MENUJU SISTEM HUKUM NASIONAL PRO PENYANDANG DISABILITAS, PROSPEK DAN TANTANGAN

MENUJU SISTEM HUKUM NASIONAL

PRO PENYANDANG DISABILITAS,

PROSPEK DAN TANTANGAN[1]

  1. PENDAHULUAN

Hak asasi manusia adalah hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia bersifat universal dan langgeng, sehingga harus dilindungi, dihormati, dan dipertahankan. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan marta bat manusia, sehingga perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia terhadap kelompok rentan, khususnya penyandang disabilitas perlu ditingkatkan.

Tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju, dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi, serat memiliki etos kerja yang tinggi dan berdisiplin.

Hak-Hak asasi yang dimuat terbatas jumlahnya dan dirumuskan secara singkat. Hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam UUD 1945 tidak termuat dalam suatu Piagam yang terpisah, tetapi tersebar dalam beberapa Pasal yaitu Pasal 28A sampai Pasal 28J Dr. Hatta[2] mengatakan bahwa walaupun yang dibentuk itu negara kekeluargaan, tetapi masih perlu ditetapkan beberapa hak dari warga negara, jangan sampai timbul negara kekuasaan ( machstaat = negara penindas ).[3] Setiap anggota masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk turut serta dalam pembangunan. Sebagai Warga Negara Indonesia, penyandang cacat mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya.[4] Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan untuk melakukan kegiatan secara layaknya.

Dalam upaya melindungi, menghormati, memajukan, dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas, Pemerintah Republik Indonesia telah membentuk berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan terhadap penyandang disabilitas. Salah satu bentuk komitmen Pemerintah Republik Indonesia dalam melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas adalah dengan menandatangani Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) pada tanggal 30 Maret 2007 di New York. Kemudian, konvensi tersebut telah diratifikasi dengan UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

Dalam Konvensi tersebut, Penyandang Disabilitas yaitu orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak. Oleh karena itu, pengakuan bahwa diskriminasi berdasarkan disabilitas merupakan pelanggaran terhadap martabat dan nilai yang melekat pada setiap orang. Dengan demikian, yang harus dilakukan Negara adalah pemberdayaan penyandang disabilitas, perbaikan lingkungan penunjang termasuk infrastruktur dan mekanisme, serta peningkatan kepedulian dan sensitivitas masyarakat untuk menghilangkan stigma negatif menuju kesetaraan martabat.

  1. TINJAUAN UMUM TENTANG PENYANDANG CACAT

Cacat bukan halangan untuk menghambat seseorang untuk berkarya, demikian stastement yang sering kita dengarkan oleh para penyandang cacat, banyak penyandang cacat yang memiliki kemampuan dan mobilitas kerja yang tinggi, dengan semangat itulah mendorong para penyandang cacat untuk tetap disetarakan tanpa ada diskriminasi, dengan memberikan perhatian yang besar terhadap upaya peningkatkan kesejahteraan sosial bagi penyandang cacat.[5] Departemen Sosial c.q Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial[6] terus berupaya untuk mensosialisasikan para penyandang cacat agar dapat diterima baik diinstansi pemerintah maupun swasta yang lebih mengedepankan kredibilitas dan kemampuan dalam menjalankan pekerjaan tanpa memandang faktor fisik, mengingat jumlah penyandang cacat di Indonesia semakin meningkat, Data Pusdatin Depsos tahun 2008 jumlah penyandang cacat sebanyak 1.554.184 jiwa, faktor ini sangat menjadi perhatian cukup besar dari pemerintah.[7]

Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat (RSPC) telah mengadakan evaluasi pelaksanaan penempatan tenaga kerja yang tujuannya untuk mengetahui hambatan dan tantangan dalam melaksanakan quota 1% untuk meningkatkan komitmen kerjasama dan koordinasi dengan instansi terkait baik dijajaran Pemerintah pusat, daerah maupun Swasta. Menurut Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Dr. Makmur Sunusi, P.hD “ paradigma penanganan masalah kecacatan dan penyandang cacat telah bergeser dari pendekatan berdasarkan belas kasihan (Charity Based Approach), yakni pendekatan yang lebih mengedepankan pemenuhan hak-hak penyandang cacat (Right Based Apporoach), dengan adanya pendekatan ini sudah tentu perlu untuk dikembangkan untuk meningkatkan terobosan-terobosan yang berpihak pada penyandang cacat “.[8]

Sejalan dengan pergeseran paradigma dalam penanganan masalah kecacatan Dirjen mengatakan bahwa Indonesia telah memiliki perangkat hukum yang memadai dalam rangka melindungi hak-hak penyandang cacat seperti Undang-undang No.4 Tahun 2007 tentang penyandang cacat dan Peraturan pemerintah No.43 tahun 1998 tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat, serta rencana Aksi Nasional sebgai tindak lanjut pemerintah Indonesia dalam melaksanakan komitmen Bangsa-bangsa di Kawasan Asia fasifik yang disebut Biwako Millineum Framework.[9]

Penyandang cacat terdiri dari tiga kelompok, yaitu :[10]

  1. Penyandang cacat fisik, meliputi :
  2. Penyandang cacat tubuh ( tuna daksa ).
  3. Penyandang cacat netra ( tunanetra ).
  4. Penyandang cacat tuna wicara/rungu.
  5. Penyandang cacat bekas penderita penyakit kronis (tuna daksa lara kronis).
  6. Penyandang cacat mental, meliputi :
  7. Penyandang cacat mental ( tuna grahita ).
  8. Penyandang cacat eks psikotik ( tuna laras ).
  9. Penyandang cacat fisik dan mental atau cacat ganda.

