KEDUDUKAN KORPORASI
DALAM PENYELENGGARAAN NEGARA
DAN PEMERINTAHAN
DI INDONESIA
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Hak Korporasi[1] dalam rangka turut serta dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan tidak diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan. Hanya saja dalam tataran praktek korporasi sebagai bagian dari subjek hukum seringkali turut andil dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan. Hal itu dapat terlihat dari aspek kebijakan-kebijakan Pemerintah yang memberikan ruang yang cukup luas dan menguntungkan bagi kalangan korporasi yang sangat dekat dengan Pemerintahan. Kebijakan-kebijakan Pemerintahan banyak dipengaruhi oleh kalangan korporasi,[2] hal itu lebih disebabkan oleh adanya sumbangan yang bersifat tidak mengikat kepada oknum Pejabat Publik pada saat sebelum atau akan proses rekrutment serta pemilihan dalam jabatan Pemerintahan, sehingga pada saat terpilih sebagai pejabat yang memegang kendali tugas, wewenang serta kebijakan-kebijakan yang strategis, maka dengan sendirinya dapat dikendalikan oleh kalangan swasta atau korporasi.
Dewasa ini korporasi memiliki peranan yang sangat penting terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara.[3] Bahkan, dalam beberapa aspek peranan korporasi melebihi peran dan pengaruh suatu negara. Dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara korporasi seringkali melakukan tindakan-tindakan yang mengarah pada pelanggaran hukum bahkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.[4] Dalam kondisi yang demikian korporasi berusaha semaksimal mungkin untuk dapat mempertahankan eksistensinya guna mengembangkan bisnis dan jaringannya, yang tujuannya akhirnya akan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya yang merupakan tujuan pokok setiap korporasi.
Dengan terjadinya persaingan di era globalisasi yang semakin pesat, peran korporasi semakin tidak terelakkan lagi, sehingga jangkauan korporasi tidak hanya masyarakat sebagai objek dari pencari keuntungan dari korporasi, akan tetapi juga sudah menjalar kepada tingkatan Negara dan pemerintahan untuk dapat menguasai pasar serta kebijakan-kebijakan strategis yang menguntungkan pribadi dan golongan.[5] Kondisi yang demikian tentu akan berdampak negative bagi perkembangan bernegara. Mengingat indepedensi terhadap produk-produk kebijakan yang dihasilkan cenderung akan memihak sehingga tidak berdasarkan pada tujuan yang benar, melainkan tujuannya untuk menguntungkan segelintir oknum yang merupakan bagian dari korporasi.
Keberadaan suatu korporasi sebagai badan hukum tidak lahir begitu saja. Artinya korporasi sebagai suatu badan hukum bukan ada dengan sendirinya, akan tetapi harus ada yang mendirikan, yaitu pendiri atau pendiri-pendirinya yang diakui menurut hukum perdata memiliki kewenangan secara hukum untuk dapat mendirikan korporasi. Menurut hukum perdata, yang diakui memiliki kewenangan hukum untuk dapat mendirikan korporasi adalah orang (manusia) atau natural person dan badan hukum atau legal person.[6] Seperti halnya dalam hal matinya suatu korporasi. Suatu korporasi hanya dapat dinyatakan mati apabila dinyatakan mati oleh hukum perdata, yaitu tidak ada lagi keberadaan atau eksistensinya (berakhir) sehingga karena tidak ada lagi, maka dengan demikian korporasi tersebut tidak dapat lagi melakukan perbuatan hukum atau dalam istilah hukumnya dikatakan bahwa korporasi tersebut mati atau bubar.[7] Namun demikian lahir, bubar atau bahkan berkembangnya korporasi juga erat kaitannya dengan intervensi negara dan Pemerintahan, mengingat segala sesuatu yang berkaitan dengan Korporasi segala bentuk perijinannya juga erat hubungannya dengan Pemerintah.[8]
Dalam hukum pidana Indonesia memberikan pengertian korporasi dalam arti luas. Korporasi menurut hukum pidana indonesia tidak sama dengan pengertian korporasi dalam hukum perdata. Pengertian korporasi menurut hukum pidana lebih luas daripada pengertian menurut hukum perdata. Menurut hukum perdata, subjek hukum, yaitu yang dapat atau yang berwenang melakukan perbuatan hukum dalam bidang hukum perdata, misalnya membuat perjanjian, terdiri atas dua jenis, yaitu orang perseorangan (manusia atau natural person) dan badan hukum (legal person).[9]
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, yang dimaksud dengan pengertian korporasi menurut hukum perdata ialah badan hukum (legal person). Namun dalam hukum pidana pengertian korporasi tidak hanya mencakup badan hukum, seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi, atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi, menurut hukum pidana, firma, perseroan komanditer atau CV, dan persekutuan atau maatschap juga termasuk korporasi. Selain itu yang juga dimaksud sebagai korporasi menurut hukum pidana adalah sekumpulan orang yang terorganisasi dan memiliki pimpinan dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum, seperti melakukan perjanjian dalam rangka kegiatan usaha atau kegiatan sosial yang dilakukan oleh pengurusnya untuk dan atas nama kumpulan orang tersebut.[10] Bagaimana pengertian korporasi dari aspek hukum administrasi negara, hal ini yang menjadi cukup menarik untuk dianalisis dan dijadikan bahan kajian bersama, mengingat pertanyaan yang mendasar bagaimanakah posisi dan kedudukan korporasi dalam penyelenggaraan pemerintahan seperti yang telah diurai diatas.
