PERKEMBANGAN GAGASAN PENGUJIAN KONSTITUSIONAL (RESUME)

  1. Pendahuluan

Dalam suatu Negara konsep tentang constitusional review tentunya terdapat perbedaan, perbedaan itu juga dilatarbelakangi melalui sejarah dan pengalaman-pengalaman dalam penyelenggaraan sistem ketatanegaraan di masing-masing Negara. Dalam beberapa Negara ada yang melembagakan fungsi pengujian konstitusionalitas kepada lembaga Mahkamah Konstitusi, ada pula tugas itu yang diserahkan kepada lembaga yang sudah ada, yakni Mahkamah Agung, namun ada pula fungsi pengujian itu diserahkan kepada badan-badan khusus (bukan lembaga peradilan yang sudah ada), serta terdapat pula suatu Negara yang tidak menganut fungsi pengujian semacam itu.

Perkembangan sistem pengujian konstitusional berkembang di Negara-negara Demokratis yang selalu disambut antusias baik dari sisi praktek, dunia akademis maupun oleh kekuasaan kehakiman dalam suatu Negara. Hal juga dipengaruhi oleh adanya keinginan dari Negara hukum modern yang ingin menerapkan prinsip check and balance dalam melaksanakan tugas fungsi dan wewenang pejabat pemerintahan.

Konsep Constitusional review atau pengujian konstitusional harus dibedakan dengan istilah Judicial review, alasannya adalah pertama Constitusional review selain dapat dilakukan oleh hakim dapat juga dilakukan oleh lembaga selain hakim atau pengadilan, tergantung Undang-Undang Dasar suatu Negara memberikan kewenangannya. Kedua, Judicial review lebih luas cakupannya, yakni mencakup legalitas peraturan di bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, sedang Constitusional review hanya mencakup konstitusionalitas terhadap Undang-Undang Dasar. Dengan demikian Constitusional review atau pengujian konstitusional dapat dilakukan oleh lembaga apa saja, tergantung konstitusi mengamanatkannya.

Constitusional review atau pengujian konstitusional tidak selalu dilakukan oleh lembaga peradilan ‘court’ sebagai lembaga hokum, akan tetapi juga dilakukan oleh Dewan Konstitusi seperti di Perancis. Kalau dipakai istilah Judicial Review berarti dengan sendirinya lembaga yang menjadi subjek adalah Pengadilan (lembaga Judicial), namun cakupan Judicial lebih luas, tidak hanya menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, akan tetapi juga menguji Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang.

Jika hak uji ‘toetsingrecht’ diberikan kepada lembaga legislative, maka disebut sebagai legislative review, jika dilakukan oleh Pemerintah maka disebut sebagai ‘ekskutive review’. Begitu juga apabila pengujian itu dilakukan tehadap norma hokum yang bersifat abstrak dan umum ‘general and abstract norm’ secara ‘posteriori’ maka disebut Judicial Review, namun apabila pengujian dilakukan terhadap rancangan Undang-Undang yang telah disahkan oleh parlemen namun belum diundangkan sebagaimana mestinya, maka pengujian seperti itu disebut sebagai Judicial Preview.

Jika pengujian terhadap Undang-Undang dilakukan terhadap Undang-Undang Dasar maka dinamakan sebagai ‘constitutional review’ yakni mengenai konstitusionalitas dari norma hokum yang diuji (judicial review on the constitution of law), namun apabila Undang-Undang yang digunakan sebagai batu uji terhadap peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang maka dapat disebut sebagai (judicial review on the legality of regulation). Begitu juga terhadap norma yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract) yang berarti produk regeling, maka itu termasuk dalam pengujian dalam konteks Hukum Tata Negara, sebaliknya apabila norma hokum itu bersifat konkrit dan individual maka termasuk dalam ruang lingkup Peradilan Tata Usaha Negara.

Ide Negara Hukum (rule of law), prinsip pemisahan kekuasaan (separation of power), serta perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (the protection of fundamenta rights) merupakan cikal-bakal lahirnya konsep constitutional review sebagai konsekwensi dari system pemerintahan demokratis modern. Dalam system constitutional review itu terdapat 2 (dua) tugas pokok, Pertama, untuk menjamin berfungsinya perimbangan lembaga ekskutif, legislative dan yudikatif. Kedua untuk melindungi seluruh individu warga Negara dari penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa yang telah dijamin oleh Konstitusi.

  1. Perkembangan Sebelum Abad ke – 19

Pada sistem hukum Yunani Kuno di Kerajaan Athena membedakan antara ‘nomos’ dengan ‘psephisma’ yang kurang lebih di zaman sekarang mencerminkan perbedaan antara constitutional law dengan decree. Pada masa itu prinsip yang yang diterapkan secara tegas bahwa ’psephisma’ (decree), apapun isinya tidak boleh bertentangan dengan “nomoi” baik dalam bentuk dan substansinya. Akibatnya apabila ’psephisma’ bertentangan dengan “nomoi”, Pertama para legislator yang memprakarsai pembentukan peraturan dimaksud diancam dengan tanggung jawab pidana (criminal liability), yang member hak kepada public untuk bertindak (public right of action). Kedua ’psephisma’ yang bertentangan dengan “nomoi” itu dianggap tidak berlaku lagi (void).

Selain itu juga dengan diterapkannya di Kerajaan Jerman pada sekitar tahun 1180 dimana banyak terdapat sengketa kewenangan diantara para individu penguasa yang sebagian bahkan berkenaan dengan pelanggaran hak-hak individu. Berbagai aspek constitutional review muncul pada masa pemerintahan Jerman hingga pada akhirnya berlakunya Konstitusi Weimar yang kemudian dikenal sebagai constitutional review dalam sejarah hukum Perancis pada abad ke – 13. Portugal juga memperkenalkan constitutional review dalam Kitab Hukum Philip (Philip’s Code) pada abad 17.

Sesudah pecahnya revolusi Perancis pada abad 18 yang mengangkat ide-ide kebebasan yang kemudian direpresentasikan melalui lembaga parlemen yang merupakan wakil dari rakyat pada saat itu. Bahkan pada abad 1748 Montesquieu telah mnggagas pemisahan kekuasaan Negara secara ketat (strict separation of governmental power), meskipun hal itu menyebabkan lembaga kehakiman turun wibawa. Pandangan yang cenderung meremehkan pengadilan ini didukung oleh dominannya pengruh J.J Rousseau ygn beranggapan bahwa kehendak seluruh rakyat itu menjelma hanya melalui proses legislasi yang ditetapkan oleh wakil rakyat yang duduk di parlemen baru.

Lembaga parlemen sebagaimana disebut diatas bertugas menentukan apakah ‘royal decress’ akan diberlakukan sebagai hukum (loi). Terlepas dari konteks politik yang melatarbelakanginya, karakter yang dilakukan oleh parlement sebagimana tersebut diatas adalah merupakan ciri dari Judicial Review, yang mana juga didalamnya terdapat doktrin yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk menilai dan menentukan berlaku atau tidaknya norma hukum dengan prinsip-prinsip yang lebih tinggi, sebaliknya menurut kaum reformist pada saat itu yang mana harus mengutamakan kehendak rakyat yang berdaulat, karna itu hakim harus tunduk kepada kehendak rakyat yang diatur dalam Undang-Undang yang ditetepakan oleh wakil mereka di Parlemen.

Dalam perkembangannya perdebatan masalah Judicial review dan constitutional review di Perancis yakni antara yang mengutamakan supremasi parlemen dan supremasi konstitusi. Pada tahun 1945 – 1946 dalam rangka penyusunan rancangan Konstitusi Perancis, gagasan tentang constitutional review kembali menguat, meskipun pada akhirnya pada tahun 1958 baru dapat diterima secara luas di masyarakat, itupun dengan pembatasan yang sangat ketat, sehingga dapat dikatakan Dewan Konstitusi di Perancis lebih bercorak Politik daripada Hukum.

  1. Kasus Marbury vs Madison di Amerika Serikat

Kasus ini berawal dari kalahnya John Adam dalam pemilihan umum tahun 1800 untuk masa jabatan yang keduanya yang dikalahkan oleh Thomas Jefferson. Pada saat itu John Adam membuat keputusan-keputusan untuk menyelamatkan sahabat-sahabatnya satu hari sebelum masa jabatannya habis. Pada detik-detik menjelang jam 00.00 tengah malam tanggal 3 bulan maret 1801 Presiden John Adam dibantu oleh John Marshall (secretary of State) yang telah resmi sebagai Ketua Mahkamah Agung dengan tetap merangkap sebagai secretary of State menyiapkan dokumen-dokumen pengangkatan beberapa orang untuk menjadi hakim dan duta besar, diantaranya William Marbury, Dennis Ramsay, Robert Townsend Hooe dana William Harper.

namun kopi surat pengangkatan mereka belum sempat diserahterimakan sebagaimana mestinya. keesokan harinya tanggal 4 Maret 1801 ketika Presiden terpilih Thomas Jefferson mulai masuk kantor surat-surat itu ditahan oleh James Madison (secretary of State) yang baru diangkat oleh Presiden Thomas Jefferson menggantikan John Marshall. atas dasar itulah kemudian William Marbury dan kawan-kawan memalui kuasa hukumnya yakni Charles Lee mengajukan tuntutan ke Mahkamah Agung yang dipimpin oleh John Marshall yakni tuntutannya adalah memerintahkan kepada Pemerintah agar melaksanakan tugas yang dikenal sebagai ’writ of mandamus’ dalam rangka menyerahkan surat pengangkatan itu.

Namun Pemerintahan Thomas Jefferson menolak untuk memberikan keterangan yang diminta Mahkamah Agung, malah kongres yang dikuasai oleh Thomas Jefferson mengesahkan Undang-Undang yang menunda seluruh persidangan Mahkamah Agung selama lebih dari 1 tahun. pada persidangan kemudian muncul pro dan kontra dalam masyarakat Amerika Serikat dalam menanggapi kasus marbury versus Madison. Akan tetapi Mahkamah Agung yang dipimpin oleh John Marshall dalam Putusannya membenarkan bahwa pemerintahan John Adam telah melakukan semua persyaratan ygn ditentukan oleh hukum dan berhak atas surat pengangkatan mereka menurut hukum. namun Mahkamah Agung sendiri dalam putusannya menyatakan tidak berwenang memerintahkan kepada aparat pemerintah untuk menyerahkan surat pengangkatan yang dimaksud, karena Mahkamah Agung berpendapat pengeluaran ’writ of mandamus’ sebagaimana ditentukan oleh section 13 dari judiciary Act bertentangan dengan Aricle III Section 2 Konstitusi Amerika Serikat.

Lebih dari itu Mahkamah Agung juga membatalkan Undang-Undang yang mengatur tentang ’writ of mandamus’ yang dianggap bertentangan dengan Konstitusi Amerika Serikat. Dengan itulah maka sebenarnya karakter Judicial review telah berlaku dan diterapkan di Amerika Serikat sebelum abad 19.

  1. Pertengahan Abad ke – 19 dan Awal Abad ke – 20

Setelah terjadinya kasus Marbury versus Madison, pemikiran mengenai Judicial review banyak dibicarakan oleh ahli-ahli hukum di daratan Eropa. Bahkan ahli hukum Inggris sendiri yang mengagungkan prinsip kedaulatan rakyat dengan supremasi parlemennya yang dikembangkan oleh JJ. Rousseau dan Baron Montesquieu mulai mengkaji tentang judicial and constitutional review yang dikembangkan oleh John Marshall.

Pada akhir abad ke – 19 George Jellinek mengembangkan agar Mahkamah Agung dapat ditambahkan kewenangan untuk melakukan judicial review, sehingga Mahkamah Agung Austria mendapatkan kewenangan baru untuk menangani sengketa juridis yang berhubungan dengan perlindungan atas hak-hak politik warga Negara. Sebaliknya dikarenakan di Negara-negara bagian terdapat berbagai putusan berkaitan dengan constitutional complain, maka mendorong Hans Kelsens untuk membentuk mahkamah yang berdiri sendiri diluar Mahkamah Agung Federal Austria. Sementara di Negara lain seperti Swis, Norwegia, Rumania dan lain-lain, muncul pula berbagai perkembangan baru mengenai constitutional review atau judicial review.

Kebalikannya di Inggris yang menganut sistem hukum modern justru tidak mengenal constitutional review atau judicial review sama sekali. Dalam perkembanganya sejarah hukum di Inggris mengandung berbagai element constitutional review, misalnya prinsip supremasi konstitusi yang sudah ada sejak tahun 1610 dan sangat berpengaruh terhadap tradisi hukum di Inggris. Contoh yang lain adalah mengenai persoalan mekanisme impeachment yang berasal dari masa-masa akhir abad Pertengahan. Di Perancis parlemen sebagai corong kedaulatan rakyat (supremasi parlemen), sehingga hakim tidak boleh menilai Undang-Undang, lagipula Perancislah yang menjadi contoh pelembagaan ide perwakilan rakyat yang berbentuk parlemen. Bahkan kata parlemen itu berasal dari Parlemen berasal dari bahasa Perancis ‘le parle’ yang berarti ’to speak’ atau berbicara. Oleh karena itu perkembangan constitutional review di Eropa continental, Perancis, Inggris dan Belanda selalu menolak terhadap penilaian lembaga peradilan terhadap Undang-undang buatan parlemen.

  1. Perkembangan di antara dua Perang Dunia

perkembangan pada masa diantara Perang Dunia peranan Austria sangat menonjol karena telah memprakarsai berdirinya institusi verfassungsgerichtshoft (mahkamah konstitusi) yang mandiri diluar Mahkamah Agung yakni Hans Kelsen, untuk itu model ini sering disebut sebagai “The Kelsenian Model”. Hal itu diajukan Kelsen ketika diangkat menjadi anggota Chancelery dalam rangka pembaharuan Konstitusi Austria pada tahun 1919-1920, gagasan itu yang kemudian diadopsi menjadi Naskah Undang-undang Dasar Tahun 1920 yang disahkan dalam konvensi Konstitusi pada tanggal 1 Oktober 1920. Lembaga inilah yang disebut sebagai lembaga Mahkamah Konstitusi pertama yang dibentuk di dunia yang memiliki kewenangan ekslusif untuk menguji konstitusionalitas undang-undang. Kemudian pola ini diikuti oleh Negara-negara lain sebelum kurun waktu terjadinya perang dunia II, salahsatunya adalah Cekoslovakia (1920), Liechtenstein (staatsgerichtshof, 1925), Yunani (1927), Mesir (1941), Spanyol (1931) dan Irlandia (1937). Sayangnya selama Perang Dunia II kegiatan Mahkamah Konstitusi menjadi terhenti dikarenakan perhatian dunia tercurahkan untuk Perang Dunia II.

  1. Perkembangan Sesudah Perang Dunia II

dari segi sejarah supremasi konstitusi berhadap-hadapan dengan supremasi parlemen, dalam sistem pengujian konstitutionalitas konstitusi maka yang supreme itu adalah konstittusi (the idea of the supremacy of the constitution). untuk menjamin supremasi hukum tertinggi tersebut (the supreme law of the land) diperlukan lembaga tersendiri yang terbebas dari kekuasaan lain yakni eksutif dan legislative. Dianutnya pengujian konstitusi itu juga berkaitan dengan pengertian bahwa kekuasaan harus dipisahkan secara horizontal (horizontal separation of power) antar state organ yang sederajat guna terciptanya prinsip check and balances, disamping pengujian kkonstitusional juga dikaitkan dengan berlakunya prinsip pemisahan kekuasaan secara vertical (vertical separation of power).

Sistem pengujian constitutional sebenarnya berkembang pada Negara-negara federal dimana dianggap penting untuk mengontrol parlemen federal dalam hubungannya dengan Negara-negara bagian, halite berkaitan dengan alasan sejarah akibat perang dan fasisme (perang dunia) yang melahirkan pentingnya mekanisme constitutional review dalam rangka penerapan demokrasi.

disaping alasan historis juga muncul alasan-alasan yang bersifat kelembagaan dan politik. Bahwa dengan adanya constitutional review maka akan melindungi konstitusi dari kekuatan yang dominan baik dari ekskutif maupun legislative, sehingga pemerintah benar-benar akan melaksanakan wewenangnya berdasarkan konstitusi. Untuk kelembagaannya harus dipisahkan dari kekuasaan yang bersifat ekskutif dan legislative, yakni melalui pelembagaan tersendiri ataupun pelembagaan terhadap kekuasaan kehakiman yang sudah ada yakni Mahkamah Agung. Dengan demikian teks konstitusi yang bersifat kabur mendapat kesempatan untuk diterapkan dalam praktik yang lebih konkrit (practical application).

Secara filosofi maka pemikiran konsep demokrasi modern jika dikaitkan dengan ide pengujian konstitusional maka dapat menyerasikan antara cita-cita hukum alam dengan konkritnya hukum positif, pendek kata dengan konstitusionalisme modern sekarang, natural law kembali mendapatkan tempat berpijak yang realistis dan kontemporer. oelh karena itu setelah berakhirnya Perang Dunia II banyak Negara yang menerima dan mempraktikkan ide ini dalam sistem ketatanegaraannya, selain memang untuk mengantisipasi adanya kasus-kasus constitutional review seperti yang terjadi di Amerika Serikat.

  1. Perkembangan Pada Dasawarsa 1970-an dan sesudahnya

Pada dasawarsa ini ditandai adanya perubahan politik di berbagai Eropa Selatan yang telah menerapkan konsep pengujian konstitusional yang sebelumnya berlaku rejim kediktatoran. perubahan itu terjadi di Yunani (1968), Spanyo (1978), dan Portugal (1976). Pada waktu yang sama juga diterapkan di Siprus (1960), republic Turki (1961 dan 1963) dan Negara lain di belahan dunia.

  1. Pengujian di Negara Demokrasi Baru

Perkembanga pengujian konstitusional selain berkembang di Amerika Tengah dan Amerika Selatan pada tahun 1980-an dan 1990-an juga terjadi di Eropa Timur dan Negara-negara yang krisis Konstitusi seperti Afrika Selatan, Korea Selatan dan Thailand dan terakhir Indonesia. Perkembangan yang mengejutkan adalah pengujian constitutional pada Negara-negara bekas jajahan Komunis yang berubah menjadi Demokrasi.

Dalam sistem Negara Komunis yang tercermin dalam struktur kelembagaan Dewan Perwakilan Rakyat Tertinggi di semua Negara Komunis dihapuskan, dan diganti dengan sistem pemisahan kekuasaan demi terciptanya check and balaces. Disamping dihapusnya supremation of parlement juga dihapusnya sistem the concentratation dan the centralitation of powers.

  1. Negara-negara eks Komunis Eropa Timur

Runtuhnya Uni Soviet yang kemudian terpecah belah menjadi Negara-negara yang merdeka dan berdaulat dan mengadopsi konsep Demokrasi, sehingga hampir keseluruhan membentuk lembaga Mahakamah Konstitusi yang terpisah dari Mahkamah Agung. Dalam studi yang dilakukan oleh Herman Schwatz terhadap Mahkamah Konstitusi diberbagai Negara Eropa Timur bekas Komunis maka diamil kesimpulan sama-sama memebentuk Mahkamah Konstitusi pada kurun waktu tahun 1990-an. Pada masa itu Mahkamah Konstitusi berhasil menempatkan sebagai pendatang baru yang menjanjikan perbaikan terhadap (i) pembagian peran antar kekuasaan cabang kekuasaan Negara, (ii) terhadap hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan hukum yang diwarisi oleh rejim sosialis komunis sebelumnya, (iv) penguatan rule of law, (v) pembangunan tradisi independensi imparsialitas peradilan, (vi) timbulnya kecenderungan judicial activism.

BAGIAN KEDUA

BERBAGAI MODEL PENGUJIAN KONSTITUSIONAL

  1. Model Amerika Serikat

Judicial Review di Amerika Serikat (doktrim John Marshall) dilakukan oleh Mahkamah Agung sebagai the Guardian of the Constitution. Judicial Review juga dilakukan pada semua lapisan pengadilan yang ada di Amerika, tidak bersifat institusional sebagai perkara yang berdiri sendiri. Pengujian konstitusional yang dilakukan secara tersebar bersifat spesifik dan termasuk dalam kategori a posteriori review, sedangkan Mahkamah Agung menyediakan untuk kesatuan sistem sebagai keseluruhan (the uniformity of jurisdiction). Dalam yang tersebar putusan hanya mengikat para pihak yang bersengketa, kecuali dalam kerangka prinsip stare decisis. Pada dasarnya putusan mengenai inkonstitusionalitas suatu Undang-undang bersidat deklaratotir dan retrospektif.

Pengujian konstitusi di Amerika Serikat berbeda dengan Austria, yakni Amerika Serikat menganut sistem commont law atau hukum buatan hakim, tidak seperti di tradisi civil law yang mengharuskan berdasarkan Undang-Undang. oleh karena itu judicial review dan constitutional review tidak memerlukan lembaga tersendiri, cukup melalui lembaga Mahkamah Agung.

  1. Model Austria (Continental Model)

Model Austria dapat disebut juga sebagai Continental Model yang dikembangkan oleh pemikiran Hans Kelsen (1919-1920). Model ini sangat berhubungan antara supremasi konstitusi dengan supremasi parlemen, yakni supremasi parlemen harus diimbangi oleh prinsip konstitusi, sehingga asas kedaulatan rakyat yang tercermin di Parlemen tidak menyimpang dari konstitusi. Peroses pengujian konstitusionalitas dalam model ini berdiri sendiri dengan hakim khusus yang memiliki keahlian di bidang ini yang memungkinkan menguji norma yang bersifat abstrak dan juga norma yang bersifat konkrit, bahkan dapat berupa norma yang bersifat a posteriori ataupun norma a priori.