Jumlah penyandang cacat di seluruh Indonesia tahun 2000 sebanyak 1.548.005, dan pada tahun 2002 jumlah ini meningkat 6,97 % menjadi 1.655.912 jiwa, sedangkan pada tahun 2004 jumlah penyandang cacat meningkat menjadi 6.047.008.[11] Jaminan atas hak dan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan para penyandang cacat telah tercantuk dalam Pasal 5 UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Yang dimaksud dengan aspek kehidupan dan penghidupan penyandang cacat dalam pasal tersebut antara lain meliputi aspek agama, kesehatan, pendidikan, social, ketenagakerjaan, ekonomi, pelayanan umum, hukum, budaya, politik, petahanan keamanan, olah raga, rekreasi dan informasi.

Dalam membicarakan hak asasi, maka timbullah pertanyaan yaitu, apakah hak asasi akan ditempatkan dalam suatu Piagam yang terpisah dari UUD, atau ia dimasukkan dalam Pasal UUD, atau cukup dituangkan dalam Undang-Undang biasa saja ?[12]

Apabila HAM itu ditempatkan dalam suatu piagam, dan Piagam ini mendahului UUD seperti halnya dengan Declaration of Independence Amerika Serikat dan Declaration des droit de I’homme et du citoyen di Perancis, maka ia akan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari UUD. Piagam tersebutakan bersifat subjektif yang harus dihormati oleh Negara, dan tidak akan terpengaruh dengan adanya perubahan terhadap UUD.[13] Seandainya hak-hak asasi itu ditempatkan dalam Pasal-pasal UUD, maka kemungkinan besar pasal-pasal tentang HAM itu akan berubah. Menempatkan HAM dalam Undang-Undang biasa, jelas tidak menjamin kepastian bahwa ia tidak akan berubah.

Kembali kepada masalah aksesibilitasi, aksesibilitasi merupakan hal penting dalam mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala sapek kehidupan dan penghidupan. Aksesibilitasi adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam aspek kehidupan dan penghidupan.[14] Jaminan atas aksesibilitasi bagi penyandang cacat tercantum dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, antara lain ada dalam Pasal 41, 42, dan 54.

Pasal 41 :

  1. Setiap warga negara berhak atas jaminan social yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh.
  2. Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakukan khusus.

Pasal 42 :

“ Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atau biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. “

Pasal 54 :

“ Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atau biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. “

Dalam Pasal-Pasal diatas disebutkan bahwa anak yang cacat fisik atau mental berhak mendapatkan biaya negara untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai HAM. Dalam perkembangannya, campur tangan negara dalam bidang ekonomi, social untuk meningkatkan taraf hidup rakyatnya kembali diterima. Dari kedua konsep negara hukum ( Eropa Kontinental dan Anglo Saxon ), dapat disepakati prinsip negara hukum, yaitu :[15] Pengakuan dan perlindungan HAM.

  1. Peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak.
  2. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.

Jaminan utama terhadap dianutnya negara hukum tersebut diletakkan dalan suatu Konstitusi atau UUD yang fungsi utamanya membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang.[16] Dengan demikian, hak-hak warga negara terlindungi.

Konstitusi atau UUD tersebut mengatur jaminan terhadap hak-hak rakyat ( termasuk didalamnya partisipasi rakyat dalam pemerintahan ) dan pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah agar kekuasaan yang dipegangnya tidak disalahgunakan. Pengaturan tersebut sering disebut sebagai pembatasan atau pembagian kekuasaan dan perumusan hak – hak asasi rakyat menghubungkan konsep negara hukum dan konsep demokrasi.[17]

Maka dari itu, Negara wajib melindungi HAM warga negaranya dan melegalkannya melalui instrument-instrumen hukum mulai dari yang tertinggi ( UUD ) hingga yang paling rendah ( Peraturan Desa ). Termasuk negara wajib melindungi HAM anak-anak cacat untuk dapat hidup layak seperti warganegara lainnya.

Pasal 71 UU Nomor 39 Tahun 1999, mengatakan :

“ Pemerintah wajib dan bertanggungjwab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM. “

Pemerintah harus menghormati berarti tidak melanggar HAM. Melindungi berarti menjaga agar HAM tidak dilanggar orang. Menegakkan berarti melakukan penghukuman atas orang-orang yang melakukan pelanggaran HAM, dengan mengadili pelakunya dan penjatuhan hukuman sesuai UU yang berlaku. Memajukan berarti melakukan upaya atau tindakan agar penghormatan HAM semakin baik.[18]

Kewajiban dan tanggungjawab pemerintah ( Pasal 72 UU No 39/2009 ), meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, social, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.

  1. PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENYANDANG CACAT DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

Negara Indonesia adalah negara hukum[19] Penegasan negara hukum dalam UUD 1945 ini menjelaskan bahwa negara Indonesia bukanlah negara kekuasaan yang orientasinya sekedar politik. Negara harus menjamin hukum sebagai kekuatan yang suprematif demi terwujudnya keadilan sosial. Hukum harus dapat mengatur keterjaminan perlindungan (to protect),  penghormatan (to respect) dan pemenuhan (to fullfil) hak-hak setiap warganegara tanpa diskriminatif. Hukum sangat fundamental karena pada diri hukum terkonstruksi kepatuhan sosial, kesahihan otoritas dan sanksi bagi yang melanggarnya.

Strategisnya posisi hukum sebagai pengendali dan mengarahkan kehidupan sosial, keberadaannya menjadi tumpuan suksesnya satu pembangunan yang diterapkan dalam satu negara. Apalagi negara seperti Indonesia yang tergolong sebagai negara berkembang dan menghadapi kekuatan raksasa industrialisme yang tidak sedikit melahirkan korban, baik karena merupakan pekerja industri dan atau dampak keberadaan industri yang seringkali menyingkirkan penduduk asli dan atau dampak rusaknya sumber daya alam.[20]

Karl Marx mengatakan bahwa keberadaan kelas pekerja awalnya lahir dari sistem kapitalisme yang sangat terbatas di era Dunia Kuno, kemudian berlanjut dengan sistem feodalisme di zaman pertengahan, kemudian berlajut lagi dengan era Industrialisme yang diawali revolusi borjuis sekitar akhir abad 18. Industrialisme disebut beberapa pengamat sosial sebagai puncak kapitalisme kontemporer. Dimana strata sosial akan terbangun menjadi dua kutub yaitu kelas borjuis dan kelas proletariat. Kelas borjuis dengan kekuatan produksi, jaringan dan akumulasi modal yang dimilikinya akan mempermudah perampasan hak-hak milik rakyat termasuk hak yang fundamentalnya yaitu tanah. Pada akhirnya rakyat akan tergantung pada satu satu sumber penghidupan yaitu menjadi pekerja di dunia industri.[21]