Untuk mengamankan kebijaksanaan ekonominya, pemerintah antara lain melakukannya dengan memperluas peraturan yang mengatur kegiatan bisnis, baik melalui peraturan baru maupun penegkan yang lebih keras terhadap peraturan-peraturan yang ada. Dalam menghadapi keadaan yang demikian, korporasi dapat
melakukannya dengan cara melanggar peraturan yang ada, seperti pelanggaran terhadap peraturan perpajakan, memberikan dana-dana kampanye yang ilegal kepada para politisi dengan imbalan janji-janji untuk mencaut peraturan yang ada atau memberikan proyek-proyek tertentu, mengekspor perbuatan ilegal ke negara lain.[11] Fakta-fakta tersebut sudah tidak dapat terelakkan, sesuai dengan tujuan korporasi yakni sebagai organisasi bisnis dan aktivitas komersial untuk memperoleh profit dengan menjalankan suatu aktivitas yang menghasilkan barang atau jasa. Sehingga tujuan hukum tidak tercapai sebagaimana tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.[12]
Berdasarkan uraian diatas, maka kedudukan, peran dan fungsi korporasi dalam turut andil penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan sangat signifikan, meskipun secara normatif tidak disebutkan mengenai hak-hak korporasi dalam upaya ikut serta dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan. Hal demikian memunculkan banyak pertanyaan mengenai kedudukan Korporasi dalam Pemerintahan, apakah memang terdapat hubungan kedudukan antara korporasi dengan penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan, ataukah tidak terdapat hubungan antara penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan dengan korporasi. Untuk itulah penulis sangat tertarik untuk menelaah dan meneliti mengenai kedudukan korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka masalah yang akan dirumuskan berkaitan dengan kedudukan korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan diantaranya sebagai berikut :
- Apakah subjek hukum korporasi dapat ikut serta dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan ?
- Mengapa korporasi di Indonesia dapat secara leluasa ikut serta dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan ?
- Bagaimana kedudukan korporasi dalam rangka ikut serta dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan ?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang diuraikan pada bab sebelumnya mengenai kedudukan korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan maka tujuan penelitian diantaranya sebagai berikut :
- Menjelaskan apakah subjek hukum korporasi dapat ikut serta dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan
- Mengetahui mengapa korporasi di Indonesia dapat secara leluasa ikut serta dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan
- Memahami kedudukan korporasi dalam rangka ikut serta dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diperoleh dalam pembahasan mengenai kedudukan korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan diantaranya adalah :
- Secara teoritis dapat menambah dan memperdalam keilmuan dalam bidang Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara serta Hukum Bisnis yang berkaitan dengan kedudukan korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan.
- Manfaat praktis adalah untuk membangun kesadaran dan pemahaman kepada publik akan kedudukan korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan
1.5. Kerangka Teoritis
1.5.1. Teori Subjek Hukum
Subyek Hukum adalah segala sesuatu yang pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum.[13] Subjek hukum juga merupakan sesuatu yang menurut hukum berhak/berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap untuk bertindak dalam hukum. Selain itu subjek hukum adalah sesuatu pendukung hak yang menurut hukum berwenang/berkuasa bertindak menjadi pendukung hak. Ada juga yang berpendapat segala sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajian.