Putusan Mahkamah konstitusi model ini bersifat erga omnes yang bersifat mutlak berdasarkan kewenangan yang dimilikinya. Ciri umum dari sistem ini adalah :

  • constitutional review diterapkan dalam keadaan yang beragam, tergantung sistem yang berlaku di tiap Negara
  • Badan pelaksana pengujian berdiri sendiri, tidak bercampur aduk dengan mahkamah Agung
  • Perkara constitutional complain penyelesaian permasalahannya denga mengadakan pemisahan antara mekanisme constitutional review dari mekanisme yang berlaku di pengailan-pengadilan biasa.
  • jaminan kemandirian dibidang administratif dfinansial dianggap prasyarat utama bagi independensi lembaga peradilan konstitusi
  • terdapat spesialisasi kewenangan dalam institusi pelaksana
  • adanya kekuasaan hakim untuk membatalkan undang-undang yang disahkan parlemen
  • hakim dipilih oleh lembaga politik
  • putusan disamping bersifat juridis juga bersifat politis dan fakultatif
  • Bersifat represif.
  1. Model “Constitutionla Council” Perancis (Conseil Constitutionnel)

Conseil Constitutionnel melengkapai lembaga peradilam tertinggi bidang hukum administrasi yang sudah ada sebelumnya yakni “Conseil d’Etat”. Conseil Constitutionnel dilaksanakan oleh dewan konstitusi bukan peradilan konstitusi. Akan tetapi dalam perkembangannya pengujian konstitusionalitas juga dilakukan oleh kamar khusus dari Mahkamah Agung yang bersifat konsultatif. meskipun demikian dalam bidang tertentu yang berhubungan dengan Pemilu pengujian konstitusionalitas di Mahkamah Agung dapat bersifat represif.

Komposisi keanggotaan Mahkamah Agung adalah terdiri dari ahli-ahli hukum, namun tidak pada Conseil Constitutionnel yang terdiri dari politisi dan birokrat meskipun sebagian besar juga ahli hukum, sehingga lemabag ini disebut semi peradilan. Yang diujipun adalah rancangan Undang-undang yang telah disahkan tapi belum diundangkan. Negara-negara yang pernah dijajah oleh Perancis seperti di Asia dan Benua Afrika lembaga pengawal konstitusinya disebut dengan Dewan Konstitusi.

  1. Model Campuran Amerika dan Kontinental

Model ini adalah campuran antara Amerika dan Eropa Kontinental dan unsur-unsrunya, baik terkonsentrasi maupun satu kesatuan. Dalam sistem ini dapat terpusat di Mahkamah Konstitusi dapat pula pada Mahkamah Agung ataupun pada lembaga tertentu dalam lembaga peradilan yang ada. Para hakim diberikan kewenangan yang luas menurut keyakinannya untuk tidak menerapkan sesuatu aturan hukum yang dinilainya bertentangan dengan konstitusi.

  1. Model Pengujian oleh Special Chambers

Pada model ini terdapat lembaga tersendiri yang menjalankan fungsi konstitusionalitas, tidak pada lembaga Mahkamah Konstitusi, tidak pula pada Mahkamah Agung.

  1. Model Belgia

Model Belgia adalah model langka, fungsi pengujian konstitusionalnya tumbuh dan berkembang dalam konsepsi arbitase. Lembaga yang berwenang melakukan pengujian terhadap konstitusionalitas Undang-Undang bukan Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Agung ataupun Dewan Konstitusi, melainkan adalah lembaga yang disebut sebagai lembaga Arbitrase (Court Of Arbitration). Dalam perkembangannya Mahkamah Arbitrase ini melengkapi diri dengan kewenangan baru yakni fungsi constitusional review atas berbagai produk legislative, untuk itu fungsi pengadilan arbitrase di Belgia dapat dikaitkan dengan constitutional arbitratation.

  1. Model Tanpa Judicial Review

Model ini terdapat di Eropa, yakni Kerajaan Inggris dan Belanda yang berpendirian bahwa judicial review tidak seharusnya dilakukan. Kalaupun ide judicial review diterapkan, maka pengujian hal semacam itu hanya sebatas dikenal dalam hukum administrasi Negara. Undang-undang di Belanda dianggap tidak dapat digangu gugat, dan hakim bukan pada posisi menilai Undang-undang. Begitu juga di Inggris tradisi yang dianut adalah common law berdasarkan presedent dan doktrin judge-made law peranan hakim sangat menonjol dalam membuat hukum. Di inggris karena Undang-undang yang disahkan oleh parlemen yang terdiri dari 2 kamar yakni House of Lord dan house of Commons dinilai tidak boleh diuji oleh kekusaan kehakiman, karena secara simbolis parlemen lebih tinggi daripada kekuasaan kehakiman. Lagipula di Inggris tidak terdapat naskah konstitusi yang terkodifikasi sebagaimana yang dianut oleh Negara-negara demokrasi konstitusional.

Hanya saja dalam perkembanganya pernah terjadi pengujian konstitusional, tapi sifatnya hanya prefentif atau untuk pencegahan. Sementara di kerajaan Belanda mirip dengan Inggris, hanya saja ratu atau raja Belanda tidak memiliki kedudukan simbolik sebagai ketua majelis tinggi Belanda. Doktrin yang dianut Belanda adalah bahwa Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat oleh hakim, karna hakim dianggap mulut Undang-Undang, dan tidak dapat bertindak menilai, mengubah, membuat dan membatalkan Undang-Undang.

  1. Model Legislative Review

Negara yang tidak memiliki judicial review belum tentu tidak memiliki mekanisme constitutional review. Bisa saja dalam suatu Negara tidak mengenal pengujian konstitusional oleh lembaga peradilan, akan tetapi mengenal pengujian konstitusional oleh lembaga legislative sendiri ayau badan-badan terkait dengan kekuasaan legislative. Sebagian besar dalam tradisi lembaga komunis menganut sistem ini, karna di Negara komunis berlaku doktrin supremasi of parlement, yakni kedaulatan rakyat secara kolektif terwakilkan melalui Dewan rakyat Tertinggi, sehingga Lembaga Tertinggi itulah yang berhak melakukan penafsir, pembuat, perubah Undang-Undang.

  1. Model Executive Review

Model ini tidak mesti dapat dikaitkan dengan constitutional review, ia dapat saja terkait atau dikaitkan dan tidak dapat terkait sama sekali. Contoh yang paling gampang berlaku di Indonesia yakni melalui Undang-Undang 32 tahun 2004 yakni memberikan kepada Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Dalam Negeri diberi kewenangan untuk menyatakan batal atau mebatalkan Peraturan Daerah yang dibentuk oleh Kepada Daerah dengan persetujuan DPRD. Pengujian ini tidak dilakukan oleh lembaga Peradilan, akan tetapi dilakukan oleh Pemerintah, terlepas dari kenyataan bahwa telah diatur dalam Pasal 24A ayat (1) UUD 1945.

Alat ukur yang digunakan lembaga penguji adalah bukan Undang-Undang Dasar, akan tetapi hanya Undang-Undang, untuk itu tidak dapat dikatakan sebagai constitutional review. Namun apabila kemudian dipaksakan oleh Pemerintah untuk menguji Peraturan Daerah terhadap Undang-undang Dasar, bukan tidak mungkin suatu kali Pemerintahpun akan melakukan penafsiran yang memperluas kewenangannya dengan menguji Peraturan Daerah terhadap Undang-undang Dasar.

  1. Model International Judicial Review

Model ini berkembang pada akhir abad ke 20 adalah dengan munculnya bentuk organisasi bernama European Community dan European Union. Pada organisasi tersebut terdapat konstitusi terdapat pula Undang-undang Dasar, dan apabila dilanggar oleh warga Negara dari Negara anggota mana saja maka akan ditangkap dan dijadikan tersangka dan diadili oleh Pengadilan Eropa, untuk itu Supremasi konstitusi bagi Negara anggota menjadi kabur, diatas konstitusi masing-masing Negara masih ada Konstitusi Eropa.

  1. Centralized System Versus Decentralized System

Contoh dari Centralized System adalah tidak semua hakimdisemua tingkatan pengadilan dapat melakukan pengujian konstitusionalitas, sedangkan sistem yang memberikan kewenangan pengadilan biasa atau setiap hakim disetiap tingkat pengadilan baik terkait dengan perkara tertentu yang disebut dengan decentralized system. Dengan demikian decentralized system adalah sistem pengujian konstitusional berdasarkan pemegang kewenangannya apakah memiliki secara ekslusif atau tersentralisasi pada lembaga atau hakim tertentu atau daopat dilakukan oleh setiap hakim disemua forum peradilan.

  1. Decentralized System

Dalam sistem ini memberikan kewenangan kepada semua tingkatan pengadilan untuk memutuskan konstitutusionalitas suatu aturan hukum. Jika sebuah pengadilan biasa memiliki kompetensi menguji konstitusionalitas Undang-undang, mungkin hanya dalam bentuk menolak untuk menerapkannya dalam kasus konkret ketika menytakan bahwa aundang-undang tersebut tidak menerapknanya. Biasanya model ini berdidir sendiri tapi menjadi bagian dari perkara lain yang sedang diperiksa oleh hakim di suatu pengadilan. Model ini biasanya berkembang dalam kerangka common law yang memberikan ruang bagi hakim untuk pembuatan hukum.

  1. Centralized System

Centralized System adalah sistem pengujian yang kewenangannya diberikan kepada pengadilan konstitusional khusus, bukan kepada pengadilan biasa. Sistem ini ada berdasarkan pemikiran Hans Kelsen yang menyatakan fungsi legislasi akan berjalan dengan baik apabila terdapat lembaga penjaga dan pengontrol konstitusi. Ini kemuadian yang dikenal dengan The Kelsenian Model. Model Centralized System juga dapat berbentuk Conseil Constitutionnel seperti di Perancis, juga dapat terdapat special chamber.

BAGIAN KETIGA

TIGA MODEL UTAMA PENGUJIAN KONSTITUSIONAL

  1. Amerika-Perancis-Austria

Dari model-model yang ada, maka sebenarnya tiga model ini yang paling penting dan mempengaruhi model-model pengujian konstitusional di berbagai Negara. Karena perbedaaan pengalaman penerapan antara Amerika dengan Eropa maka terdapat perbedaan dalam penerapannya. Kalau di Amerika dilakukan oleh Mahkamah Agung, maka di Eropa dilakukan oleh lembaga yang berdiri sendiri yakni Mahkamah Konstitusi. Para hakim di Eropa juga memiliki kedudukan khusus, karena bersifat bukan hakim karir, sedangkan di Amerika berasal dari hakim karir.

  1. Model Kelsenian (the kelsenian model)

Gagasan ini muncul atas dasar untuk memastikan bahwa Undang-Undang yang dibuat oleh Parlemen tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar. Untuk itu menurut Hans Kelsen posisi hakim dalam pengadilan ini harus diisi oleh orang-orang yang benar-benar netral yang sebagian besar berasal dari akademisi. Mahkamah konstitusi menurut hans Kelsen juga diharapkan berfungsi sebagai a negative legialator yang berwenang mengesampingkan dan membatalkan Undang-Undang yang bertentangan dengan Konstitusi. Namun dalam perkembangannya banyak juga diantara Negara penganut paham parlementer beralih menjadi legialator posisitif, karena banyaknya Undang-Undang yang telah dibatalkan oleh lembaga ini.

  1. Pengangkatan dan Masa jabatan Hakim

Baik Perancis dan Jerman hakim konstitusi dan Dewan Konstitusinya diangkata dalam 1 kali jabatan, yaitu untuk 9 tahun untuk Perancis dan 12 tahun untuk Jerman. Prosedur pengangkatannyapun murni bersifat politis, dimana Presiden Republik, Ketua majelis Nasional dan Ketua Senat masing-masing mengajukan 1 orang uantuk menjadi anggota Dewan Konstitusi setiap 3 tahun sekali. Di Jerman prosedurnya lebih rincidimana hakim konstitusi diajukan oleh Partai Politik dan dipilih di Parlemen atas dasar consensus yang luas dikalangan anggota parlemen. Dewan Konstitusi Perancis apabila dibandingkan dengan mahkamah Konstitusi jerman labih politis. Dewan Konstitusi mencerinkan lembaga politik daripada hukum. Sebaliknya Mhkamah Konstitusi Federal Jerman dianggap lebih bebas dari unsure politik.

  1. Pengujian Abstrak versus Konkrit A Priori versus A Posteriori

Dewan Konstitusi Perancis memiliki kewenangan untuk melakukan pengujian undang-undang secara A Priori atau bersifat prefentif, yang berhak mengajukan dibatasi hanya Presiden, Perdana Menteri, Ketua Parlemen, ketua Senat dan 60 orang anggota parlemen atau senator. Sehingga dalam praktek dapat dikatakan bahwa Dewan Konstitusi Perancis ini mirip seolah perluasan saja dari ruang persidangan Parlemen. Sementara mahkamah Konstitusi Jerman dapat melakukan pengujian baik atas norma yang bersifat konrit maupun yang bersifat abstrak dan baik bersifat Priori maupun A Posteriori.

  1. Interpretasi Hukum dan Politik

Dalam sistem Eropa baik Jerman maupun Perancis, para hakim konstitusi maupun councellor DEwan Konstitusi tidak perlu terikat dengan memahami norma-norma dasar yang terkandung dalam Undang-Undang Dasar. Meskipun prinsip penafsiran yang digunakan berbeda antar kedua negaradan berkalinan pula dengan Amerika Serika, tetapi beberapa elemen yang sama. Di Perancis Dewan Konstitusi kadang dikritik karena dinilai berkembang terlalu jauh melampaui apa yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar. Sementara di Jerman juga berkembang bahwa penafsiran Mahkamah Konstitusi terlalu jauh. Namun demikian bagaimanapun juga pengujian konstitusionalitas oleh Mahakamah Konstitusi Jerman dan mahkamah Agung Amerika lebih kokoh keberadaanya daripada DewanKonstitusi Perancis.

  1. Mahkamah Agung Amerika Serikat

mahakamah Agung Amerika Serikat adalah lembaga yang pertma kali melakukan judicial review terhadap undang-undang hasil buatan parlemen. Kekuasaan kehakiman dalam konstitusi Amerika Serikat sendiri diatur sangat sedikit apabila dibandingkan dengan cabang kekuasaan uyang lain. Pada sebelum adanya putusan yang dilalukan John Marshall dalam kasus Marbury versus Medison lembaga Mahkamah Agung di Amerika kurang berwibawa, namun setelah adanya putusan atas kasus tersebut lembaga peradilan di Amerika berubah menjadi berwibawa, dikarenakan lembaga peradilan mampu berhadapan dengan pemerintah, bahakan karena peristiwa sejarah itu John Marshall dianggap sebagai hakim agung terbesar dalam sejarah Amerika Serikat sampai dengan sekarang.

Kongres Amerika Serikat berwenang menentukan jumlah anggota mahkamah Agung dari waktu kewaktu yang jumlahnya terus meningkat. Sekarang jumlah hakim adalah 9 orang, 8 orang anggota dan 1 orang Chief Justice. Para hakim jabatannya seumur hidup, namun jika menghendaki dapat menikmati masa pension pada umur 70 tahun sesudah mengbdi 10 tahun sebagai hakim Mahkamah Agung Federal atau pada usia 65 tahun sesudah 15 tahun mengabdi. Setiap hakim biasanya dapat mengangkat 4 orang “law clerk” (staf administrasi hukum), mereka dapat berasal dari lulusan terbaik dari Universitas terkemuka. Disamping itu ketua Mahkamah Agung dapat mengangkat administrative Assistant, Court Counsel, Curator, Director of Data System, Public Information Officer, dan lain-lain.

  1. Mahkamah Konstitusi Austria

Mahkamah Konstitusi ini biasa disebut sebagai The Kelsenian Court. Cukup berbeda dengan yang ada di Amerika, dikarena lembaga ini berdiri sendiri. Mahkamah konstitusi ini yang disebut sebagai Mahkamah Konstitusi pertama yang ada di dunia. Susunan hakim terdiri dari 1 orang ketua, 1 orang wakil ketua, 12 orang anggota, dan 6 orang pengganti yang dari kesemuanya adalah sarjana hukum dengan minimum pengalaman di bidang hukum adalah 10 tahun. Dalam menangani perkara selalu ada 1 hakim yang ditetapkan sebagai permanent permanent untuk jangka waktu 3 tahun. Para hakim diangkat dengan Keputusan Presiden Federal atas usul atau pencalonan yang diajukan oleh 3 lembaga yakni Pemerintah Federal, Dewan Nasional dan Dewan Federal. Berbeda dari Hakim Mahkamah Konstitusi lain yang ada di dunia mereka tidak dapat dikatakan sebagai pekerjaan penuh waktu. Sambil bekerja sebagai hakim mereka dapat bekerja seperti biasa pada institusi awal seperti jaksa, guru besar atau hakim.

  1. Kewenangan Mahkamah

Kewenangan Mahkamah tercatat terdapat 9 (sembilan) kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi Austria. diantaranya :

  1. Pengujian Konstitusionalitas Undang-Undang

Kewenangan ini adalah hal yang pokok dalam konsep jucial review atau constitutional review. Yang diuji adalah norma hukum abstrak. Permohonannya pun dapat dilakukan oleh lembaga Negara ataupun individu warga Negara. Persyaratan untuk mengajukan jucial review pun sangat ketat, yakni ada kerugian yang actual, gangguan secara langsung, dengan tingkat yang tinggi, dan upaya untuk mengembalikan kerugian yang diderita.

  1. Pengujian Legalitas peraturan di Bawah UU

Mahkamah Konstitusi di Austria berwenang dapat menyatakan tidak sah peraturan atau regulasi yang ditetapkan oleh Pemerintah Federal ataupun Negara bagian atas permintaan perorangan atau warga Negara. Disamping itu Mahkamah Konstitusi juga diberi kewenangan bertindak atas inisiatifnya sendiridengan alasan prejudiciality yaitu pada saat menangani perkara terkait dengan perundang-undangan tertentu. dalam putusannya Mahkamah Konstitusi dapat menyatakan tidak mengikat suatu peraturan, bahkan dapat memberikan tenggang waktu untuk mengadakan revisi.

  1. Pengujian Perjanjian Internasional

Dikarenakan dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Austria Perjanjian Internasional dapat dijadikan hukum nasional baik memalui Undang-Undang ataupun cukup melalui Peraturan Pemerintah. untuk itu Mahkamah Konstitusi Austria berwenang menguji Perjanjian Internasional yang telah dijadikan hukum nasional.

  1. Perselisihan Pemilihan umum

Mahkamah Konstitusi Austria menurut konstitusi dapat mengadili legalitas hasil pemilu, dan berdasarkan kewenangannya untuk menentukan perolehan atau hilangnya kursi lembaga perwakilan rakyat.

  1. Peradilan Impeachment

Mahkamah Konstitusi Austria dapat meng- ImpeachmentPejabat tertinggi Negara atas kelalaiannya tidak memenuhi kewajiban hukum atau pelanggaran hukum yang dilakukan pada masa jabatannya.

  1. Kewenangan sebagai Pengadilan Administrasi khusus yang terkait dengan ”Constitutional Complain” individu warga Negara

Dalam keadaan tertentu Mahkamah Konstitusi Austria dapat berfungsi sebagai Pengadilan Administrasi Negara, yakni terhadap keputusan konkrit yang dikeluarkan oleh pejabat pemerintah.

  1. Sengketa Kewenangan dan Pendapatan Keuangan antar Negara Bagian dengan Federal

Mahkamah Konstitusi Austria juga memiliki kewenangan memutus sengketa yang berkaitan dengan kekuangan Negara, baik Negara Federasi, Negara bagian yang tunduk pada jurisdiksi pengadilan biasa ataupun pengadilan tata usaha Negara.

  1. Kewenangan memberikan Penafsiran UUD

Mahkamah Konstitusi Austria dapat memberikan pendapat hukum terkait tafsir konstitusi tidak hanya berlaku bagi Negara federal, akan tetapi berlaku pada Negara bagian yang putusannya bersidat final, mengikat dan wajib dilaksanakan.

  1. Dewan Konstitusi Perancis

Counseil Constitutionnel Perancis (Dewan Konstitusi) model Perancis keberadaannya setelah disahkannya Konstitusi Republik Kelima Perancis tahun 1958. Sebelumnya telah ada lembaga peradilan yang disebut Counseil d’Etat (Peradilan Administrasi), akan tetapi tidak ada hubungannya antar satu dengan yang lainnya. Counseil Constitutionnel beranggotakan 9 orang anggota untuk masa jabatan 9 tahun dan tidak dapat diperpanjang. Anggota Dewan dapat diganti selama 3 tahun sekali sebanyak 3 orang. 3 orang dipilih Presiden, 3 oleh Ketua Majelis Nasional dan 3 lainnya oleh Ketua Senat. Selain itu Mantan Presiden Republik yang diangkat menjadi seorang anggota Dewan dapat terus menjabat untuk seumur hidup.

Anggota Dewan Konstitusi ini sebagian besar berasal dari politisi. Ketentuan lain yang juga penting adalah pemilihan Ketua Dewan Konstitusi juga ditentukan oleh Presiden Republik. Ketua Dewan Konstitusi ini memegang suara kunci apabila dilakukan secara voting dan seri. Untuk pengesahan Undang-Undang rancangan Undang-Undang dapat diajukan kepada Dewan Konstitusi oleh Presiden republik, Perdana Menteri atau salah satu dari Kamar parlemen. selain kewenangan itu Dewan Konstitusi juga berwenang memeriksa dan memutus mengenai legalitas hasil pemilihan Presiden dan menyelanggarakan referendum serta duduk tidaknya anggota wakil rakyat dalam parlemen. Sedangkan kewenangan yang ketiga adalah kewenangan bersifat konsultatif, yakni apabila diminta oleh Presiden dalam hal-hal yang bersifat darurat.

