TEORI-TEORI KEADILAN DALAM HUKUM

1. a. Hukum pada kenyataannya seringkali ketinggalan dengan perkembangan yang terjadi di masyarakat, untuk itu hukum yang baik adalah hukum yang bersifat dinamis yang mampu mengikuti perkembangan masyarakat. Hal itu senada dengan yang diungkapkan Lawrence M. Friedman[1] mengemukakan bahwa dalam kaitannya dengan perubahan hukum maka perubahan itu dapat terjadi pada tiga unsure yang dominan yakni pertama, struktur hukum adalah pola yang menunjukkan tentang bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan-ketentuan formalnya, kedua, substansi hukum adalah peraturan-peraturan yang dipakai oleh para pelaku hukum, dan ketiga, adalah kultur hukum adalah yang berhubungan dengan kebiasaan dalam penyelesaian perkara hukum. Karena tidak mungkin hukum dapat dipahami secara matematis, sehingga membutuhkan konsep sosiologi hukum untuk menjawabnya[2]. Untuk itu diharapkan perkembangan masyarakat juga dibarengi dengan perkembangan hukum yang memenuhi ketiga unsusr hukum yang telah dikemukakan tadi. Sehingga unsur-unsur penegakan hukum dapat dan mampu terpenuhi dengan baik. Unsur-unsur dalam penegakan Hukum itu menurut Sudikno Mertokusumo[3] terdapat tiga, pertama kepastian hukum (Rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit) dan keadilan. Untuk menciptakan hukum baik dalam pembentukan dan penerapan hukum yang sesuai dengan ketiga unsur diatas, maka dibutuhkan sosiologi hukum, yakni untuk mengetahui latar belakang kemasyarakatan untuk pembentukan pendapat yuridis yang tepat. Untuk itulah peranan pembentukan peraturan perundang-undangan, penegakan hukum oleh aparat penegak hukum membutuhkan sosiologi hukum demi terciptanya ketiga unsur penegakan hukum yang telah dikemukakan diatas tadi. Karena sosiologi hukum yang pertama mempelajari kenyataan dalam masyarakat, baru yang kemudia mempelajari kaidah-kaidah hukum[4].
b. Beberapa teori yang saya ketahui mengenai perubahan hukum dan perubahan social diantaranya :

§  Teori Utilitarisme

Teori ini pertama kali dikemukakan oleh Jeremy Bentham (1748-183) yakni dengan prinsipnya bahwa manusia akan melakukan tindakan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan[5]. Untuk itu Bentham berusaha agar hukum diusahakan sebagai alat untuk ketentraman manusia[6], sehingga baik dan buruknya hukum ditentukan oleh dapatnya diterimanya oleh masyarakat dengan rasa gembira atau tidak. Jadi undang-undang yang baik adalah undang-undang yang memberikan kebahagiaan pada sebagian terbesar masyarakat akan dinilai sebagai undang-undang yang baik[7].

§  Teori Sociological Jurisprudence

Inti pemikiran dari mazhab ini adalah bahwa “Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat”. Teori ini dikemukakan oleh Eugen Ehrlich[8] yang menganjurkan agar dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terdapat keseimbangan antara keinginan untuk mengadakan pembaharuan hukum melalui perundang-undangan dengan kesadaran untuk memeperhatikan kenyataan yang hidup dalam masyarakat. Kenyataan yang hidup dalam masyarakat sering disebut sebagai “living law and just law” yang merupakan “inner order” yang tercermin dalam kehidupan masyarakat[9]. Sociological Jurisprudence pada kenyataannya lebih menekankan pada masalah evaluasi hukum, kedudukan hukum tertulis dan tidak tertulis, fungs hukum sebagai rekayasa social, pembentukan hukum yang baik dan cara penerapan hukum[10].