Menurut teori tradisional, subjek hukum adalah orang yang merupakan subjek dari suatu kewajiban hukum atau suatu hak. Teori tradisional mengidentikkan konsep “subjek hukum” dengan konsep “person”. Definisi Person menurut teori tradisional adalah manusia sebagai subjek dari hak dan kewajiban. Konsep pemegang hak dan kewajiban memainkan peran sangat penting dalam teori tradisional yang membahas tentang konsep “legal person”. Jika pemegang hak dan kewajiban adalah manusia, berarti yang dibicarakan oleh teori tradisional adalah “orang secara fisik” (physical person), jika pemegang hak dan kewajiban itu merupakan entitas lain, berarti yang dibicarakan teori tradisional adalah “badan hukum” (juristic person).[14] Yang termasuk dalam subyek hukum yaitu :
- Manusia atau Orang (naturlijke person)
- Badan Hukum (vichtperson) adalah suatu badan yang terdiri dari kumpulan orang yang diberi status “persoon” oleh hukum sehingga mempunyai hak dan kewajiban. Badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia. Seperti melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas dari para anggotanya dan sebagainya. Perbedaan badan hukum dengan manusia sebagai pembawa hak adalah badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat diberi hukuman penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan dapat dibubarkan.
- Subjek Hukum Manusia
Adalah setiap orang yang mempunyai kedudukan yang sama selaku pendukung hak dan kewajiban. Pada prinsipnya orang sebagai subjek hukum dimulai sejak lahir hingga meninggal dunia. Ada juga golongan manusia yang tidak dapat menjadi subjek hukum, karena tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum yaitu, Anak yang masih dibawah umur, belum dewasa, dan belum menikah serta orang yang berada dalam pengampunan yaitu orang yang sakit ingatan, pemabuk, pemboros.
Secara yuridisnya ada 2 alasan yang menyebutkan manusia sebagai subjek hukum yaitu manusia mempunyai hak-hak subyektif dan Kewenangan hukum. Syarat-syarat cakap hukum yakni seseorang yang sudah dewasa berumur 21 tahun (Undang Perkawinan No.1/1974 dan KUHPerdata)[15], Seseorang yang berusia dibawah 21 tahun tetapi pernah menikah, Sesorang yang sedang tidak menjalani hokum dan berjiwa sehat dan berakal sehat. Syarat-syarat tidak cakap hukum adalah seseorang yang belum dewasa, sakit ingatan, kurang cerdas, orang yang ditaruh dibawah pengampuan dan seseorang wanita yang bersuami (Pasal 1330 KUH Perdata).[16]
- Subjek Hukum Badan Hukum
Badan Hukum adalah badan/kumpulan manusia yang oleh hukum diberi status sebagai orang yang memiliki hak dan kewajiban. Badan hukum ialah suatu badan usaha yang berdasarkan hukum yang berlaku serta berdasarkan pada kenyataan persyaratan yang telah dipenuhinya telah diakui sebagai badan hukum, yakni badan usaha yang telah dianggap atau digolongkan berkedudukan sebagai subjek hukum sehingga mempunyai kedudukan yang sama dengan orang, meskipun dalam menggunakan hak dan melaksanakan kewajibannya harus dilakukan atau diwakilkan melalui para pengurusnya. Contoh-contoh badan hukum: PT (Perseroan Terbatas), Yayasan, PN (Perusahaan Negara), Perjan (Perusahaan Jawatan), dan sebagainya.
Badan hukum mempunyai syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum yakni memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggotanya dan Hak dan kewajiban badan hukum terpisah dari hak dan kewajiban para anggotanya. Badan hukum dibedakan dalam 2 bentuk, yaitu :[17]
– Badan Hukum Publik
– Badan Hukum Privat
Ada bebrapa teori tentang hakikat badan hokum, yaitu:[18]
- Teori fiksi dari Freidrich Carl Von Savigny
Hanya manusia lah yang menjadi subjek hokum, sedangkan badan hokum dikatakan sebagai subjek hokum hanyalah fiksi, yaitu sesuatu yang sebenarnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya dalam bayangannya. Badan hokum itu ciptaan Negara/pemerintah yang wujudnya tidak nyata, untuk menerangkan sesuatu hal.
- Teori organ dari otto von gierke
Badan hokum adalah organ seperti halnya manusia yang menjelma dalam pergaulan hokum yang dapat meyatakan kehendak melalui alat-alat yang ada padanya (pengurus, anggota) seperti halnya manusia. Badan hokum itu nyata adanya.
- Teori harta kekyaan bertujuan dari brinz
Badan hokum merupakan kekayaan yang bukan kekayaan perorangan, tapi serikat tujuan tertentu. Badan hokum itu mempunyai pengurus yang berhak dan berkehendak.
- Teori kekayaan bersama dari molengraaft
Apa yang merupakan hak dan kewajiban badan hokum pada hakekatnya merupakan hak dan kewajiban para anggota bersam-sama. Kekayaan badan hokum juga merupakan kekayaan bersama seluruh anggotanya.
