. Dengan kata lain Kompetensi relatif adalah berbicara mengenai Pengadilan Negeri yang mana berwenang untuk mengadili suatu perkara.[72]

Kompetensi absolut untuk sengketa Informasi Publik dibagi menjadi 2 (dua), yakni Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Apabila keberatan dilakukan oleh atau terhadap Badan Publik yang selain Badan Publik Negara maka dapat melakukan upaya Keberatan kedapa Pengadilan Negeri. Sedangkan untuk Pengadilan Tata Usaha Negara yakni keberatan yang dilakukan oleh atau terhadap badan Publik Negara. Mengenai yang disebut Badan  Publik  Negara  adalah  lembaga  eksekutif,  leregislatif,  yudikatif,  dan  badan  lain yang  fungsi  dan tugas  pokoknya  berkaitan  dengan  penyelenggaraan  Organisasi,  yang sebagian  atau seluruh  dananya  bersumber  dari anggaran  pendapatan  dan belanja dan/atau  anggaran  pendapatan  dan  belanja  daerah. Sedangkan Badan  Publik  selain  Badan  Publik  Negara  adalah  adalah  BUMN,  BUMD,  organisasi  non pemerintah  dan partai  politik  yang  sebagian  atau  seluruh  dananya  bersumber  dari anggaran  pendapatan  dan  belanja dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah,  sumbangan  masyarakat,  dan/atau  luar  negeri.[73]

Sedangkan Untuk menentukan Kompetensi relative adalah ditentukan atau Keberatan yang diajukan oleh pemohon keberatan diajukan di Pengadilan wilayah hukum tempat Badan Publik berkedudukan. Apabila tempat kedudukan pemohon berbeda dengan tempat Badan Publik, maka permohonan diajukan ditempat pemohon berkedudukan, untuk selanjutnya diserahkan oleh Pengadilan penerima untuk diteruskan sesuai dengan kedudukan tempat badan Publik berkedudukan. Kemudian selambat-lambatnya selama 14 (empat belas) hari setelah keberatan diterima, Panitera meminta salinan Putusan Komisi Informasi, dan Komisi Informasi wajib memberikan salinan kepada Pengadilan selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari setelah permintaan. Kemudian Termohon keberatan dapat menyerahkan jawaban dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak keberatan deregister. Kemudian paling lambat 3 hari setelah Termohon menyerahkan jawaban, Majelis hakim wajib mengadili perkara.

  1. Objek dan Alasan Mengajukan Keberatan

Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa penyelesaian sengketa Informasi Publik di Pengadilan maka upaya yang dapat dilakukan oleh para pihak yang tidak menerima atau tidak puas terhadap Putusan Komisi Informasi, maka dapat melakukan gugatan kepada Pengadilan yang berwenang. Dengan demikian terdapat Putusan Komisi baik secara formil dan materiil[74] tidak sesuai dengan yang asas dan peraturan perundang-undangan yang ada, merupakan objek sekaligus alasan melakukan atau mengajukan keberatan kepada Pengadilan, baik Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha Negara, sehingga salah satu pihak dapat mengajukan jenis, sifat dan karakter kerugiannya dengan adanya Putusan Komisi Informasi yang telah diputuskan. Keberatan yang diajukan tersebut diajukan oleh salah satu pihak secara tertulis yang secara langsung maupun tidak langsung yang tidak menerima terhadap putusan Komisi Informasi.

Tata cara mengajukan keberatan adalah salah satu pihak yang tidak menerima Putusan Komisi Informasi dapat mengajukan Keberatan kepada Peradilan yang berwenang (Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tata Usaha Negara). Keberatan tersebut diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah Putusan Komisi Informasi diterima oleh para Pihak berdasarkan tanda bukti penerimaan. Apabila dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah Putusan Komisi Informasi diterima oleh para Pihak, namun tidak mengajukan keberatan, maka secara otomatis Putusan Komisi Informasi telah berkekuatan hukum tetap, dan tidak dapat dimintakan uapaya hukum lagi.

  1. Acara Pemeriksaan

Pemeriksaan dilakukan  secara  sederhana  hanya  terhadap  Putusan  Komisi  Informasi, berkas  perkara  serta  pemohonan  keberatan  dan  jawaban  atas  keberatan  tertulis  daripara  pihak,  dengan tanpa mediasi. Pemeriksaan  bukti  hanya  dapat  dilakukan  atas  hal-hal  yang  dibantah  salah  satu  atau para  pihak  serta  jika  ada  bukti  baru  selama  dipandang  perlu  oleh  Majelis  Hakim. Untuk  terangnya  suatu  perkara,  Majelis  Hakim  dapat  memanggil  Komisi  lnformasi untuk  memberikan  keterangan  apabila  diperlukan.

Maksud dari pemeriksaan yang bersifat sederhana tersebut adalah dengan artian tidak terdapat metode pemeriksaan yang bersifat rumit atau sulit, sehingga sesuai dengan akar masalah dan persoalan yang menjadi perbedaan dan pertentangan antar pemohon dan termohon.[75] Sehingga dengan demikian mampu memberikan solusi alternatif jalan keluar yang baik dan sama-sama memberikan kepuasan terhadap para pihak.[76] Untuk itu dalam memutus sengketa Informasi Publik ini diperlukan pengetahuan hakim terhadap persoalan-persoalan yang berkaitan dengan keterbukaan informasi publik, dengan demikian mampu diharapkan tujuan keterbukaan informasi dapat terselenggara dengan baik dan pengadilan sebagai lembaga yang memberikan jalan tengah terhadap persoalan yang disengketakan.