§  Teori Pragmatic Legal Realism

Teori ini dikemukakan oleh Rescoe Pound yang menyatakan bahwa hukum dilihat dari fungsinya dapat berperan sebagai alat untuk mengubah masyarakat (law as a tool of social engineering)[11]. Hukum dapat berperan didepan untuk memimpin perubahan dalam kehidupan masyarakat. Hukum dapat pula merubah masyarakat yang tradisional menjadi modern. Untuk itu teori sangat erat kaitannya dengan teori Sociological Jurisprudence, yang mana hukum yang baik adalah hukum yang hidup dalam masyarakat.

§  Teori Hukum Pembangunan

Teori dikembangkan oleh Mochtar Kusumaatmadja[12] bahwa hukum dibuat harus sesuai dengan dan memperhatikan kesadaran hukum masyarakat. Kekuasaan Negara menjadi sangat vital dalam melakukan dorongan legalisasi. Hubungan timbale balik antara hukum dan masyarakat sangat penting dan perlu dilakukan untuk memperoleh kejelasan[13]. Teori ini juga ingin menjelaskan bahwa terdapat hubungan timbale balik antara masyarakat sebagai subjek hukum dengan Negara sebagai perancang pembentuk hukum. Untuk itu baik masyarakat maupun penguasa membutuhkan pendidikan untuk memiliki kesadaran kepentinga Umum[14].

§  Teori Pengayoman

Pencetus teori ini adalah Suhardjo (mantan Menteri Kehakiman) yang mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia baik secara aktif maupun pasif[15]. Teori ini yang kemudian menjadi slogan dari kementerian Kehakiman yakni pengayoman.

§  Teori Perubahan Sosial

Soerjono Soekanto[16] mengatakan bahwa dalam setiap proses perubahan senantiasa akan dijumpai factor-faktor penyebab terjadinya perubahan, baik dari dalam maupun dari luar. Inilah yang dapat menjadi latar belakang terjadinya perubahan hukum dan masyarakat. Untuk itu masyarakat memiliki peranan yang penting dalam proses perubahan social. Keadaan-keadaan yang dapat menentukan berubahnya masyarakat dan hukum merupakan hal yang lumrah dalam masyarakat yag terus berkembang, untuk itu antisipasi menuju pengendalian hukum sangat dibutuhkan agar tidak terjadi konflik social dalam masyarakat.

§  Teori Sosiologi Fungsional

Teori ini dikembangkan oleh kalangan yang sangat peka terhadap konsdisi lingkungan. Hal sangat kental sekali adalah agama, untuk itu agama merupakan salah satu factor yang ikut mempengaruhi terjadinya perubahan masyarakat dan hukum. Perbedaan pemikiran tentang hukum yang berlaku dalam agama akan mengakibatkan berbedanya alur berfikir tentang hukum[17]. Untuk itu dapat dikatakan bahwa agama juga sangat berpengaruh dalam membentuk pola pikir masyarakat, sehingga disebutlah teori sosiologi fungsional yang merupakan bagian dari teori-teori perubahan hukum.

c. Steven Vago menyatakan bahwa telah mengidentifikasi sejumlah hal dalam masyarakat yang bisa membatasi hukum sebagai instrumen perubahan.[18] Mereka yakni:

§  Faktor Sosial

Faktor ini dicontohkan oleh Steven Vago diantaranya Kelas Sosial, Resistensi Ideologi dan Organisasi Oposisi

§  Faktor Psikologis

Faktor ini diantaranya Kebiasaan (Habit), Motivasi, Keacuhan (Ignorance), Persepsidan Pengembangan Moral.

