URGENSI HAKIM PEMERIKSA PENDAHULUAN DALAM KUHAP
Oleh :
Saiful Anam, SH., MH.
Perjalanan panjang Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) sejak tahun 2004 hingga saat ini menuai banyak pro dan kontra, sehingga pembahasannya memakan waktu yang sangat lama, mengingat stabilitas politik hukum yang berkembang terdapat dinamika mengenai substansi hukum (legal subtance) yang terkandung dalam beberapa pasal dalam RUU-KUHAP tersebut. Tentunya tidak terlepas dari berbagai keinginan, pemikiran, pandangan dan kepentingan dari berbagai sektor lembaga serta praktisi yang akan melaksanakan peran, fungsi dan wewenangnya dalam upaya penegakan hukum pidana (crime of justuce) di Indonesia. Hal yang demikian tentu menambah referensi pengetahuan terhadap objek yang menjadi perdebatan baik oleh oknum lembaga Negara, pemangku kebijakan, pengamat, akademisi, praktisi dan masyarakat luas yang berminat secara langsung maupun tidak langsung dalam bidang sistem peradilan pidana di Indonesia pada khususnya.
Hal yang menjadi trend topic pembahasan dalam beberapa periode belakangan ini adalah mengenai kedudukan, peran, fungsi dan wewenang dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam RUU-KUHAP yang telah disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang dalam waktu dekat akan segera dibahas pasal demi pasal. Perubahan krusial dalam RUU-KUHAP tersebut berkaitan dengan kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan, diantaranya menguji sah tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyadapan, sah atau tidaknya penghentikan penyidikan dan penghentian penuntutan, sah tidaknya perolehan alat bukti, ganti rugi karena salah penangkapan, penahanan, penyitaan, untuk pemohon, layak tidaknya penanganan perkara oleh penyidik, layak tidaknya perkara yang telah dilakukan gelar perkara. Hal ini yang kemudian dianggap oleh berbagai kalangan sebagai bagian dari kewenangan super yang diberikan kepada lembaga baru yakni Hakim Pemeriksa Pendahuluan, bahkan selain itu terdapat beberapa kalangan yang menilai merupakan bagian dari pelemahan dan pembatasan terhadap kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selama ini gencar melakukan upaya pencegahan dan penanganan perkara Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia.
Dalam beberapa catatan yang dirilis oleh Indonesian Corruption Watch (ICW), terdapat beberapa Pasal yang rentan menuai persoalan serta cenderung mengekang eksistensi Komisis Pemberantasan korupsi (KPK), diantaranya adalah :
- Pasal 3 ayat 2 intinya ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga terhadap tindak pidana yang diatur dalam UU di luar KUHP, kecuali undang-undang tersebut menentukan lain.
Dampak dari Pasal 3 ayat 2 yaitu, bahwa ketentuan ini bisa meniadakan hukum acara khusus dalam penanganan kasus korupsi yang saat ini digunakan KPK.
- Pasal 44 intinya tentang penuntut umum dapat mengajukan suatu perkara kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk diputus layak atau tidak layak untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan.
Dampak dari Pasal 44 yaitu bahwa penuntutan kasus korupsi yang ditangani KPK dapat dihentikan oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
- Pasal 58 intinya tentang Penentuan penahanan pada tahap penyidikan yang melebihi 5×24 jam.
Dampak dari Pasal 58 yaitu KPK dapat dianggap tidak memiliki kewenangan. Disini, hanya disebutkan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) dalam hal penahanan dilakukan oleh Kejaksaan Negeri. Kepala Kejaksaan Negeri atau penuntutan Kejaksaan Agung dalam hal penahanan dilakukan oleh Kejaksaan Agung.
- Pasal 67 intinya tentang penangguhan penahanan yang diajukan oleh tersangka atau terdakwa.
Dampaknya dari Pasal 67 yakni Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menangguhkan penahanan yang dilakukan oleh KPK.
- Pasal 75 intinya tentang penyitaan harus mendapat izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
Dampak dari Pasal 75 yakni Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menolak memberikan persetujuan penyitaan, barang yang disita harus dikembalikan kepada pemilik.
- Pasal 83 intinya tentang penyadapan pembicaraan harus mendapat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
Dampak dari Pasal 83 yakni penyadapan pembicaraan hanya dapat dilakukan apabila mendapat persetujuan dari hakim.
- Pasal 84 intinya tentang dalam keadaan mendesak, penyidik dapat menyadap tanpa surat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan.
Dampak dari Pasal 84 yakni jika Hakim Pemeriksa Pendahuluan tidak memberi persetujuan penyadapan, maka penyadapan KPK akan dihentikan.
- Pasal 240 intinya tentang terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali putusan bebas.
Dampak dari Pasal 240 yakni kasus korupsi yang diajukan oleh KPK, jika divonis bebas ditingkat pertama atau banding, maka tidak dapat dikasasi.