Pada dasarnya pemeriksaan sederhana dilakukan karena adanya kepentingan para pihak yang sangat mendesak menyangkut informasi yang disengketakan dan dengan kepentingan yang mendesak itu sengketa informasi dilakukan pemeriksaan dengan sederhana terhadap Putusan Komisi Informasi. Proses pemeriksaan dalam Acara Pemeriksaan ini terdiri dari: Pengajuan Keberatan, Penelitian Administratif, Rapat Permusyawaratan, Pemeriksaan Pokok Sengketa dan Penjatuhan Putusan. Pemeriksaan dengan acara sederhana pun hanya dilakukan dengan hakim lengkap. Perlu diperhatikan pula bahwa dalam pemeriksaan perkara dengan acara sederhana ini tidak ada pemeriksaan persiapan dan setelah ditunjuk majelis Hakim, langsung para pihak dipanggil untuk persidangan selain itu yang perlu diperhatikan juga yaitu pihak ketiga tidak dapat masuk dalam proses persidangan dan resiko tentang fakta tidak sekuat dan meyakinkan seperti dalam acara biasa.[77]

  1. Pembuktian

Pembuktian merupakan titik sentral dalam hukum. Adapun tujuan dari pembuktian adalah mencari dan menempatkan kebenaran materiil bukanlah kesalahan orang lain. Pembuktian ini dilakukan demi kepentingan hakim yang harus memutuskan perkara disertai dengan bukti yang konkret,[78] dengan adanya pembuktian itu, maka hakim meskipun dia tidak melihat dengan mata kepalanya sendiri kejadian sesungguhnya, dapat menggambarkan dalampikirannya apa yang sebeharnya terjadi, sehingga memperoleh keyakainan tentang hal tersebut. Pembuktian adalah proses bagaimana alat-alat bukti dipergunakan, diajukan atau dipertahankan sesuai dengan hukum yang berlaku.[79] System pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang dipergunakan, penguraianalat-alat bukti dan bagaimana alat-alat itu dipergunakan dan dengan bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya.

Dalam sengketa Informasi Publik cukup menarik, mengingat beban Pembuktiannya dibebankan langsung kepada Badan Publik sebagaimana Pasal 45 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang keterbukaan Informasi Publik. Dengan demikian berlaku pembuktian dari badan yang mengeluarkan Informasi apakah yang dianggap oleh Pemohon keberatan berdasar atau tidak. Dengan demikian dapat diperoleh informasi yang valid yang dapat dijadikan dasar dalam proses pembentukan Putusan yang akan diambil sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta asas-asas yang sesuai dengan hal-hal yang disengketakan.

Mengenai pembuktian juga berlaku sebagaimana teori pembuktian pada umumnya.[80] Pembuktian adalah penyajian alat-alat bukti yang sah menurut hukum oleh pihak berperkara kepada Hakim dalam persidangan dengan tujuan untuk memperkuat kebenaran dalil tentang fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, sehingga Hakim memperoleh kepastian untuk dijadikan dasar putusannya.[81] Pembuktian di atas adalah dalam pengertian yuridis, yang bersifat kemasyarakatan, selalu mengandung ketidakpastian dan tidak akan pernah mencapai kebenaran mutlak. Jadi pembuktian yuridis sifatnya relatif, dalam arti hanya berlaku bagi pihak-pihak berperkara dan pengganti-penggantinya, dan memungkinkan pula terjadinya perbedaan penilaian hasil pembuktian di antara sesama Hakim. Tujuan pembuktian adalah berusaha memberikan kepastian tentang kebenaran fakta hukum yang menjadi pokok sengketa, kepada Hakim. Guna pembuktian yang lain adalah sebagai dasar keputusan Hakim, sedangkan yang dibuktikan ialah fakta hukum yang menjadi pokok sengketa.

Pembuktian sangat penting artinya dalam persidangan, karena dikabulkan atau ditolaknya suatu gugatan bergantung pada terbukti atau tidaknya gugatan tersebut didepan pengadilan. Untuk itu hakim harus menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang menjadi dasar gugatan benar atau tidak ? Dalam praktek tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya, seperti terhadap dalil-dalil yang telah diakui atau tidak disangkal oleh Tergugat serta hal-hal yang telah diketahui oleh khalayak ramai (notoir feiten). Seperti pembuktian pada umumnya juga berlaku dalam sengketa Informasi, yakni dapat berupa Surat (akta autentik, akta di bawah tangan, surat lain), Keterangan Ahli, Keterangan Saksi, Pengakuan Para Pihak dan pengetahuan Pengetahuan Hakim.[82]