§  Faktor Budaya

Faktor ini dipengaruhi oleh Fatalisme, Kesukuan/Superioritas Kelompok, Ketidakcocokan dan Tabu (Superstition)

§  Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi ini juga termasuk dalam kelompok yang mempengaruhi keterbatasan dalam masyarakat apabila digunakan sebagai instrument of social change.

d. §  Kritik Terhadap Pemikiran Durheim

Pemikiran Durheim banyak dipengaruhi oleh adanya evolusi masyarakat[19]. Masyarakat mengadakan evolusi dikarenakan terdapat persamaan persepsi untuk mengadakan kesepakatan-kesepakatan guna mencetuskan keinginan bersama. Hukum dipandang sebagai keputusan bersama antara masyarakat dan penguasa. Untuk itu hukum harus dibuat berdasarkan pada hak-hak yang dimiliki oleh masyarakat, sehingga pada akhirnya terciptalah hukum. Terdapat kelemahan-kelemahan yang terjadi dalam pemikiran ini, yakni bahwa hukum belum tertata rapi dikarenakan masih hanya sebatas kesepatan-kesepakatan antara penguasa dengan masyarakatnya. Untuk itu dibutuhkan suatu kodifikasi hukum dan administrasi hukum yang baik, sehingga tercipta suautu hukum yang terkonsep dan tertata dengan baik. Untuk itu diharapkan Pemikiran Durheim ini hanya dapat diterapkan pada masyarakat tradisional. Solidaritas sosial[20] menjadi ciri khas dari ajaran ini, sehingga keputusan terbanyaklah yang mampu ditampung untuk kemudian dijadikan hukum yang absolute dalam suatu susunan hukum dalam masyarakat. Sehingga kritikan terhadap hukum ini begitu gencarnya karena tidak mengakomodir kepentingan minoritas yang tidak terkoordinir melalui keputusan suara terbanyak dari suautu peraturan.

§  Kritik Terhadap Pemikiran Max Weber

Max Weber banyak dipengaruhi pemikirannnya dengan kondisi ekonomi capitalis[21], sehingga berpengaruh terhadap substansi pemikirannya yang mengedepankan kaum-kaum penguasa daripada kaum masyarakat miskin. Untuk itu kemudian timbullah suatu pergeseran yang mana harus disamakan antara kaum kapitalis dengan masyarakat jelata. Diharapkan mampu tidak membedakan antara masyarakat kalangat elit dengan kalangan jelata, sehingga hukum benar-benar berfungsi sebagai panglima dengan masyarakat apapun. Sehingga hukum dapat berwibawa dalam kondisi apapun dan dalam kesempatan apapun. Hukum dalam pemikiran ini diharapkan mampu merasionalisasi[22] terhadap segala bidang kehidupan suatu kelompok masyarakat. Krikan terhadap pemikiran ini bahwa memang terdapat perbedaan diantara masyarakat yang sedang berkembang dengan masyarakat yang tradisional. Untuk itu diperlukan pengklasifikasian keberlakuan hukum, sehingga efektifitas nilai dan tingkat keberhasilan hukum dalam masyarakat mampu terlaksana dengan baik.

2. a. Menurut pendapat ahli hukum (Traverne) benar sekali, karna menurut H.L.A. Hart[23] yakni sebuah system hukum harus menampilkan kesesuaian spesifik terhadap moralitas dan keadilan. Untuk itu dapat dikatakan sebaik apapun hukum yang dibentuk, apabila moralnya tidak baik, maka akan percuma suatu peraturan-perundang undangan yang baik tadi. Untuk itu diperlukan sinergitas antara hukum dan moralitas, agar tercipta kesinambungan diantara unnsur-unsur penegakan hukum. Istilah moral adalah suatu istilah yang bermakna ganda, arti pertama adalahkeseluruhan kaidah dan nilai berkenaan dengan ikhwal baik dan perbuatan baik manusia[24]. Untuk itu sangat dibutuhkan moral aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, sehingga penerapan hukum akan berjalan maksimal. Karena hukum tidak akan pernah sempurna dan hanya dapat diwujudkan dalam dalam suatu perjuangan[25]. Dengan demikian keadilan itu masih diperjuangkan oleh oknum atau aparat penegak hukum, untuk itu sebaik apapun hukumnya, kalau tidak ada kemauan kuat moral dari aparat penegak hukum, maka tujuan tujuan hukum sulit untuk dilaksanakan. Sangat dibutuhkan adanya kesinambungan antara Hukum (Peraturan Perundang-Undangan) yang bersifat membangun dan mampu diterima di masyarakat, serta kemauan dalam pelaksanaan yang kuat dari seluruh komponen aparat penegak hukum untuk mengatasi segala bentuk upaya dalam law inforcment. Perdebatan tentang Teori Hukum Murni dan Sosiological Yurisprudance (hukum sosiologis) bukan hanya terjadi belakangan ini dan hanya di Indonesia saja. Yang pasti aliran hukum diatas merupakan 2 (dua) pandangan besar yang satu sama lain memiliki cara pandang yang berbeda.[26] Itulah yang kemudian berdampak kepada perdebatan masalah penelitian hukum sebagaimana di jelaskan oleh pakar hukum terkemuka yang ada di Indonesia yang saling berbeda pandangan mengenai metode dalam penelitian hukum.