Mengenai hakikat dan akibat hukum dari putusan Dewan Konstitusi berisi persetujuan atas dasar ketentuan hukum materiel yang berlaku dan prosedur hukum formal menurut tahap-tahap procedural yang berlaku, analisis dalil-dalil hukum dari semua pihak terkait, dan perumusan prinsip-prinsip yang berlaku terhadap perkara terkait untuk menjawab permintaan yang diajukan oleh Pemohon. Sedangkan akibat hukum dari putusan dapat dikemukakan bahwa putusan Dewan Konstitusi Perancis mengikat semua lembaga. Sedangkan putusan konstitutionalitas suatu peraturan dapat menyebabkan peraturan yang bersangkutan sebagian di revisi.

Continue Reading

TINJAUAN KEDUDUKAN MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

Pasca Undang-Undang Dasar Amandemen, terdapat beberapa pergeseran lembaga Negara yang semula terdapat lembaga tertinggi Negara dalam hal ini adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), kini lembaga Negara yang ada memiliki kedudukan yang sama sebagai lembaga yang memiliki tugas dan fungsi yang berbeda. Hal itu sesuai dengan prinsip ‘check and balance’ dimana berfungsi sebagai pengontrol terhadap kewenangan regulatif baik yang dimiliki oleh Presiden/Pemerintah serta lembaga-lembaga lain yang mendapat kewenangan regulatif dari Undang-Undang.[1]

Mahkamah Konstitusi yang merupakan lembaga baru pasca UUD 1945 amandemen memiliki kedudukan yang strategis dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, selain berkedudukan sebagai lembaga kekuasaan kehakiman serta memiliki kedudukan terhadap Mahkamah Agung dan lembaga Negara lainnya.[2] Mahkamah Konstitusi dikatakan sebgai salah satu kekuasaan kehakiman sebagaimana tertuang dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen yang berbunyi:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi (kursif dari penulis)

Adapun yang menjadi kewenangan mahkamah Konstitusi adalah sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 sebagimana disebutkan dibawah ini:

  • Mahkamah Knsitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
    • Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
    • Memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945
    • Memutus pembubaran partai politik;dan
    • Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
  • Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presidendiduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindk pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana diamksud dalam Undang-Undang dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

Mahkamah Konstitusi juga memiliki kedudukan terhadap lembaga Negara yang lain, diantaranya dengan Mahkamah Agung (MA), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Yang kesemuanya saling melengkapi sehingga akan tercipta suasana pemerintahan yang yang saling melengkapi antara fungsi lembaga Negara yang satu dengan yang lainnya.[3]

a.1.Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Mahkamah Agung

Sepintas dapat dipastikan bahwa kedua lembaga ini merupakan dua lembaga yang merupakan bagian dari kekuasaan kehakiman, namun tentunya kedua lembaga ini memiliki kewenangan yang berbeda. Dalam pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa:

“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha Negara, dan sebuah Mahkamah Konstitusi (kursif dari penulis)

Ketika melihat bunyi pasal diatas, maka jelas bahwa antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi merupakan sama-sama kekuasaan kehakiman, namun perlu dilihat pula tentang kewenangan dari Mahkamah Agung sebagaimana diatur dalam Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan undang-undang ”

Sedangkan wewenang Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Selain kewenangan diatas, Mahkamah konstitusi memiliki kewengan satu lagi yang sangat urgen yakni sebagaimana diatur dalam pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”

Berdarsakan bunyi Pasal-Pasal dalam Undang-Undang Dasar diatas, maka antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung adalah sama-sama sebagai pelaku kekuasaan kehakiman di Indonesia. Maka dengan demikian pula dapat disimpulkan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia menganut sistem bifurkasi (bifurcation system), dimana kekuasaan kehakiman terbagi dalam 2 (dua) cabang, yaitu cabang peradilan biasa (ordinary court) yang berpuncak pada Mahkamah Agung dan cabang peradilan Konstitusi yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi.[4]

Dengan demikian jelas bahwa antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung merupakana 2 (dua) lembaga tinggi negara yang sejajar yang sama-sama sebagai pelaku kekuasaan kehakiman dalam sistem Kekuasaan di Negara Republik Indonesia.[5] Namun tentunya antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung memiliki perbedaan baik dari segi yrisdiksi maupun dari segi kompetensinya. Meskipun jika dilihat secara politis dari kewenangan Mahkamah Konstitusi, maka Mahkamah Konstitusi relatif lebih tinggi dari Mahkamah Agung.

a.2. Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

Dengan diamandemennya Undang-Undang Dasar 1945 maka telah terjadi pergesesan kekuasaan lembaga Negara, salah satunya adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang sebelum amandemen merupakan lembaga tertinggi Negara, namun setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945, maka kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tidak lagi sebagai penjelmaan dari seluruh rakyat Indonesia dan pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat. Oleh karena itu dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa kedaulatan derada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945), sehingga penumpukan kekuasaan di satu lembaga dapat diminimalisir.

Mengenai kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka dapat dilihat dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar”

Dalam ayat (2) disebutkan bahwa:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden”

Dalam ayat (3) disebutkan bahwa:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang dasar”

Berdasarkan bunyi Pasal-pasal diatas, maka antara Mahkamah Konstitusi dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah sama-sama sebagai lembaga negara yang sejajar, yakni lembaga yang satu tidak lebih tinggi (subordinat) terhadap lembaga Negara lainnya.

a.3Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Presiden

Undang-Undang Dasar 1945 pasal 4 ayat (1) menyebutkan bahwa:

“Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”

Sedangkan Mahkamah Konstitusi adalah salah satu pelaku sekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung sebagaimana tertuang dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 terdapat banyak pasal yang mengatur tentang keberadaaan Presiden. Namun dari sekian banyak pasal tersebut tidak satupun yang mengatur kedudukan Presiden terhadap Mahkamah Konstitusi. Namun hal yag penting adalah sebagimana tertuang dalam Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”

Dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2003 tentang Susunan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat ditegaskan bahwa:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat merupakan lembaga permusyawaratan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara”

Berdasarkan penjelasan pasal diatas, maka dapat diartikan bahwa semua lembaga negara termasuk Presiden tidak dapat melakukan intervensi terhadap Mahkamah Konstitusi selaku kekuasaan kehakiman di Indonesia. Untuk itu, maka dapat disimpulkan bahwa antara Presiden dan Mahkamah Konstitusi adalah sama-sama lembaga Negara yang memiliki tugas dan wewenang yang berbeda namun memiliki kedudukan yang sejajar.

a.4.Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Dewan Perwakilan Rakyat

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 20 ayat (1) disebutkan bahwa:

“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”

Undang-Undang Dasar 1945 tidak dijelaskan tentang kedudukan Mahkamah Konstitusi terhadap Dewan Perwakilan Rakyat. Namun, dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat ditegaskan bahwa:

“Dewan Perwakilan Rakyat merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara”

Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan antara Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Rakyat adalah sejajar dan kedua-duanya adalah lembaga Negara.

a.5.Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Dewan Perwakilan Daerah (DPD)

Keberadaan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam sistem ketatanegaraan Indonesia merupakan lembaga baru pasca amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat ditegaskan bahwa:

“Dewan Perwakilan Dakyat merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara”

Berdasarkan pasal diatas, maka jelas bahwa Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sama-sama sebagai lembaga negara, sehingga kedudukan kedua lembaga tersebut adalah sederajat, namun tentunya memiliki kewenangan yang berbeda.

a.6.Kedudukan Mahkamah Konstitusi Terhadap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

Tentang Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diatur dalam Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa:

“untuk melaksanakan pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan Negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang bebas mandiri”

Mengenai kedudukan Mahkamah Konstitusi terhadap Badan Pemeriksa Keuangan tidak terdapat satu pasalpun dalam peraturan perundang-undangan yang mengaturnya. Namun karena antara Mahkamah Konstitusi dan Badan Pemeriksa Keuangan adalah sama-sama lembaga negara, maka kedudukan kedua lembaga tersebut adalah sejajar.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kedudukan Mahkamah Konstitusi terhadap lembaga negara yang lainnya yang diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 amandemen, maka tidak terdapat satu lembagapun secara hukum yang dapat dikatakan (subordinat) lebih tinggi atau lebih rendah, walaupun terdapat sebagian yang mengatakan secara politis masih terdapat lembaga yang paling tinggi apabila dilihat dari segi kewenangan yang dimiliki.

  1. FUNGSI DAN TUGAS MAHKAMAH KONSTITUSI MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1974, istilah fungsi berarti adalah sekelompok pekerjaan, kegiatan, dan usaha yang satu sama lainnya ada hubungan erat untuk melaksanakan suatu tugas pokok. Dari sudut bahasa, fungsi (Belanda=functie, Inggris=function) berarti jabatan, atau kerja.[6] Jadi berdasarkan pengertian diatas, maka fungsi adalah salah satu peran yang dapat dilaksanakan untuk melaksanakan salah satu wewenang yang melekat pada suatu kelompok/lembaga.

Secara filosofis ide dasar gagasan pembentukan Mahkamah Knstitusi adalah untuk menciptakan sebuah sistem ketatanegaraan di Indonesia yang menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) serta inginmenerapkan konsep “check and balance” untuk secara bertahap menggantikan asas pendistribusian kekuasaan (distribution of power), dengan alasan bahwa: [7]

  1. Negara Indonesia merupakan negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, bertujuan untuk mewujudkan tata kehidupan bangsa dan negara yang tertib, bersih, makmur, dan berkeadilan.
  2. Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman mempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsip negara hukum sesuai dengan tugas dan wewenagnya yang ditentukan dalam UUD 1945.
  3. Berdasarkan ketentuan yang termuat dalam UUD 1945 (Pasal 24C) pengaturan tentang pengangkatan dan pemberhentian hakim konstitusi, hukum acara, dan ketentuan lainnya diatur dalam undang-undang.

 

  1. Fungsi Mahkamah Konstitusi Sebagai Lembaga Kekuasaan Kehakiman

     Format awal dibentuknya Mahkamah Konstitusi adalah semangat membangun lembaga kekuasaan Kehakiman yang tugas dan wewenangnya berkaitan dengan peran dan tugas konstitusionalitas dari Undang-Undang Dasar 1945.

Kekuasaan Kehakiman setelah UUD 1945 diubah, tetap menjadi kekuasaan yang sangat fundamental dan sebagai bagian dari poros kekuasaan yang memiliki fungsi menegakkan keadilan.[8] Kekuasaan kehakiman dalam susunan kekuasaan negara menurut UUD 1945 setelah perubahan tetap ditempatkan sebgai kekuasaan yang mandiri, bebas campur tangan dari kekuasaan lain, hal itu sesuai dengan bunyi Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”

Dalam susunan kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA), badan-badan peradilan lain dibawah MA (Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, Peradilan Militer, Peradilan Agama) serta Mahkamah Konstitusi (pasal 24 ayat (2) UUD 1945). Untuk menjaring hakim-hakim yang profesional dan mempunyai integritas terhadap profesinya sebagai penegak hukum dan keadilan, terdapat lembaga khusus diadakan untuk rekrutmen calon-calon Hakim Agung yaitu Komisi Yudisial (Pasal 24B UUD 1945).

Dengan demikian maka Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, perlu memperhatikan mengenai asas-asas hukum umum kekuasaan kehakiman/peradilan yang baik (Algemene Rechtsbeginsellen van Behorrrlijk Rechtspraak). Asas hukum (Rechtsbeginsellen) adalah pokok pikiran yang bersifat umum yang menjadi latar belakang dari peraturan hukum yang konkret (hukum positif).[9] Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH mengatakan bahwa asas hukum adalah jiwanya peraturan hukum, karena ia merupakan dasar lahirnya peraturan hukum, ialah rasio legisnya peraturan hukum.[10] Asas hukum ini dapat ditemukan dan disimpulkan langsung ataupun tidak langsung dala peraturan-peraturan hukum yang pada hakikatnya mengandung unsur-unsur asas-asas hukum yang bersangkutan.[11]

Seperti asas-asas hukum lainnya, kekuasaan kehakiman juga memiliki beberapa asas yang menjadi dasar dari ketentuan-ketentuan dalam kekuasaan kehakiman secara umum. Adapun asas-asas hukum kekuasaan kehakiman yang baik diantaranya:[12]

  1. Asas kebebasan hakim
  2. Hakim bersifat menunggu
  3. Pemeriksaan berlangsung terbuka
  4. Hakim aktif
  5. Asas hakim bersifat pasif (Tut Wuri)
  6. Asas kesamaan (Audi et Alteram Partem)
  7. Asas objektivitas
  8. Putusan disertai alasan (Motiverings Plicht)
  1. Fungsi Mahkamah Konstitusi Sebagai Penjaga Konstitusi

Ketika melihat wewenang Mahkamah konstitusi dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”.

Selain kewenangan diatas, Mahkamah konstitusi memiliki kewengan satu lagi yang sangat urgen yakni sebagaimana diatur dalam pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar”

Berdasarkan kewenanagan diatas, maka dalam segala apapun untuk menjalankan kewenangannya, maka Mahkamah Konsitusi selalu mengatasdasarkan Undang-Undang Dasar sebagai (staatsfundamentalnorm)[13]. Untuk itu sering dikatakan bahwa fungsi dari Mahkamah Konstitusi adalah berfungsi sebagai The Guardian of Constitution (penjaga konstitusi).

Sejalan dengan prinsip ketatanegaraan diatas maka salah satu subtansi penting perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah keberadaan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga Negara yang berfungsi menangani perkara tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan cita demokrasi.

Dasar yang dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi adalah berfungsi sebagai The Guardian of Constitution (penjaga konstitusi) adalah bahwa Mahkamah konstitusi merupakan lembaga peradilan dalam bidang Tata Negara yang dalam segala kewenangannya harus berdasarkan atas Undang-Undang Dasar 1945, baik dalam menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, maupun dalam memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Sebagai The Guardian of Constitution (penjaga konstitusi), maka Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat memutus segala wewenang yang melekat padanya harus berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945, bukan berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang lainnya seperti politik, ekonomi, sosial dan lain sebagainya. Untuk itu juga sangat diperlukan dalam segala pertimbangan yang dilakukan hakim konstitusi adalah pertimbangan hukum, bukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang lainnya.[14]

 

  1. Fungsi Mahkamah Konstitusi Sebagai Penafsir Konstitusionalitas Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar 1945

Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar (judicial reviuw) merupakan tugas yang mendominasi kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana tampak dari putusan yang telah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi.[15] Secara teoritis terdapat 2 (dua) pengujian norma hukum, yakni pengujian secara formal (formele toetsingrecht) dan pengujian secara materiil (materiele toetsingrecht).[16]

Pengujian secara formal adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk hukum legislatif dibuat sesuai prosedur ataukah tidak. Serta apakah lembaga tertentu berhak atau tidak dalam mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Sedangkan pengujian secara materiil adalah wewenang untuk menyelidiki dan menilai apakah suatu peraturan perundang-undangan bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi.[17]

Berdasarkan kewenangannya untuk menguji konstitusionalitas Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi melalui putusannya dapat menyatakan bahwa materi rumusan dari suatu Undang-Undang tidak mempunyai kekuatan hukum karena bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Begitupun terhadap suatu Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi dapat membatalkan keberlakuannya karena tidak sesuai dan tidak berdasar terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Melalui penafsiran ataupun interpretasi terhadap Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi berfungsi sebagai peradilan yang secara positif mengoreksi Undang-Undang yang dihasilkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama-sama Presiden dalam penyelenggaraan negara yang berdasarkan hukum yang mengatur perikehidupan masyarakat bernegara. Dengan demikian Undang-Undang yang dihasilkan oleh legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden) diimbangi oleh pengujian (formal dan materiil) dari cabang yudisial yakni Mahkamah Konstitusi.[18]

Contoh kecil dalam hal kewenangan formal dalam menguji Undang-Undang misalkan dalam bidang legislasi adalah Mahkamah konstitusi dapat mendorong efektifitas penyelenggaraan fungsi Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dikerdilkan. Artinya Maahkamah Konstitusi dapat menyatakan bahwa pembentukan suatu Undang-Undang adalah tidak sah menurut Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat karena tidak melibatkan atau mengabaikan peranan, pertimbangan, maupun pandangan dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

Konteks diatas berarti Mahkamah Konstitusi mempunyai fungsi sebagaiKonstitusionalitas Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar 1945, baik melalui pengujian secara materiil dan formal terhadap suatu Undang-Undang mempunyai fungsi control dalam suatu sistem hukum yang mengatur kehidupan bernegara. Hal itu terwujud dalam bentuk pengujian (materiil dan formal) terhadap Undang-Undang oleh Mahkamah konstitusi.

  1. HUBUNGAN MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN LEMBAGA TINGGI NEGARA LAINNYA

Seperi pembahasan sebelumnya bahwa Mahkamah Konstitusi selain berkedudukan yang sejajar dan tidak (subordinat) terhadap lembaga tinggi negara lainnya, maka selain itu juga Mahkamah Konstitusi juga memiliki hubungan dengan lembaga tinggi lainnya, baik dengan Mahkamah Agung (MA), Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Badan Pemeriksa Keuangan.

  1. Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Mahkamah Agung

Pasal 24C ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Mahkamah Konstitusi terdiri tersiri 9 (sembilan) orang anggota hakim konstitusi yang ditetapkan Presiden, yang diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh Presiden. Aturan peralihan Pasal III Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya dibentuk pada 17 Agustus 2003, sebelum Mahkamah konstitusi terbentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya permohonan pengujian Undang-Undang dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak permohonan di catat dalam buku register perkara konstitusi.

Pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila Undang-Undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah Konstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi (Pasal 55 UU No. 23 Tahun 2003). Begitupun juga Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, dan Mahkamah Agung (MA) (Pasal 59 UU No. 23 Tahun 2003).

Berdasarkan bunyi pasal diatas, maka hubungan kedua lembaga negara ini telah dimulai sebelum dibentuknya Mahkamah Konstitusi. Dalam rangka mengisi jabatan hakim konstitusi, maka Mahkamah Agung berhak mengajukan 3 (tiga) orang hakim konstitusi dari 9 (sembilan) orang hakim konstitusi yang nantinya ditetapkan oleh Presiden.

Dalam menjalankan tugasnya pun Mahkamah Konstitusi melakukan hubungan denga Mahkamah Agung seperti ketika Mahkamah Konstitusi menangani Judicial Reviuw. Mahkamah Konstitusi memberitahukan kepada Mahkamah Agung adanya permohonan pengujian Undang-Undang dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku register perkara konstitusi.

Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila Undang-Undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian Mahkamah KOnstitusi sampai ada putusan Mahkamah Konstitusi. Putusan Mahkamah Konstitusi disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Presiden, dan Mahkamah Agung (MA).

Dari itu, maka dapat dilihat terdapat hubungan antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, hal itu merupakan konsekwensi dari lembaga yang sama-sama berwenang melakukan judicial reviuw terhadap peraturan perundang-undangan.

  1. Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat

Reduksi pergeseran kekuasaan lembaga negara ternyata juga berimplikasi terhadap bergesernya hubungan antar lembaga negara negara, begitu pula dengan hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Mengenai kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), maka dapat dilihat dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 bahwa:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar”

Dalam ayat (2) disebutkan bahwa:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden”

Dalam ayat (3) disebutkan bahwa:

“Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang dasar”

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang susunan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Majelis Permusyawaratan Rakyat Merupakan lembaga permusyawaratan rakyat ysngs berkududukan sebagai lembaga Negara”

Karena kedua lembaga baik Mahkamah Konstitusi maupun Majelis Permusyawaratan Rakyat sama-sama sebagai lembaga Negara, maka dalam menjalankan tugas dan wewenangnya kedua lembaga tersebut terdapat hubungan. Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat dapat memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap Negara, korupsi, penyuapan, tindakpidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden (pasal 7A Undang-Undang Dasar 1945). Lembaga yang memiliki kewajiban untuk memeriksa, mengadili, dan memutus dugaan bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden telah melakukan pelanggagaran hukum sebagai mana diamksud diatas adalah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945)

Dalam penyelesaian sengketa pemilu Presiden dan wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi menyampaikan putusan hasil perhitungan suara kepada MPR, dalam hal MPR menjadi para pihak dalam peradilan Konstitusi, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil dan mendengar keterangan MPR dalam persidangan.

Berdasarkank pemaparan diatas, maka jelas bahwa kedua lembaga negara merupakan lembaga yang sejajar yang memiliki hubungan tata kerja antar lembaga negara yang ada.

  1. Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Presiden

     Sama halnya dengan Mahkamah Agung, maka Presiden juga berhak mengajukan 3 (tiga) orang Hakim Konstitusi dari 9 (sembilan) orang Hakim Konstitusi, dan Presiden berwenang menetapkan 9 (sembilan) orang Hakim Konstitusi tersebut (Pasal 24C ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945)

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana lainnya atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil Presiden (pasal 7A Undang-Undang Dasar 1945). Lembaga yang memiliki kewajiban untuk memeriksa, mengadili, dan memutus dugaan bahwa Presiden dan/atau wakil Presiden telah melakukan pelanggagaran hukum sebagai mana diamksud diatas adalah Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945)

Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan Judicial Reviuw terhadap Undang-Undang yang merupakan produk yang dibuat DPR dan Presiden (Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945). Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi kepada DPR dan Presiden untuk diketahui dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari. Mahkamah Konstitusi dapa tmeminta risalah dan keterangan yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. Mahkamah Konstitusi menyampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan Mahkamah Agung terhadap putusan mengenai pengujian Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 59 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003).