  1. Putusan

Pada dasarnya penggugat melakukan suatu gugatan ke pengadilan adalah bertujuan agar pengadilan melalui hakim dapat menyelesaikan perkaranya dengan mengambil suatu putusan. Bagi hakim dalam menyelesaikan suatu perkara yang penting bukanlah hukumnya, karena hakim dianggap tahu hukumnya (ius curia novit)[83], tetapi mengetahui secara obyektif fakta atau peristiwa sebagai duduk perkara yang sebenarnya sebagai dasar putusannya, bukan secara a priori langsung menemukan hukumnya tanpa perlu mengetahui terlebih dahulu duduk perkara yang sebenarnya.
Fakta atau peristiwa sebagai duduk perkara akan dapat diketahui hakim dari alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa. Setelah dianggap cukup hakim harus menentukann peraturan huku yang dapat diterapkan.menyangkut denga peraturan hukum yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan sengketa itu oleh hakim, pada dasarnya menunjukkan bahwa sebelum menjatuhkan suatu putusan hakim melakukan penelitian dalam rangka Menemukan Hukum (Judge made law/rechtvinding).[84] Dengan demikian hakim telah berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menjatuhkan putusan yang obyektif, adil, dan tidak dipengaruhi oleh unsure siapapun kecuali sikaf obyektivitas dan rasa keadilan itu semata.

Adapun Putusan terhadap sengketa informasi Publik baik Putusan pengadilan tata usaha negara atau pengadilan negeri dalam penyelesaian Sengketa Informasi Publik tentang pemberian atau penolakan akses terhadap seluruh atau sebagian informasi yang diminta berisi salah satu perintah adalah :

  1. Membatalkan putusan Komisi Informasi

Dalam hal terjadi Pembatalan terhadap Putusan Komisi Informasi maka terdapat 2 (dua) kemungkinan, yakni diikuti oleh perintah untuk memberikan sebagian atau keseluruhan informasi kepada pemohon informasi, atau yang kedua adalah menolak memberikan sebagian atau keseluruhan terhadap pemohon informasi.

  1. Menguatkan Putusan Komisi Informasi

Untuk penguatan terhadap Putusan Komisi Informasi maka kemungkinan terdapat 2 (dua) pilihan, Pertama memerintahkan badan publik untuk memberikan sebagian atau keseluruhan informasi yang diminta oleh Pemohon informasi publik, atau Kedua adalah menolak memberikan sebagian atau keseluruhan informasi yang diminta oleh Pemohon informasi publik.

Pengadilan  wajib  memutus  dalam  waktu  paling  lambat  50 (enam  puluh)  hari  sejak Majelis  Hakim  ditetapkan. Terhadap  putusan  Pengadilan  tingkat pertama, dapat  diajukan kasasi  ke Mahkamah  Agung  dalam  waktu paling  lama  14 (empat  belas)  hari  sejak putusan  diucapkan  dalam  siding terbuka  untuk  umum  apabila  para  pihak  hadir  atau  14 (empat belas)  hari  sejak  isi  atau  amar  putusan  diberitahukan  kepada  para  pihak  oleh Jurusita  untuk sengketa  di  Pengadilan  Negeri,   atau sejak  pemberitahuan  putusan dikirimkan  melalui  pos  untuk  sengketa  di  Pengadilan  Tata  Usaha  Negara. Mahkamah  Agung  wajib  memutus  dalam  waktu  paling  lambat  30  (tiga  puluh)  hari  sejak Majelis  Hakim  ditetapkan. Putusan pengadilan tata usaha negara atau  pengadilan negeri dalam penyelesaian Sengketa Informasi Publik tentang pemberian atau penolakan akses terhadap seluruh atau sebagian informasi, atau Putusan  Pengadilan  dapat  berupa  membatalkan  atau menguatkan  putusan  Komisi Informasi.

 

  1. Upaya Hukum

Upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan hakim.[85] Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk hal tertentu untuk melawan putusan hakim sebagai tempat bagi pihak-pihak yang tidak puas dengan putusan hakim yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, tidak memenuhi rasa keadilan, karena hakim juga seorang manusia yang dapat melakukan kesalahan/kekhilafan sehingga salah memutuskan atau memihak salah satu pihak.[86] Demi keadilan dan kebenaran putus hakim harus dapat diperbaiki atau dibatalkan jika dalam putusannya terdapat kekhilafan atau kekeliruan. Oleh karena itu hukum menyediakan sarana atau upaya perbaikan atau pembatalan putusan guna mencegah atau memperbaiki kekhilafan atau kekeliruan putusan. Upaya hukum merupakan hak dari pihak yang berkepentingan, karena itu pula pihak yang bersangkutan sendiri yang harus aktif dengan mengajukannya kepada pengadilan yang diberi kekuasaan untuk itu jika ia menghendakinya. Hakim tidak dapat memaksa atau menghalanginya.

Dalam sengketa Informasi Publik apabila terdapat pihak yang belum puas dengan adanya Putusan Pengadilan Negeri ataupun Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara, maka dapat menempuh jalur upaya hukum berupa Kasasi kepada Mahkamah Agung. Adapun sesuai Pasal 9 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2011 mengatur secara jelas bahwa tenggang waktu melakukan Kasasi untuk sengketa Informasi Publik adalah 14 (empat belas) hari sejak Putusan dibacakan/diterima oleh Para Pihak. Apabila melihat pengaturan mengenai Kasasi ini maka sesungguhnya dapat dikatakan begitu cepatnya proses hukum acara pada sengketa Informasi Publik ini, mengingat waktu yang diberikan cukup sedikit dan cepat, hal ini erat kaitannya dengan tujuan Informasi Publik yang bersifat cepat dan mudah.