Aliran hukum positif juga dikenal sebagai aliran legisme. Aliran ini selalu mengidentikkan hukum dengan Undang-Undang, tidak ada hukum di luar Undang-Undang, satu-satunya sumber hukum adalah Undang-Undang. Pandangan-pandangan hukum positif ini dipertahankan oleh Paul Laband, Jellineck, Rudolf von Jherings, Hans Nawiasky, Hans Kelsen dan lain-lain.[27] Aliran hukum positif mulai berkembang di Jerman pada abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh di berbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia.

John Austin memberikan pengertian dan batasan tentang cakupan ilmu hukum. Pertama, hukum merupakan perintah penguasa, kedua, hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup, ketiga, hukum positif terdiri dari unsur-unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan, di luar itulah hanyalah moral positif (positive morality).[28]

Pendapat lain lain datang dari Hans Kelsen yang menyatakan ”hukum haruslah dibersihkan dari anasir-anasir bukan hukum, seperti anasir etika, sosiologi, politik dan sebagainya”.[29] Kelsen juga menerangkan bahwa hukum sebagai (sollenskatagori), yaitu hukum sebagai keharusan bukan sebagai (seinskategori) yakni sebagai kenyataan,[30] yakni orang menaati hukum karena sudah perintah negara, untuk itu pelalaian terhadap itu maka akan dikenakan sanksi. Sedangkan ajaran yang juga terkenal dari Hans Kelsen dan sering dijadikan rujukan dalam teori hierarki (tingkatan) norma hukum adalah ajaran ”stufentheory”[31], yakni sistem hukum pada haikatnya merupakan sistem hierarkis yang tersusun dari peringkat terendah hingga peringkat tertinggi.

Dari pemeparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya aliran hukum positif adalah aliran pemikiran hukum yang memberikan penegasan terhadap bentuk hukum (Undang-Undang), isi hukum (perintah penguasa), ciri hukum (sanksi, perintah, kewajiban, dan kedaulatan) dan sistematisasi norma hukum (hierarki norma hukum Kelsen).   Secar implisit aliran ini hakikatnya juga menegaskan beberapa hal:

Pertama, bahwa pembentuk hukum adalah penguasa

Kedua,     bahwa bentuk hukum adalah Undang-Undang; dan

Ketiga      hukum diterapkan terhadap pihak yang di kuasai.