Dalam hal penyelesaian sengketa pemilu Presiden dan Wakil Presiden, Mahkamah Konstitusi menyampaikan putusan hasil perhitungan suara kepada Presiden (Pasal 68 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden). Hakim Konstitusi mengucap sumpah dihadapan Presiden (Pasal 21 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003). Pemberhentian hakim konstitusi ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas permintaan Ketua Mahkamah Konstitusi. Dalam hal Presiden menjadi para pihak dalam peradilan Konstitusi, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil dan mendengar keterangan Presiden dalam persidangan.

Berdasarkan ulasan singkat diatas, maka jelas terdapat hubungan tata kerja antara Mahkamah Konstitusi dengan Presiden. Juga terdapat hubungan protokoler dalam hal Hakim Konstitusi mengucap sumpah.

  1. Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Dewan Perwakilan Rakyat

     Mahkamah Konstitusi berwenang melakukan Judicial Reviuw terhadap Undang-Undang yang merupakan produk yang dibuat DPR dan Presiden (Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945). Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi kepada DPR dan Presiden untuk diketahui dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari. Mahkamah Konstitusi dapa tmeminta risalah dan keterangan yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. Mahkamah Konstitusi menyampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan Mahkamah Agung terhadap putusan mengenai pengujian Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 59 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003).

Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 24C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945). DPR berhak mengajukan 3 (tiga) orang hakim konstitusi dari sembilan orang hakim konstitusi yang nantinya ditetapkan oleh Presiden (pasal 24C ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 ). Dalam hal DPR menjadi para pihak dalam peradilan konstitusi, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil dan mendengar keterangan DPR dalam persidangan.

Sedikit berdasarkan rumusan pasal-pasal diatas, maka dapat menunjukkan dalam hal-hal tertentu terdapat hubungan tata kerja lembaga antara Mahkamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Rakyat.

  1. Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Dewan Perwakilan Daerah

Mahkamah Konstitusi dapa tmeminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Presiden.Mahkamah Konstitusi menyampaikan permohonan yang sudah dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi kepada DPR dan Presiden untuk diketahui dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari. Mahkamah Konstitusi dapa tmeminta risalah dan keterangan yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden. Mahkamah Konstitusi menyampaikan kepada DPR, DPD, Presiden, dan Mahkamah Agung terhadap putusan mengenai pengujian Undang-Undang Dasar 1945 (pasal 59 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003).

Dalam hal Dewan Perwakilan Daerah menjadi para pihak dalam sengketa kewenangan lembaga Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil dan meminta keterangan Dewan Perwakilan Daerah dalam persidangan (pasal 41 ayat (2) dan (3) Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003)

Sama halnya dengan lembaga yang lainnya, berdasarkan penjelasan diatas, maka hubungan antara Mahakamah Konstitusi dan Dewan Perwakilan Daerah adalah hubungan tata kerja antar lembaga negara.

  1. Hubungan Mahkamah Konstitusi Dengan Badan Pemeriksa Keuangan

Badan Pemeriksa Keuangan merupakan lembaga negara yang memiliki wewenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara (Pasal 23E ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945).

Menurut Pasal 12 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 bahwa:

 

“Mahkamah Konstitusi bertanggung jawab untuk mengatur organisasi, administrasi, personalia, dan keuangan sesuai dengan prinsip pemerintahan yang bersih”

Sehingga dalam hal ini, Badan Pemeriksa Keuangan berwenang untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan prinsip pemerintahan yang bersih (good governnance). Begitupun juga dalam hal Badan Pemeriksa Keuangan menjadi pihak dalam sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi dapat memanggil dan mendengar keterangan Badan Pemeriksa Keuangan dalam persidangan.

Berdasarkan penjelasan diatas, maka terdapat hubungan antara Mahkamah konstitusi dan Badan Pemeriksa Keuangan adalah hubungan tata kerja antar lembaga negara.

 

DAFTAR PUSTAKA

Arinanto, Satya, Politik Hukum 1, Program Pascasarjana UI, Jakarta, 2001

Arinanto, Satya, Politik Hukum 2, Program Pascasarjana UI, Jakarta, 2001

Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2005,

Fatkhurohman, et.al, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004

Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2005

Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi (Memahami keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia), PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2006,

J.H.A. Logeman, Tentang Teori Suatu Tata Hukum Positif, Ichtiar Baru, Jakarta

Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006

Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 2002

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2004

Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Hukum, Pustaka Kartini, Jakarta, 1991

Maria Farida Indarti, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Jakarta, 1998

Maruar Sihaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Konsitusi Press, Jakarta, 2005

Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung

Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006

Sri Soemantri, Hak Menguji Materiil di Indonesia, Alumni, Bandung 1986

Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006

[1] Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2005, Hal. 21

[2] Fatkhurohman, et.al, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, Hal. 59

[3] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2005, Hal. 27

[4] Fatkhurohman, et.al, Opcit, Hal. 62

[5] Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi (Memahami keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia), PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2006, Hal. 44

[6] J.H.A. Logeman, Tentang Teori Suatu Tata Hukum Positif, Ichtiar Baru, Jakarta, Hal.104

[7] Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasi Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, Hal. 167-168

[8] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Opcit, Hal. 26

[9] Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Liberty, Yogyakarta, 2002, Hal. 32

[10] Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2004, Hal. 85

[11] Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Hukum, Pustaka Kartini, Jakarta, 1991, Hal. 138

[12] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Opcit, Hal. 66

[13] Maria Farida Indarti, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Jakarta, 1998, Hal.47

[14] Maruar Sihaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Konsitusi Press, Jakarta, 2005, Hal 138

[15] Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal.38

[16] Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006. Hal 5

[17] Sri Soemantri, Hak Menguji Materiil di Indonesia, Alumni, Bandung 1986, Hal. 5-12

[18] Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi, Pradnya Paramita, Jakarta, 2006, Hal. 276

Continue Reading

GOOD GOVERNANCE DALAM PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah melahirkan beberapa perubahan mendasar di bidang ketatanegaraan.[1] Perubahan mendasar terdapat pada bentuk kedaulatan yang semula dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), namun setelah perubahan terdapat perbedaan, yakni kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Yang cukup mendasar pula adalah dengan diperjelasnya bahwa Indonesia adalah meganut negara hukum. Dengan demikian maka telah meruntuhkan pandangan yang sengaja dibangun oleh Presiden Soeharto bahwa Undang-Undang Dasar 1945 bernilai “keramat”.[2] Yakni Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat di rubah oleh siapun dan dalam kondisi apapun.

Perubahan yang cukup signifikan terjadi pada bergesernya kekuasaan lembaga negara. Selain terdapat lembaga baru, juga terdapat lembaga negara yang dihapus dalam Undang-Undang Dasar 1945. Resstrukturisasi kelembagaan Negara merupakan agenda penting amandemen demi terciptanya pemerintahan yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Good Governance). Pada aspek kelembagaan Negara dapat dilihat dalam konstitusi bahwa terdapat lembaga-lembaga seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daearah (DPD), Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY) serta lembaga-lembaga Negara lainnya seperti Bank Indonesia (BI) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kesemuanya itu merupakan pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan kedalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga Negara yang sederajat yang saling mengimbangi (check and balance).[3]

Pada aspek Hak Asasi Manusia dalam konstitusi adalah dicantumkannya pasal-pasal yang berkaitan dengan Hak-hak dasar manusia yang sebelumnya masih belum diatur secara spesifik dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen.[4] Hal ini berkaitan dengan pemenuhan hak-hak dasar manusia yang sebelumnya kurang mendapatkan perlindungan hukum oleh pemerintah, sehingga banyak sekali pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia yang tidak dan belum terselesaikan. Dalam konteks itu akan menjadi sangat penting kepastian hukum tentang Hak Asasi Manusia, meskipun pada dasarnya Hak Asasi Manusia adalah hak yang telah melekat dalam setiap diri manusia sejak dia dilahirkan atau sejak berada dalam kandungan.

Pada aspek good governance menjadi point penting dalam dasawarsa pasca reformasi yang menginginkan adanya pemerintahan yang bersih bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).[5] Good governance ini kemudian dilaksanakan dalam setiap tingkatan pemerintahan di Indonesia, baik ditingkatan ekskutif, legislative dan yudikatif. Di bidang ekskutif ditandai dengan adanya reformasi birokrasi, dimulai pada tingkatan yang paling atas, maupun tingkatan pemerintahan yang paling bawah. Di bidang legislative juga ditandai dengan adanya proses pembentukan Undang-Undang[6] yang terarah dan efektif sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sedangkan pada tingkatan yudukatif ditandai dengan adanya peradilan bebas yang tidak terdapat intervensi dari pihak manapun.

Dalam tulisan ini akan mengspesifikkan untuk persoalan proses pembentukan Undang-Undang di Indonesia. Dimana fungsi pembentukan Undang-Undang merupakan bagian dari fungsi yang dimiliki Dewan Perwakilan Rakyat di Indonesia. Fungsi ini yang kemudian dijadikan semacam bagian dari perwujudan dari peran serta dan fungsi legislative dalam upaya memberikan kontribusi yang berguna bagi masyarakat yang telah mempercayakan kepadanya. Untuk itu lembaga legislative dalam Negara-negara modern dikatakan sebagai institusi kunci (key institution) dalam perkembangan politik Negara-negara modern.[7]

Pergeseran fungsi legislasi dari Presiden kepada Legislatif merupakan bagian dari agenda amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu dikuatkan dengan pendapat Jimly Asshiddiqie[8] bahwa setelah perubahan pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 telah terjadi pergeseran kekuasaan kekuasaan subtantif dalam pembentukan Undang-Undang yakni dari tangan Presiden ke tangan Legislatif.

Pembentukan Undang-Undang di Indonesia terdapat beberapa permasalahan. Mulai dari terlalu kuatnya arus kepentingan politik golongan ataupun kepentingan tertentu dari pemegang kekuasaan yang menginginkan hal-hal tertentu untuk dapat diloloskan dalam proses pembentukannya, sampai kepada produk pesanan yang akan menguntungkan pihak-pihak tertentu, dengan tanpa melihat secara utuh dan nilai-nilai yang yang berkembang serta keinginan masyarakat luas yang ada. Untuk itu dapat dibenarkan bahwa Undang-Undang merupakan produk resultante[9] yakni adalah bahwa produk peraturan perundang-undangan tidak jarang merupakan produk kepentingan golongan tertentu yang menginginkan sesuatu hal untuk diloloskan dan dapat diberlakukan.

Tidak hanya itu, lemahnya pengawasan ekternal dari organisasi kemasyarakatan kadang menjadi keuntungan tersendiri dalam proses legislasi. Namun tidak sedikit pula yang kemudian dijadikan tempat atau sarana bagi oknum-oknum masyarakat, mahasiswa, pengajar dan juga organisasi lainnya sebagai ruang untuk mencari keuntungan dengan tanpa berfikir panjang, dan tanpa diadakan koreksi yang cukup kritis terhadap pembentukan Undang-Undang ini. Untuk diperlukan pengawalan dari semua kalangan agar dalam proses dan pembentukan Undang-Undang sesuai dengan keinginan bersama, dengan tanpa ada yang dirugikan pihak manapun.

Kwalitas dari pembentuk Undang-Undang juga menjadi persoalan. Sehingga input dan outputnya kadangkalan tidak berbanding lurus, banyak produk-produk Undang-Undang yang tidak sesuai denga jiwa masyarakat, yang ketika diterapkan justru tidak akan responsive, atau hanya bersifat elitis saja, tidak mampu memberikan kontribusi yang baik bagi terbinanya masyarakat yang sejahtera melalui jalur peraturan perundang-undangan yang mendukung.

Melalui sedikit uraian diatas, maka kiranya perlu kita untuk menelaah dan mengetahui bagaimana sebenarnya Undang-Undang itu dibuat, baik dalam proses pembentukannya maupun cara-cara yang efektif dalam proses pemantauan oleh semua kalangan. Juga yang tak kalah pentingnya juga bagaimana kemudian Undang-Undang yang dibentuk oleh lembaga yang berwenang agar mencerminkan prinsip-prinsip Good Governance, sehingga hasil produk yang dihasilkan mampu mengakmodir semua kepentingan, dan tentunya dapat diterima oleh semua kalangan, dengan tanpa adanya dirugikan.

I.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas, maka rumusan masalah dalam tulisan ini adalah :

  1. Bagaimana proses pembentukan Undang-Undang di Indonesia?
  2. Bagaimana mewujudkan Good Governance dalam pembentukan Undang-Undang di Indonesia?

I.3. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan tulisan ini adalah :

  1. Untuk mengetahui proses pembentukan Undang-Undang di Indonesia
  2. Untuk menganalisis bagaimana mewujudkan Good Governance dalam pembentukan Undang-Undang di Indonesia

I.4. Metodologi Penelitian

Dalam tulisan ini metode yang digunakan adalah metode penulisan yuridis sosiologis, yaitu cara penulisan yang didasarkan pada analisis terhadap beberapa asas hukum dan teori hukum serta peraturan perundang-undangan yang sesuai dan berkaitan dengan permasalahan dalam tulisan ini, dengan tidak menghilangkan kejadian-kejadian yang terjadi dilapangan. Penelitian hukum yuridis sosiologis ini adalah suatu prosedur dan cara penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari segi normatif dan sosiologisnya.[10]

Sedangkan pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah terdiri dari 2 (dua) pendekatan yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach).[11] Pendekatan perundang-undangan (statute approach) di gunakan untuk meneliti peraturan perundang-undangan yang dalam penormaannya masih terdapat kekurangan atau malah menyuburkan praktek penyimpangan dalam pembentukan Undang-Undang. Pendekatan konseptual (conceptual approach) dipakai untuk memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan pembentukan Undang-Undang di Indonesia.

  1. Bahan Hukum

Bahan hukum merupakan bahan dasar yang akan dijadikan acuan atau pijakan dalam penulisan skripsi ini. Adapun yang menjadi bahan hukum dalam penulisan skripsi ini terdiri dari 3 (tiga) bagian, yakni bahan hukum primer, skunder dan tersier yang dapat diurai sebagai berikut :

  • Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.[12] Bahan-bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

  • Bahan Hukum Skunder

Bahan hukum skunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.[13] Adapun bahan hukum skunder yang digunakan untuk memberikan penjelasan mengenai materi yang terdapat dalam bahan hukum primer berasal dari beberapa literatur, buku tesk, jurnal hukum, karangan ilmiah dan buku-buku lain yang berkaitan langsung dengan tema tulisan ini.

  • Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder.[14] Bahan hukum ini sebagai alat bantu dalam tulisan ini. Adapun bahan hukum tersier ini dapat berupa kamus-kamus hukum yang berkaitan langsung dengan tulisan ini.

  1. Analisis Bahan Hukum

Metode analisis yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini adalah metode induksi, yakni mengkaji dari hal-hal yang bersifat khusus untuk menghasilkan kesimpulan yang bersifat umum.


BAB II

LANDASAN TEORI

II.1. Teori Good Governance

Gagasan tentang penyelenggaraan kekuasaan yang baik menurut aspek historis dapat dilihat pada masa jaman Yunani kuno dimulai pada masa Plato. Menurutnya, penyelenggaraan kekuasaan yang ideal dilakukan secara paternalistik, yakni para penguasa yang bijaksana haruslah menempatkan dirinya selaku ayah yang baik lagi arif yang dalam tindakannya terhadap anak-anaknya terpadulah kasih dan ketegasan demi kebahagiaan anak-anak itu sendiri. Pada bagian lain, Plato mengusulkan agar negara menjadi baik, harus dipimpin oleh seorang filosof, karena filosof adalah manusia yang arif bijaksana, menghargai kesusilaan, dan berpengetahuan tinggi.[15] Murid Plato, Aristoteles, berpendapat bahwa pemegang kekuasaan haruslah orang yang takluk pada hukum, dan harus senantiasa diwarnai oleh penghargaan dan penghormatan terhadap kebebasan, kedewasaan dan kesamaan derajat. Hanya saja tidak mudah mencari pemimpin dengan kualitas pribadi yang sempurna.[16] Oleh karena itu, pendekatan sistem merupakan alternatif yang paling memungkinkan. Plato sendiri, di usia tuanya terpaksa merubah gagasannya yang semula mengidealkan pemerintah itu dijalankan oleh raja-filosof menjadi pemerintahan yang dikendalikan oleh hukum. Penyelenggaraan negara yang baik, menurut Plato, ialah yang didasarkan pada pengaturan hukum yang baik.

Berdasarkan pendapat Plato ini, maka penyelenggaraan pemerintahan yang didasarkan pada hukum merupakan salah satu alternatif yang baik dalam penyelenggaraan negara. Hukum administrasi negara[17] dapat dijadikan instrumen untuk terselenggaranya pemerintahan yang baik. Penyelenggaraan pemerintahan lebih nyata dalam Hukum administrasi negara, karena di sini akan terlihat konkrit hubungan antara pemerintah dengan masyarakat, kualitas dari hubungan pemerintah dengan masyarakat inilah setidaknya dapat dijadikan ukuran apakah penyelenggaraan pemerintahan sudah baik atau belum. Di satu sisi Hukum administrasi negara dapat dijadikan instrumen yuridis oleh pemerintah dalam rangka melakukan pengaturan, pelayanan, dan perlindungan bagi masyarakat, di sisi lain Hukum administrasi negara memuat aturan normatif tentang bagaimana pemerintahan dijalankan, atau sebagaimana dikatakan Sjachran Basah[18], bahwa salah satu inti hakikat Hukum administrasi negara adalah untuk memungkinkan administrasi negara untuk menjalankan fungsinya, dan melindungi administrasi negara dari melakukan perbuatan yang salah menurut hukum. Tulisan dalam makalah ini akan difokuskan pada fungsi Hukum administrasi negara baik sebagai norma, instrumen, maupun jaminan perlindungan bagi rakyat.

Good Governance berkaitan dengan tata penyelenggaraan pemerintahan yang baik. Sedangkan pemerintahan dapat diartikan secara sempit dan luas. Dalam arti sempit, penyelenggaraan pemerintahan yang baik bertalian dengan pelaksanaan fungsi administrasi negara. Dalam kaitan ini, di Negeri Belanda (yang juga diikuti oleh ahli Hukum Administrasi Negara Indonesia) dikenal sebagai “Prinsip-prinsip atas asas-asas umum penyelenggaraan administrasi yang baik”[19]. Asas ini berisikan pedoman yang harus digunakan oleh administrasi negara dan juga oleh hakim untuk menguji keabsahan (validitas) perbuatan hukum atau perbuatan nyata administrasi negara. Asas ini pun meliputi antara lain: motivasi yang jelas, tujuan yang jelas, tidak sewenang-wenang, kehati-hatian, kepastian hukum, persamaan perlakuan,, tidak menggunakan wewenang yang menyimpang dari tujuan, fairness dan lain-lain.[20]

Harus diakui bahwa administrasi negara sebagai penyelenggara negara fungsi pemerintahan (eksekutif), selain memiliki konsentrasi kekuasaan yang makin besar, juga bersentuhan langsung dengan rakyat. Tindakan-tindakan penertiban, perizinan dan berberbagai pelayanan merupakan pekerjaan administrasi negara yang langsung berhubungan dengan rakyat. Setiap bentuk penyalahgunaan kekuasaan atau cara-cara bertindak yang tidak memenuhi syarat penyelenggaraan administrasi negara yang baik akan langsung dirasakan sebagai perbuatan sewenang-wenang atau merugikan orang tertentu atau pun rakyat banyak. Karena itu, betapa penting pelaksanaan asas-asas diatas untuk mencegah dan menghindari rakyat dari segala tindakan administrasi negara yang dapat merugikan rakyat.

Tetapi, cabang-cabang penyelenggara negara yang lain, seperti pembentuk undang-undang (DPR) atau penegak hukum (kekuasaan kehakiman) tidak kurang perannya dalam mewujudkan dan menampakkan pemerintahan yang baik, kurang atau tidak baik. Pembentuk UU dapat membuat UU yang sewenang-wenang.[21] Berbagai UU yang dibuat belum tentu berpihak kepada kepentingan rakyat banyak melainkan untuk kepentingan penguasa atau kepentingan kelompok tertentu yang tentu saja dominan, seperti para konglomerat dan lain-lain.

Demikian pula dalam penegakkan hukum, dapat terjadi berbagai tindakan atau putusan yang sewenang-wenang. Kesewenang-wenangan itu bukan hanya terjadi karena kekuasaan penegak hukum tidak berdaya atau berkolaborasi dengan penyelenggara cabang kekuasaan lain. Kesewenang-wenangan dapat juga terjadi karena penyalahgunaan keuasaan kebebasan yang ada pada penegak hukum. Berbagai tindakan hukum, seperti perkara perdata yang dijadikan perkara pidana, putusan hakim yang dirasakan tidak benar dan tidak adil, penundaan eksekusi yang merugikan pencari keadilan sama sekali tidak terkait dengan ketidakberdayaan atau kolaborasinya dengan kekuasaan, melainkan karean penyalahgunaan kebebasan dalam memutus atau membuat suatu ketetapan.

Menyikapi hal diatas, seyogyanya tinjauan mengenai penyelenggaraan pemerintahan yang baik (good governance) tidak hanya berkenaan dengan fungsi administrasi negara, melainkan juga termasuk pada cabang-cabang kekuasaan negara yang lain seperti pembentukan undang-undang dan penegak hukum.