Dalam teori pembangunan, era industrialisme acapkali sering diposisikan sebagai era transisional menuju negara kesejahteraan (welfare state). Erman Rajagukguk mengatakan pembangunan suatu bangsa sedikitnya akan melalui tiga tingkatan, yaitu tingkat mencapai persatuan dan kesatuan nasional (unifikasi), tingkat industrialisasi yang ditandai dengan akumulasi modal dan pembentukan manajer-manajer untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dan tingkat ketiga ialah negara kesejahteraan, dimana pekerjaan utama pemerintah ialah melindungi mereka yang menderita akibat berkembangnya industrialisasi.[22]

Pemikiran di atas menjelaskan bahwa dalam industrialisme menyimpan banyak benih-benih persoalan, sekaligus terdapat harapan bahwa dunia industri akan mensejahterakan para pekerja bahkan masyarakat pada umumnya. Situasi dan kondisi tersebut salah satu harapannya terletak pada eksistensi hukum yang semestinya mengendalikan terhadap dunia industri sekaligus menjamin terhadap perlindungan dan pemenuhan hak-hak pekerja dan  masyarakat umum yang lemah. Maka hukum semestinya berada dalam dunia yang responsif, progresif dan menjamin akses para kelompok rentan, utamanya para pekerja terhadap keadian (acces to justice). Paradigma pembangunan hukum yang berbasis akses terhadap keadilan (acces to justice) menjadi satu yang sangat fundamental.

Upaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap kedudukan, hak, kewajiban, dan peran para penyandang cacat, di samping dengan Undang – Undang tentang Penyandang Cacat, juga telah dilakukan melalui berbagai peraturan perundang – undangan, antara lain oleh Peraturan masalah :[23]

  1. Ketenagakerjaan.
  2. Pendidikan Nasional.
  3. Kesehatan.
  4. Kesejahteraan Sosial.
  5. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
  6. Perkeretaapian.
  7. Pelayaran.
  8. Penerbangan.
  9. Kepabenan.

Permbaharuan hukum dan penegakan HAM ini dalam rangka mewujudkan civil society atau masyarakat madani.[24] Tentu saja untuk menggambarkan adanya reformasi penegakan HAM di Era Globalisasi ini diperlukan adanya perangkat hukum yang memadai, baik dari sisi peraturan perundang-undangan yang ada maupun aparat penegak hukumnya sendiri.[25]

Berbagai peraturan perundang-undangan yang memberikan jaminan aksesibilitasi bagi penyandang cacat , sebagai berikut :

  1. Amandemen IV UUD 1945, Pasal 28 D ayat (1) :

“ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. “

  1. UU No 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, Pasal 1 :

“ Setiap warganegara berhak atas taraf kesejahteraan social yang sebaik-baiknya dan berkewajiban untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha kesejahteraan social. “

  1. UU No 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian, Pasal 35 (1) :

“ Penderita cacat dan/ orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam bidang angkutan kereta api. “

  1. UU No 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 49 (1) :

“ Penderita cacat berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam bidang lalu lintas dan angkutan jalan.

  1. UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 42 :

“ Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bemasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”

Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negara dan sebagai dasarnya perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia.[26]

Kriteria Negara Hukum menurut para ahli hukum internasional dalam konferensinya di Bangkok 1965, yaitu :[27]

  1. Perlindungan constitutional terhadap HAM.
  2. Badan Kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
  3. Pemilihan umum yang bebas.
  4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
  5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan berposisi, dan
  6. Pendidikan Kewarganegaraan.
  1. AKSESIBILITASI BAGI PENYANDANG CACAT DI INDONESIA PADA KENYATAANNYA

Pemberian aksesibilitasi terhadap penyandang cacat di Indonesia belum sepenuhnya dapat terwujud. Sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, bahwa upaya perlindungan belum memadai, apalagi ada prediksi terjadinya peningkatan jumlah penyandang cacat di masa mendatang.[28] Berdasarkan hasil pendataan atau survey jumlah penyandang cacat Tahun 2010 pada 9 provinsi sebanyak 299.203 jiwa.[29]

Pada kenyataannya, betapa sulit seorang penyandang cacat untuk mendapatkan hak akses fasilitas – fasilitas public, peran politik, akses ketenagakerjaan, perlindungan hukum, akses pendidikan, akses informasi dan komunikasi, serta layanan kesehatan. Fasilitas lalu lintas jalan dan alat transportasi umum di Indonesia tidak mudah di akses oleh penyandang cacat dan orang-orang berkebutuhan khusus lainnya ( wanita hamil dan lansia ). Seorang penyandang cacat tubuh sulit menyeberang jalan dengan menggunakan fasilitas penyeberang jalan dengan undakan tangga yang terlalu sempit. Seorang penyandang cacat netra akan merasa kesulitan untuk menyimak marka-marka jalan dan papan informasi umum.[30]

Aksesibilitas di bidang pendidikan bagi para penyandang cacat di Indonesia masih sangat kurang. Kemampuan pemerintah dalam menyediakan fasilitas untuk menjangkau semua anak cacat minim, karena 80 % tempat pendidikan dikelola swasta sementara pemerintah hanya 20 %. Dari 1,3 juta anak penyandang cacat usia sekolah di Indonesia, baru 3,7 % atau sebanyak 48.022 anak yang bisa menikmati bangku pendidikan. Sementara yang 96,3 % masuk dalam pendidikan non-formal, tetapi jumlahnya tidak lebih dari 2 %. Saat ini terdapat 1.338 sekolah luar biasa ( SLB ) untuk berbagai jenis dan jenjang ketunaan. Sementara jumlah siswa yang terdaftar di Direktorat Pendidikan Luar Biasa sebanyak 12.408 anak. Kesulitan dalam mendapatkan akses pendidikan dan pelatihan, mengakibatkan akses untuk memperoleh pendidikan juga tidak mudah. Selanjutnya hak itu berimplikasi pada penghasilan dan berantai pada gizi dan kesehatan generasi penerusnya.[31]