- Pasal 250 intinya tentang Putusan MA mengenai pemidanaan tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi.
Dampak dari Pasal 250 yakni kasus korupsi yang diajukan oleh KPK jika divonis berat ditingkat pertama atau banding, maka dapat dipastikan divonis lebih rendah jika dikasasi.
Catatan yang dirilis oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) tentunya sangat berdasar, mengingat tingginya angka tindak pidana korupsi saat ini yang sedang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tentu kekhawatiran-kekhawatiran itu muncul dari lembaga seperti Indonesian Corruption Watch (ICW) merupakan suatu kelumrahan, mengingat lembaga tersebut intens melakukan upaya-upaya gerakan minimalisasi terhadap Korupsi Kolusi dan nepotisme di Indonesia. Namun ada baiknya kiranya apabila kita melihat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) yang saat ini berlaku di Indonesia, sebenarnya telah terdapat lembaga Praperadilan, yang semangat didalamnya hampir menyerupai Hakim Pemeriksa Pendahuluan, akan tetapi lembaga Praperadilan dianggap tidak mampu memberikan alternatif dan terobosan hukum dalam rangka pengawasan dan mekanisme komplain terhadap proses penegakan hukum, utamanya terhadap jaminan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), untuk itu lembaga Praperadilan peran, fungsi dan kedudukannya dianggap belum optimal dalam rangka menjawab proses pendahuluan (pra ajudikasi), yakni hanya bersifat formal, mengedepankan unsur objektif, sedangkan unsur subjektif tidak dapat diawasi oleh hakim serta cenderung berkaitan dengan hal-hal administratif.
Selain itu apabila melihat secara nyata yang terjadi di lapangan seringkali terdapat kewenangan yang sangat absolut (besar) yang diberikan kepada penyidik dalam hal melakukan tugas dan wewenangnya melakukan penyidikan terhadap perkara-perkara yang bersifat khusus maupun umum dengan segala kekurangannya, yang dalam perkembangannya membutuhkan keahlian serta interpretasi khusus terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang terus berkembang seiring perkembangan zaman (teknologi informasi), seringkali professionalisme, keahlian, sumber daya manusia manusia, peraturan perundang-undangan belum mampu menjawab perkembangan yang ada, untuk itu cukup banyak pula terjadi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan baik secara nyata maupun secara awam dikarenakan belum mampunya menyerap nilai-nilai keilmuan yang terus berkembang seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk menghindari yang demikian tentu sangat dibutuhkan lembaga yang memiliki tugas dan wewenang khusus melakukan (pre judicial) untuk menentukan apakah terhadap perkara tertentu layak atau tidak dilanjutkan dalam proses peradilan.
Kekuasaan yang selama ini hanya bertumpu pada lembaga penyidik dalam upaya menggali dan mendapatkan informasi yang tepat dan akurat, tidak cukup hanya melalui pengawasan internal dan eksternal, namun juga dibutuhkan pengawasan professional yang dilakukan oleh lembaga yang benar-benar kompeten melakukan penilaian terhadap peristiwa hukum tertentu. Sehingga tidak akan terjadi lagi yang sering kita dengar bersama, yakni kriminalisasi terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang sebenarnya lebih dekat kepada penyelesaian Hukum Perdata atau Hukum Administrasi Negara, tentunya hal yang demikian untuk melindungi Hak Asasi Manusia dalam rangka mendapatkan hak-haknya yang sesuai dengan kaidah-kaidah serta asas-asas hukum yang berlaku demi terciptanya keadilan dan kemanfaatan hukum di Indonesia. Mengenai kekhawatiran-kekhawatiran terhadap terjadinya kekuasaan yang absolut oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan, maka peran serta masyarakat menjadi symbol utama dalam rangka pengawasan extra ordinary, tidak hanya bagi hakim pemeriksa pendahuluan, akan tetapi pada setiap tingkatan proses penegakan hukum di Indonesia, sehingga mampu memberikan tingkat keadilan yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.
Tentu Hakim Pemeriksa Pendahuluan diharapkan menjadi solusi alternatif terhadap banyaknya keluhan-keluhan yang selama ini dialami masyarakat dalam rangka proses penegakan hukum, untuk itu dibutuhkan professionalisme, tekad, integritas serta pengetahuan hukum yang luas tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat normatif yang dapat ditemukan dalam suatu peraturan perundang-undangan, akan tetapi mampu menggali nilai-nilai keadilan yang ada dalam masyarakat serta perkembangan zaman yang juga menuntut adanya pengetahuan yang luas utamanya mengenai perkambangan hukum di tingkatan nasional, regional bahkan internasional guna menciptakan stabilitas hukum yang berdasarkan pada kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Untuk itu dibutuhkan kesadaran bersama untuk berupaya membangun Negara hukum Indonesia yang semakin hari semakin berkembang kearah yang lebih baik. Semoga…