- Teori kenyataan yuridis dari paul scholter
Badan hokum itu merupakan kenyataan yuridis. Badan hokum sama dengan manusia hanya sebatas pada bidang hokum saja
1.5.2. Teori Kewenangan dan Kekuasaan
Diskusi permasalahan hukum tentunya akan berkaitan erat dengan masalah kekuasaan dan wewenang. Hubungan hukum dengan kekuasaan dapat di rumuskan dengan slogan ”hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”.[19] Dalam artian bahwa dalam penerapan hukum, maka di perlukan kekuasaan sebagai pendukung, salah satu sebabnya adalah di karenakan hukum bersifat memaksa, karena tanpa adanya paksaan, maka pelaksanaan hukum akan mengalami hambatan. Namun semakin tertib masyarakatnya, maka semakin berkurang kekuasaan sebagai pendukungnya.
Karena begitu eratnya kaitan antara hukum dan kekuasaan, maka seakan tidak dapat memisahkan antara keduanya. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa hukum sendiri sebenarnya adalah kekuasaan.[20] Hukum merupakan salah satu sumber dari kekuasaan, namun juga merupakan pembatas bagi kekuasaan. Oleh karena itu tidak dapat dibenarkan apabila kekuasaan di gunakan sebagai alat untuk bertindak sewenang-wenang. Karena dalam tataran praktis dilapangan orang akan cenderung ingin memiliki kekuasaan yang melebihi dari apa yang telah di gariskan. Padahal hukum memang membutuhkan kekuasaan, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan kekuasaan itu untuk menunggangi hukum.[21]
Miriam Budiardjo memberikan arti kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah-laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.[22] Kekuasaan ini yang kemudian oleh sebagian besar di cari atau bahkan menjadi rebutan dalam setiap kehidupan masyarakat modern seperti sekarang ini. Hal itu di pengaruhi oleh adanya hasrat dan keinginan manusia yang bermacam-macam sehingga dirasa perlu untuk memaksakan kemauan dirinya atas orang lain.
Hal yang sama juga di katakan Mac Iver yang merumuskan kekuasaan sebagai berikut :
The capacity to control the behavior of other either directly by fiat or indirectly by the manipulation of available means, yang artinya kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan memberi perintah, maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia. [23]
Lebih lanjut Miriam Budiardjo bahwa kekuasaan dalam masyarakat selalu berbentuk piramida yang bersumber pada kekerasan fisik, kedudukan dan kepercayaan.[24] Agar kekuasaan dapat di jalankan maka di butuhkan penguasa atau organ sehingga negara itu di konsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu berdasarkan subjek-kewajiban.[25] Dengan demikian, lahirlah teori yang menyatakan bahwa negara merupakan subjek hukum buatan atau tidak asli atau yang di sebut teori organ atau organis.[26]
Asal atau sumber kekuasaan dalam suatu negara secara umum dapat di golongkan menjadi 2 (dua) bagian. Pertama, erat kaitannya dengan teori teokrasi, yang mana menyatakan bahwa asal mula kekuasaan berasal dari Tuhan. Teori ini berkembang pada zaman abad pertengahan yakni abad ke V sampai abad ke XV.[27] Sedang Kedua berhubungan dengan teori hukum alam yang secara umum memberikan pemahaman bahwa kekuasaan berasal dari rakyat. Kekuasaan dari rakyat tersebut yang kemudian di serahkan kepada seseorang (raja) untuk menyelenggarakan kebutuhan masyarakat.
Bila di hadapkan pada persoalan kekuasaan, maka orang berpendapat bahwa kekuasaan itu sering diartikan hanya dalam bidang politik saja.[28] Padahal kekuasaan dapat beraspek dua keilmuan, yakni berkaitan dengan hukum dan politik. Dalam hukum tata negara, wewenang (bevoegdheid) di deskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht), dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.[29] Kekuasaan mempunyai makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh legislatif, ekskutif dan yudikatif adalah kekuasaan formal.
Kekuasaan dapat berasal dari dua bagian, pertama berasal dari peraturan perundang-undangan dan yang kedua berasal dari bukan peraturan perundang-undangan atau karena jabatan yang dimilikinya. Sedangkan kewenangan hanya berasal dari peraturan perundang-undangan yang sah dan diakui oleh suatu negara.
Berdasarkan uraian diatas, maka kekuasaan memiliki dua aspek, yakni aspek politik dan aspek hukum. Sedangkan kewenangan hanya beraspek hukum saja. Dapat diartikan bahwa kekuasaan bersumber pada peraturan perundang-undangan dan di luar peraturan perundang-undangan, sedangkan kewenangan harus harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kewenangan merupakan kekuasaan yang sah, yang bersumber pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kekuasaan belum tentu kewenangan, akan tetapi kewenangan sudah tentu merupakan kekuasaan.