Diskriminasi bagi para penyandang cacat, salah satunya terjadi pada pelayanan perbankan. Seorang tunanetra tidak dapat secara mandiri melakukan transaksi. Tunanetra tidak dapat melakukan transaksi perbankan, karena dianggap tidak cakap hukum. Oleh karenanya, harus menguasakannya kepada orang lain (yang bukan tunanetra) dan pemberian kuasa tersebut harus disahkan notaris.[32]

Masih terjadi pengabaian hak politik penyandang cacat dalam pemilu, antara lain :

  1. Hak untuk didaftar guna memberikan suara.
  2. Hak atas akses ke TPS.
  3. Hak atas pemberian suara yang rahasia.
  4. Hak untuk dipilih menjadi anggota legislative.
  5. Hak atas informasi termasuk informasi tentang pemilu.
  6. Hak untuk ikut menjadi pelaksana dalam pemilu, dsb.

Sistim pemilu yang dianut sejak tahun  1971 sampai sekarang adalah system proposional ( suara berimbang ) dan stelsel daftar dikombinasikan atau mengandung unsure-unsur system distrik dengan memperhatikan faktor geografis dan demografis antara Jawa dan luar Jawa. Sistem proposional yaitu suatu system pemilihan dimana wilayah dari negara yang menggunakan system ini terbagi atas “daerah-daerah pemilihan” dan kepada daerah-daerah pemilihan ini dibagikan sejumlah kursi yang diambil dari kursi yang tersedia di Parlemen untuk diperebutkan dalam suatu Pemilihan Umum di daerah tersebut, pembagian kursi ini biasanya didasarkan pada faktor imbangan penduduk.[33]

Dalam hukum internasional kelompok rentan meliputi, refugees, internally displaced persons (IDPS), national minorities,  migrant workers,  indigenous peoples,  children, dan  women[34] Sedangkan dalam Pasal 5 ayat 3  UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang  dimaksud kelompok rentan antara lain orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Perbedaannya, dalam hukum internasional jelas penyebutan kelompok rentannya, sedangkan di instrumen Undang-Undang tentang HAM menyebut kata “diantaranya” yang berarti adanya kelompok rentan yang lainnya selain yang tercantum.

Situasi dan kondisi kelompok rentan di Indonesia sangatlah memperihatinkan, utamanya para fakir miskin, masyarakat adat serta buruh dan pekerja imigran. Data BPS tahun 2006 menyatakan bahwa penduduk miskin pada tahun 2005 meningkat dari 36, 80 juta menjadi 39. 30 juta tahun 2006, dan pada pada tahun 2007 menjadi 37, 17 juta. Bank Dunia mengungkapkan bahwa 110 juta penduduk tergolong miskin. Dalam laporan PBB tentang pembangunan manusia (HDR) tahun 2006, negara Indonesia berada di peringkat 110 dari 177 negara atau paling buruk di Asia Tenggara setelah Kamboja. Data BPS juga menyatakan bahwa jumlah penduduk rentan rawan pangan meningkat dari 5, 105 tahun 2005  menjadi 10, 40 juta pada tahun 2006. Demikiran juga data LIPI yang mengatakan bahwa jumlah orang miskin pada tahun 2010 akan terus bertambah. Orang-orang miskin akan membengkak dari 32,5 juta jiwa pada 2009 akan membesar menjadi 32,7 juta jiwa pada 2010. Pada tahun 2011, data BPS  menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) pada September 2011 mencapai 29,89 juta orang.[35] Sedangkan pada tahun 2012 sebagaimana diungkap Kepala Badan Pusat Statistik jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2012 mencapai 29,13 juta orang.[36]

Kondisi menyakitkan juga dialami oleh masyarakat adat. Rikardo Simarmata mengungkapkan bahwa dampak dari sentralisme hukum dan pengakuan yang tidak jelas terhadap masyarakat adat merupakan kondisi yang mendorong marginalisasi hak-hak masyarakat adat. Dampak yang paling tragis ialah cepatnya segelintir pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) menguasai dan memanfaatkan kawasan-kawasan hutan. Sementara kawasan-kawasan deposit tambang diserahkan kepada pemegang kuasa pertambangan dan kontrak karya. Proses penggusuran terhadap hak-hak masyarakat adat dibantu oleh satu ketentuan yang mengatakan bahwa penguasaan masyarakat hukum adat atas kawasan hutan (hak ulayat) dapat dibekukan. Peraturan lain menyebutkan bahwa setiap orang menyerahkan tanahnya bila ada kandungan bahan tambang di dalamnya.

Jika masyarakat adat melakukan penolakan terhadap kebijakan tersebut maka yang biasa terjadi pada mereka ialah penyiksaan (torture), pemerkosaan (rape), pembunuhan tanpa proses pengadilan (extra judicial killing), militerisasi dan perampasan tanah (extensive land alienation), bahkan diantara mereka harus diusir dan menjadi pengungsi di negaranya sendiri. Dalam kondisi pembuangan, masyarakat adat kemudian dibuatkan program oleh Departemen Sosial yang berupa Program Pemukiman Kembali (resettlement) yang kemudian dikenal dengan program Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Terasing (PKSMT). Lewat program ini masyarakat adat dianggap terasing dan berdiam di berbagai kawasan hutan yang merupakan tempat-tempat baru.[37]