Putusan  Komisi  lnformasi  yang  berkekuatan  hukum  tetap  dapat  dimintakan  penetapan eksekusi  kepada  Ketua  Pengadilan  yang  berwenang  oleh  Pemohon  lnformasi. Permohonan  untuk  mendapatkan  penetapan  eksekusi  dilakukan  dengan  mengajukan  permohonan  tertulis  dengan  melampirkan  salinan  resmi putusan  Komisi  Informasi  yang  telah  berkekuatan  hukum  tetap  tersebut  ke  Pengadilan dalam  wilayah  hukum  Badan  Publik sebagai Termohon Eksekusi. Ketua  Pengadilan  mengabulkan  atau  menolak  pemberian  penetapan  eksekusi  dalam waktu  paling  lambat  7 (tujuh) hari.

  1. Ekskusi Putusan

Di dalam dunia pengadilan, sebenarnya hanya ada satu hal pokok yang dicari para justiabalance (pencari keadilan) yaitu Putusan Hakim.Setelah putusan tersebut sudah final dan berkekuatan hokum sacara tetap maka akan dilaksanakan eksekusi (akibat dari putusan tersebut).[87] Tujuan pihak-pihak yang berperkara menyerahkan perkara-perkaranya kepada pengadilan adalah untuk menyelesaikan perkara mereka secara tuntas dengan putusan pengadilan.Tetapi dengan adanya putusan pengadilan bukan berarti sudah menyelesaikan perkara secara tuntas, akan tetapi perkara akan dianggap selesai apabila ada pelaksanaan putusan atau eksekusi.[88]

Dengan kata lain pencari keadilan mempunyai tujuan akhir yaitu agar segala hak-haknya yang dirugikan oleh pihak lain dapat dipulihkan melalui putusan pengadilan/hakim.[89] Dan pemulihan tersebut akan tercapai apabila putusan dapat dilaksanakan. Pelaksanaan putusan /eksekusi adalah putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan. Dan putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).[90] Putusan yang sudah berkekuatan tetap adalah putusan yang sudah tidak mungkin lagi dilawan.

Putusan  Komisi  lnformasi  yang  berkekuatan  hukum  tetap  dapat  dimintakan  penetapan eksekusi  kepada  Ketua  Pengadilan  yang  berwenang  oleh  Pemohon  lnformasi. Permohonan  untuk  mendapatkan  penetapan  eksekusi  dilakukan  dengan  mengajukan  permohonan  tertulis  dengan  melampirkan  salinan  resmi putusan  Komisi  Informasi  yang  telah  berkekuatan  hukum  tetap  tersebut  ke  Pengadilan dalam  wilayah  hukum  Badan  Publik sebagai Termohon Eksekusi. Ketua  Pengadilan  mengabulkan  atau  menolak  pemberian  penetapan  eksekusi  dalam waktu  paling  lambat  7 (tujuh) hari.

Terhadap ekskusi Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara sesuai dengan amar Putusannya ditempuh sebagaimana yang diatur dalam Pasal 116 Undang-Undang Nomo 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Sedangkan Ekskusi terhadap Pengadilan Negeri sesuai dengan isi Putusannya, apabila diperintahkan untuk menjalankan kewajiban tertentu, maka bentuk ekskusinya adalah ekskusi khusus, yakni berupa penggantian hukuman dengan sejumlah uang (Pasal 225 HIR). Sedangkan apabila Putusan Pengadilan Negeri memerintahkan untuk memberikan informasi yang dimohonkan, maka bentuk ekskusinya adalah ekskusi riil dilapangan.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka diperluakan upaya yang cepat, singkat dan dapat memberikan jawaban yang memuaskan bagi kedua belah pihak yang bersengketa. dengan demikian solusi alternative penyelesaian sengketa melalui jalur pengadilan dapat dijadikan rujukan terakhir sekaligus sebagai benteng terakhir (ultimum remedium) dalam mencari kedilan dibidang keterbukaan informasi Publik. Untuk itu dibutuhkan upaya Sumber Daya Manusia Hakim yang mumpuni, sehingga mampu beradaptasi sesuai dengan perkembangan zaman yang menginginkan keterbukaan akses yang  transparan dan akuntabel.

  1. PENUTUP

          Demikian bahwa perkembangan teknologi dan informasi juga berpengaruh terhadap perkembangan hukum, utamanya dalam upaya penyelesaian sengketa Informasi Publik yang semakin hari semakin banyak disengketakan. Dengan beberapa ulasan ini, penulis berharap bahwa dengan adanya kemajuan teknologi dan informasi, juga mendorong Sumber Daya Manusia yang mumpuni untuk menyelesaikan segenap persoalan secara cepat, professional, transparan dan akuntabel, sehingga upaya penegakan hukum mampu memberikan solusi terbaik bagi para pihak.

DAFTAR PUSTAKA

Abdussalam, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Penerbit Bulan Bintang, 2001

Agus Dwiyanto dan Bevaola Kusumasari “Reformasi Pelayanan Publik: Apa yang Harus Dilakukan?” dalam Policy Brief,  No. II/PB/2003.

Agus Dwiyanto, dkk.,  Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Yogayakarta: PSKK-UGM, 2003.Kompas, 23 September 2003.

Agus Dwiyanto, “Pemerintahan yang Efisien, Tanggap, dan Akuntabel: Kontrol atau Etika?” dalam Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik (JKAP),  Yogyakarta: MAP UGM, Vol. I, No.2 , Juli 1997.