Berbagai ungkapan teoritik sering dilekatkan pada bentuk dan isi penyelenggaraan pemerintahan yang baik seperti: responsible, accountable, controlable, transparancy, limitable dan lain sebagainya.[22] Bagi rakyat banyak, penyelenggaraan pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang memberikan berbagai kemudahan, kepastian dan bersih dalam menyediakan pelayanan dan perlindungan dari berbagai tindakan sewenang-wenang baik atas diri, hak maupun harta bendanya.

Dalam kaitan pelayanan dan perlindungan, ada dua cabang pemerintahan yang berhubungan langsung dengan rakyat yaitu administrasi negara dan juga penegak hukum. Karena itu sangat wajar apabila tuntutan penyelenggaraan pemerintahan yang baik terutama ditujukan pada pembaharuan administrasi negara dan pembaharuan penegakkan hukum.[23]

Istilah “Governance” menunjukkan suatu proses di mana rakyat bisa mengatur ekonominya, institusi dan sumber-sumber sosial dan politiknya tidak hanya dipergunakan untuk pembangunan, tetapi juga untuk menciptakan kohesi, integrasi, dan untuk kesejahteraan rakyat.[24] Dengan demikian, bahwa kemampuan suatu negara mencapai tujuan negara sangat tergantung pada kualitas tata kepemerintahan di mana pemerintah melakukan interaksi dengan sektor swasta dan masyarakat.

Sedangkan United Nations Development Programme (UNDP)[25] mendefinisikan governance sebagai “the exercise of political, economic, and administrative authority to manage a nation’s affair at all levels”. Menurut definisi ini, governance mempunyai tiga kaki (three legs), yaitu economic, political, dan administrative. Economics governance meliputi proses-proses pembuatan keputusan (decision-making processes) yang memfasilitasi aktivitas ekonomi di dalam negeri dan interaksi diantara penyelenggara ekonomi. Economic governance mempunyai implikasi terhadap equity, poverty dan quality of life. Political governance adalah proses-proses pembuatan keputusan untuk formulasi kebijakan, sedangkan administrative governance adalah sistem implementasi proses kebijakan. Oleh karena itu institusi dari governance meliputi tiga domain, yaitu state (negara atau pemerintahan), private sector (sektor swasta atau dunia usaha), dan society (masyarakat), yang saling berinteraksi dan menjalankan fungsinya masing-masing.

Konsep good governance sejak tahun 1991 dipromosikan oleh beberapa agensi multilateral dan bilateral seperti JICA, OECD, GTZ.[26] Mereka memberikan tekanan pada beberapa indikator, antara lain :

  1. demokrasi, desentralisasi dan peningkatan kemampuan pemerintah;
  2. hormat terhadap hak asasi manusia dan kepatuhan terhadap hukum yang berlaku;
  3. partisipasi rakyat;
  4. efisiensi, akuntabilitas, transparansi dalam pemerintah dan administrasi publik;
  5. pengurangan anggaran militer; dan
  6. tata ekonomi yang berorientasi pasar.

World Bank mensinonimkan good governance dengan penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggungjawab yang sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efisien, penghindaran salah alokasi dana investasi yang langka, dan pencegahan korupsi baik secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal and political frameworks bagi tumbuhnya aktivitas kewiraswastaan.

Sedangkan UNDP[27] dalam workshop yang diselenggarakannya menyimpulkan “that good governance system are participatory, implying that all members of governance institutions have a voice in influencing decision making”. Namun dalam perkembangan berikutnya lembaga ini memberikan definisi good governance sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara negara, sector swasta dan masyarakat (society).[28]

Lembaga Administrasi Negara[29] medefinisikan good governance sebagai penyelenggaraan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif  dengan menjaga “kesinergisan” interaksi yang konstruktif di antara domain-domain negara, sector swasta dan masyarakat (society). Pada tataran ini, good governance berorientasi pada 2 (dua) hal pokok, yakni : Pertama, orientasi ideal negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan nasional. Pada tataran ini, good governance mengacu pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen-elemen konstituennya, seperti legitimacy, accountability, scuring of human right, autonomy and devolution of power dan assurance of civilian control; Kedua, pemerintahan yang berfungsi secara ideal yaitu secara efektif dan efisien dalam melakukan upaya mencapai tujuan nasional. Dalam konteks ini, good governance tergantung pada pada sejauh mana struktur serta mekanisme politik dan administratif berfungsi secara efektif dan efisien.

Sementara itu, United Nations merumuskan indikator good governance yang meliputi :[30]

  1. kemampuan, yaitu kemampuan yang cukup untuk melaksanakan kebijakan dan fungsi-fungsi pemerintah, termasuk sistem administrasi publik efektif dan responsif;
  2. akuntabilitas dalam kegiatan pemerintah dan transparan dalam pengambilan keputusan;
  3. partisipasi dalam proses demokrasi, dengan memanfaatkan sumber informasi dari publik dan dari swasta ;
  4. perhatian terhadap pemerataan dan kemiskinan; dan (5) komitmen terhadap kebijakan ekonomi yang berorientasi kepada pasar.

Dalam hal itu pula good governance dapat ditemukan melalui asas-asas umum pemerintahan yang baik, yang tertuang dalam peraturan perundang-undangan modern masa kini. Di Nederland misalnya disebut sebagai asas-asas pemerintahan yang layak (algemene beginselen van behoorlijk bestuur) yang pada umumnya terdapat 5 (lima) asas, yakni :[31]

  1. asas persamaan
  2. asas kepercayaan
  3. asas kepastian hukum (rechtszekerheid)
  4. asas kecermatan (zorgvuldigheid)
  5. asas pemberian alas an (motivasi)

Sedangkan di Indonesia pada awalnya menjadikan-menjadikan dasar sebagai tersebut diatas sebagai rujukan yang kemudian dijadikan dasar mencantumkannya asas-asas tersebut dalam undang-undang. Adapun sebelum itu menurut Prof. Kuntjoro Purbopranoto, terdapat 13 (tiga belas) asas, diantaranya :[32]

  1. asas kepastian hukum (principle of legal security)
  2. asas keseimbangan (principle of proportionality)
  3. asas kesamaan (dalam pengambilan keputusan pangreh) principle of equality
  4. asas bertindak cermat (principle of carefulenes)
  5. asas motivasi dalam setiap keputusan pangreh (princeiple of motivation)
  6. asas jangan mencampur adukkan kewenangan (principle of non misue of competence)
  7. asas permainan yang layak (principle of fair play)
  8. asas keadilan atau kewajaran (principle of reasonableness or prohibition of arbitrariness)
  9. asas menganggapi pengharapan yang wajar (principle of meeting raised espectation)
  10. asas meniadakan akibat-akibat sesuatu keputusan yang batal (principle of undoing the consequences of an annulled decision)
  11. asa perlindungan atas perlindungan hidup (cara hidup) pribadi – (principle of protecting the personal way of life)
  12. asas kebijaksanaan (sapientia)
  13. asas penyelenggaraan kepentingan umum (principle of public services)

II.2. Teori Perundang-Undangan

Teori perundang-undangan (gezetsgebungstheori)[33] pada dasarnya merupakan bagian dari ilmu pengetahuan perundang-undangan (gezetsgebugswissenschaft)[34] yang berupaya mencari kejelasan makna atau pengertian-pengertian hukum dan peraturan perundang-undangan.

Pelopor norma hukum adalah Hans Kelsenyang mengemukakan teorinya mengenai jenjang norma hukum (stufentheorie), dimana ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (Grundnorm).[35]

Dalam teori perundang-undangan (gesetsgebungstheori) yang dipelopori oleh Hans Kelsen dan selanjutnya ditambahkan oleh Hans Nawiasky yang dikenal dengan theori von stfennaufbau de rechtsordnung[36] menyatakan bahwa norma Hukum dari suatu Negara itu selain berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang tetapi bahwa norma Hukum itu juga berkelompok-kelompok. Hans Nawiasky mengelompokkan norma-norma Hukum dalam suatu Negara itu menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas : [37]

Kelompok I    : Staatsfundamentalnorm (Norma fundamental Negara)

Kelompok II   : Staatgrundgesetz ( Aturan dasar/pokok Negara)

Kelompok III  : Formell Gesetz ( Undang-undang)

Kelompok IV : Verordnung dan Autonome Satzung (aturan pelaksana dan aturan otonom).

            Staatsfundamentalnorm merupakan norma yang bersifat fundamental (tertinggi), artinya adalah norma yang tidak dibentuk oleh suatu norma yang lebih tinggi lagi, tetapi juga bersifat pre-supposed atau ditetapkan terlebih dahulu oleh masyarakat dalam suatu negara dan merupakan suatu norma yang menjadi tempat bergantungnya norma hukum di bawahnya.

Staatgrundgesetz merupakan aturan yang masih bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang bersifat garis besar, sehingga masih merupakan norma tunggal yang masih belum diikuti oleh norma skunder.

Formell Gesetz merupakan turunan dari Staatgrundgesetz dikatakan demikian karena Formell Gesetz bukan merupakan norma tunggal lagi, karena telah diikuti norma skunder didalamnya. Norma-norma skunder itu dapat berupa sanksi, baik sanksi pidana, perdata maupun administrasi.

Verordnung dan Autonome Satzung memiliki sifat atau kewenangan yang berbeda dalam pembentukannya, Verordnung bersumber dari kewenangan delegasi, yaitu pelimpahan kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kepada peraturan perundang-undangan yang lebih rendah. Berlainan dengan Autonome Satzung yang memiliki sifat atau kewenanngan atribusi, yaitu pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang diberukan oleh Groundwet (UUD) atau Wet (UU) kepada suatu lembaga negara atau pemerintahan.

            Berdasarkan teori penggolongan norma hukum diatas, maka akan memunculkan beberapa prinsip hukum yang oleh Amieroedin Sjarif sebagai berikut:[38]

  1. Perundang-undangan yang lebih rendah derajatnya tidak dapat mengubah atau mengenyampingkan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi tetapi yang sebaliknya dapat.
  2. Perundang-undangan hanya dapat dicabut, diubah atau ditambah oleh atau dengan Perundang-undangan yang sederajat atau lebih tinggi tingkatannya
  3. Ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak mengikat apabila bertentangan dengan Perundang-undangan yang lebih tinggi tetap berlaku dan mempunyai kekuatan hukum serta mengikat walaupun diubah dan ditambah, diaganti atau dicabut oleh Perundang-undangan yang lebih rendah
  4. Materi yang seharusnya diatur oleh Perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya tidak dapat diatur oleh Perundang-undangan yang lebih rendah.

Dari penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan bahwa norma yang lebih tinggi dalam hal ini adalah Staatsfundamentalnorm akan selalu diikuti oleh norma-norma dibawahnya, diantaranya Staatgrundgesetz, Formell Gesetz, Verordnung dan Autonome Satzung, Sehingga norma-norma yang ada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan norma di atasnya. Dimana prinsip itu akan mengarah pada asas-asas hukum seperti lex specialist derogat legi generalis, lex post teori derogat legi priori.[39]

Landasan dan asas-asas peraturan perundang-undangan sangat penting dalam perancangan peraturan perundang-undangan.[40] Karena hal ini akan menjadi hal pokok yang akan memberikan alur yang benar tentang bagaimana seharusnya suatu peraturan perundang-undangan dibentuk, sehingga secara materiil peraturan perundang-undangan yang dibentuk dapat memenuhi unsur-unsur dan nilai-nilai keberlakuannya sesuai dengan yang diharapkan bersama.

Paling tidak peraturan perundang-undangan yang baik sekurang-kurangnya harus memiliki tiga landasan, yakni landasan filosofis (filosofische grondslag), landasan sosiologis (sosiologische grondslag), dan landasan yuridis (juridische grondslag ).[41] Adapun mengenai pengertian dari masing-masing landasan diantaranya:

  1. Landasan filosofis (filosofische grondslag) merupakan landasan dan dasar yang berisi nilai-nilai yang baik dan yang tidak baik. Nilai yang baik adalah pandangan dan cita-cita yang dijunjung tinggi. Moral dan etika pada dasarnya berisi nilai-nilai yang baik dan yang tidak baik. Intinya hukum yang dibentuk harus mengandung nilai-nilai kebenaran, keadilan, keksusilaan, dan berbagai nilai lainnya yang dinaggap baik.
  2. Landasan sosiologis (sosiologische grondslag), suatu peraturan perundang-undangan dikatakan mempunyai landasan sosiologis apabila ketentuan-ketentuannya sesuai dengan kenyataan umum atau kesadaran hukum masyarakat. Hal ini penting agar perundang-undangan yang dibuat ditaati oleh masyarakat, tidak menjadi huruf-huruf mati belaka.[42]
  3. Landasan yuridis (juridische grondslag ) adalah landasan hukum (yudische gelding) yang menjadi dasar kewenangan (belvoegdheid, competentie) pembuatan peraturan perundang-undangan. Apakah kewenangan seorang pejabat atau badan mempunyai dasar hukum yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan atau tidak.

Sedangkan asas-asas peraturan perundang-undangan Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto memperkenalkan enam asas perundang-undangan:[43]

  1. Undang-Undang tidak berlaku surut
  2. Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan hukum yang lebih tinggi pula
  3. Undang-Undang yang bersifat khusus mengesampingkan Undang-Undang yang bersifat umum (lex specialis derogate lex generali)
  4. Undang-Undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-Undang yang berlaku terdahulu (lex posteori derogate lex priori)
  5. Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat
  6. Undang-Undang sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual dan material bagi masyarakat maupun individu, melalui pembaharuan atau pelestarian (asas welfaarstaat)

Dalam kaitan ini Amiroedin Syarif menetapkan adanya lima asas perundang-undangan:[44]

  1. Asas tingkatan hirarki
  2. Undang-Undang tak dapat diganggu gugat
  3. Undang-Undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-Undang yang bersifat umum (lex specialis derogate lex generalis)
  4. Undang-Undang tidak berlaku surut
  5. Undang-Undang yag baru mengesampingkan Undang-Undang yang lama (lex posteori derogate lex priori)

Istilah perundang-undangan (legislation, wetgeving, atau gesetzgebung) dalam beberapa kepustakaan mempunyai dua pengertian yang berbeda. Dalam kamus umum yang berlaku, istilah legislation dapat diartikan dengan perundang-undangan dan pembuatan undang-undang,[45] istilah undang-undang wtgeving diterjemahkan dengan pengertian membentuk undang-undang dan keseluruhan dari pada undang-undang Negara[46], sedangkan istilah Gesetzgebung diterjemahkan dengan pengertian perundang-undangan.[47] Pengertian wetgeving dalam Juridisch woordenboek diartikan sebagai berikut :

  1. Perundang-undangan merupakan proses pembentukan atau proses membentuk peraturan Negara, baik di tingkat Pusat, maupun di tingkat Daerah.
  2. Perundang-undangan adalah segala peraturan Negara, yang merupakan hasil pembentukan peraturan, baik di tingkat Pusat maupun di tingkat Daerah.

Menurut Bagir Manan, pengertian peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut :

  1. Setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat atau lingkungan jabatan yang berwenang yang berisi aturan tingkah laku yang bersifat atau mengikat umum.
  2. Merupakan aturan-aturan tingkah laku yang berisi ketentuan-ketentuan mengenai hak, kewajiban, fungsi, status atau suatu tatanan.
  3. Merupakan peraturan yang mempunyai ciri-ciri umum-abstrak atau abstrak-umum, artinya tidak mengatur atau tidak ditujukan pada obyek, peristiwa atau gejala konkret tertentu.
  4. Dengan mengambil pemahaman dalam kepustakaan Belanda, peraturan perundang-undangan lazim disebut dengan wet in materiele zin, atau sering juga disebut dengan algemeen verbindende voorshrift yang meliputi antara lain: de supranationale algemeen verbindende voorshriften, wet AMvB, de Ministeriele verordening, de gemeentelijke raadsverordeningen, de provinciale staten verordeningen.[48]

Dalam Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dirumuskan pula tentang kedua pengertian tersebut dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 2, yang dirumuskan sebagai berikut :[49]

  1. Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah proses pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang pada dasarnya dimulai dari perencanaan, persiapan, tehnik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan.
  2. Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.

Walaupun Pasal 1 Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 memberikan penjelasan terhadap istilah proses pembentukan peraturan perundang-undangan dan produk dari proses pembentukan peraturan perundangan. Dalam definisi tersebut, namun penulis berpendapat bahwa pengertian tersebut perlu diberikan catatan antara lain sebagai berikut :

  1. Mengenai pengertian pembentukan peraturan perundang-undangan dalam definisi tersebut terdapat hal-hal yang tidak tepat, yaitu :
  2. Penulisan kata “perumusan” dan “teknik penyusunan” adalah perumusan yang berlebihan (duplikasi), oleh karena dalam melakukan perumusan peraturan perundang-undangan setiap perancang akan selalu mengikuti tehnik penyusunan yang telah ditetapkan.
  3. Pemakaian istilah “pengesahan” dalam definisi tersebut berakibat yang dimaksud peraturan perundang-undangan hanyalah Undang-Undang, oleh karena peraturan perundang-undangan yang lain tidak memerlukan pengesahan, tetapi cukup dengan suatu penetapan. Sebaiknya dituliskan “pengesahan atau penetapan”.
  4. Pemakaian istilah “penyebarluasan” adalah tidak tepat, oleh karena penyebarluasan (sosialisasi) selama ini dilakukan setelah suatu peraturan perundang-undangan selesai dibentuk, artinya setelah disahkan atau ditetapkan dan diundangkan. Dengan demikian memasukkan kata penyebarluasan dapat berakibat peraturan perundang-undangan tersebut dianggap belum selesai proses pembentukannya, apabila seluruh masyarakat di masyarakat di Indonesia belum mengetahui keberadaan peraturan perundang-undangan tersebut.
  5. Mengenai pengertian peraturan perundang-undangan terdapat beberapa unsur, yaitu :[50]
  6. Merupakan suatu keputusan yang tertulis.
  7. Dibentuk oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang.
  8. Mengikat umum

Rumusan dalam definisi tersebut tidak sepenuhnya dapat memberikan pemahaman yang tegas tentang apa yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan, oleh karena peraturan dari suatu lembaga Negara atau pejabat yang berwenang belum tentu merupakan suatu peraturan perundang-undangan.[51] Dengan perkataan lain, suatu peraturan yang tertulis tersebut dapat bersifat umum, abstrak dan berlaku terus-menerus sebagai suatu peraturan perundang-undangan atau peraturan kebijakan di bidang pemerintahan dan dapat juga sebagai peraturan yang berlaku secara intern (interne regelingen).[52] Selain itu lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dalam definisi tersebut haruslah dibaca dengan “yang berwenang membentuk peraturan perundang-undangan”. Penegasan tersebut perlu dikemukakan oleh karena suatu lembaga Negara yang diakui oleh Undang-Undang Dasar 1945, belum tentu mempunyai wewenang membentuk peraturan perundang-undangan, misalnya Badan Pemeriksa Keuangan, Dewan Perwakilan Rakyat dan sebagainya.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut di atas, pembahasan ilmu di bidang Perundang-undangan akan mencakup pembahasan tentang proses pembentukan atau perbuatan membentuk peraturan Negara dan sekaligus pembahasan tentang seluruh peraturan Negara yang merupakan hasil dari pembentukan peraturan Negara, baik di Pusat maupun di Daerah.

BAB III

PEMBAHASAN

III.1. Pembentukan Undang-Undang di Indonesia

Undang-undang merupakan hukum dalam bentuk tertulis yang dibentuk menurut kewenangan membentuk undang-undang.[53] Dalam Undang-Undang Dasar 1945 kewenangan membentuk undang-undang berada pada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Presiden. Pembentukan undang-undang adalah bagian dari pembangunan hukum yang mencakup pembangunan sistem hukum nasional dengan tujuan mewujudkan tujuan negara yang dilakukan mulai dari perencanaan atau program secara rational, terpadu dan sistematik.

Sejak bulan November 2004, proses pembuatan undang-undang yang selama ini dinaungi oleh beberapa peraturan kini mengacu pada satu undang-undang (UU) yaitu Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP). UU ini disahkan oleh Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat  pada tanggal 24 Mei 2004, akan tetapi baru berlaku efektif pada November 2004.[54]

Selain itu, proses pembuatan undang-undang yang diajukan oleh Presiden juga diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah dan Rancangan Peraturan Presiden ((Perpres No. 68/2005). Perpres ini dibentuk untuk melaksanakan ketentuan Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 24 UU PPP. Pada dasarnya proses pembuatan UU setelah berlakunya UU PPP terbagi menjadi beberapa tahapan, yaitu perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan (Ketentuan Umum angka 1 UU PPP).

  1. Teknik Penyusunan

Penguasaan terhadap teknik pembentukan peraturan perundang-undangan menjadi sangat penting dalam hal ini. Teknik adalah tata cara yang sistematis dengan didahului dengan perencaan dan perhitungan yang matang.[55] Sedangkan, pembuatan undang-undang adalah suatu tindakan terencana yang bertujuan untuk membuat undang-undang. Jadi, teknik pembuatan undang-undang adalah Suatu tindakan yang sistematis dengan tata cara tertentu yang didahului oleh suatu perencanaa dan perhitungan yang matan untuk membuat undang-undang.

Dari pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa undang-undang dibentuk melalui suatu proses pemikiran dan perencanaan yang matang. Walaupun telah melalui perencanaan yang matang, namun bukan berarti membuat undang-undang tidak memiliki banyak kendala, sebab membuat rancangan undang-undang sebelum menjadi undang-undang adalah pekerjaan yang sulit. Menurut Pasal 15 Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, Perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan dalam suatu program legislasi nasional.