Sangat berbeda dengan sosiological jurisprudence yang merupakan aliran filsafat hukum yang memberi perhatian sama kuatnya terhadap masyarakat dan hukum, sebagai dua unsur utama hukum dalam penciptaan dan pemberlakuan hukum.[32] Itulah yang menyebabkan perbedaan yang tajam antara kalangan pemikir hukum normatif dan kalangan pemikir hukum sosiologis. Karena pemikir hukum sosiologis mendasarkan hukum pada teori tentang hubungan antara kaidah-kaidah hukum dengan kenyataan masyarakat.[33]

Pendasar mazhab ini dapat disebutkan, misalnya Roscoe Pound, Eugen ehrlich, Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gaurvitch dan lain-lain.[34] Mazhab ini lebih mengarah pada kenyataan daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat. Inti dasar prinsip pemikiran mazhab ini adalah hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.[35] Hukum lahir dan berkembang seiring dengan kemajuan zaman, sehingga hukum tidak dapat dipisahkan dari kehidupan   masyarakat. Seperti gejala-gejala peradaban lain, hukum juga dapat ditinjau secara sosiologis, dapat diteliti hubungan ekonomis dan kemasyarakatan apa, aliran bidang kejiwaan kejiwaan apa yang telah menimbulkan pranata hukum tertentu.[36]

Pada prinsipnya ialah sosiological jurisprudence menekankan pada masalah-masalah evaluasi hukum (kualisifikasi hukum yang baik), kedudukan hukum tertulis dan tidk tertulis, fungsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial,[37] dengan cara pembentukan hukum yang baik (yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat), dan cara penerapan hukum.

Dari perbedaan dua pandangan besar antara paradigma hukum positif dengan hukum sosiologis, tidak perlu untuk saling menjatuhkan dengan saling menyalahkan antara teori yang satu dengan teori yang lainnya, mengingat kedua-duanya sama-sama memiliki kelebihan dan kekuarangan. Paradigma hukum positif dapat di gunakan untuk mempelajari tentang bentuk hukum (Undang-Undang), isi hukum (perintah penguasa), ciri hukum (sanksi, perintah, kewajiban, dan kedaulatan) dan sistematisasi norma hukum (hierarki norma hukum) sedangkan paradigma hukum sosiologis dapat digunakan untuk mengevaluasi hukum (kualisifikasi hukum yang baik), kedudukan hukum tertulis dan tidk tertulis, sebagai sarana rekayasa sosial, cara pembentukan hukum yang baik (yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat), dan cara penerapan hukum yang efektif.

b. Melihat kondisi tersebut diatas, maka ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian, yakni sesuai dengan fungsi Hukum menurut Steven Vago[38], diantaranya adalah Social Control, Dispute Settlement dan Social Change. Dalam hal sosial control[39] maka bermakna sebuah proses yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar bertingkahlaku sesuai dengan harapan masyarakat[40]. Sedangkan Dispute Settlement adalah hukum secara umum diharapkan dapat menyelesaikan semua permasalahan yang ada di masyarakat. Sedangkan Social Change adalah sebagai sarana perubahan sosial (law as a tool of social engineering). Berdasarkan pada soal diatas maka diharapakan pembentuk Undang-undang mampu mengetahui karakter masyarakat, nilai-nilai yang terkandung dalam masyarakat, sehingga hukum yang akan dibentuk mampu mencerminkan peradaban dan mampu diterima dengan baik oleh semua kalangan masyarakat, sehingga pada akhirnya tujuannya adalah menciptakan keadilan hukum. Berkaitan dengan itu, maka agar suatu hukum dapat dikatakan adil, maka terdapat beberapa ukuran-ukuran, ukuran-ukuran keadilan itu diantaranya :[41]

  1. Ukuran hukum alam dan positifisme

Ukuran hukum alam mendasarkan keadilan pada pandangan yang lebih tinggi dari (trancendent) dari pikiran manusia, juga dengan akal sehat (reason). Sedangkan keadilan berdasarkan paham positivisme adalah menjalankan aturan yang berlaku secara baik dan benar.

  1. Ukuran absolute dan relative

Ukuran absolute adalah keadilan yang berlaku kapan dan dimana saja. Begitu sebaliknya dengan ukuran relatif yang berarti keadilan akan berbeda-beda sesuai dengan perbedaan tempat dan waktu.