Kewenangan dan wewenang tentunya memiliki perbedaan yang mendasar. Dalam bahasa Belanda wewenang di sebut juga ”bevoegheid”. Menurut Philipus M. Hadjon, ada perbedaan antara kewenangan dengan wewenang, perbedaannya terletak pada karakter hukumnya. Istilah ”bevoegheid” digunakan baik dalam konsep hukum publik maupun dalam konsep hukum hukum privat. Dalam hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya di gunakan dalam konsep hukum publik.[30]
Dalam konsep hukum tata negara, “bevoegheid” (wewenang) di deskripsikan sebagai “rechtmacht” (kekuasaan hukum). Jadi dalam hukum publik wewenang berkaitan dengan kekuasaan.[31] Sedangkan dalam konsep hukum administrasi Belanda, soal wewenang selalu menjadi bagian penting dan bagian awal dari hukum administrasi karena objek hukum administrasi adalah “bestuursbevoegdheid” (wewenang pemerintahan).[32]
Jadi perbedaan antara kewenangan dan wewenang adalah pertama kali harus membedakan antara (authority, gezag) dan wewenang (competence, bevoegdheid). Gezag adalah ciptaan orang-orang yang sebenarnya paling berkuasa.[33] Kewenangan yang disebut juga “kekuasaan formal” yang berasal kekuasaan yang di berikan oleh Undang-Undang atau legislatif dari kekuasaan ekskutif atau administratif yang bersifat utuh atau bulat. Sedangkan wewenang hanya mengenai suatu bagian tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheben).[34] Wewenang juga merupakan dalam ruang lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintahan (besluit), akan tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas serta distribusi wewenang utamanya di tetapkan dalam Undang-Undang Dasar.
Sedangkan kewenangan dapat diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi maupun mandat.[35] Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan, sedang delegasi adalah pemindahan/pengalihan suatu kewenangan yang ada.[36] Secara sederhana dapat diartikan atribusi merupakan kewenangan yang asli atas dasar konstitusi (Undang-Undang Dasar), sedang kewenangan delegasi pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain dan mandat pemberian wewenang untuk bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat.
Ada perbedaan khusus antara delegasi dan mandat. Delegasi merupakan pemberian, pelimpahan atau pengalihan kewenangan oleh suatu organ pemerintahan kepada pihak lainuntuk menganmbil keputusan atas tanggung jawab sendiri, sedangkan mandat bertanggung jawab atas nama atau tanggung jawabnya sendiri mengmbil kepuusan.[37] Akan tetapi sebenarnya dalam teori pendelegasian, apabila suatu kewenangan sudah di delegasikan, maka tidak dapat lagi di tarik kembali oleh lembaga pemberi delegasi.
1.6. Metode Penelitian
Fokus penelitian[38] pada penelitian ini adalah akan mengkaji mengenai Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia. Sedangkan Metode yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah metode penulisan hukum normatif[39], yaitu cara penulisan yang didasarkan pada analisis terhadap beberapa asas hukum dan teori hukum serta peraturan perundang-undangan yang sesuai dan berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Penelitian hukum normatif ini adalah suatu prosedur dan cara penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari segi normatifnya.[40]
Sedangkan pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah terdiri dari 3 (tiga) pendekatan yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual[41](conceptual approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach).[42] Pendekatan perundang-undangan (statute approach) di gunakan untuk meneliti dan mengkritisi[43] peraturan perundang-undangan yang dalam penormaannya masih terdapat kekurangan dalam hal Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia. Pendekatan konseptual (conceptual approach) dipakai untuk memahami konsep-konsep dan teori[44] yang berkaitan dengan Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia, serta pendekatan perbandingan (comparative approach) di pakai untuk meneliti perbandingan Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia dengan Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di beberapa negara di dunia.
Bahan hukum merupakan bahan dasar yang akan dijadikan acuan atau pijakan dalam penulisan penelitian ini. Adapun yang menjadi bahan hukum dalam penulisan penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) bagian, yakni bahan hukum primer, skunder dan tersier. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.[45] Bahan-bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.
Bahan hukum skunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.[46] Adapun bahan hukum skunder yang digunakan untuk memberikan penjelasan mengenai materi yang terdapat dalam bahan hukum primer berasal dari beberapa literatur, buku tesk, jurnal hukum, karangan ilmiah dan buku-buku lain yang berkaitan langsung dengan tema penulisan penelitian ini.Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder.[47] Bahan hukum ini sebagai alat bantu dalam penulisan penelitian ini. Adapun bahan hukum tersier ini dapat berupa kamus-kamus hukum yang berkaitan langsung dengan penelitian ini.