Pada masa sebelum reformasi, pembangunan hukum tertulis atau peraturan perundang-undangan dilakukan berdasarkan arahan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara.[56] Pada masa tersebut belum tergambar secara konkrit dalam dokumen hukum pembentukan peraturan perundang-undangan yang dikehendaki untuk suatu periode tertentu apalagi dalam satu tahun. Pada tahun 1999 satu langkah penting dimulai yaitu dengan membentuk Kelompok Kerja Program Legislasi Nasional yang disebut dengan POKJA PROLEGNAS, koordinatornya diserahkan kepada DPR. Tahun 2000 dibentuk Undang-Undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional/PROPENAS. Dalam UU tersebut secara tegas digunakan terminologi Program Legislasi Nasional/Prolegnas.[57] Secara defenitif Program Legislasi Nasional dirumuskan dalam Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yaitu sebagai instrumen perencanaan program pembentukan peraturan perundang-undangan/undang-undang yang didukung dengan cara dan metode yang pasti, baku, dan standar yang meliputi semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang-undangan.

Undang-undang menuntut kesempurnaan dalam arti susunan, bahasa, istilah dan sebagainya agar tidak timbul ambigu dalam penerapannya. Ambigu atau ketidak jelasan arti dalam suatu undang-undang akan rentan dengan pelanggaran rasa keadilan dalam masyarakat. Padahal kebaikan public hendaknya menjadi tujuan legislator dalam membentuk undang-undang.

Undang-undang tidak dapat ditafsirkan hanya dalam bentuk formil untuk menyatakan bahwa seseorang telah melanggar undnag-undang, sebab undang-undang memiliki 2 (dua) arti, yakni; dalam arti formil dan materiil.[58] Undang-undang merupakan bagian dari peraturan perundang-undangan. Menurut Pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, undang-undang memiliki kedudukan kedua dalam heirarki peraturan perundangan-undangan setelah undang-undang dasar 1945. Arti penting lahir dan eksisnya suatu undang-undang diungakapkan hans kelsen[59] sebagai berikut; Pembuatan undang-undang merupakan refleksi dari konstitusi, sebab pembentukan undang-undang merupaka pembentukan dan penerapan hukum, yang dalam arti lebih luas adalah penerapana konstitusi.

Dalam Pasal 8 butir (a) dan (b) UU No.10 Tahun 2004, dinyatakan bahwa materi muatan yang harus diatur dalam undang-undang adalah pengaturan lebih lanjut ketentuan undang-undang dasar RI dan aturan yang dibuat bedasarkan perintah undang-undang. Menurut Pasal 1 point (2) Undang-undang No.10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan, undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Dewan perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama presiden. Dari Pasal tersebut, jelas bahwa yang berwenang membuat undang-undang adalah Dewan perwakilan Rakyat dengan persetujuan Presiden. Artinya, ada undang-undang akan lahir dari kerjasama antara Dewan perwakilan Rakyat dengan Presiden. Salah satunya saja yang berfungsi tidak akan melahirkan undang-undang. Sebab undang-undang akan memiliki kekuatan keberlakuan jika telah memenuhi syarat formiil dan materiil.[60]

Pembentukan undang-undang dapat dilakukan dengan dua system, yakni system lengkap dan system umum.[61] Sistem lengkap adalah undang-undang dibuat dengan pasal-pasal yang lengkap, terperinci, jelas dan lebih banyak mengarah kehukuman dalam bentuk kodifikasi . Sedangkan, system umum adalah system pembutan undang-undang dengan hanya mengisi pokok-pokoknya saja, pada system umum ini, harus dibuat peraturan pelaksanaan atau aturan yang lebih rendah sebagai rincian atau penafsiran undang-undang umum.

Rancangan undang-undang dapat diajukan oleh Dewan perwakilan Rakyat ataupun presiden. Tidak ada batasan atau keharusan bahwa rancangan harus dari tangan Dewan perwakilan Rakyat. Diatur dalam Pasal 17 bahwa rancangan undang-undang baik berasal dari dewan perwakilan rakyat maupun dari presiden disusun berdasarkan program legislasi nasional. Adapun teknik pembuatan undang-undang hingga pengundangannya adalah sebagai berikut :[62]

  1. Rancangan undang-undang diajukan kepada dewan perwakilan rakyat
  2. Dewan perwakilan rakyat melakukan pembahasan rancangan undang-undang bersama presiden atau menteri yang ditugasi oleh presiden untuk melakukan pembahasan rancangan tersebut.
  3. Pembahasan dilakukan dengan tingakta-tingakat pembicaraan yang dilakukan dalam rapat komisi/ panitia/ alat kelengkapan dewan perwakilan rakyat yang khusus untuk menangani bidang legislasi dan rapat paripurna.
  4. Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh dewan perwakilan rakyat dan presiden, disampaikan oleh dewan perwakilan rakyat kepada presiden untuk disahkan menjadi undang-undang.
  5. Dalam mengesahkan undang-undang presiden membubuhkan tandatangan pada rancangan yang telah disetujui bersama dalam jangak 30 hari sejak hari persetujuan.
  6. Jika dalam jangka tersebut presiden belum menandatangani, maka rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dengan kalimat pengesahan; undang-undang ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) undang-undang dasar RI Tahun 1945, kalimat tersebut dilampirkan pada halaman belakang undang-undang yang baru disahkan.
  7. Untuk selanjutnya undang-undang tersebut wajib diundangkan dengan mencatatkannya dalam lembaran Negara RI. Hal tersebut wajib dilakukan sebab Undang-undang yang belum diundangkan belum memiliki kekuatan keberlakuan.

Tidak terlepas dari teknik pembuatan undang-undang diatas, bahwa keberlakukan undang-undang dalam masyarakat juga dipengaruhi oleh factor-faktor lain, diantaranya adalah wibawa Negara yang kerap dipermasalahkan oleh rakyat jika terjadi penyimpangan atau pelanggaran yang sangat mendasar terhadap landasan tata hukum yang dijunjung tinggi masyarakat. Wibawa dan integritas Negara disini dapat tercermin dari undang-undang yang dilahirkannya, dengan ukuran sejauh mana undang-undang tersebut memenuhi kebutuhan perlindungan dan rasa keadilan dalam masyarakat.[63] Undang- undang yang tidak berpihak pada masyarakat kerap dilanggar oleh masyarakat.

  1. Perencanaan

Perencanaan adalah proses dimana DPR dan Pemerintah menyusun rencana dan skala prioritas UU yang akan dibuat oleh DPR dalam suatu periode tertentu. Proses ini diwadahi oleh suatu program yang bernama Program  Legislasi Nasional (Prolegnas). Pada tahun 2000, Prolegnas merupakan bagian dari Program Pembangunan Nasional (Propenas) yang dituangkan dalam bentuk UU, yaitu UU No. 20 Tahun 2000.[64] Dalam UU PPP, perencanaan juga diwadahi dalam Prolegnas, hanya saja belum diatur lebih lanjut akan dituangkan dalam bentuk apa. Sedangkan ketentuan tentang tata cara penyusunan dan pengelolaan Prolegnas diatur dengan Peraturan Presiden (Perpres).

  1. RUU dari Presiden

Sebelum sebuah RUU diusulkan oleh presiden ada beberapa  tahapan yang harus dilalui, yang dalam UU PP terdiri dari tahapan persiapan, teknik penyusunan, dan perumusan. Ketiga tahapan tersebut dapat dikemas menjadi suatu istilah yang umum digunakan yaitu perancangan.

Pengaturan tahapan atau tata cara mempersiapkan RUU dalam Perpres ini terdiri atas (i) penyusunan RUU yang meliputi penyusunan RUU beradasarkan Prolegnas dan penyusunan RUU di luar Prolegnas, (ii) penyampaian RUU kepada DPR.

RUU yang berasal dari presiden disampaikan kepada pimpinan DPR dengan mengirimkan surat presiden yang disiapkan oleh Menteri Sekretaris Negara kepada pimpinan DPR disertai dengan keterangan pemerintah mengenai RUU yang dimaksud. Surat presiden tersebut setidaknya memuat (i) menteri yang ditugasi untuk mewakili presiden dalam pembahasan RUU di DPR, (ii) sifat penyelesaian RUU yang dikehendaki dan (iii) cara penanganan atau pembahasan.

  1. Penyusunan RUU

Penyusunan RUU dilakukan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah non departemen, disebut sebagai pemrakarsa, yang mengajukan usul penyusunan RUU. Penyusunan RUU dilakukan oleh pemrakarsa berdasarkan Prolegnas. Namun, dalam keadaan tertentu, pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan ijin prakarsa kepada presiden. Pengajuan permohonan ijin prakarsa ini disertai dengan penjelasan mengenai konsepsi pengaturan UU yang meliputi (i). urgensi dan tujuan penyusunan, (ii). sasaran yang ingin diwujudkan, (iii). pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur, dan (iv). jangkauan serta arah pengaturan.[65]

Sementara itu, Perpres No. 68/2005 menetapkan keadaan tertentu yang memungkinkan pemrakarsa dapat menyusun RUU di luar Prolegnas yaitu (a). menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-Undang; (b). meratifikasi konvensi atau perjanjian internasional; (c). melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi; (d). mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik atau bencana alam; atau (e).[66] keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi nasional atas suatu RUU yang dapat disetujui bersama oleh Badan Legislasi DPR dan menteri yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang peraturan perundang-undangan.

Dalam hal RUU yang akan disusun masuk dalam Prolegnas maka penyusunannya tidak memerlukan persetujuan ijin prakarsa dari presiden. Pemrakarsa dalam menyusun RUU dapat terlebih dahulu menyusun naskah akademik mengenai materi yang akan diatur. Penyusunan naskah akademik dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama dengan departemen yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. Saat ini departemen yang mempunyai tugas dan tanggung jawab dibidang peraturan perundang-undangan adalah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Dephukham).[67] Selanjutnya, pelaksanaan penyusunan naskah akademik dapat diserahkan kepada perguruan tinggi atau pihak ketiga lainnya yang mempunyai keahlian.

  1. Penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas

Proses ini diawali dengan pembentukan panitia antar departemen oleh pemrakarsa. Keanggotaan panitia ini terdiri atas unsur departemen dan lembaga pemerintah non departemen yang terkait dengan substansi RUU. Panitia ini akan dipimpin oleh seorang ketua yang ditunjuk oleh pemrakarsa. Sementara itu, sekretaris panitia antar departemen dijabat oleh kepala biro hukum atau kepala satuan kerja yang emnyelenggarakan fungsi di bidang perundang-undangan pada lembaga pemrakarsa.[68]

Dalam setiap panitia antar departemen diikutsertakan wakil dari Dephukham untuk melakukan pengharmonisasian RUU dan teknis perancangan perundang-undangan. Panitia antar departemen menitikberatkan pembahasan pada permasalahan yang bersifat prinsipil mengenai objek yang akan diatur, jangkauan dan arah pengaturan. Sedangkan kegiatan perancangan yang meliputi penyiapan, pengolahan dan perumusan RUU dilaksanakan oleh biro hukum atau satuan kerja yang menyelenggarakan fungsi di bidang peraturan perundang-undangan pada lembaga pemrakarsa.

Hasil perancangan selanjutnya disampaikan kepada panitia antar departemen untuk diteliti kesesuaiannya dengan prinsip-prinsip yang telah disepakati.[69] Dalam pembahasan RUU di tingkat panitia antar departemen, pemrakarsa dapat pula mengundang para ahli dari lingkungan perguruan tinggi atau organisasi di bidang sosial politik, profesi dan kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan dalam penyusunan RUU.

Selama penyusunan, ketua panitia antar departemen melaporkan perkembangan penyusunan dan/atau permasalahan kepada pemrakarsa untuk memperoleh keputusan atau arahan. Ketua panitia antar departemen menyampaikan rumusan akhir RUU kepada pemrakarsa disertai dengan penjelasan. Selanjutnya dalam rangka penyempurnaan pemrakarsa dapat menyebarluaskan RUU kepada masyarakat.

Pemrakarsa menyampaikan RUU kepada menteri yang mempunyai tugas dan tanggung jawab di bidang peraturan perundang-undangan yang saat ini dilakukan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menhukham) dan menteri atau pimpinan lembaga terkait untuk memperoleh pertimbangan dan paraf persetujuan.  Pertimbangan dan paraf persetujuan dari Menhukham diutamakan pada harmonisasi konsepsi dan teknik perancangan perundang-undangan. Pertimbangan dan paraf persetujuan diberikan paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak RUU diterima.[70]

Apabila pemrakarsa melihat ada perbedaan dalam pertimbangan yang telah diterima maka pemrakarsa bersama dengan Menhukham menyelesaikan perbedaan tersebut dengan menteri/pimpinan lembaga terkait. Apabila upaya penyelesaian tersebut tidak berhasil maka Menhukham melaporkan hal tersebut secara tertulis kepada presiden untuk memperoleh keputusan. Selanjutnya, perumusan ulang RUU dilakukan oleh pemrakarsa bersama-sama dengan Menhukham.

Dalam hal RUU tidak memiliki permasalahan lagi baik dari segi substansi maupun segi teknik perancangan perundang-undangan maka pemrakarsa mengajukan RUU tersebut kepada presiden untuk disampaikan kepada DPR. Namun, apabila presiden berpendapat RUU masih mengandung permasalahan maka presiden menugaskan kepada Menhukham dan pemrakarsa untuk mengkoordinasikan kembali penyempurnaan RUU tersebut dan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima penugasan maka pemrakarsa harus menyampaikan kembali RUU kepada presiden.

  1. Penyusunan RUU diluar Prolegnas

Pada dasarnya Proses penyusunan RUU diluar Prolegnas sama dengan penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas. Hanya saja, dalam menyusun RUU diluar prolegnas ada tahapan awal yang wajib dijalankan sebelum masuk dalam tahapan penyusunan undang-undang sebagaimana diuraikan sebelumnya. Tahapan awal ini dimaksudkan untuk melakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU yang telah disiapkan oleh pemrakarsa. Proses ini dilakukan melalui metode konsultasi antara pemrakarsa dengan Menhukham.[71]

Selanjutnya, untuk kelancaran pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU Menhukham mengkoordinasikan pembahasan konsepsi tersebut dengan pejabat yang berwenang mengambil keputusan, ahli hukum dan/atau perancang peraturan perundang-undangan dari lembaga pemrakarsa dan lembaga terkait lainnya. Proses ini juga dapat melibatkan perguruan tinggi dan/atau organisasi.

Apabila koordinasi tersebut tidak berhasil maka Menhukham dan pemrakarsa melaporkan kepada presiden disertai dengan penjelasan mengenai perbedaan pendapat atau pandangan yang muncul. Pelaporan kepada presiden ini ditujukan untuk mendapatkan keputusan atau arahan yang sekaligus merupakan izin prakarsa penyusunan RUU.

Namun, apabila koordinasi yang bertujuan melakukan pengharmonisasian, pembulatan dan pemantapan konsepsi RUU tersebut berhasil maka pemrakarsa menyampaikan konsepsi RUU tersebut kepada presiden untuk mendapat persetujuan. Selanjutnya, apabila presiden menyetujui maka pemrakarsa membentuk panitia antar departemen.

Tacara pembentukan panitia antar departemen dan penyusunan RUU dilakukan sesuai dengan tahapan penyusunan RUU berdasarkan Prolegnas yang telah diuraikan sebelumnya.

  1. Penyampaian RUU Kepada DPR

RUU yang telah disetujui oleh Presiden disampaikan kepada DPR untuk dilakukan pembahasan. Proses ini diawali dengan penyampaian surat presiden yang disiapkan oleh Menteri Sekretaris Negara kepada pimpinan DPR guna menyampaikan RUU disertai dengan keterangan pemerintah mengenai RUU yang dimaksud. [72]

  1. RUU dari DPR

DPD berhak mengajukan RUU yang berhubungan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.

Untuk mengajukan sebuah RUU, pimpinan DPD menyampaikan kepada ketua DPR RUU beserta naskah akademisnya, apabila tidak ada naskah akademis dari RUU yang bersangkutan, maka cukup menyampaikan keterangan atau penjelasannya.

Dalam rapat paripurna berikutnya setelah RUU diterima oleh DPR, ketua rapat menyampaikan kepada anggota tentang masuknya RUU dari DPD, RUU tersebut kemudian dibagikan kepada seluruh anggota. Selanjutnya DPR akan menugaskan Baleg  atau Komisi untuk membahas RUU tersebut bersama DPD. Paling lambat 15 (lima belas) hari sejak ditugaskan, Komisi atau Baleg yang telah ditunjuk mengundang alat kelengkapan DPD untuk membahas RUU tersebut.[73]

Sebelum sampai pada usul inisiatif DPR, ada beberapa badan yang biasanya melakukan proses penyiapan suatu RUU. Sebagai ilustrasi, RUU Komisi Anti Korupsi dipersiapkan oleh Fraksi PPP, sedangkan pada RUU Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (TCP3) dipersiapkan oleh tim asistensi Baleg (Badan Legislasi).

Di samping itu ada beberapa badan lain yang secara fungsional memiliki kewenangan untuk mempersiapkan sebuah RUU yang akan menjadi usul inisiatif DPR. Badan-badan ini adalah Pusat Pengkajian Pelayanan Data dan Informasi (PPPDI) yang bertugas melakukan penelitian atas substansi RUU dan tim perancang sekretariat DPR yang menuangkan hasil penelitian tersebut menjadi sebuah rancangan undang-undang.

Dalam menjalankan fungsi sebagai penggodok RUU, baik Baleg maupun tim ahli dari fraksi memiliki mekanisme sendiri-sendiri. Baleg misalnya, di samping melakukan sendiri penelitian atas beberapa rancangan undang-undang, juga bekerjasama dengan berbagai universitas di beberapa daerah di Indonesia. Untuk satu RUU biasanya Baleg akan meminta tiga universitas untuk melakukan penelitian dan sosialisasi atas hasil penelitian tersebut.

Baleg juga banyak mendapatkan draft RUU dari masyarakat sipil, misalnya RUU tentang Kebebasan Memperoleh Informasi dari ICEL (Indonesian Center for Enviromental Law), RUU tentang Kewarganegaraan dari GANDI (Gerakan Anti Diskriminasi) dan RUU Ketenagakerjaan dari Kopbumi. Bagi masyarakat sipil, pintu masuk suatu usulan mungkin lebih terlihat “netral” bila melalui Baleg ketimbang melalui fraksi, karena terkesan tidak terafiliasi dengan partai apapun.[74]

Sedangkan PPPI yang memiliki 43 orang peneliti, lebih banyak berfungsi membantu pihak Baleg maupun sekretariat guna mempersiapkan sebuah rancangan peraturan perundang-undangan maupun dalam memberikan pandangan atas RUU yang sedang dibahas. Selain itu PPPDI sering juga melakukan riset untuk membantu para anggota DPR dalam melakukan tugas mereka, baik itu untuk fungsi legislasi, pengawasan, maupun budgeter.

Pada tingkat fraksi penyusunan sebuah RUU dimulai dari adanya amanat muktamar partai. Kemudian fraksi tersebut membentuk tim pakar yang merancang RUU tersebut berdasarkan masukan masyarakat melalui DPP maupun DPD partai.

Pengusulan oleh DPR dapat dilakukan melalui beberapa pintu, yaitu :[75]

  1. Badan Legislasi
  2. Komisi
  3. Gabungan komisi
  4. Tujuh belas orang anggota

Usul RUU yang diajukan oleh Baleg, Komisi, Gabungan Komisi ataupun anggota diserahkan kepada pimpina DPR beserta dengan keterangan pengusul atau naskah akademis. Dalam rapat paripurna selanjutnya, pimpinan sidang akan mengumumkan kepada anggota tentang adanya RUU yang masuk, kemudian RUU tersebut dibagikan kepada seluruh anggota. Rapat paripurna akan memutuskan apakah RUU tersebut secara prinsip dapat diterima sebagai RUU dari DPR. Sebelum keputusan diiterima atau tidaknya RUU, diberikan kesempatan kepada fraksi-fraksi untuk memberikan pendapat.

Keputusan rapat paripurna terhadap suatu usul RUU dapat berupa:

  1. Persetujuan tanpa perubahan
  2. Persetujuan dengan perubahan
  3. Penolakan

Apabila usul RUU disetujui dengan perubahan, maka DPR akan menugaskan kepada Komisi, Baleg ataupun Panitia Khusus (Pansus) untuk menyempurnakan RUU tersebut.

Namun, apabila RUU disetujui tanpa perubahan atau RUU telah selesai disempurnakan oleh Komisi, Baleg ataupun Pansus maka RUU tersebut disampaikan kepada presiden dan pimpinan DPD (dalam hal RUUyang diajukan berhubungan dengan kewenangan DPD). Presiden harus menunjuk seorang menteri yang akan mewakilinya dalam pembahasan, paling lambat 60 hari setelah diterimanya surat dari DPR. Sedangkan DPD harus menunjuk alat kelengkapan yang akan mewakili dalam proses pembahasan.

  1. RUU dari DPD

Sebagai lembaga legislatif baru, DPD[76] sedang dalam masa untuk membangun sistem perancangan dan pembahasan RUU yang baik dan efektif. Di awal masa jabatan ini, DPD banyak mengadopsi sistem yang dipakai oleh DPR. Untuk merancang sebuah RUU mereka menyerahkan kepada individu atau panitia yang akan mengusulkannya. Hanya saja saringanya ada pada, Rapat Paripurna DPD yang akan mengesahkan apakah sebuah RUU bisa atau tidak diajukan menjadi usul DPD kepada DPR.