Agung Kurniawan, Transformasi Pelayanan Publik. Yogyakarta: Pembaruan, 2005.

Albrow, Martin. 1979. Bureaucracy, Pall Mall Press Ltd., London.

A Herbert Simon,. 2004. Administrative Behavior, Perilaku Administrasi : Suatu Studi tentang Proses Pengambilan Keputusan dalam Organisasi Administrasi, Edisi Ketiga, Cetakan Keempat, Alih Bahasa ST. Dianjung, Bumi Aksara, Jakarta.

  1. Ali Budiarto Kompilasi Kaidah Hukum Putusan mahkamah Agung Hukum Acara perdata Masa Setengan Abad. Swara Justitia. Jakarta 2005.

Anshorie Sabuan, Hukum Acara Pidana,Penerbit Angkasa,Bandung,1990.

  1. Hari Sasangka. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata Untuk Mahasiswa Dan Praktisi. Mandar Maju.Bandung.2003.

Daniel dan Robert L. Kahn Katz. 1966. Organizations and The System Concept, dalam Shafritz, Jay M dan J. Steven Ott. 1987. Classics of Organization Theory, Brooks/Cole Publishing Company Pacific Grove, California.

Darwin Rins. 1989. Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar. Jakarta: Djambatan,

David osborne dan Peter Plastrik, Memangkas Birokrasi: Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha, terj. Abdul Rasyid dan Ramelan, Jakarta: PPM, 2000.

Dwight Waldo, 1984. Pengantar Studi Public Administration, Cetakan Keempat, Alih Bahasa Slamet W. Admosoedarmo, Aksara Baru, Jakarta,

Erika Revida, Administrasi Kepegawaian Publik. Medan: USU Press. 2007.

Emmete S Radford,. 1975. Ideal and Practice in Public Administration, University of Alabama Press.

Fandi Tjiptono & Diana Anastasia. Total Quality Management. Yogyakarta: Andi. Hal 74, 2003.

Gibson, dkk. 1987. Organisasi : Perilaku, Struktur, Proses, Edisi Kelima, Jilid 1, Alih Bahasa Djarkasih, Erlangga, Jakarta.

Gunarto Suhardi, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2002.

Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung,2003.

Hadi Soeprapto, Hukum dan Kebijakan Publik (antara keinginan dan Harapan), Media Pratama, Bandung, 2004.

Hetifah Sj. Sumarto, Inovasi, Partisipasi dan Good Governance, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003.

H.A.S. Moenir, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 1992, Hal. 26

Henry, Nicholas (1995). Administrasi Negara, dan Masalah-Masalah Publik, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

H Edgar Schein, 1992. Organizational Culture and Leadership, Second Edtion, Jossey Bass Publishers, San Francisco.

Hessel Nogi S Tangklison, Manajemen Publik. Jakarta: Grasindo. 2005.

Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi dan Hukum internasional. Jakarta: Lentera Hati, 2002.

Inu Kencana Syafi’i, dkk., Ilmu Administrasi Publik, Jakarta: Rineka cipta, 1999.

I Ketut  Artadi, 2008. Kumpulan Peraturan Perundang Undangan Hukum Acara Perdata,( Diktat ) Fakultas Hukum, Universitas Udayana, Denpasar.

Janet V. Denhardt dan Robert B. Denhardt, The New Public Service: Serving, not Steering, New York: ANSI, 2002.

Jay M. Shafritz dan Albert C. Hyde,  Classics of Public Administration, USA: Harcourt Brace & company, 1978.

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006,

John Stuart Mill, Utilitarianism, On Liberty, Consideration on Representative Government, Vermont: Everyman, 1993.

Kattopo, Dari Meja Tanri Abeng (2000). Managing atau Chaos, Jakarta: Institut Pembelajaran Manajemen Paramadina.

Lijan Poltak Sinambela, dkk. Reformasi Pelayanan Publik. Jakarta: Bumi Aksara. 2006

Lawrence E. Lynn, Jr., and Sydney Stein, Jr. The Myth of the Bureaucratic Paradigm: What Traditional Public Administration Really Stood For, 2nd Revised Draft October 4, 2000,

Luhut M.P.Pangaribuan,Hukum Acara Pidana,Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh Advokat,Djambatan,2005.

Martiman Prodjohamidjojo, Membuat Surat Dakwaan, Ghalia Indonesia,Jakarta,2001.

Mustopadidjaja AR. 1985. Paradigma-Paradigma Pembangunan dan Saling Hubungannya dengan Model, Strategi, dan Kebijakan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan, LAN-RI, Jakarta.

Miftah Thoha, 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia, Cetakan Kedua, RajaGrafindo Persada, Jakarta.

_____________,  Ilmu Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Press, cet. keVIII, 2003.

  1. Irfan Islamy, 1994. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara Jakarta.

Mufiz Ali. 1995. Pengantar Administrasi Negara, Materi Pokok UT Jakarta, h. 28, 118-123.

Paimin Napitupulu, Pelayanan Publik dan Customer Statisfiction. Bandung: Alumni. 2007.

Phillips, H.S.  “Development Administration and The Alliance of Progress”, International Review of the Administrative Science, Vol. XXIX, 1968.

  1. Soesilo, Pengantar Ilmu Hukum, Djambatan, bandung, 1981

Richrd M Steers. 1985. Efektivitas Organisasi, Cetakan Kedua,  Alih Bahasa Magdalena Jamin, Erlangga, Jakarta.