Dalam penelitian ini di gunakan metode analisis deduksi,[48] yaitu metode analisa dengan melakukan analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan (rumusan masalah) yang terdapat dalam penelitian ini untuk kemudian di korelasikan dengan beberapa asas dan teori yang menjadi landasan atau pisau analisa dalam penulisan penelitian ini sebagai langkah untuk menemukan konklusi, jalan keluar maupun konsepsi ideal tentang hal-hal yang menjadi pembahasan.
1.7. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini di susun dengan sistematika yang terbagi dalam 4 (empat) Bab. Masing-masing Bab terdiri dari atas beberapa subbab guna lebih memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing Bab serta pokok bahasannya adalah sebagai berikut :
BAB 1 : PENDAHULUAN
Bab ini berisi uraian latar belakang permasalahan munculnya Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia. Selanjutnya di tetapkan rumusan masalahyang menentukan arah penelitian dan ruang lingkup pembahasan, sehingga akan secara komprehensif memberikan gambaran pembahasan yang menjadi titik tekan pembahasan. Dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penulisan yang memberikan gambaran mengenai tujuan dan manfaat dari penulisan sesuai tema yang diambil, dan yang terakhir di jelaskan tentang metode penelitian, dalam metode penelitian diuraikan tipe penelitian bagaimana sebuah pendekatan masalah dilakukan sekaligus sumber bahan hukum, prosedur pengumpulan bahan hukum dan dasar analisis yang dipakai guna mendukung pembahasan. Dalam bab ini diakhiri dengan pertanggung jawaban sistematika, yakni gambaran dari masing-masing bab atau pembahasan.
BAB 2: LANDASAN TEORITIK KEDUDUKAN KORPORASI
DALAM PENYELENGGARAAN NEGARA
DAN PEMERINTAHAN
Pada Bab II ini akan di uraikan tentang landasan teori Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia, beserta pertimbangan-pertimbangan yang dugunakan dalam membahas Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia. Disitu akan disebutkan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia. Pada sub bab berikutnya akan disinggung mengenai teori yang berkaitan dengan pembahasan, seperti teori subjek hukum, teori korporasi, teori kewenangan dan kekuasaan. Hal itu diperlukan untuk memberikan gambaran atau sebagai pisau analisa dalam pembahasan berikutnya. Sehingga pedoman berfikir dalam pembahasan akan berpedoman pada teori-teori yang ada pada bab ini.
BAB 3: POLA KEIKUTSERTAAN KORPORASI DALAM
PENYELENYELENGGARAAN NEGARA
DAN PEMERINTAHAN
Dalam bab 3 ini akan diurai mengenai pola dan jenis-jenis keikutsertaan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara. Dalam bab ini juga akan dikaji mengenai berbagai macam pola dan jenis-jenis keikutsertaan korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan yang ada di berbagai negara yang ada di dunia. Dalam bab ini juga akan dibandingkan dengan beberapa negara yang dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahannya mengikutsertakan Korporasi untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Dengan demikian akan terjadi perbandingan Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia dengan berbagai negara yang ada di dunia, sehingga mampu memberikan gambaran mengenai Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia dan yang ada di berbagai negara di dunia.
BAB IV : KEDUDUKAN KORPORASI DALAM
PENYELENGGARAAN NEGARA
DAN PEMERINTAHAN DI INDONESIA
Dalam Bab ini pembahasan akan di fokuskan pada jawaban atas perumusan masalah mengenai Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia. Pada bab ini akan kedudukan korporasi sebagai apa dan sebaliknya negara perannya sebagai apa. Melalui pembahasan ini akan mengetahui akar pokok persoalan mengenai Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia. Sehingga dapat memberikan jawaban yang cukup mendasarkan pada fakta filosofis, yuridis dan sosiologis.
BAB V : PENUTUP
Pada Bab ini akan di bagi menjadi dua bagian. Pertama, berisi kesimpulan yang merupakan jawaban dari pertanyaan pada rumusan masalah pada Bab I, jawaban akan di tulis berdasarkan rangkuman analisa pada Bab III dan Bab IV dalam penelitian ini. Sedangkan yang kedua, saran yang berisi gagasan dan ide-ide konstruktif yang dapat di jadikan masukan tentunya untuk mengatasi permaslahan-permasalahan yang berkaitan dengan pembahasan.