Usul RUU boleh diusulkan oleh Panitia Perancang Undang-undang (PPU) atau Panitia Ad Hoc. Sedangkan Usul Pembentukan RUU dapat diajukan oleh sekurang-kurangnya ¼ jumlah anggota DPD. Usul pembentukan RUU harus dilengkapi dengan latar belakang, tujuan dan pokok-pokok pikiran serta daftar nama, nama provinsi dan tanda tangan pengusul. Baik Usul RUU maupun Usul Pembentukan RUU disampaikan kepada PPU.

Selanjutnya pimpinan PPU akan menyampaikan Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU kepada pimpinan DPD. Pada sidang paripurna DPD berikutnya pimpinan sidang harus memberitahukan kepada anggota tentang masuknya Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU, yang selanjutnya harus dibagikan kepada seluruh anggota.[77] Sidang Paripurna memutuskan apakah Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU tersebut diterima, ditolak atau diterima dengan perubahan. Keputusan untuk menerima atau menolak harus terlebih dahulu memberi kesempatan kepada pengusul untuk memberi penjelasan, anggota juga diberi kesempatan untuk memberikan pendapat.

Apabila Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU diterima dengan perbaikan maka, DPD menugaskan PPU untuk membahas dan menyempurnakan Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU tersebut.

Usul RUU atau Usul Pembentukan RUU yang telah disetujui menjadi usul DPD selanjutnya di ajukan kepada pimpinan DPR.

DPD berhak mengajukan RUU yang berhubungan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Untuk mengajukan sebuah RUU, pimpinan DPD menyampaikan kepada ketua DPR RUU beserta naskah akademisnya, apabila tidak ada naskah akademis dari RUU yang bersangkutan, maka cukup menyampaikan keterangan atau penjelasannya.

Dalam rapat paripurna berikutnya setelah RUU diterima oleh DPR, ketua rapat menyampaikan kepada anggota tentang masuknya RUU dari DPD, RUU tersebut kemudian dibagikan kepada seluruh anggota. Selanjutnya DPR akan menugaskan Baleg  atau Komisi untuk membahas RUU tersebut bersama DPD. Paling lambat 15 (lima belas) hari sejak ditugaskan, Komisi atau Baleg yang telah ditunjuk mengundang alat kelengkapan DPD untuk membahas RUU tersebut.

  1. Pembahasan RUU

Pembahasan RUU terdiri dari dua tingkat pembicaraan, tingkat pertama dalam rapat komisi, rapat Baleg ataupun Pansus. Sedangkan pembahasan tingkat dua dalam rapat paripurna DPR.

Pembicaraan tingkat satu dapat dilakukan dengan urutan sebagai berikut:[78]

  1. Pandangan fraksi-fraksi atau pandangan fraksi-fraksi dan DPD apabila RUU berkaitan dengan kewenangan DPD. Hal ini bila RUU berasal dari presiden. Sedangkan bila RUU berasal dari DPR, pembicaraan tingkat satu didahului dengan pandangan dan pendapat presiden atau pandangan presiden dan DPD dalam hal RUU berhubungan dengan kewenangan DPD.
  2. Tanggapan presiden atas pandangan fraksi atau tanggapan pimpinan alat kelengkapan DPR atas pandangan presiden.
  3. Pembahasan RUU oleh DPR dan presiden berdasarkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM)

Dalam pembicaraan tingkat satu dapat juga dilakukan:

  1. Rapat Dengar Pendapat Umum(RDPU)
  2. Mengundang pimpinan lembaga negara atau lembaga lain apabila materi RUU berhubungan dengan lembaga negara lain
  3. Diadakan rapat intern

Pembicaraan dua, adalah pengambilan keputusan dalam rapat paripurna yang didahului oleh:[79]

  1. laporan hasil pembicaraan tingkat I
  2. pendapat akhir fraksi
  3. pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh menteri yang mewakilinya. Perpes No. 68/2005 mengatur bahwa Pendapat akhir pemerintah dalam  pembahasan RUU di DPR disampaikan oleh menteri yang mewakili presiden setelah terlebih dahulu melaporkannya kepada presiden.

Selama pembahasan RUU di DPR, menteri yang mewakili presiden wajib melaporkan perkembangan dan permasalahan yang dihadapi kepada presiden untuk memperoleh keputusan dan arahan. Apabila terdapat masalah yang bersifat prinsipil dan arah pembahasannya akan mengubah isi serta arah RUU maka menteri yang terlibat dalam pembahasan wajib terlebih dahulu melaporkannya kepada presiden disertai dengan saran pemecahan untuk memperoleh keputusan.

Menteri yang ditugasi membahas RUU di DPR segera melaporkan RUU telah disetujui atau tidak disetujui oleh DPR. Selanjutnya apabila RUU tersebut tidak mendapat persetujuan bersama presiden dan DPR maka RUU tersebut tidak dapat diajukan kembali pada masa sidang yang sama.

Setelah disetujui dalam rapat paripurna, sebuah RUU akan dikirimkan kepada Sekretariat Negara untuk ditandatangani oleh presiden, diberi nomor dan diundangkan.[80]

III.2. Mewujudkan Good Governance dalam Pembentukan Undang-Undang

Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, maka tidak akan terlepas dari suatu kepentingan politik.[81] Sebagai sebuah proses politik yang tidak lepas dari berbagai kepentingan, pembentukan perundang-undangan dalam artian sebagai produk legislatif, partisipasi publik yang lebih intensif dalam seluruh rangkaian prosesnyai merupakan media yang paling efektif dalam rangka meminimalisir interfensi kepentingan pihak tertentu dan meminimalisir adanya produk hukum yang justru mengesampingkan kepentingan publik dan serta “melenceng” dari arah pembangunan hukum nasional dan tidak sesuai dengan sistem negara hukum Indonesia. Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang pembentukan Peraturan Perundang-Undangan disusun sebagai guideline bagi legislator dalam konteks proses dan substansi untuk memastikan bahwa produk hukum yang dihasilkan dapat selaras dengan tujuan pembangunan hukum di Indonesia dan tidak keluar dari kerangka sistem negara hukum Indonesia.[82]

Pembentukan kebijakan publik tidak dapat dilepaskan dari aspek politik hukum dan demokrasi. Untuk mengaliminasi tindakan penguasa dalam menjalankan niatan politiknya agar tidak terjebak pada kategori negara kekuasaan (machtssaat) maka segala kebijakan publik harus dikemas dalam produk hukum sehingga dapat dikategorikan sebagai negara hukum (reachtstaat).[83]

Kedudukan penguasa cukup kuat, sedangkan disisi lain, rakyat dalam posisi yang relatif lemah. Dengan kondisi yang demikian, secara konseptual pertanyaan yang muncul adalah apakah rakyat dapat berpeluang untuk mengkritisi dan berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan publik.

Merespon realitas politik yang terjadi pada proses pembentukan peraturan perundang-undangan dan memastikan bahwa pembentukan peraturan perundang-undangan sesuai dengan arah pembangunan hukum nasional, maka disusunlah Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan perundang-Undangan Republik Indonesia. Undang-undang ini dibuat dalam rangka memberikan guidline dan metode yang pasti, baku, dan standar yang mengikat bagi semua lembaga yang berwenang membuat peraturan perundang undangan.[84]

Sebagai sebuah proses politik yang tidak lepas dari berbagai kepentingan, proses penentuan perundang-undangan dalam artian sebagai produk legislatif, maka partisipasi publik dalam seluruh rangkaian proses ini merupakan media yang dirasa paling efektif dalam rangka meminimalisir masukanya kepentingan pihak tertentu dan mengesampingkan kepentingan publik dan arah pembangunan hukum Indonesia.[85] Pertanyaannya kemudian apakah Undang-Undang U Nomor 10 tahun 2004 dapat memastikan hal tersebut.

Mengenai intervensi politik terhadap hukum, dapat digambarkan melalui tesis Prof. Dr. Mahfud MD, SH., SU. yang menyatakan intervensi politik atas hukum akan berpengaruh terhadap karakter produk hukum, yakni:[86]

     Variable Bebas                                 Variabbel Terpengaruh

 

 

 

Paska lahirnya UU P3 (pembuatan peraturan perundangan), peranan DPR sebagai lembaga legislatif semakin dikuatkan. Berbeda pada masa sebelumnya, UU P3 lebih memberikan kewenangan luas kepada DPR untuk membuat peraturan perundangan. Walaupun hak-hak yang dimiliki DPR tidaklah jauh berbeda dari masa sebelumnya, adanya iklim politik yang lebih baik dan pengaturan prosesdural yang lebih baik melalui UU P3 membuat DPR didorong semakin mampu menjadi representasi rakyat dalam pengambilan keputusan. Dalam UU P3 no 10 tahun 2004, lahirlah mekanisme persetujuan bersama yang memiliki keberpihakan kepada DPR. Berbagai peluang tersebut memungkinkan perpindahan kekuasaan pembentukan perundang-undangan dari elite kepada masyarakat.[87]

Partisipasi masyarakat disitu menjadi penting, demi terciptanya sebuah Undang-Undang yang memenuhi unsur-unsur Good Gevernance. Partisipasi merupakan sistem yang berkembang dalam sistem politik modern. Penyediaan ruang publik atau adanya partisipasi masyarakat merupakan  tuntutan yang mutlak sebagai upaya demokratisasi.[88] Masyarakat sudah semakin sadar akan hak-hak politiknya. Pembuatan peraturan perundang-undangan, tidak lagi semata-mata menjadi wilayah dominasi birokrat dan parlemen. Meskipun partisipasi masyarakat ini terlalu ideal dan bukan jaminan bahwa suatu undang-undang yang dihasilkannya akan dapat berlaku efektif di masyarakat, tetapi setidak-tidaknya langkah partisipatif yang ditempuh oleh lembaga legislatif dalam setiap pembentukan undang-undang, diharapkan dapat lebih mendorong masyarakat dalam menerima hadirnya suatu undang-undang.[89]

Keberadaan partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan UU sangat penting dalam mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan melalui perangkat UU. Demikian juga Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai pemegang legislasi, dituntut untuk membuka pintu yang seluas-luasnya dalam persoalan partisipasi, apabila disepakati bahwa reformasi politik di Indonesia merupakan tahapan untuk menuju demokratisasi. Karena anggota DPR merupakan perwujudan representasi politik rakyat yang harus peka kepada aspirasi publik yang telah memilihnya.[90]

Model-Model Partisipasi Masyarakat dalam Pembentukan UU

Partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan undang-undang pada dasarnya dapat dilakukan dalam berbagai model pilihan partisipasi sesuai dengan tingkat perkembangan politik suatu negara.[91] Partisipasi masyarakat ini akan tergantung dari kesadaran masyarakat dalam tatanan kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara. Untuk memberikan kejelasan lebih lanjut tentang pendekatan ini, menarik untuk disimak uraian penulis dalam buku ini berkaitan dengan adanya pemahaman terhadap masing-masing model partisipasi publik tersebut adalah sebagai berikut:

  • Model Pertama :  Pure Representative Democracy

Dalam model partisipasi publik yang pertama ini, sifat partisipasi masyarakatnya masih “pure” atau murni.[92] Artinya, rakyat selaku warga negara dalam suatu negara demokrasi  keterlibatannya dalam pengambilan keputusan publik dilakukan oleh wakil-wakil yang dipilih melalui pemilihan umum untuk duduk dalam lembaga perwakilan. Dalam hal ini, masyarakat hanya tinggal menerima saja apa yang akan diproduk oleh legislatur dalam pembentukan UU.

  • Model Kedua : A Basic Model of Public Participation

Dalam model yang kedua ini digambarkan bahwa rakyat telah melakukan interaksi keterlibatannya dalam proses pengambilan keputusan, tidak hanya melalui pemilihan umum tetapi dalam waktu yang sama juga melakukan kontak dengan lembaga perwakilan.[93] Meskipun demikian model partisipasi ini belum dapat dikatakan sebagai bentuk dan hakekat interaksi yang sebenarnya.

  • Model Ketiga : A Realism Model of  Public Participation

Dalam model pilihan yang ketiga ini, public participation pelaku-pelakunya cenderung dilakukan dan didominasi oleh adanya kelompok-kelompok kepentingan dan organisasi-organisasi lainnya yang diorganisir. Publik, selain ikut dalam pemilihan umum juga melakukan interaksi dengan lembaga perwakilan.[94] Akan tetapi  tidak semua warga negara melakukan public participation dalam bentuk membangun kontak interaksi dengan lembaga perwakilan. Pelaku-pelaku public participation telah mengarah pada kelompok-kelompok kepentingan dan organisasi-organisasi lainnya yang diorganisir. Dengan demikian terdapat kecenderungan untuk memahami “public” dalam konteks yang terbatas.

  • Model Keempat : The Possible Ideal for South Africa

Model alternatif yang diperkenalkan sebagai bentuk keempat dari berbagai partisipasi masyarkat ini, merupakan perluasan dalam memasukkan tiga kelompok partisipan, yaitu : those who are organized and strong; those who are organized but weak; and those who are weak and unorganized.[95] Dengan menerapkan model ini, pemerintah dapat mengembangkan visi strategis yang dapat ditujukan kepada ketiga kelompok tersebut secara bersama-sama. Dalam model ini, pada gilirannya memunculkan dua tambahan dimensi yaitu: a) dimensi peranan partai-partai politik dan partai mayoritas; b) dimensi hubungan perwakilan dengan eksekutif.

Melalui tulisan ini penulis mencoba menawarkan model ideal partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU untuk diterapkan di Indonesia. Afrika Selatan[96] dan Indonesia termasuk dalam negara yang sedang  memasuki masa transisi dari cengkeraman otoritarian menuju negara demokrasi modern, kondisi sosial politiknya pun tidak jauh berbeda. Untuk itu, model partisipasi masyarakat yang diterapkan di Afrika Selatan dalam proses pembentukan UU di atas dapat diadopsi di Indonesia.

Pengadopsian ini didukung pula oleh kenyataan bahwa setelah reformasi 1998 proses pembentukan UU di Indonesia melibatkan Pemerintah, DPR, LSM, pakar & pengamat, kelompok profesional, perguruan tinggi, dan organisasi kemasyarakatan. Pada dasarnya hal tersebut adalah suatu bentuk ideal dalam proses pembentukan UU yang partisipatif  guna melahirkan UU yang responsif.[97]

Selain terdapat faktor pendukung, terdapat pula faktor penghambat dalam mewujudkan proses pembentukan UU yang partisipatif secara ideal di Indonesia.  UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP)  tidak mengatur lebih lanjut tentang partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan UU. Pasal 53 UU PPP hanya mengatur hak untuk memberikan masukan  bersecara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan RUU dan rancangan Perda. Peraturan Tata Tertib DPR yang mengatur khusus masalah partisipasi masyarakat[98] terdapat dalam Pasal 139 sampai dengan 141. Tetapi, keterlibatan partisipasi masyarakat masih belum seperti yang diinginkan. Artinya, partisipasi masyarakat masih sebatas pada didengar dalam RDPU-RDPU, dan belum memasuki wilayah pada rapat-rapat yang secara intens membahas materi RUU dalam  Komisi/PANSUS maupun Panitia Kerja. Hal ini disebabkan tidak adanya perangkat peraturan yang memberikan peluang bagi masyarakat untuk dapat terlibat dan mengakses secara langsung perdebatan yang terjadi di Komisi/PANSUS maupun Panitia Kerja. Oleh karena itu, faktor penghambat ini perlu diatasi dengan membuat perangkat peraturan perundang-undangan yang memadahi. Sebab, pembentukan UU yang diletakkan dalam konteks sosial masyarakat  ternyata lebih mampu mendorong terwujudnya produk  UU yang  responsif. Dengan demikian dari aspek sosiologi perundang-undangan, UU bukan sekedar keputusan politik semata dari lembaga perwakilan, tetapi lebih merupakan penataan dan endapan konflik nilai dan kepentingan yang diformulasikan oleh lembaga legislatif.[99]

Proses pembentukan UU di era reformasi dapat dilihat dalam empat aspek, yaitu: aspek kelembagaan, aspek masyarakat, aspek pengaturan dan aspek pembahasan. Adanya empat aspek tersebut, secara bersama-sama telah mendorong proses pembentukan UU di era reformasi yang melahirkan adanya transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas yang pada gilirannya bermuara pada demokratisasi dalam pembentukan UU. Oleh karena itu, proses pembentukan UU di era reformasi telah menghasilkan produk UU-meskipun belum sepenuhnya- yang mendekati rasa keadilan dalam masyarakat.

Seiring dengan dibukanya kran demokrasi dan meningkatnya partisipasi masyarakat di era reformasi dalam mengatur tatanan kehidupan ketatanegaraan, permohonan uji materiil atau judicial review[100] undang-undang terhadap UUD 1945 ke lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi pun mengalami peningkatan yang cukup signifikan.

Dalam hal titik-titik Partisipasi Publik dalam pembentukan peraturan Perundang-Undangan, atau dimana masyarakat dalam hal ini dapat melakukan partisipasi digambarkan melalui gambar berikut :

Tabel 1
Titik-Titik Partisipasi Publik dalam Peraturan Perundang-Undangan

NO PERATURAN PASAL ISI
01 UU 10/2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Pasal 53 Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan undang-undang dan rancangan peraturan daerah
02 UU 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Pasal 153 ayat (1), (2), dan (3) (1) Dalam penyiapan dan pembahasan rancangan undang-undang, termasuk pembahasan rancangan undangundang tentang APBN, masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis kepada DPR melalui pimpinan DPR dan/atau alat kelengkapan DPR lainnya. (2) Anggota atau alat kelengkapan DPR yang menyiapkan atau membahas rancangan undang-undang dapat melakukan kegiatan untuk mendapat masukan dari masyarakat. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penerimaan masukan dan penyerapan aspirasi dari masyarakat dalam penyiapan dan pembahasan rancangan undang-undang diatur dengan peraturan DPR tentang tata tertib.
02 Perpres 68/2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden Pasal 10 ayat (5) Dalam pembahasan RUU di tingkat Panitia Antardepartemen, Pemrakarsa dapat pula mengundang para ahli dari lingkungan perguruan tinggi atau organisasi di bidang sosial, politik, profesi, dan kemasyarakatan lainnya sesuai dengan kebutuhan dalam penyusunan RUU
03 Perpres 68/2005 Pasal 13 (1) Dalam rangka penyempurnaan Rancangan Undang-Undang.., Pemrakarsa dapat menyebarluaskan RUU kepada masyarakat; (2) Hasil penyebarluasan dijadikan bahan oleh Panitia Antardepartemen untuk penyempurnaan RUU.
04 Perpres 68/2005 Pasal 22 (1) Untuk kelancaran pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU, Menkum HAM mengkoordinasikan pembahasan konsepsi tersebut dengan pejabat yang berwenang mengambil keputusan, ahli hukum, dan/atau perancang peraturan perundang-undangan dari lembaga Pemrakarsa dan lembaga terkait lainnya; (2) Apabila dipandang perlu, koordinasi dapat pula melibatkan perguruan tinggi dan atau organisasi di bidang sosial, politik, profesi, dan kemasyarakatan lainnya.
05 Peraturan DPR 1/2009 tentang Tata Tertib DPR (Tatib DPR 2009) Pasal 204 (1) Badan Legislasi dalam menyusun Prolegnas di lingkungan DPR dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari fraksi, komisi, DPD, dan/atau masyarakat; (6) Usulan dari masyarakat disampaikan kepada pimpinan Badan Legislasi.
06 Tatib DPR 2009 Pasal 105 Dalam penyusunan Prolegnas, Badan Legislasi dapat mengundang pimpinan fraksi, pimpinan komisi, pimpinan alat kelengkapan DPD yang khusus menangani bidang legislasi, dan/atau masyarakat
07 Tatib DPR 2009 Pasal 106 ayat (8) Dalam pembahasan Prolegnas, penyusunan daftar RUU didasarkan atas h. mengakomodasi aspirasi masyarakat.
08 Tatib DPR 2009 Pasal 107 Prolegnas disampaikan kepada Presiden, DPD, dan masyarakat (oleh Baleg dan Menkum HAM) melalui media cetak, media elektronik, dan/atau media lainnya.
09 Tatib DPR 2009 Pasal 114 Dalam penyusunan RUU, anggota, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi dapat meminta masukan dari masyarakat sebagai bahan bagi panja untuk menyempurnakan konsepsi RUU.
10 Tatib DPR 2009 Pasal 126 Dalam hal diperlukan masukan untuk penyempurnaan RUU, komisi, gabungan komisi, Badan Legislasi, atau pansus dapat mengadakan RDPU.