Rozali Abdullah , 1994. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, cet, ketiga, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

Rozi Syafuan Soebhan, 2000. Model Reformasi Birokrasi Indonesia, http://www.bpkp.go.id. diakses27 September 2010.

Sampara Lukman, Manajemen Kualitas Pelayanan. Jakarta: STIA LAN Press. 2000

Sedarmayanti. Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) Bagian Kedua: Membangun Manajemen Sistem Kinerja Guna Meningkatkan Produktivitas Menuju Good Governance (Kepemerintahan yang Baik). Bandung: Mandar Maju. 2004.

Sirajudin, dkk. 2006. Hak Rakyat Mengontrol Negara. Jakarta: Yappika.

Siti Soetami, 2005. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Aditama, Bandung.

Soebekti. Hukum Pembuktian. Pradnya Paramita. Jakarta. 2007. Hal. 34

Soenarto, R Soerodibroto, SH.2003.KUHP dan KUHAP. Jakarta: Raja Grafindo Persada Indonesia.

Soerdjono Soekanto, Beberapa Hal yang Mempengaruhi Penegakan Hukum di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1985

Soesilo Yuwono, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP:  sistem dan Prosedur, Alumni, Bandung, 1982.

Sondang Siagian, “Konsepsi dan Masalah – Masalah Administrasi Pembangunan.”, Administrasi Negara, Tahun X, No. 1, Mei 1970.

Stephen P Robbins. 1994. Teori Organisasi : Struktur, Desain, dan Aplikasi, Edisi Ketiga, Alih Bahasa Jusuf Udaya, Arcan, Jakarta.

Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta.

Suwandi, Made.2009. Tanggapan Terhadap Makalah Tentang Pokok-Pokok Pikiran Penataan Organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Jakarta.

T Deddy Tikson, dkk. 2004. Evaluasi Pembangunan Pasca Otonomi Daerah di Sulawesi Selatan, Kerjasama Bappeda Propinsi Sulsel dengan Lembaga Penelitian Unhas, Makassar.

  1. Gayus Lumbuun, Kebijakan Pemerintah Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik, makalah, tanpa tahun
  2. Mulya Lubis, ed. Peranan Hukum dalam Perekonomian di Negara Berkembang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986.

Wacipto Setiadi, 1994. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Wahyudi dan Akdon. 2010. Manajemen Konflik dalam Organisasi : Pedoman Praktis bagi Pemimpin Efektif, Cetakan Pertama, Alfabeta, Bandung.

W Fred Riggs, 1988. Administrasi Negara-negara Berkembang : Teori Masyarakat Prismatis, Cetakan Kedua, Alih Bahasa Tim Yasogama, Rajawali, Jakarta.

W Tjandra, Riawan,dkk. Peningkatan Kapasitas Pemda dalam Pelayanan Publik. Yogyakarta: Pembaruan. 2005.

Yahya Harahap,. 2004. Pembahasan Permasalah dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika

______________, Yahya Harahap. Hukum Acara perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan  Putusan Pengadilan. Sinar Grafika. Jakarta. 2003.

Zauhar, Soesilo. 2002. Reformasi Administrasi, Bumi Aksara Jakarta.

[1] Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi dan Hukum internasional. Jakarta: Lentera Hati, 2002. Hal. 25

[2] Sampara Lukman, Manajemen Kualitas Pelayanan. Jakarta: STIA LAN Press. 2000, Hal 74

[3] T. Mulya Lubis, ed. Peranan Hukum dalam Perekonomian di Negara Berkembang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986. Hal. 72

[4] Gunarto Suhardi, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2002. Hal. 26

[5] Miftah Thoha,  Ilmu Administrasi Negara, Jakarta: Rajawali Press, cet. keVIII, 2003. Hal. 12

[6] Richrd M Steers. 1985. Efektivitas Organisasi, Cetakan Kedua,  Alih Bahasa Magdalena Jamin, Erlangga, Jakarta. Hal 72

[7] Janet V. Denhardt dan Robert B. Denhardt, The New Public Service: Serving, not Steering, New York: ANSI, 2002. Hal, 88

[8] Ibid

[9] Agus Dwiyanto dan Bevaola Kusumasari “Reformasi Pelayanan Publik: Apa yang Harus Dilakukan?” dalam Policy Brief,  No. II/PB/2003. Hal. 5

[10] Inu Kencana Syafi’i, dkk., Ilmu Administrasi Publik, Jakarta: Rineka cipta, 1999. Hal. 32

[11] Hadi Soeprapto, Hukum dan Kebijakan Publik (antara keinginan dan Harapan), Media Pratama, Bandung, 2004. Hal 54

[12] Agus Dwiyanto, dkk.,  Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Yogayakarta: PSKK-UGM, 2003.Kompas, 23 September 2003. Hal. 20

[13] Soerdjono Soekanto, Beberapa Hal yang Mempengaruhi Penegakan Hukum di Indonesia, Rajawali Press, Jakarta, 1985

[14] T. Gayus Lumbuun, Kebijakan Pemerintah Dalam Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik, makalah, tanpa tahun, hal. 5

[15] R. Soesilo, Pengantar Ilmu Hukum, Djambatan, bandung, 1981, Hal. 51

[16] M. Irfan Islamy, 1994. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara Jakarta. Hal. 23

[17] R. Soesilo, Opcit

[18] Abdussalam, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Penerbit Bulan Bintang, 2001, Hal 31

[19] Ibid

[20] Agus Dwiyanto dan Bevaola Kusumasari “Reformasi Pelayanan Publik: Apa yang Harus Dilakukan?” dalam Policy Brief,  No. II/PB/2003. Hal. 5

[21] Rozi Syafuan Soebhan, 2000. Model Reformasi Birokrasi Indonesia, http://www.bpkp.go.id. diakses27 September 2010.

