CRITICAL THEORY, CONTRUCTIVISM DALAM KONTEKS ONTOLOGY, EPISTEMOLOGY DALAM METODE PENELITIAN

Critical theory : memberikan pemahaman ilmu sosial sebagai cara pandang melalui proses secara kritis, yakni berusaha mengungkap “the real structures” dibalik ketidakpastian “false needs” yang ada didunia, tujuannya adalah membentuk kesadaran manusia untuk memperbaiki dan mengubah kehidupan manusia. Sehingga pada akhirnya benar yang kemukakan oleh Bailey (1998, Hal. 32 -33) yang membedakan antara paradigm dengan metode penelitian :

“By method we simply mean the research technique or tool use tigather data… By methodology we mean the philosophy or the research process. This include the assumtions and value that serve as rationale for research and the standards or criteria the researcher uses for interpreting data and reaching conclutions”

                               Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dalam metode penelitian tidak terlepas dari paradigm tertentu, termasuk didalamnya adalah critical theory terhadap pembahasan dalam penelitian. Dalam penelitian yang saya lakukan yakni mencoba memberi ulasan pembahasan seperti yang tercermin menurut pendapat Earl Babbie dalam buku “The Practice of Social Research” (2001, Hal. 122) menyatakan, “A paradigm is fundamental model or frame of reference we use to organize our observations and reasoning.” Atas dasar itu, saya mengatakan bahwa paradigma adalah model atau kerangka berpikir ilmiah yang menjadi rujukan dalam penelitian, termasuk didalamnya adalah critical theory yang mencoba memberikan pemahaman secara komprehensif dengan melakukan kritik terhadap kondisi yang telah ada dengan membandingkan dengan teori-teori yang telah ada sebelumnya dihubungkan dengan kondisi sosiologis yang ada pada masa kekikian.

 Constructivism : yakni merupakan cara pandang sistematis terhadap social meaning ful action melalui pengamatan langsung dan rinci terhadap pelaku sosial dalam keseharian, yakni bertujuan untuk memahami dan menafsirkan bagaimana pelaku sosial tersebut dapat mempertahankan perilaku sosialnya sesuai dengan nilai dasar dan cita-cita luhur kelompok sosial mereka. Sehingga dengan demikian Earl Babbie dalam buku “The Practice of Social Research” (2001, Hal. 124) menyatakan, “the basic belief system or worldwide view that guides the investigator, not only in choices of method but in ontologically and epistemologically fundamental ways.

Cara pandang yang demikian dibutuhkan agar dapat memberikan pemahaman ulang terhadap cara pandang yang memenuhi nilai-nilai kesesuaian dengan tujuan awal cita-cita luhur kelompok sosial sehingga tidak mudah hilang seiring dengan perkembangan zaman serta mampu diaktualisasikan dalam kondisi kekinian.

 

Pembuktiannya dalam konteks Ontology, Epistemology dan Metodologi

Perbedaan penggunaan paradigm juga dapat membedakan dalam konteks dimensi baik Ontology, Epistemology dan Metodologi. Secara sederhana George Gadamer dalam bukunya truth and method (2011, Hal. 12 – 13) membedakan ketiga dimensi tersebut melalui Pencarian terhadap jiwa dan hakikat dari Undang-Undang Dasar 1945 maka dapat dilihat dalam tiga dimensi sekaligus, yakni dimensi aksilogi, epistimologi dan onlogi. Secara sederhana perbedaan dimensi tersebut dapat diurai melalui pemahaman berikut :

  1. Epistimologis : berkaitan asumsi mengenai hubungan antara peneliti dengan yang diteliti dalam proses mengetahui mengetahui mengetahui mengenai objek yang diteliti.
  2. Ontologis : berkaitan dengan asumsi mengenai objek atau realitas sosial yang akan diteliti.
  3. Metodologis : berisi asumsi terhadap bagaimana cara memperoleh pengetahuan mengenai suatu objek pengetahuan.
Continue Reading

PERAN LOGIKA DALAM MEMAHAMI HUKUM

Terdapat pemahaman yang salah dari kesekian banyak Mahasiswa Fakultas Hukum mengenai pola pemikiran yang digunakan. Mengedepankan logika merupakan konsumsi sehari-hari dalam menafsirkan hukum. Padahal logika tidak selamanya digunakan dalam hukum, malah justru logika akan mengantarkan Mahasiswa Hukum kepada suatu kesesatan. Karena hukum merupakan logika, tapi jangan dilogikakan.

Ada salah satu dalil yang berpengaruh, bahwa suatu argumentasi bermakna hanya dibangun atas dasar logika. Dengan kata lain agar suatu keputusan/argumentasi dapat diterima apabila didasarkan pada proses nalar atau logika. Secara sepintas dapat dibenarkan, akan tetapi hukum bukan logika dan tidak selamanya dapat dilogikakan.

Permasalahan sekarang yang muncul dari dalam pikiran Mahasiswa (khususnya Fakultas Hukum) adalah bahwa dalam memahami hukum adalah hanya dengan logika tanpa didasari oleh konsep dan teori (baik berupa peraturan perundang-undangan ataupun pendapat pakar). Padahal yang perlu diingat adalah bahwa tidak semua hukum dapat “DILOGIKAKAN”. Artinya untuk mendukung “kebenaran” logika/nalar itu perlu didasari atas konsep atau teori yang jelas dan sistematis.

Banyak kemudian Mahasiswa yang belum pernah memahami dan mengkaji dan membaca tentang teori hukum akan tetapi dengan menggunakan logika yang dimilikinya kemudian mengemukakan pendapatnya dengan penuh percaya diri seakan apa yang dikatakan merupakan argumentasi yang paling benar. Dengan tanpa menafikan ini, hal itu telah merebak dan menjadi Virus Akut di Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo.

Misal : dalam BW (KUH Perdata) Pasal 1865 beban pembuktian suatu gugatan adalah ada pada penggugat, tetapi dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) Pasal 107 Hakimlah yang menentukan beban pembuktian.

Jika dilogikakan, seakan-akan ada 2 (dua) norma hukum yang berseberangan (conflic of norm), akan tetapi jika dianalisis secara mendalam, maka sebenarnya itu adalah ada pada koridor atau lapangan hukum yag berbeda, yakni hukum publik dan hukum privat. Maka untuk itu perlu adanya logika yang didasari atas konsep/tepri yang jelas untuk menghindari sebuah Fallacy (kesesatan) dalam memahami hukum.

Untuk memiliki “logika yang runtut dan mendasar” agar menghasilkan sebuah argumen yang benar-benar “argumentasi hukum”, maka perlu diketahui tentang model logika, yakni logika silogistis, proposisi dan predikat. Dimana untuk mengetahui ini perlu di budayakan untuk membaca, mengkaji dan menganalisis tentang permasalahan hukum agar diperoleh konsep yang jelas dan mendasar.

Apakah anda seperti itu ??? tentunya sudah saatnya anda berubah mulai saat ini, penting untuk kalian memperbanyak membaca referensi untuk kemudian melontarkan argumentasi hukum, sehingga argumen anda terdapat dasar yang jelas, bukan atas dasar nalar dan peran logika dalam menjawab permasalahan hukum.

Ingat pepatah, Tantum Valet Auctoritas, Quantum Valet Argumentatio, artinya (nilai wibawa seseorang setinggi nilai argumentasinya).

Continue Reading