  1. Ukuran umum dan konkret

Ukuran umum (universal) adalah ukuran tanpa batas, dimana saja dan kapan saja. Sedangkan Konkret tergantung pada keunikan setiap kasus.

  1. Ukuran metafisik dan empiris

Ukuran metefisik adalah keadilan terbit bukan dari fakta dalam masyarakat, akan tetapi manakala dilaksanakan hak dan kewajiban berdasarkan rasio manusia secara deduktif. Sedang ukuran empiris berdasarkan fakta social dalam kenyataannya.

  1. Ukuran internal dan eksternal

Ukuran ekternal adalah keadilan sebagai suatu cita yang tinggi dan dari mana keadilan berasal atau dibentuk. Sedangkan secara internal adalah menelaah keadilan dalam batas-batas ruang gerak dari keadilan itu sendiri.

  1. Ukuran pengetahuan dan intuisi

Ukuran pengetahuan adalah ukuran melalui teori dalam ilmu pengetahuan. Sedang intuisi ukuran berdasarkan perasaan keadilan dan perasaan ketidak adilan.

3. Otonomi daerah telah menghasilkan pelayanan publik, menghasilkan pemilihan kepala daerah yang dipilih langsung oleh rakyat[42], hanya saja belum bisa mensejahterakan tingkat perekonomian masyarakat. Hal itu dapat dibenarkan, karena kalau melihat indeks kemiskinan[43] yang ada di daerah masih relative tetap tidak terdapat perubahan yang sukup signifikan, untuk itu ada apa dengan kondisi Indonesia saat ini?. Untuk menjawab pertanyaan itu maka kita harus melihat dulu perilaku Birokrasi pemerintahan dalam menjalankan aktivitas kenegaraannya[44]. Dalam kalangan pemerintahan baik ditingkatan pusat dan daerah masih banyak ditemukan prakterk-praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), sehingga itulah yang mengakibatkan adanya tingkat pembangunan di daerah maupun di pusat menjadi terhambat, belum lagi adanya tingkat heterogensi masyarakat yang rentan dengan adanya konflik sosial yang memang keberadaannya seringkali konflik itu tidak dapat dihindari, baik konflik yang secara alami dan terjadi secara turun temurun, maupun konflik yang dikarenakan dibuat-buat oleh penguasa pemerintahan. Mentalitas aparat pemerintahan baik yang ada dipusat maupun diaerah yang harus dirubah, hukum yang mengatur tentang pemerintahan sudah atau telah cukup baik, akan tetapi mentalitas aparatur yang masih belum dapat dipercaya. Hukum seringkali tumpul melawan segala bentuk kekuasaan yang terjadi didaerah maupun pusat. Untuk itu diharapkan pembangunan mentalitas hukum kedepan juga diharapkan dapat menjadi prioritas dalam pembangunan hukum.

Ada beberapa alasan kenapa sebenarnya manusia dari waktu kewaktu begitu gencar mencari keadilan, diantaranya :[45]

  1. secara deontologist etika, karena keadilan sudah menjadi hak dari seseorang.
  2. jawaban kaum utilitarian, bahwa keadilan merupakan nilai dasar yang harus dipertahankan untuk dapat dilaksanakannya kebaikan yang sebesar-besarnya atau kesenangan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.
  3. jawaban kaum historian atau kaum sosiologis, bahwa keadilan memang kebutuhan dalam masyarakat sepanjang masa.
  4. jawaban kaum psikologis, bahwa keadilan merupakan kebutuhan jiwa manusia.
  5. jawaban kaum agamis, bahwa keadilan merupakan kehendak dan tuntunan Ilahi terhadap manusia

Kata “keadilan” berasal dari kata “adl” yang berasal dari bahasa Arab. Dalam bahasa Inggris di sebut dengan “justice” memiliki persamaan arti dengan:[46]