Demikian juga, nasib yang dialami para buruh dalam negeri dan buruh migran. Data BPS tahun 2006 menyatakan bahwa tingkat pengangguran terbuka meningkat dari 10,9 juta (10, 3%) pada tahun 2005 menjadi 11,1 juta (10,4%) pada Pebruari 2006. Laporan studi ILO tahun 2009 juga menyatakan bahwa biaya peluang dari pekerja yang tereksploitasi mencapai lebih dari 20 milyar dolar pertahun. Selain itu, terlihat adanya peningkatan praktik-praktik penipuan dan kriminal yang mengarahkan orang ke dalam situasi kerja paksa. Studi ini menemukan bahwa kerja paksa umumnya masih ditemukan di negara-negara berkembang, salah satunya Indonesia. Kerapkali terjadi di ekonomi informal dan wilayah-wilayah terpencil dengan kondisi infrastruktur, pengawasan ketenagakerjaan dan penegakan hukum yang buruk.[38] Demikian juga perlindungan terhadap PRT di Indonesia yang masih sangat buruk, bahkan jauh di bawah negara Kenya. Pekerja  domestik di negara miskin di kawasan Afrika itu masih lebih dilindungi hukum dan mendapatkan upah yang layak. Pembantu rumah tangga di Indonesia sebagaimana diungkap Koordinator ILO Jatim Mochamad Noer, tidak memiliki jam kerja dan standar gaji, bahkan ada yang mengalami penundaan gaji.

Kondisi serupa dialami PRT asal Indonesia yang bekerja di luar negeri. Penyebabnya tidak adanya Undang-Undang yang mengatur secara tegas tentang perlindungan buruh migran, terutama PRT. ILO mencatat sejak tahun 2005 sampai saat ini terdapat 12,3 juta orang di seluruh dunia mengalami kerja paksa. Di Asia Pacifik rata-rata mencapai 9,5 juta orang yang mengalami kerja paksa dan tereksploitasi secara ekonomi. Eksploitasi seksual pada perempuan muda dan dewasa 98% dan anak-anak 40% hingga 50%. Buruh Migran rata-rata merupakan perempuan dan bekerja di sektor domestik yang miskin perlindungan.  Para buruh migran itu 60% dikirim ke luar negari secara illegal sehingga menghadapi situasi kondisi kerja buruk, kerja paksa, diperbudak dan seringkali mendapat ancaman deportasi. Mereka juga rentan terhadap kematian, kekerasan fisik dan seksual, serta ancaman hukuman mati yang terus berulang.

Kondisi serupa juga dialami oleh perempuan, anak-anak dan para penyandang cacat (disability). Perempuan dan anak seringkali menjadi korban karena eksistensi mereka sangat ditentukan oleh faktor-faktor ekonomi yang bermasalah dan berdampak juga terhadap persoalan pendidikan. Depdiknas tahun 2002 merilis laporan kondisi pendidikan di Indonesia yang menyebutkan bahwa 4,2 juta anak umur 7-15 tahun belum pernah sekolah, 7% penduduk usia 15 tahun ke atas buta huruf, angka putus sekolah SD mencapai 2, 66% (1. 267. 700), sedangkan SMP mencapai 3,5% (638. 056, dan 67,7% fasilitas pendidikan rusak.[39] Situasi tersebut juga ditambah dengan intensitas penggusuran yang kemudian berdampak terhadap akses pekerjaan, akses pendidikan anak dan dampak ikutan lainnya. Sedangkan penyandang cacat secara umum terdiskriminasi baik dalam pendidikan, jalan umum, kesehatan dan lainnya.

Secara umum, persoalan yang dihadapi kelompok marjinal ialah tidak terpenuhinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Sedangkan pelanggaran yang berdimensi sipil dan politik lebih sebagai ikutan setelah jaminan-jaminan sosial dan ekonomi mengalami kebuntuan dan tertutup aksesnya. Sri Palupi mencatat setidaknya terdapat empat masalah pokok problem akses terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya, yaitu :[40]

  1. Berkembangnya pandangan yang menyatakan bahwa hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan hak yang tidak justiciable (tidak bisa dituntut secara hukum di pengadilan). Secara instrumentalis jaminan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya juga mempunyai kelemahan mendasar yang menganggap bahwa hak tersebut pemenuhannya dilakukan secara bertahap (progresif realisation).
  2. Tingginya kekuatan korporasi dan lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan World Bank. Peran pemerintah menjadi mengecil dan rentan terhadap tekanan-tekanan korporasi dan internasional.
  3. Penanggulangan kemiskinan dan realisasi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya belum menjadi kebijakan dasar oleh pemerintah.
  4. Tingginya praktek KKN di tubuh pemerintahan yang nota bene sebagai badan publik.

Analisis  Sri Palupi mempertegas perihal lemahnya tanggungjawab negara terhadap perlindungan dan pemenuhan hak-hak warga negaranya, serta hilangnya independesni negara karena tunduk terhadap kekuatan korporasi dan lembaga-lembaga keuangan internasional. Jaminan terhadap hak-hak yang semestinya dinikmati oleh masyarakat sebagaimana dalam konstitusi dan beberapa Undang-Undang akhirnya harus kandas, baik karena praktek eksploitasi korporasi dan atau karena korupsi. Tragisnya, ditengah jaminan hukum terhadap perlindungan, penghormatan dan perlindungan HAM pasca reformasi, ternyata disana-sini terjadi tumpang tindih pemberlakuan hukum. Tercatat selama periode 2000 s/d 2006 justru berbagai peraturan perundang-undangan berpotensi menjustifikasi terjadinya pengabaian hak-hak.[41]

Situasi dan kondisi di atas menjadi tanda betapa pemerintah masih belum berkomitmen terhadap penanggulangan para kelompok rentan di Indonesia. Konfilik-konflik yang terjadi memperlihatkan bahwa masyarakat kelompok rentan memang sangat lemah. Akses perlindugan, penghormatan dan pemenuhan hak-hak mereka terganjal dari beberapa instrumen dan penegakan hukum yang memaksa mereka harus tunduk pada penindasan dan kekerasan. Negara tidak tampil mengangkat derajat hak-hak kelompok marjinal, dalam banyak hal negara menjadi insitusi yang koruptif ditengah ketundukannya kepada pemodal.