[1] Hak-hak korporasi dalam hukum tidak banyak disebutkan secara gamblang, meskipun dalam kenyataannya sebagai subjek hukum korporasi memiliki hak-hak yang secara nyata dapat dilihat secara kasat mata. Mengenai hak-hak korporasi baca T. Mulya Lubis, ed. Peranan Hukum dalam Perekonomian di Negara Berkembang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986. Hal. 72
[2] Hal itu yang menyebabkan adanya ketimpangan pelayanan publik yang diberikan pemerintah, dikarenakan kurang mampu memberikan pertimbangan rasional dalam upaya pengabdian kepada masyarakat. W. Riawan Tjandra. dkk, Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Pelayanan Publik, Pembaruan, Yogyakarta, 2007, Hal 15
[3] Pertumbuhan ekonomi berbanding lurus dengan perkembangan hukum, hukum harus mempu mengimbangi perkembangan teknologi informasi. Baca Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi dan Hukum internasional. Jakarta: Lentera Hati, 2002. Hal. 25
[4] Berkaitan dengan terminologi pengertian Hak Asasi Manusia secara gamblang dijelaskan melalui buku : Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat Studi HTNFHUI, Jakarta, 2008, Hal 51-53
[5] Untuk mengetahui bahaya yang diakibatkan oleh adanya intervensi swasta terhadap Negara, baca Gunarto Suhardi, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2002. Hal. 26
[6] R. Shyam Khemani project director, “A framework for the design and implementation of competition law and policy,” World Bank, OECD, 1998. hal.2.
[7] Rudhi Prasetya, Perseroan Terbatas teori dan praktek, Graha Ilmu, Jakarta, 2009, Hal 37
[8] Hubungan-hubungan antara korporasi dengan Pemerintah terdapat dalam buku Andi Ayyub Saleh, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law in Action” Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone, Jakarta, 2006. Hal. 23
[9] Erman Rajagukguk, “Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial,” Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003.
[10] Achmad Ali, “Keterpurukan Hukum di Indonesia: Penyebab dan Solusinya,” Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2002. hal. 7-8.
[11] Hikmahanto Juwana, “Politik Hukum UU bidang Ekonomi di Indonesia.” bahan kuliah ke-2 Aspek Hukum dalam Kebijakan Ekonomi Angkatan XV PD Program Magister Perencanaan Kebijakan Publik-FEUI. Hal.7.
[12] Liberalisme, Kapitalisme memunculkan banyak pelanggaran hukum, yang pada akhirnya memunculkan beberapa kerugian bagi keberlangungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Baca Satjipto Rahardjo, “Liberalisme, Kapitalisme, dan Hukum Indonesia,” dalam buku “Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia,” Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003. hal.21.
[13] Pengertian secara umum berpedoman menurut pengertian ini. Untuk beberapa pengertian subjek hukum lainnya baca Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2005. Hal 41
[14] Hans Kelsen membagi pengertian badan hukum menurut keberlakuannya, apakah pada saat zaman modern atau pada saat masa lampau. Kelsen Hans, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Nusa Media, Bandung, 2010. Hal. 61
[15] Untuk mengetahui lebih dalam mengenai hal ini, dijelaskan didalam bukum R. Soebekti, Hukum Perdata, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1992. Hal. 58
[16] Hal ini masih timbul berdebatan, mengingat seiring perkembangan zaman wanita juga bagian dar subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum secara pribadi. Baca Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum dalam Ekonomi, PT. Grasindo, Jakarta, 2005. Hal. 62
[17] M. Arief Amrullah, Kejahatan Korporasi, Bayu Media, Malang. 2006, Hal 86
[18] Untuk dapat menelaah teori-teori menganai hakikat badan hukum, dapat mebaca E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan Kesebelas, Penerbit Buku ichtiar Baru, Jakarta, 1989, Hal. 185. Bandingkan dengan Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1999, Hal. 46
[19] Adegium hukum ini yang selalu dijadikan argumentasi dalam setiap kita mempelajari ilmu hukum, untuk itu istilah ini menjadi populer di kalangan mahasiswa, dosen dan setiap orang yang secara langsung maupun tidak langsung mempelajari ilmu hukum. Baca Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional (Bandung: Alumni, 1994), Hal. 75
[20] Hukum merupakan bagian dari kekuasaan, dan kekuasaan adalah hukum. Baca Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Pradnya Paramita, Jakarta, 1976), hal. 68.
[21] Karakteristik hukum membutuhkan kekuasaan yakni untuk memberikan kepastian hukum. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000), hal. 146.
[22] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002), hal.35.
[23] Mac Iver, The Web of Government, dalam Moh.Kusnardi dan Bintan Siragih, Ilmu Negara, (Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000), hal 116.
[25] Rudasi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, (Makalah Pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta), hal. 37-38.
[26] F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Dwiwantara, Bandung), 1964, hal. 127-129
[27] Soetomo, Ilmu Negara, (Usaha Nasional, Surabaya, 1993), hal. 51-69
[28] Moh. Kusnardi dan Bintan Siragih, Ilmu Negara, (Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000), hal. 116.
