Tidak sedikit masyarakat apalagi mahasiswa Fakultas Hukum yang heran apabila melihat kenyataan penegakan hukum. Hukum ternyata tidak seperti yang dipahami dan dibayangkan ketika di bangku kuliah. Mereka heran atau bahkan merasa menyesal karena telah mengambil jurusan ilmu hukum, kalau melihat hukum yang dipahaminya tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat atau penjamin keadilan. Banyak sekali hukum yang tumpul, bisa dikatakan tidak mempan memotong kesewenang-wenangan, tidak mampu menegakkan keadilan dan tidak mampu menampilkan dirinya sebagai kasus yang seharusnya dapat dijawab oleh hukum. Bahkan banyak produk hukum yang lebih banyak diwarnai oleh kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan dominant. Mereka lalu bertanya: ada apa dengan Hukum……? mengapa hal itu terjadi…..?
Secara realitas banyak peraturan perundang-undangan yang ada justru tidak dapat diterapkan terhadap masyarakat karena keberadaanya selalu mementingkan pribadi atau golongan dan kelompok tertentu, atau dalam tataran praktis malah tumpul ketika harus melawan kekuatan besar/kekuasaan. Sehingga tidak salah kalau eksistensi hukum di negeri ini mendapat sorotan tajam dalam berbagai kasus dan peristiwa belakangan ini. Pandangan tentang hukum tentunya selalu bernada minor. Hal itu dapat dipahami karena reputasinya tidak selalu dapat dilihat sebagai penjamin kepastian hukum, penegak hak-hak masyarakat atau penjamin keadilan. Hal ini dapat dianggap wajar, terlebih lagi mengingat kesan-kesan yang ada dalam masyarakat yaitu hukum selalu mengenai pihak yang lemah, sehingga tidak mampu menembus pihak yang kuat.
Dapat dikatakan hukum seringkali tidak steril dari subsistem kemasyarakatan lainnya. Politik kerapkali melakukan intervensi atas pembuatan dan pelaksanaan hukum sehingga muncul juga pertanyaan berikutnya tentang subsistem mana antara hukum dan politik yang dalam kenyataannya lebih suprematif. Tidak cukup kemudian untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada diatas hanya melihat pasal-pasal yang bersifat imperatif. Jauh dari pada itu dapat dilihat dalam konfigurasi kekuatan yang ada dalam pembuatan dan penegakan hukum. Sehingga hukum tidak hanya dipandang sebagai keharusan-keharusan yang bersifat das sollen, melainkan harus dipandang sebagai subsistem yang dalam kenyataan (das sein) bukan tidak mungkin dapat atau bahkan sangat ditentukan oleh politik, baik dalam perumusan materi pasal-pasalnya maupun dalam tataran implementasinya.
Pertanyaan yang menarik dan cukup menggelitik adalah hubungan kausalitas antara hukum dan politik atau pertanyaan tentang apakah hukum yang mempengaruhi politik ataukah politik yang mempengaruhi hukum. Untuk menjawab itu paling tidak terdapat tiga macam jawaban yang dapat menjelaskannya. Pertama, hukum determinan atas politik dalam arti bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil dan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling bersaingan. Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi sederajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum ada, maka semua kegiatan politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
Perbedaan pandangan terutama jawaban yang pertama dan kedua atas satu pertanyaan yang sama disebabkan oleh perbedaan cara pandang para ahli dalam memahami hukum. Meraka yang memandang hukum dari sudut das sollen (keharusan) atau para idealis (penganut hukum normatif) berpegang teguh pada pandangan bahwa hukum harus merupakan pedoman dalam segala tingkat hubungan antar anggota masyarakat termasuk segala kegiatan politik. Sedangkan mereka yang memandang hukum dari sudut das sein (kenyataan) atau para penganut paham sosiologis (empiris) melihat secara realistis, bahwa produk hukum sangat dipengaruhi oleh politik, bukan saja dalam pembuatannya, tetapi juga dalam kenyataan-kenyataan empirisnya. Kegiatan legislatif (pembuat UU) dalam kenyataannya memang lebih banyak membuat kekputusan-keputusan politik dibanding dengan menjalankan pekerjaan hukum yang sesungguhnya, lebih-lebih jika pekerja hukum itu dikaitkan dengan masalah prosedur. Dengan demikian jawaban tentang hubungan kausalitas antara hukum dan politik dapat berbeda, tergantung dari perspektif yang dipakai untuk memberikan jawaban itu.
Sebagai insan akademis tidak perlu kemudian harus larut dan saling mempertentangkan apalagi saling menyalahkan satu sama lain, meskipun sebagai mahasiswa Fakultas Hukum tentunya sudah menjadi kewajiban untuk mengkaji dan meneliti tentang itu. Yang pasti adalah hukum diciptakan untuk mengatur segala bentuk lapangan kehidupan di dalam masyarakat, termasuk didalamnya politik, sehingga sudah seharusnya hukum harus selalu atau wajib hukumnya menjadi rule atau panglima, sehingga tidak akan ada dominasi kepentingan dan konfigurasi politik atas hukum baik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan atau dalam penegakan hukum. Namun harus diketahui pula bahwa dalam tataran realitas secara empiris, hukum seringkali dikalahkan politik, banyak kemudian peraturan perundang-undangan yang sarat dengan kepentingan-kepentingan politik, dalam tataran penegakan hukum juga kadangkala hukum pandang bulu, hukum justru tidak berdaya dihadapan politik uang (money politik).
Namun yang penting untuk diketahui adalah bahwa terdapat beberapa hal yang dapat mempengaruhi penegakan hukum sebagaimana pernah dikemukakan Prof. Dr. Satjipto Raharjo, SH. Pertama, faktor peraturan perundang-undangannya, yakni sejauh mana peraturan yang sudah dibuat mampu memberikan rasa keadilan terhadap masyarakat. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni apakah aparat penegak hukum telah melakukan peran dan fungsinya sebagai penegak hukum. Ketiga, faktor budaya hukum masyarakat, yakni apakah masyarakat ada kemauan dan terbiasa untuk menegakkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan yang sudah ada serta mampu bekerja sama dengan yang lainnya dalam upaya penegakan hukum. Keempat, faktor peralatan dan peninjang lainnya, adalah faktor yang berupa sarana/kelengkapan-kelengkapan/alat yang digunakan untuk memberikan kemudahan baik bagi aparat penegak hukum maupun masyarakat dalam upaya penegakan hukum sesuai dengan yang dicita-citakan.