Selain titik tersebut diatas, juga dapat disimpulkan mengenai masalah-masalah yang dihadapi masyarakat dalam berpartisipasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, adalah sebagai berikut :

Tabel 2
Identifikasi Masalah-Masalah Partisipasi Publik

  IDENTIFIKASI KENDALA PARTISIPASI PUBLIK 
UU 10/2004 hanya menyebut partisipasi publik di ranah legislative
Hak masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembentukan undang-undang tidak disertai dengan kewajiban DPR/pemerintah, baik dalam undang-undang maupun peraturan di bawah undang-undang
DPR dan pemerintah tidak menggunakan kata yang ‘imperatif’ dalam hal partisipasi publik
Pemahaman dan pelaksanaan UU KIP yang masih terbatas
Tidak jelasnya tugas dan tanggung jawab institusi pemerintah yang terlibat dalam proses pembuatan undang-undang (misalnya soal tanggung jawab menyediakan RUU yang diperlukan)
Belum tersedianya website perundang-undangan yang terpadu (one stop service)
Belum tersosialisasinya secara baik media yang ada (terutama website)
Budaya birokrasi yang ‘takut’ dan ‘tidak melayani’ yang menyebabkan masyarakat sulit mendapatkan RUU yang sedang dalam taraf penyusunan
Kompetisi’ di antara institusi pemerintah, bahkan di antara pejabat eselon satu
Budaya antikritik: kritik tidak dianggap sebagai partisipasi, tetapi pernyataan ketidaksetujuan. Sering mereka yang mengkritik tidak diundang
Terlalu banyaknya undang-undang yang tercantum dalam prolegnas (prioritas 2010 sebanyak 70 RUU), padahal tidak semua hal harus diatur dengan undang-undang

Melalui masalah-masalah yang diungkapkan diatas, maka dapat ditawarkan solusi-solusi yang menurut penulis relative efektif dalam mencari solusi masalah dibidang partisipasi public dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, diantaranya:

Tabel 3
Alternatif Solusi terhadap Masalah-Masalah Partisipasi Publik

ALTERNATIF SOLUSI KENDALA PARTISIPASI PUBLIK
Memasukkan ketentuan tentang kewajiban legislatif dan eksekutif dalam hal partisipasi publik
Menetapkan perpres yang berisi kewajiban dan petunjuk teknis bagi institusi pemerintah bagi partisipasi masyarakat dalam penyusunan RUU inisiatif pemerintah
Pemahaman dan pendalaman UU KIP kepada institusi-institusi pemerintah
Membangun website perundang-undangan tersendiri, yang menampung seluruh peraturan, rancangan peraturan, termasuk rancangan peraturan yang belum final
Membangun online system kementerian perundang-undangan dengan biro-biro hukum di kementerian lain dan LPND
Pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas di institusi pemerintahan menyangkut kewajiban melibatkan partisipasi publik dalam penyusunan RUU


BAB IV

PENUTUP

III.1. Kesimpulan

  1. Bahwa yang dapat mengajukan rancangan Undang-Undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Presiden (Pemerintah).
  2. Bawa upaya menciptakan good governance dalam pembentukan Undang-Undang maka diperlukan beberapa hal, (1) Partisipasi masyarakat, (2) penguatan pengetahuan di bidang legislasi, (3) Menghindari kepentingan kelompok politik tertentu, (4) Sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik, dan (5) Judicial Rewiew

III.2. Saran

  1. Bahwa diharapkan fungsi legislasi dapat berjalan sesuai fungsi legislasi yang sebenarnya, yakni peran dan fungsi DPR/DPD lebih optimal dalam melakukan agenda pembentukan Undang-Undang, mengingat selama ini agenda Program Legislasi Nasional lebih banyak peran Pemerintah dalam hal mengajukan Rancangan Undang-Undang.
  2. Bahwa upaya-upaya dalam optimalisasi Good Governance perlu dikonkritkan dalam upaya program legislasi nasional, sehingga kwalitas legislasi mampu diterima oleh masyarakat dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Ardiansyah, Partisipasi Masrayakat dalam Pembentukan Perda, Intrans, Malang, 2002

Alim, Muhammad, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Madinah dan UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2004

Asshiddiqie, Jimly, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005

______________, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006

______________, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Konpress, Jakarta, 2006

______________, Perihal Undang-Undang, Konpress, Jakarta, 2008

______________, Konstitusi & Konstitusialisme Indonesia, Konpress, Jakarta, 2006

Basah, Sjachran, Hukum Administrasi Negara, Djambatan, Bandung, 1982

______________, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996

Betham, Jeremy, The Theory of Legislation, NM Tripati Private, Limited, Bombay, 1979

Boynton, GR dan Chong Lim King, Legislative System in Developing Countries, Duke University Press, 1975

Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002

Busroh, Abu Daud dan Abu Bakar Busroh, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988

Close, David, Legislature The New Democratic in Latin America, Lynne Reinner Publishers, London, 1995

Dicey, A.V., Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Terjemahan Murhadi dan Nurainun Mangunsong, Nusamedia, Bandung, 2007

Echols, John M. dan Hassan Shadily, Kamus Inggris – Indonesia, cet. XV, Jakarta : PT. Gramedia, 1987

Hadjon, Philipus M.. dkk, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Gajah Mada University Press, 2002

Hadjon, Philipus M, Pemerintahan Menurut Hukum (wet enrechmatig Bertuur)

_______________, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987

Hamidi, Jazim, Revolusi Hukum Indonesia (Makna, Kedudukan, dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus dalam Sistem Ketatanegaraan RI), Konpress, Jakarta, 2006

Heiken, Adolf, SJ ., Kamus Jerman-Indonesia, cet.III, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992

Huda, Ni’matul, Politik Ketatanegaraan Indonesia, Kajian Terhadap Dinamika Peubahan UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2003

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2006

Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, Russell & russel, New York, 2006

Kusumaatmadja, Mochtar, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, PT. Alumni, Bandung, Cet ke-2, 2006

Mahendra, Yusril Ihza, Dinamika Tata Negara Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta, 1996

Manan, Bagir, “Ketentuan-ketentuan Tentang Pembentukan Peraturan Perundan-undangan Dalam Pembangunan Hukum Nasional” (makalah disampaikan pada Pertemuan Ilmiah tentang Kedudukan Biro-biro Hukum/Unit Kerja Departemen/LPND dalam Pembangunan Hukum, Jakarta, 19-20 Oktober 1994)

_______________, Teori Dan Politik Konstitusi, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2000

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media, Cetakan-1, 2005

Matutu, Mustamin DG.. dkk, Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2004

MD, Mahfud, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2007

______________, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2006

Muhtaj, Majda El, Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, Pustaka Kencana, Jakarta, 2005

M, Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 2002

Nasution, Adnan Buyung, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Grafitti, 2009

Nonet, Philippe and Philip Selznick, Law and Society in Transition: To Reward Responsive Law, Harper and Row, New York, 1978

Nurtjahjo, Hendro, Ilmu Negara, Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005

Purbacaraka, Purnadi dan Soerjono Soekanto, Perundang-Undangan dan Yurisprudensi, Alumni, Bandung, 1979

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1977

Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000

Ranadireksa, Hendarmin, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokusmedia, Bandung, 2007

Ranggawidjaja, Rosjidi, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 1998

Riswanda, Leading sector Pembentukan UU dari DPR, PSHK, Jakarta, 2008

Riyanda dkk, Partisipasi Publik dalam Pembentukan Kebijakan, Refika Adhitama, Bandung, 2011

Sinaga, Budiman N.P.D, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, UII Press, Yogyakarta, 2004

Soehino, Ilmu Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2001

________________, Hukum Tata Negara Teknik Perundang-Undangangan, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2005

_______________, Hukum Tata Negara (Sumber-Sumber Hukum Tata Negara Indonesia), Liberty, Yogyakarta, 1985

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2006

Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan Dasar-dasar dan pembentukannya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 1998

Soetomo, Ilmu Negara, Bina Ilmu, Surabaya, 1991

Strong, C.F., Modern Political Constitutions : An Introduction to the Comparative Study and Existing Form, Terjemahan SPA Teamwork, Nusamedia, Bandung, 2004

Suharto, Susilo, kekuasaan Presiden Republik Indonesia Dalam Periode berlakunya Undang-Undang Dasar 1945, Graha Ilmu, Jakarta, 2006

Sumali, Reduksi Kekuasaan Ekskutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPU), UMM Press, Malang, 2003

Syarif, Amiroedin, Perundang-Undangan, Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya, Bina Aksara, Jakarta, 1987

Thaib, Dahlan, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004

Tim LAN, Administrasi Pemerintahan Indonesia, LAN, Jakarta, 2000

United Nations Development Programme (UNDP), Hak-Hak Dasar social masyarakat, UNDP, Indonesia, 1999

Wahjono, Padmo, Ilmu Negara, Ind Hill Co, Jakarta, 1996

Wheare, KC., Modern Constitution, Oxford University Press, 1996

Wojowasito, S, Kamus Umum Belanda-Indonesia, Jakarta : PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1985

Yusuf , Slamet Effendy dan Umar Basalim, Reformasi Konstitusi Indonesia, Perubahan Pertama UUD 1945, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2000

            [1] Perubahan mendasar itu ditandai oleh bergesernya kewenangan lembaga-lembaga Negara, lembaga Negara yang semula terdapat lembaga tertinggi Negara, yakni MPR, setelah perubahan Undang-Undang Dasar 1945 tidak ada lagi lembaga super body tersebut. Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia, Kajian Terhadap Dinamika Peubahan UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2003, hal. 67.

            [2] Bersifat “keramat” dikarenakan pada saat itu tidak dapat seorangpun yang dapat mengiterpretasikan Undang-Undang Dasar, dan Undang-Undang Dasar dianggap absolute dan tidak dapat dirubah dalam kondisi apapun. Untuk memahami itu, silakan baca : Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hal. 12-13

            [3] Check and Balance dimana posisi lembaga negara yang satu dengan lembaga negara yang lainnya adalah kedudukannya adalah sama, dan tidak terdapat yang lebih tinggi, dan saling mengimbangi antar satu dengan yang lainnya, baca : Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005, hal. 35.

            [4] Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen juga memasukkan unsur-unsur hak asasi manusia kedalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 amandemen, tidak lain dan tidak bukan agar hak-hak asasi manusia tidak terabaikan, atau dapat dilindungi, untuk memahami tentang Hak Asasi Manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945 amanndemen, silakan baca : Majda El Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, Pustaka Kencana, Jakarta, 2005, hal 15

[5] Yang dimaksud Korupsi secara gamblang telah terdapat 13 buah pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang No. 20 tahun 2001. Selain itu menurut UU tersebut Korupsi dikelompokkan menjadi 30 jenis. Untuk mengetahui itu silakan baca : Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi-Buku Saku Untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi, Cet. Ke-2, 2006, Jakarta, Hal. 19

[6] Proses pembentukan peraturan perundang-undangan semakin terarah yakni dengan kewajiban diterapkannya asas-asas dalam materi muatan peraturan perundang-undangan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

[7] GR Boynton dan Chong Lim King, Legislative System in Developing Countries, Duke University Press, 1975, Hal. 15. Pendapat yang hamper sama juga dikemukakan David Close, Legislature The New Democratic in Latin America, Lynne Reinner Publishers, London, 1995, Hal. 6-7

[8] Jimly Asshiddiqy, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, Hal. 135

[9] Produk Resultante ini yang menurut KC. Wheare mengakibatkan peraturan perundang-undangan yang dibentuk bersifat tidak populis atau bahkan malah merugikan masyarakat. Untuk dapat memahami ini secara garis besar, silakan baca : KC. Wheare, Modern Constitution, Oxford University Press, 1996, Hal. 34

            [10] Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2006, Hal.57

            [11] Untuk lebih lebih jelasnya tentang macam-macam pendekatan dalam penelitian hukum normatif bandingkan Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001, Hal. 14 dengan Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Cetakan-1, 2005 Hal. 93-137 dan Johnny Ibrahim, Op Cit, Hal. 299-321

            [12] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2006, Hal. 141

            [13] Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Op Cit, Hal.13

            [14] Soerjono Soekanto, Op Cit, Hal. 52

[15] Untuk mengetahui perdebatan konsepsi Negara Ideal pada jaman Yunani kuno dapat dibaca melalui buku : Soehino, Ilmu Negara, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2001, Hal. 57

[16] Hal itu diketengahkan Soetomo, Ilmu Negara, Bina Ilmu, Surabaya, 1991, Hal 12

[17] Hukum administrasi Negara menurut Utrech adalah hukum yang megatur hubungan antara pemberi pelayanan (pemerintah/bertuurn) dengan penerima pelayanan (masyarakat), juga disebutkan bahwa pengertian administrasi Negara terdapat 2 (dua) pengertian, dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas meliputi ekskutif, legislative dan Yudikatif, sedangkan dalam arti sempit adalah ekskutif saja.

[18] Sjachran Basah, Hukum Administrasi Negara, Djambatan, Bandung, 1982, Hal. 27

[19] Jimly Asshiddiqy, Konstitusi & Konstitusialisme Indonesia, Konpress, Jakarta, 2006, Hal 23

[20] Sjachran Basah, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hal. 34

[21] Hendro Nurtjahjo, Ilmu Negara, Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005, Hal. 85

[22] Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokusmedia, Bandung, 2007, Hal. 71

[23] Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, Hal 55

[24] Philipus M. Hadjon. dkk, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Gajah Mada University Press, 2002, Hal 27

[25] Untuk hal ini dapat dibaca dalam buku saku : United Nations Development Programme (UNDP), Hak-Hak Dasar social masyarakat, UNDP, Indonesia, 1999, Hal. 17

[26] Dalam Lembaga Administrasi Negara, peran masyarakat menjadi sangat penting dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, dimana masyarakat merupakan ujung tombak dalam penyelenggaraan pemerintahan yang baik, Tim LAN, Administrasi Pemerintahan Indonesia, LAN, Jakarta, 2000, Hal 1-6

[27] United Nations Development Programme (UNDP),Op Cit, Hal 23

[28] Tim LAN, Op Cit, Hal 12

[29] Tim LAN, Ibid, Hal. 12

[30] United Nations Development Programme (UNDP),Op Cit, Hal 23

[31] Philipus M Hadjon, Pemerintahan Menurut Hukum (wet enrechmatig Bertuur), Hal 1-2

[32] Philipus M Hadjon, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1993, Hal. 136

[33] Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 1998, hal. 13

[34] Rosjidi Ranggawidjaja, Ibid

[35] Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Russell & russel, New York, 2006, hal. 113

[36] Sumali, Reduksi Kekuasaan Ekskutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPU), UMM Press, Malang, 2003

[37] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan Dasar-dasar dan pembentukannya, Penerbit Kanisius, Yogyakarta 1998, hal.27.

[38] Budiman N.P.D Sinaga, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, UII Press, Yogyakarta, 2004, hal. 19-20.

[39] Jeremy Betham, The Theory of Legislation, NM Tripati Private, Limited, Bombay, 1979, Hal 43

[40] Soehino, Hukum Tata Negara Teknik Perundang-Undangangan, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2005, Hal 65

[41] Rosjidi Ranggawidjaja, Pengantar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 1998: Hal. 43

[42] Amiroedin Syarif, Perundang-Undangan, Dasar, Jenis dan Teknik Membuatnya, Bina Aksara, Jakarta, 1987: hal.92

[43] Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Perundang-Undangan dan Yurisprudensi, Alumni, Bandung, 1979: Hal. 15-19

[44] Amiroedin Syarif, Op Cit. Hal. 39

[45] John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris – Indonesia, cet. XV, Jakarta : PT. Gramedia, 1987, hal 353.

[46] S. Wojowasito, Kamus Umum Belanda-Indonesia, Jakarta : PT. Ichtiar Baru van Hoeve, 1985, hal 802.

[47] Adolf Heiken, SJ ., Kamus Jerman-Indonesia, cet.III, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1992, hal. 202

[48] Bagir Manan, “Ketentuan-ketentuan Tentang Pembentukan Peraturan Perundan-undangan Dalam Pembangunan Hukum Nasional” (makalah disampaikan pada Pertemuan Ilmiah tentang Kedudukan Biro-biro Hukum/Unit Kerja Departemen/LPND dalam Pembangunan Hukum, Jakarta, 19-20 Oktober 1994), hal. 1-3

[49] Pasal 1 angka 1 dan angka 2 Undang-Undang No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

[50] Slamet Effendy yusuf dan Umar Basalim, Reformasi Konstitusi Indonesia, Perubahan Pertama UUD 1945, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2000, Hal 81

[51]Jimly Asshiddiqy, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Konpress, Jakarta, 2006, Hal 24

[52] Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, Hal 98

[53] Jazim Hamidi, Revolusi Hukum Indonesia (Makna, Kedudukan, dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus dalam Sistem Ketatanegaraan RI), Konpress, Jakarta, 2006, Hal 81

[54] Hal itu dapat dilihat dari gejolak pemerintah daerah pada saat itu menanggapi lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, dimana terdapat perbedaan pandangan terkait dengan itu, ada terdapat di wilayah tertentu yang apatis dan menganggap adanya keinginan yang besar dari pemerintah pusat untuk mengambil alih kembali pembentukan peraturan perundang-undangan yang ada di daerah.

[55] Soehino, Hukum Tata Negara (Sumber-Sumber Hukum Tata Negara Indonesia), Liberty, Yogyakarta, 1985, Hal 49

[56] Bagir Manan, Teori Dan Politik Konstitusi, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, 2000, Hal. 15

[57] Prolegnas ini yang menggarap seluruh perencanaan program legislasi yang akan dibentuk dan digodok bersama, baik oleh pemerintah maupun oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah.

[58] Jimly Asshiddiqy, Perihal Undang-Undang, Konpress, Jakarta, 2008, Hal 23

[59] Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, Terjemahan Somardi, Bee Media Indonesia, Jakarta, 2007, Hal. 70

[60] Jimly Asshiddiqy, Op Cit, Hal 34

[61] Rosjidi Ranggawidjaja, Op Cit, Hal 65

[62] Budiman NPD Sinaga, Op Cit, Hal 24

[63] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, Hal 32

[64] Untuk mengetahui lebih lanjut, silakan baca UU No. 20 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas)

[65] Riyanda dkk, Partisipasi Publik dalam Pembentukan Kebijakan, Refika Adhitama, Bandung, 2011, Hal. 69

[66] Prolegnas mengarahkan kebutuhan hukum yang mendesak dalam kebutuhan masyarakat, sehingga terdapat rencana jangka pendek menengah dan panjang.

[67] Depkumham dalam hal ini dapat meminta masyarakat atau perguruan tinggi untuk memberikan kontribusi masukan dan saran beserta hal-hal yang belum dipahami secara utuh.

[68] Lembaga pemprakarsa dapat berasal dari DPR, DPD, Presiden atau dari massyarakat. Untuk masalah ini akan dibahas pada point berikutnya.

[69] Prinsip-prinsip yang dimaksud diharapkan tidak bertentangan dengan asas-asas umum penyelenggaraan pemerintahan yang baik.

[70] Apabila 14 (empat belas) hari dari pengajuan peritmbangan belum juga di paraf untuk persetujuan, maka Undang-Undang tersebut diajukan kembali, sampai Menteri Hukum dan Ham berkenan dan setuju terhadap rancangan yang dibentuk

[71] Menkumham disini sebagai fasilitator atau penerimaan Undang-Undang yang diajukan yang bukan merupakan agenda dari Prolegnas

[72] RUU yang disampaikan kepada DPR adalah RUU yang bersifat final ditingkatan ekskutif untuk selanjutnya dilakukan pembahasan di itngkatan Dewan Perwakilan Rakyat.

[73] Sebelum dilakukan pembahasan, RUU yang telah diajukan dijelaskan terlebih dahulu dasar filosofis dan tujuan dibentuknya Undang-Undang Tersebut.

[74] Lembaga social kemasyarakatan yang masuk dapat disaring dan diteliti terlebih dahulu oleh Baleg, sehingga kecil kemungkinannya terdapat lembaga-lembaga yang terafiliasi dengan salah satu kepentingan politik tertentu.

[75] Riswanda, Leading sector Pembentukan UU dari DPR, PSHK, Jakarta, 2008, Hal 2-8

[76] DPD dalam hal ini dapat mengusulkan Undang-Undang yang erat kaitannya dengan hal yang bersifat otonomi daerah.

[77] Setiap anggota disini diberikan hak yang sama dalam hal memberikan kontribusi masukan dan saran atas Undang-Undang yang akan dibentuk

[78] Untuk mengetahui secara gambling mengenai mekanisme ini, silakan baca tatib DPR/DPDRI tentang pembahasan Undang-Undang

[79] Untuk mengetahui secara gamblang mengenai mekanisme ini, silakan baca tatib DPR/DPDRI tentang pembahasan Undang-Undang

[80] Pengundangan ini akan diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia

[81] Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2007, Hal. 38

[82] Kusumaatmadja, Mochtar, Konsep-konsep Hukum Dalam Pembangunan, PT. Alumni, Bandung, Cet ke-2, 2006, Hal. 28

[83] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, Hal 31

[84] Mustamin DG. Matutu. dkk, Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2004, Hal 82

[85] Muhammad Alim, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Madinah dan UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2004, Hal 47

[86] Untuk menganalisa lebih lanjut, dapat dibaca bukunya : Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, Hal 5

[87] Sri Soemantri M, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 2002, Hal 56

[88] Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1977, Hal 27

[89] Susilo Suharto, kekuasaan Presiden Republik Indonesia Dalam Periode berlakunya Undang-Undang Dasar 1945, Graha Ilmu, Jakarta, 2006, Hal 92

[90] Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Grafitti, 2009, Hal 53-57

[91] Padmo Wahjono, Ilmu Negara, Ind Hill Co, Jakarta, 1996, Hal 32

[92] Ardiansyah Ali, Partisipasi Masrayakat dalam Pembentukan Perda, Intrans, Malang, 2002, Hal, 38

[93] Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, Hal 72

[94] Sjachran Basah, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, Hal 16

[95] C.F. Strong, Modern Political Constitutions : An Introduction to the Comparative Study and Existing Form, Terjemahan SPA Teamwork, Nusamedia, Bandung, 2004, Hal 84

[96] A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Terjemahan Murhadi dan Nurainun Mangunsong, Nusamedia, Bandung, 2007, Hal. 18

[97] Mengenai hukum Responsif ini dapat dibaca melalui buku Philippe Nonet and Philip Selznick, Law and Society in Transition: To Reward Responsive Law, Harper and Row, New York, 1978, Hal 16-19

[98] Partisipasi Masyarakat ini dapat melalui langsung maupun tidak langsung, langsung dalam hal mengikuti alur pembahasan Undang-Undang, tidak langsung dalam hal melalui tulisan, dan media-media yang lainnya

[99] Jeremy Bentham, The Theory of Legislation, NM Tripathi Private Limited, Bombay, 1979. Hal 47-52

[100] Jimly Asshiddiqy, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konpress, Jakarta, 2006, Hal 14

Continue Reading