[29] Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, (Makalah Univ. Airlangga, Tanpa Tahun), hal. 1
[33] Kranenburg dan Tk. B. Sabaroedin, Ilmu Negara Umum, (PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1986), Hal. 20
[34] Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006), hal. 211.
[35] Mustamin DG. Matutu.dkk, Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di Indonesia, (UII Press, Yogyakarta, 2004), hal. 109-159.
[36] Philipus M. Hadjon. dkk, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Gajah Mada University Press, 2002), hal. 130.
[37]Jimly Ashiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta, Konstitusi Press, 2006), hal. 378.
[38] Fokus penelitian merupakan bagian yang sangat penting dalam upaya penulisan karya tulis ilmiah, mengingat fokus penelitian erat kaitannya dengan tujuan yang ingin dicapai dari suatu karya tulis. Untuk memahami mengenai ini, baca John W. Creswell, Reserch Design, Qualitative & Quantitative Approaches, (SAGE Publications, International Educational and Professional Peblisher, Thousand Oaks, London New Delhi, 1994) Hal. 2. Bandingkan S. Nasution, Metode Research (Penelitian Ilmiah) usulan Penelitian, Desain Penelitian, Hipopenelitian, Validitas, Sampling, Populasi, Observasi, Wawancara, Angket, (PT. Bumi Aksara, Jakarta, Cetakan ke-4, 2011), Hal. 16
[39] Penelitian hukum normatif ini merupakan kegiatan sehari-hari seorang sarjana hukum, bahkan penelitian hukum yang bersifat normatif hanya mampu dilakukan oleh seorang sarjana Hukum, sebagai seorang yang sengaja dididik untuk memahami dan menguasai disiplin Hukum. Sebagaimana pendapat C.F.G Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, (Bandung : Penerbit Alumni, cetakan ke-2, 2006) 139
[40] Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Bayu Media Publishing, Malang, 2006), Hal.57
[41] Unsur pertama dari bahasa keilmuan merupakan konsep. Kegiatan membangun sebuah teori atau model, mirip dengan membangun rumah atau tembok, sebelum membangun seorang pengembang (developer) tentu harus mengetahui struktur tanah, luas lahan, dan alokasi penggunaannya arah dan kekuatan tiupan angin dan lain sebagainya. Untuk itu konsep dapat diartikan sebagai symbol yang digunakan untuk memaknai fenomenon. Baca John J.O.I Ihalalauw, Bangunan Teori, (Salatiga : Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana, Edisi Millenium, 2000), hal20-22
[42] Untuk lebih lebih jelasnya tentang macam-macam pendekatan dalam penelitian hukum normatif bandingkan Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Rajawali Pers, Jakarta, 2001), hal. 14. dengan Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Prenada media, Jakarta, 2006), hal. 93-137 dan Johnny Ibrahim, Op Cit, Hal. 299-321
[43] Dalam studi ini berupaya memberikan masukan kritik dan saran terhadap peraturan prundang-undangan yang kurang tepat dan baik baik dari segi penormaan maupun dalam realitas penyelenggaraannya, untuk itu kemudian dinamakan sebagai teori hukum kritis. Untuk mengetahui hal teori ini silakan baca Roberto M Unger, Law and Modern Society : Toward a Criticism of Social Theory, (The Free Press), hal235. Bandingkan Munir Fuady, Filsafat dan Teori Hukum Postmodern, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, cetakan ke-1, 2005), hal.103
[44] Teori hukum berbeda dengan hukum posotif, teori hukum menjadi landasan dalam pembentukan dan cara pandang terhadap hukum positif. Untuk itu kemudian terdapat hubungan antara kegiatan berfikir, bahasa hukum dan teori hukum. Baca J.J.H. Bruggink, Rechts Reflecties, Grondbegrippen uit de Rechtstheori, (England : Kawuler, 1995) hal. 1-2. Bandingkan H.R. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, (Bandung : Penerbit Refika Aditama, cetakan ke-2, 2005), hal. 45
[45] Peter Mahmud Marzuki, Op Cit, Hal. 141
[48] Metode deduksi adalah metode yang merupakan kesimpulan-kesimpulan umum yang diperoleh berdasarkan proses pemikiran setelah mempelajari peristiwa-peristiwa khusus atau peristiwa-peristiwa yang konkret. Untuk lebih jelasnya baca : Sjachran Basah, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, (PT. Citra Aditya Bakti, Bandung), Hal. 71. Bandingkan Erliana Hasan, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian Ilmu Pemerintahan, (Ghalia Indonesia, Jakarta, Cetakan ke 1, 2011), Hal. 174