[22] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, Hal. 38

[23] David osborne dan Peter Plastrik, Memangkas Birokrasi: Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha, terj. Abdul Rasyid dan Ramelan, Jakarta: PPM, 2000. Hal. 37

[24] Sebagaimana dikutip oleh Lijan Poltak Sinambela, dkk. Reformasi Pelayanan Publik. Jakarta: Bumi Aksara. 2006, Hal 23

[25] Dikutip oleh Paimin Napitupulu, Pelayanan Publik dan Customer Statisfiction. Bandung: Alumni. 2007. Hal. 73

[26] H Edgar Schein, 1992. Organizational Culture and Leadership, Second Edtion, Jossey Bass Publishers, San Francisco.

[27] Sebagaimana dikutip oleh Jay M. Shafritz dan Albert C. Hyde,  Classics of Public Administration, USA: Harcourt Brace & company, 1978. Hal. 10

[28] Agus Dwiyanto, dkk.,  Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah, Yogayakarta: PSKK-UGM, 2003.Kompas, 23 September 2003. Hal. 20

[29] Erika Revida, Administrasi Kepegawaian Publik. Medan: USU Press. 2007. Hal 86

[30] John Stuart Mill, Utilitarianism, On Liberty, Consideration on Representative Government, Vermont: Everyman, 1993. Hal 56

[31] H.A.S. Moenir, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara, 1992, Hal. 26

[32] Agus Dwiyanto, “Pemerintahan yang Efisien, Tanggap, dan Akuntabel: Kontrol atau Etika?” dalam Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik (JKAP),  Yogyakarta: MAP UGM, Vol. I, No.2 , Juli 1997. Hal. 54

[33] Mustopadidjaja AR. 1985. Paradigma-Paradigma Pembangunan dan Saling Hubungannya dengan Model, Strategi, dan Kebijakan dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan, LAN-RI, Jakarta.

[34] Daniel dan Robert L. Kahn Katz. 1966. Organizations and The System Concept, dalam Shafritz, Jay M dan J. Steven Ott. 1987. Classics of Organization Theory, Brooks/Cole Publishing Company Pacific Grove, California.

[35] Agung Kurniawan, Transformasi Pelayanan Publik. Yogyakarta: Pembaruan. Hal. 29, 2005. Hal 35

[36] Sebagaimana dikutip oleh Sedarmayanti. Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) Bagian Kedua: Membangun Manajemen Sistem Kinerja Guna Meningkatkan Produktivitas Menuju Good Governance (Kepemerintahan yang Baik). Bandung: Mandar Maju. 2004. Hal. 28

[37] W Tjandra, Riawan,dkk. Peningkatan Kapasitas Pemda dalam Pelayanan Publik. Yogyakarta: Pembaruan. 2005. Hal 36

[38] Gibson, dkk. 1987. Organisasi : Perilaku, Struktur, Proses, Edisi Kelima, Jilid 1, Alih Bahasa Djarkasih, Erlangga, Jakarta.

[39] Hessel Nogi S Tangklison, Manajemen Publik. Jakarta: Grasindo. 2005. Hal 28

[40] Fandi Tjiptono & Diana Anastasia. Total Quality Management. Yogyakarta: Andi. Hal 74, 2003.

[41] Gibson, dkk. 1987. Organisasi : Perilaku, Struktur, Proses, Edisi Kelima, Jilid 1, Alih Bahasa Djarkasih, Erlangga, Jakarta.

[42] Dalam bukunya menjelaskan secara gambling mengenai asas-asas umum pemerintahan yang baik. baca Hetifah Sj. Sumarto, Inovasi, Partisipasi dan Good Governance, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003. hal. 45

            [43] Ibid

[44] Albrow, Martin. 1979. Bureaucracy, Pall Mall Press Ltd., London. Hal. 24

[45] Lawrence E. Lynn, Jr., and Sydney Stein, Jr. The Myth of the Bureaucratic Paradigm: What Traditional Public Administration Really Stood For, 2nd Revised Draft October 4, 2000, http://wwwharrisschool.uchicago.edu/pdf/wp_00_23pdf, diakses 27 02 2012

[46] Henry, Nicholas (1995). Administrasi Negara, dan Masalah-Masalah Publik, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Hal. 76

[47] Sirajudin, dkk. 2006. Hak Rakyat Mengontrol Negara. Jakarta: Yappika. Hal. 26

[48] Sondang Siagian, “Konsepsi dan Masalah – Masalah Administrasi Pembangunan.”, Administrasi Negara, Tahun X, No. 1, Mei 1970. Hal. 34

[49] Kattopo, Dari Meja Tanri Abeng (2000). Managing atau Chaos, Jakarta: Institut Pembelajaran Manajemen Paramadina. Ha. 51

[50] Phillips, H.S.  “Development Administration and The Alliance of Progress”, International Review of the Administrative Science, Vol. XXIX, 1968. Hal. 86

[51] Zauhar, Soesilo. 2002. Reformasi Administrasi, Bumi Aksara Jakarta. Hal. 43

[52] Mufiz Ali. 1995. Pengantar Administrasi Negara, Materi Pokok UT Jakarta, h. 28, 118-123.