  1. MEWUJUDKAN KESAMAAN HAK DAN KESEMPATAN BAGI PENYANDANG CACAT

Pembangunan hukum berbasis akses terhadap keadilan (acces to justice) menghendaki pemenuhan akses terhadap keadilan bagi kelompok miskin dan kelompok rentan lainnya sebagai affirmative action.[42] Keberadaan affirmatif action bertujuan  bukan untuk melakukan diskriminasi pemberlakuan, melainkan sebagai bantuan sementara bagi masyarakat miskin dan kelompok rentan lainnya sampai mereka berada dalam posisi mampu untuk memperoleh akses terhadap keadilan.[43] Kelompok rentan merupakan kelompok masyarakat yang lemah dan tidak dalam posisi sederajat dengan warganegara yang telah mempunyai akses sekian lama dalam struktur dan kultur masyarakat.  Sehingga pengakuan atas kesetaraan dimuka hukum dan akses keadilan dapat terlaksana dengan baik.[44]

Dalam proses pemenuhan akses terhadap keadilan bagi kelompok rentan erdapat berbagai faktor yang saling berhubungan. Interaksi berbagai faktor tersebut dapat dijelaskan melalui kerangka konseptual yang disarikan dari berbagai temuan dan tulisan para ahli di bidang akses terhadap keadilan serta dokumen organisasi internasional,[45] yaitu :

  1. Kerangka normatif. Kerangka normatif merujuk pada terbentuknya payung hukum yang merumuskan hak dan kewajiban, merefleksikan kebiasaan dan menerima prilaku sosial. Hal ini mencakup hukum negara dan hukum yang hidup dalam masyarakat, meliputi substansi peraturan, proses penyusunan dan mikanisme perubahan, serta pelaku dan lembaga yang terlibat dalam proses tersebut.
  2. Kesadaran hukum yang berarti terkait peraturan, hak, kewajiban dan cara mengakses berbagai alternatif penyelesaian
  3. Akses terhadap lembaga sebagaimana kelompok miskin dan terpinggirkan menerjemahkan kesadara hukumnya.
  4. Administrasi hukum yang efektif baik melalui lembaga formal dan non formal. Elemen yang sangat penting dalam akses terhadap keadilan ialah keberadaan lembaga hukum formal dimana lembaga ini semestinya dipercaya oleh masyarakat sebagai lembaga yang efisien, netral dan profesional. Kepuasan dan kepercayaan publik terhadap lembaga formal sangatlah penting.
  5. Pemulihan hak yang memuaskan yang mensyaratkan imparsialitas, tepat waktu, konsistensi norma, bebas korupsi dan intervensi politik, serta adanya standar kesesuaian dengan norma dan standar hak asasi manusia nasional dan internasional
  6. Permasalah mengenai kelompok miskin dan terpinggirkan merupakan permasalahan yang terdapat pada bagian akses terhadap keadilan yang lain
  7. Monitoring dan pengawasan yang mendukung transpransi dan akuntabilitas pada keenam permasalahan di atas.

Berdasarkan berbagai indikator tersebut maka yang perlu dilakukan ialah perombakan secara paradigmatik terhadap sistem hukum di Indonesia dan diorentasikan pada pemenuhan hak-hak warga negara kelompok yang mendapatkan hak affirmatif action. Mereka harus dijamin baik dalam segi kerangka  normatifnya, akses terhadap pengetahuan hukumnya, sarana-prasarana keadilan, pelayanan hukum ketika terjadi konflik, bantuan hukumnya serta adanya jaminan sistem pemulihan yang memadai. Akses keadilan terhadap kelompok rentan tersebut sangat penting ditengah posisi mereka yang seringkal dilemahkan dalam sistem hukum, prilaku sosial dan kebijakan industrial.

Maka untuk mewujudkan pembangunan hukum yang berbasis akses terhadap keadilan, pertama-tama yang dilakukan ialah mengubah paradigma pembangunan hukum yang berlaku di Indonesia. Paradigma sistem hukum yang masih positivis harus diubah menjadi tipe yang responsif dan progresif. John Henry Merryman mengatakan terdapat tiga model tradisi hukum yang utama yaitu tradisi hukum kontinental (civil law), tradisi hukum adat (common law) dan tradisi hukum  sosial (sosialis law).[46] Secara historis keberadaan tradisi hukum tersebut dapat dibagi menjadi dua yaitu tipe pembangunan hukum yang ortodoks dan tradisi hukum yang responsif.  Tipe hukum kontinental dan sosial merupakan model pembangunan hukum yang ortodoks karena mempunyai ciri-ciri peranan yang sangat dominan dari lembaga-lembaga negara (pemerintah dan parlemen) dalam menentukan arah hukum dalam suatu masyarakat. Hukum akhirnya bersifat positivis-instrumentalis. Hukum menjadi alat yang ampuh bagi pelaksanaan ideologi dan program negara.[47] Bahkan, atas nama program pembangunan negara, pemerintah juga akan sering melakukan pemberangusan kritik yang muncul di masyarakat.

Kondisi terbalik terjadi pada tipe pembangunan hukum dengan model hukum adat (common law) yang responsif. Ciri-ciri dari tradisi model common law ialah adanya peranan besar dari lembaga-lembaga peradilan dan partisipasi yang luas kelompok-kelompok sosial atau individu-individu di masyarakat dalam menentukan arah pembangunan hukum. Keberadaan pemerintah dan parlemen menjadi lebih relatif, dan adanya tekanan yang timbul dari partisipasi masyarakat luas dan kedudukannya yang relatif bebas mendorong lembaga peradilan lebih kreatif dalam menghadapi masalah yang timbul di masyarakat. Peradilan mempunyai peranan substansial dalam pembangunan hukum.[48]