  1. justicia, dalam bahasa Latin
  2. jeuge, Justice (f) dalam bahasa Prancis
  3. juez (m), justicia (f) dalam bahasa Spanyol
  4. reichter (m), gerechtigkeit (f) dalam bahasa Jerman

Persoalan keadilan dapat timbul dalam hubungan dan interaksi antara :[47]

  1. individu dengan individu lainnya
  2. individu dengan masyarakat/kelompok masyarakat
  3. individu dengan otoritas kekuasaan/Negara
  4. individu dengan alam semesta

Berdasarkan pemaparan singkat diatas diharapkan keadilan mampu diterapkan dalam pembangunan yang berkesinambungan, baik di tingkatan pemerintah pusat maupun dalam pemerintahan daerah.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005

Adam Podgorecki dan Christopher J Whelan, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987

Dudu Duswara Mahyudin, Pengantar Ilmu Hukum (Sebuah Sketsa), Refika Aditama, Bandung, 2000

Dragan Milovanivic, A Primer in The Sociology of Law Second Edition, Harrow and Heston Publisher, Albany, 1994

Gerald J. Postema, Bentham and the Common Law Tradition, Clarendon Press, Oxford, 1986

Hans Kelsen, Pure Theory Of Law, Berkely: Unibersity California Press 1978

__________, General Theory Of Law And State, Terjemahan Somardi, Bee Media Indonesia, Jakarta, 2007

Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Hukum Indonesia, Liberty, 1999

Lawrence M. Friedman, The Legal System, A Social Science Perspective, New York, Russel Sage Foundation, 1974

HLA. Hart, The Consept Of Law, Clarendon Press-Oxford, New York, 1997

Juanda, Hukum Pemerintah Daerah, Alumni, Bandung, 2007

JJH. Bruggink (Alih bahasa Arief Sidharta), Reffleksi Tentang Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999

Lily Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004

Lily Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung 2003

Mathieu Deflem, Sociology of Law, Cabridge University Press, New York, 2008

Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam rangka Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung, 1975

____________, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum nasional, Binacipta, Bandung, 1976

____________, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2006

Munir Fuady, Dinaika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2007

Nur Amin, Agama Perspektif Sosiologi, Rajawali Grafindo, Jakarta, 2002

Otje Salman dan F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005

Paul Scholten (Alih bahasa Arief Sidharta), Struktur Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2005

Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya bakti, Bandung, 2000

____________, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1979

Soerjono Soekanto et. al, Pendekatan Sosiologi Terhadap hukum, Bina Aksara, 1993

Steven Vago, Law and Society, Pearson Prentice Hall, United States of America, 2009

Sudikno Mertokusumo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993

____________, Teori Hukum, Universitas Atma Jaya Press, Yogyakarta, 2011

Winarno Yudho, Kumpulan Tulisan Sosiologi Hukum, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Tanpa Tahun

  1. Friedman, Legal Theory, Steven & Sons Limited, 3rd Edition, 1953.

[1] Lawrence M. Friedman, The Legal System, A Social Science Perspective, New York, Russel Sage Foundation, 1974, Hal. 6 – 9

[2] Adam Podgorecki dan Christopher J Whelan, Pendekatan Sosiologi Terhadap Hukum, PT. Bina Aksara, Jakarta, 1987, Hal. 259

[3] Sudikno Mertokusumo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, Hal. 1

[4] Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali), Refika Aditama, Bandung, 2005, Hal. 61

[5] W. Friedman, Legal Theory, Steven & Sons Limited, 3rd Edition, 1953. Hal. 211

[6] Gerald J. Postema, Bentham and the Common Law Tradition, Clarendon Press, Oxford, 1986, Hal. 37

[7] Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004. Hal. 64

[8] W. Friedman, Op Cit, Hal. 191

[9] Abdul Manan, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, Hal. 19

[10] Lili Rasjidi dan IB Wayan Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung, Cet. !!, 2003, Hal. 124