[53] M. Irfan Islamy, 2009. Prinsip-prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara Jakarta. Hal. 23

[54] Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi publik disingkat dengan UUKIP (Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik)

[55] Wahyudi dan Akdon. 2010. Manajemen Konflik dalam Organisasi : Pedoman Praktis bagi Pemimpin Efektif, Cetakan Pertama, Alfabeta, Bandung. Hal. 41

[56] Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi publik disingkat dengan UUKIP (Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik)

[57] Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi publik disingkat dengan UUKIP (Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik)

[58] T Deddy Tikson, dkk. 2004. Evaluasi Pembangunan Pasca Otonomi Daerah di Sulawesi Selatan, Kerjasama Bappeda Propinsi Sulsel dengan Lembaga Penelitian Unhas, Makassar. Hal 91

[59] Dwight Waldo, 1984. Pengantar Studi Public Administration, Cetakan Keempat, Alih Bahasa Slamet W. Admosoedarmo, Aksara Baru, Jakarta, hal. 86

[60] Miftah Thoha, 2003. Birokrasi dan Politik di Indonesia, Cetakan Kedua, RajaGrafindo Persada, Jakarta. Hal 112

[61] Suwandi, Made.2009. Tanggapan Terhadap Makalah Tentang Pokok-Pokok Pikiran Penataan Organisasi Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Propinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, Jakarta. Hal. 81

[62] Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi publik disingkat dengan UUKIP (Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik)

[63] A. Herbert Simon,. 2004. Administrative Behavior, Perilaku Administrasi : Suatu Studi tentang Proses Pengambilan Keputusan dalam Organisasi Administrasi, Edisi Ketiga, Cetakan Keempat, Alih Bahasa ST. Dianjung, Bumi Aksara, Jakarta. Hal. 21

[64] Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi publik disingkat dengan UUKIP (Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik)

[65] Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi publik disingkat dengan UUKIP (Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik)

[66] Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi publik disingkat dengan UUKIP (Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik)

[67] Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi publik disingkat dengan UUKIP (Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik)

[68] Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi publik disingkat dengan UUKIP (Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik)

[69] Stephen P Robbins. 1994. Teori Organisasi : Struktur, Desain, dan Aplikasi, Edisi Ketiga, Alih Bahasa Jusuf Udaya, Arcan, Jakarta. Hal. 7

            [70]  Harahap, Yahya. 2004. Pembahasan Permasalah dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 41

            [71] Soenarto, R Soerodibroto, SH.2003.KUHP dan KUHAP. Jakarta: Raja Grafindo Persada Indonesia.

            [72] Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung,2003. Hal. 71

[73] Kattopo, Dari Meja Tanri Abeng (2000). Managing atau Chaos, Jakarta: Institut Pembelajaran Manajemen Paramadina. Ha. 51

            [74] A. Ali Budiarto Kompilasi Kaidah Hukum Putusan mahkamah Agung Hukum Acara perdata Masa Setengan Abad. Swara Justitia. Jakarta 2005. Hal. 81

            [75] Siti Soetami, 2005. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, Aditama, Bandung. Hal. 32

            [76] Ketut  Artadi, 2008. Kumpulan Peraturan Perundang Undangan Hukum Acara Perdata,( Diktat ) Fakultas Hukum, Universitas Udayana, Denpasar. Hal. 52

            [77] Wacipto Setiadi, 1994. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Suatu Perbandingan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hal. 81

            [78] B. Hari Sasangka. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata Untuk Mahasiswa Dan Praktisi. Mandar Maju.Bandung.2003. Hal. 67

            [79] J. Soebekti. Hukum Pembuktian. Pradnya Paramita. Jakarta. 2007. Hal. 34

            [80] Hari Sasangka dan Lily Rosita,Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju,Bandung,2003.

            [81] Sudikno Mertokusumo, 1993, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta. Hal. 95

            [82] Luhut M.P.Pangaribuan,Hukum Acara Pidana,Surat-surat Resmi di Pengadilan oleh Advokat,Djambatan,2005. Hal. 86

            [83]  Anshorie Sabuan, Hukum Acara Pidana,Penerbit Angkasa,Bandung,1990. Hal. 44

            [84] Mr.Martiman Prodjohamidjojo, Membuat Surat Dakwaan, Ghalia Indonesia,Jakarta,2001. Hal. 5

            [85] Yahya Harahap. Hukum Acara perdata Tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, Dan  Putusan Pengadilan. Sinar Grafika. Jakarta. 2003. Hal. 62

            [86] Darwin Rins. 1989. Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar. Jakarta: Djambatan, Hal. 79

            [87] Soesilo Yuwono, Penyelesaian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP:  sistem dan Prosedur, Alumni, Bandung, 1982. Hal. 65

            [88]  Ibid

            [89] I Ketut Artadi, 2008. Hukum Acara Peradilan  Tata Usaha  Negara ( Diktat ), Fakultas Hukum , Universitas Udayana, Denpasar.

            [90] Rozali Abdullah , 1994. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, cet, ketiga, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta

Continue Reading