Artidjo Alkostar salah seorang hakim agung Indonesia mengatakan bahwa pembagunan hukum tidak mungkin hanya dipercayakan dan tergantung kepada penguasa saja, karena eksistensi hukum tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial. Perubahan paradigma hukum merupakan sesuatu asasi sehingga tidak tertinggal dari perkembangan sosial dan teknologi. Menurut Artidjo, hukum Indonesia terbelenggu oleh kapsul positivisme hukum Eropa Kontinental abad 18. Positivisme hukum tidak peduli dengan keadilan, karena keadilan bukan urusan hukum positif. Aliran positivisme hukum menekankan kepastian hukum yang kemudian berakibat pada pertumbuhan hukum Indonesia yang berjalan tanpa visi. Watak hukum Eropa Kontinental bertradisi tanpa paradigma sosiologi, karena memakai metode berfikir deduktif seperti kebiasan hukum Romawi. Karakter hukum Anglo Amerika lebih realistis karena memberi perhatian kepada yang berkembang dalam dinamikas sosial.[49]

Mendesaknya perubahan paradigma hukum di Indonesia juga diungkap oleh I Nyoman Nurjaya yang menegaskan bahwa fenomena konflik yang terjadi secara meluas di Indonesia sampai hari  merupakan akibat dari konflik nilai (conflict of values), konflik norma (conflict of norms), dan atau konflik kepentingan (conflict of interest) dari komunitas-komunitas etnik, agama maupun golongan dalam masyarakat.  Dilihat dari perspektif hukum dan kebijakan, fenomena konflik di berbagai daerah itu bersumber dari persoalan diskriminasi pengaturan dan perlakuan pemerintah terhadap kehidupan masyarakat di daerah yang cenderung mengabaikan, menggusur, dan bahkan mematisurikan nilai-nilai, norma-norma hukum rakyat (customary law/adat law), termasuk religi dan tradisi-tradisi serta kearifan masyarakat daerah melalui dominasi pemberlakuan dan penegakan hukum negara (state law) yang bercorak sentralisme hukum (legal centralism). Paradigma pembangunan hukum (legal development paradigm) yang dikembangkan oleh pemerintah saat ini harus diganti dengan paradigma yang bercorak pluralisme hukum (legal pluralisme).[50]

Berangkat dari pengubahan paradigma hukum dari tipe positivistik menjadi responsif dan progresif  di atas maka konstruksi pembangunan hukum berbasis akses terhadap keadilan mensyaratkan terhadap beberapa hal, yaitu :

Pertama, pembuatan norma-norma hukum harus responsif dan partisipatif. Proses ini mensyaratkan minimal dua hal,[51] pertama, legislatif harus meletakkan dirinya sebagai kekuatan politik formal masyarakat, dan tidak memerankan diri sebagai konseptor undang-undang, apalagi memonopoli proses lahir hingga evaluasi produk perudang-undangan. Pengambilan keputusan politik bukan hanya aparat negara dan wakil rakyat, melainkan juga seluruh warganegara berpartisipasi dalam wacana bersama. Kedua, organisasi masyarakat sipil untuk menjadi kekuatan intelektual yang mengkaji dan merumuskan kebutuhan hukum masyarakat. Perpaduan legislatif yang sejatinya adalah representasi rakyat dengan organisasi masyarakat sipil diharapkan mampu merumuskan substansi hukum yang memiliki kekuatan perlindungan (to protect), penghormatan (to respect) dan pemenuhan (to fullfil) terhadap hak-hak kelompok rentan.

Kebijakan perumusan norma-norma hukum juga harus mensyaratkan, pertama, kewajiban negara untuk mempublikasikan perencanaan produk peraturan perundang-undangan yang akan dibuat, dan memberikan kesempatan kepada kelompok strategis berpartisipasi. Kedua, tersedianya sistem informasi dan dokumentasi yang sistematis, bebas, dan mudah diakses. Ketiga, adanya jaminan prosedur dan forum yang terbuka dan efektif bagi masyarakat untuk terlibat secara efektif. Keempat, tersedianya prosedur yang menjamin publik untuk mengajukan inisiatif pembuatan RUU. Kelima, adanya pengaturan yang jelas mengenai dokumen yang wajib tersedia dan bebas diakses oleh publik, seperti naskah RUU, notulensi pembahasan dan catatan-catatan.[52]

Kedua, adanya lembaga pelayanan hukum, pengaduan dan sengketa yang  progresif. Pelayanan hukum dalam konteks ini ialah pelayanan atau penegakan hukum yang submisif terhadap sistem yang ada, tetapi lebih afirmatif (affirmatif law enforcement). Afirmatif berarti keberanian untuk melakukan pembebasan dari praktek konvensional dan menegaskan penggunaaan satu cara yang lain, yang menerobos terhadap pakem-pakem praktek hukum yang telah lama berlangsung.  Aparatur penegak hukum harus bersikap realistis dan tidak bermukim di menara gading. Mereka harus mengasah intuisi dengan dengan turun ke bawa menyerap aspirasi yang berkembang di masyarakat. Mereka harus keluar dari tafsir monolitik karena teks undang-undang hanya memberi ruang penafsiran yang terbatas. Penegakan hukum progresif lebih mengedepankan konteks ketimbang teks-teks aturan semata.[53] Maka dalam konteks pelayanan penyelesaian hukum tidak semata lewat mekanisme pengadilan formal tetapi juga bisa lewat penyelesaian informal. Penyelesaian hukum tidak lagi dimaknai sebagai satu yang formal, sentralistik tetapi juga mengakomodasi penyelesaian hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat (living law).

Ketiga, adanya lembaga-lembaga hukum yang melangsungkan pelatihan dan pendidikan hukum bagi kelompok rentan. Pelatihan dan pendidikan hukum merupakan prasyarat untuk lahirnya kesadaran hukum dan hak-hak masyarakat dari kelompok rentan. Maka salah satu program yang harus dilangsungkan oleh pemerintah ialah berkoordinasi dan bekerjasama dengan lembaga-lembaga yang  memiliki konsentrasi terhadap pendidikan dan pelatihan hukum. Lembaga-lembaga tersebut hendaknya difungsikan untuk melakukan pendidikan dan pelatihan bagi kelompok rentan sehingga mereka dapat sadar dengan hak-hak hukum dan mendapatkan keadilannya.

