PENGATURAN TAKSI ONLINE
Ribut-ribut antara taksi online dengan taksi konvensional hampir terjadi di berbagai daerah. Bahkan, tidak jarang juga banyak yang berujung pada bentrok dan aksi kekerasan antar kedua belah pihak. Untuk mengantipasi agar kejadian tidak meluas Kementerian Perhubungan menggelar pertemuan dengan perwakilan Uber, Grab Car, dan Organda Angkutan Darat di kantor Kementerian Perhubungan. Dari hasil pertemuan tersebut kemudian diadakan rapat koordinasi yang dihadiri Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan, Menkominfo Rudiantara, dan Menhub Budi Karya Sumadi, serta dihadiri beberapa perwakilan, di antaranya Organda dan tiga penyedia aplikasi online, yaitu: PT Grab Taxi Indonesia, PT Gojek Indonesia, dan PT Uber Indonesia Technology.
Hasil dari rapat koordinasi tersebut Pemerintah berencana merevisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 32 Tahun 2016 tentang Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek (Payung Hukum Taksi Online). Ada 11 point penting dalam revisi PM 32 Tahun 2016. Adapun 11 pokok pembahasan dalam revisi PM 32 Tahun 2016 ini, meliputi : 1) jenis angkutan sewa; 2) kapasitas silinder mesin kendaraan; 3) Batas Tarif Angkutan Sewa Khusus; 4) kuota jumlah angkutan sewa khusus; 5) kewajiban STNK berbadan hukum; 6) pengujian berkala/KIR; 7) Pool; 8) Bengkel; 9) Pajak; 10) Akses Digital Dashboard; dan 11) Sanksi.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi gencar melakukan sosialisasi revisi PM 32 Tahun 2016 yang rencananya akan mulai berlaku pada 1 April 2017 mendatang. Adapun sosialisasi telah mulai dilakukan kepada 6 (enam) Pemerintah Daerah yaitu, DKI Jakarta, jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi Selatan. Ada dua hal hal penting menurut Menteri Perhubungan tentang revisi PM 32 Tahun 2016, diantaranya Pertama, guna memberikan kepastian hukum bagi angkutan berbasis transportasi online yang beroperasi di Indonesia. Kedua, memberikan kesempatan kepada angkutan konvensional, untuk bisa berkompetisi secara sehat.
Dari rencana revisi PM 32 Tahun 2016 tersebut, masih ada beberapa poin yang masih ditunda penerapannya, yakni penetapan tarif batas bawah dan batas atas serta kuota angkutan yang boleh beroperasi. Kementerian Perhubungan memastikan bahwa akan memberikan waktu hingga 3 bulan untuk membahas lebih lanjut poin-poin tersebut dengan pihak-pihak terkait. Dalam waktu 3 bulan tersebut, Menhub memastikan tidak akan ada penindakan hukum terhadap pelanggaran dari aturan tersebut, baik oleh pihak kepolisian maupun Dinas Perhubungan. Namun, setelah 3 bulan masa transisi, Menhub menegaskan akan ada sanksi, khususnya bagi pengemudi angkutan online maupun provider yang tidak memenuhi aturan.
Perdebatan
Atas rencana revisi PM 32 Tahun 2016 tersebut, muncul beberapa respon publik yang bermacam-macam, ada yang merasa senang ataupun menolak atas rencana revisi PM 32 Tahun 2016 yang akan mulai diberlakukan 1 April 2017 mendatang. Respon tersebut muncul baik yang berasal dari pengemudi taksi online, pengemudi taksi konvensional, penyedia layanan taksi online maupun dari Pemerintah Daerah. Meskipun demikian Menhub berharap semua pihak dapat menyetujui dan melaksanakan revisi PM 32 Tahun 2016 tersebut.