[11] Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya bakti, Bandung, 2000, Hal. 208 Baca juga W. Friedman, Op Cit, Hal. 292

[12] Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Hukum dalam rangka Pembangunan Nasional, Binacipta, Bandung, 1975, Hal. 3-13

[13] Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum nasional, Binacipta, Bandung, 1976, Hal. 1

[14] Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2006, Hal. 9

[15] Dudu Duswara Mahyudin, Pengantar Ilmu Hukum (Sebuah Sketsa), Refika Aditama, Bandung, 2000, Hal. 26

[16] Soerjono Soekanto et. al, Pendekatan Sosiologi Terhadap hukum, Bina Aksara, 1993, Hal. 17

[17] Nur Amin, Agama Perspektif Sosiologi, Rajawali Grafindo, Jakarta, 2002, Hal. 58

[18] Steven Vago, Law and Society, Pearson Prentice Hall, United States of America, 2009, Hal. 341

[19] Dragan Milovanivic, A Primer in The Sociology of Law Second Edition, Harrow and Heston Publisher, Albany, 1994, Hal 24

[20] Mathieu Deflem, Sociology of Law, Cabridge University Press, New York, 2008, Hal. 56

[21] Dragan Milovanivic, opcit, Hal. 37

[22] Mathieu Deflem, opcit, Hal. 37

[23] HLA. Hart, The Consept Of Law, Clarendon Press-Oxford, New York, 1997, Hal. 287

[24] JJH. Bruggink (Alih bahasa Arief Sidharta), Reffleksi Tentang Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, Hal. 223

[25] Paul Scholten (Alih bahasa Arief Sidharta), Struktur Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2005, Hal 124

                [26] Otje Salman dan F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005, Hal. 46

                [27] Lily Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, Hal. 56

                [28] Lily Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung 2003, Hal. 119-120

                [29] Hans Kelsen, Pure Theory Of Law, Berkely: Unibersity California Press 1978, Hal. 1

                [30] Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, Terjemahan Somardi, Bee Media Indonesia, Jakarta, 2007, Hal. 202-203

                [31] Hans Kelsen, Op Cit, Hal. 165-169

                [32] Lily Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Op Cit, Hal. 121

                [33] J.J.H. Bruggink, Rechts Refflectie, Grondbegrippen Uit De Rechtstheory, Alih Bahasa B. Arief Sidharta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, Hal. 163

                [34] Lily Rasjidi, Op Cit, Hal. 66

                [35] Lily Rasjidi,, Ibid, Hal. 66

                [36] Paul Scholten, De Struktuur Der Rechtswetenschap, Alih Bahasa B. Arief Sidharta, P.T Alumni, Bandung, 2005, Hal. 6

                [37] Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, Hal. 3

[38] Steven Vago, Law and Society, Pearson Prentice Hall, United States of America, 2009, Hal. 19-21. Lihat juga Winarno Yudho, Kumpulan Tulisan Sosiologi Hukum, Program Pascasarjana Universitas Indonesia, Tanpa Tahun, Hal. 12-14

[39] Steven Vago, Ibid, Hal. 203. Baca Juga Winarno Yudho, Ibid, Hal. 167

[40] Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, Alumni, Bandung, 1979, Hal. 123

[41] Munir Fuady, Dinaika Teori Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2007, Hal. 102-103

[42] Pilkada yang dilaksanakan di daerah juga banyak yang mengakibatkan konflik sosial. hal ini dipengruhi oleh adanya masyarakat yang belum siap dengan pelaksanaan demokrasi.

[43] Index kemiskinan yang dikumpulkan oleh Indonesian International Independency of Economic Association

[44] Juanda, Hukum Pemerintah Daerah, Alumni, Bandung, 2007. Hal 67

[45] Munir Fuadi, Opcit, hal. 58

[46] Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Hukum Indonesia, Liberty, 1999, Hal. 38

[47] Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Universitas Atma Jaya Press, Yogyakarta, 2011, Hal 23

Continue Reading