Adapun beberapa hal pengaturan revisi PM 32 Tahun 2016 yang dianggap merugikan atau memberatkan dari kalangan pengemudi taksi online setidaknya terdapat dua hal, Pertama adalah pengaturan mengenai Kuota jumlah angkutan sewa khusus yang berkaitan dengan Penetapan kebutuhan jumlah kendaraan sesuai dengan analisa dan pengaturan oleh Gubernur sesuai domisili perusahaan masing-masing penyedia taksi online apabila berada pada wilayah selain Jabodetabek, sedangkan untuk wilayah JABODETABEK berdasarkan analisa dan pengaturan oleh Kepala BPTJ. Pengaturan jumlah kuota ini tentu akan membatasi pengemudi taksi online yang berkeinginan untuk bekerja sebagai pengemudi sedangkan batas kuota sangat terbatas/dibatasi.
Kedua, pengaturan berkaitan dengan Kewajiban STNK Berbadan Hukum, jika sebelumnya ketentuan STNK atas nama perusahaan, maka sesuai revisi PM 32 Tahun 2016 diubah menjadi STNK atas nama badan hukum, namun atas STNK yg masih atas nama perorangan dianggap masih tetap berlaku sampai dengan habis masa berlakunya. Pengaturan ini tentu pada akhirnya memaksa pengemudi taksi online untuk bergabung dengan Perusahaan yang berbadan hukum, serta tidak dapat dengan mudah mengaktualisasikan keinginannya untuk bekerja sebagai pengemudi taksi online meskipun telah memiliki armada/mobil yang siap untuk dioperasikan secara mandiri.
Sedangkan pengaturan yang dianggap merugikan bagi pengemudi taksi konvensional adalah berkaitan dengan Jenis Angkutan Sewa yang masih mengakomodir Kendaraan Bermotor Umum yang memiliki Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) warna hitam. Pengaturan ini tentu masih membawa problem tersendiri utamanya terhadap persaingan untuk mendapatkan penumpang dilapangan, meskipun tentu menurut hemat penulis hak-hak yang akan didapat akan sangat berbeda antara pengemudi dengan taksi berplat hitam dengan yang berplat kuning. Taksi dengan berplat kuning akan dengan mudah mendapatkan dan mengantarkan penumpang dengan atau tanpa dikenakan aturan mengenai ganjil genap seperti halnya yang berlaku di Jakarta misalnya.
Kemudian pengaturan yang menambah beban kerja atau mewajibkan bagi Pemerintah Daerah untuk membentuk lebih lanjut aturan perihal Batas Tarif Angkutan Sewa Khusus dan Kuota jumlah angkutan sewa khusus serta sanksi penindakan di lapangan. Penentuan Batas Tarif Angkutan Sewa Khusus dan Kuota jumlah angkutan sewa khusus oleh Pemerintah Daerah bukanlah perkara mudah, mengingat keduanya membutuhkan analisa komprehensif yang melibatkan beberapa institusi sekaligus, sehingga kemudian akan menciptakan keadilan bagi pengemudi taksi online, pengemudi taksi konvensional dan penyedia layanan taksi online maupun konvensional.
Selain itu juga kebijakan penentuan batas tarif bawah berpotensi terhadap mahalnya tarif jasa angkutan taksi online maupun taksi konvensional, sehingga akan berdampak kepada masyarakat/konumen pengguna layanan baik taksi online maupun taksi konvensional. Juga penetapan batas tarif bawah akan menghambat inovasi yang akan juga menimbulkan inflasi keuangan di masyarakat.
Namun yang pasti disini baik Pemerintah maupun Pemerintah Daerah berkewajiban memberikan kepastian hukum bagi seluruh kalangan masyarakat, bukan hanya bagi pengemudi taksi online maupun pengemudi taksi konvensional, akan tetapi juga bagi penumpang berkaitan dengan standart keamanan dan kenyamanan yang disediakan baik oleh Pengemudi Taksi Online maupun Konsvensional.
Terakhir harapan masyarakat pada umumnya semoga dengan adanya pengaturan lebih lanjut berkaitan dengan revisi PM 32 Tahun 2016 yang akan mulai diberlakukan pada tanggal 1 April 2017 mendatang, semoga kericuhan, keributan dan kesembrawutan pengaturan antara taksi online dengan taksi konvensional dapat terhindarkan.