Keempat, adanya sarana prasarana yang memadai bagi terwujudnya akses terhadap keadilan. Sarana prasarana bisa meliputi keberadaan gedung pengadilan yang bisa dijangkau, para penegak hukum yang responsif dan progresif, adanya media yang informatif baik berbentuk online atau cetak, serta pelayanan administrasi yang cepat, komunikatif, efektif dan biaya murah.

Kelima, adanya lembaga komplain dan pengawasan terhadap perlindungan, penghormatan dan pemenuhan kelompok-kelompok rentan yang kuat. Keberadaan lembaga-lembaga ini sangat penting untuk menampung segala keluhan-keluhan kelompok marginal terkait pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dan atau industri. Lembaga komplain juga diharapkan mempunyai mekanisme hukum yang dapat merekomendasikan dan memutuskan terhadap penyelesaian kasus yang menimpa kelompok marginal. Selain untuk menampung terhadap permasalahan komplain, lembaga ini juga dibentuk untuk mengawasi secara eksternal terhadap kinerja yang dilakukan oleh aparatur lembaga-lembaga publik. Lembaga komplain dan pengawasan merupakan lembaga yang fundamental sehingga aparatur yang terlibat di dalamnya haruslah berparadigma responsif-progresif, dan kewenangan kelembagaannya harus diperkuat.

Secara keseluruhan pembangunan hukum berbasis keadilan di atas merupakan sarana perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak-hak kelompok rentan yang sangat lemah ketika menghadapi problematika baik akibat kebijakan pembangunan pemerintah dan atau kesewenang-wenangan dunia industri. Di samping itu, kebijakan berbasis akses terhadap keadilan merupakan sarana untuk menyadarkan dan memberdayakan kelompok rentan sehingga mereka tidak sekedar menjadi korban pembangunan pemerintah dan kekuatan industri, tetapi juga dapat merasakan kesejahteraan (welfare) dan dampak positif dari kebijakan pembangunan yang berlangsung.

Dalam konteks itu, pembangunan hukum yang berbasis akses terhadap keadilan akan mendorong terhadap indikator-indikator keberhasilan pembangunan pada dimensi ekonomi dan sosial lainnya, meliputi :[54]

Pertama, kekayaaaan rata-rata. Pembangunan mula-mula dipakai dalam arti pembangunan ekonomi. Sebuah masyarakat dinilai berhasil melaksanakan pembangunan bila pertumbuhan ekonomi masyarakatnya cukup tinggi. Ukuran keberhasilannya ialah pada produktifitas masyarakat atau produktifitas negara tersebut setiap tahunnya. Bahasa teknis ekonominya ialah produktifitas diukur oleh Produk Nasional Bruto (PNB)/ Gross National Product (GNP) dan Produk Domestik Bruto (PDB)/Gross Domestic Product (GDP). Keberhasilan pembangunan diukur dengan jumlah kekayaan keseluruhan sebuah negara.

Kedua, pemerataan. Kekayaan yang dimiliki atau diproduksikan oleh satu negara tidak berarti bahwa kekayaaan tersebut merata dan dimiliki oleh semua penduduknya. Sangat mungkin terjadi, hanya sebagian kecil orang dan kelompok saja yang memiliki kekayaan, sedangkan mayoritas warganegaranya berada dalam garis kemiskinan. Oleh karena itu, pembangunan semestinya tidak hanya diukur dengan tingginya PNB/kapita dan atau PDB/kapitanya, tetapi juga dinilai dari indikator atau aspek pemerataan harta kekayaan di satu negara. Karena itu, pembangunan dianggap berhasil jika tinggi produktifitasnya, penduduknya makmur dan sejahtera secara merata.

Ketiga, kualitas kehidupan. Salah satu alat untuk mengukur kesejahteraan penduduk sebuah negara ialah dengan menggunakan tolak ukur PQLI (Physical Quality of Life Index).  Alat ukur ini diperkenalkan oleh Moris yang mengukur tiga indikator, yaitu, pertama, rata-rata harapan hidup sesudah umur satu tahun. Kedua, rata-rata jumlah kematian bayi. Ketiga, rata prosentase buta dan melek huruf. Dengan pendekatan alat analisa ini, maka prestasi PQLI akan tidak selalu sama dengan prestasi PNB/kapita atau PDB/kapita. Alat PQLI akan menjelaskan perihal kompleksitas dari keberhasilan satu pembangunan yang tidak setara.  Walaupun, alat ukur PQLI masih perlu diperbaiki karena masih banyak indikator keberhasilan pembangunan yang belum dimasukkan.

Keempat, kerusakan lingkungan. Satu negara yang produktifitasnya tinggi dan merata penduduknya, sangat mungkin penduduknya berada dalam proses menjadi miskin. Produktifitas tinggi  yang biasanya digerakkan oleh korporasi bersar dan tidak memperhatikan dampak-dampak eksploitatifnya maka yang terjadi ialah kerusakan lingkungan, sumber alamnya terkuras, hilangnya sumber pendapatan warga dan bencana alam. Oleh karena itu, pembangunan wajib juga mengatur perihal daya kelestarian alam dan lingkungan yang memadai.

Kelima, keadilan sosial dan kesinambungan. Pembangunan dianggap berhasil jika mensyaratkan kebijakan pembangunan dengan unsur keadilan sosial dan berdampak berkesinambungan. Keadilan sosial mensyaratkan adanya pemerataan pendapatan warga negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sedangkan dampak kesinambungan mensyaratkan bahwa pengelolaan produksi haruslah menjaga terhadap kelestarian lingkungan dan  keaslian sosial.

Cita-cita keberhasilan pembangunan yang mampu mengantarkan pada tingkat kesejahteraan (welfare) dan keadilan sosial (social justice) di atas, keberadaan hukum berbasis akses terhadap keadilan menjadi salah kuncinya yang tentu membutuhkan komitmen, kemauan (political will) dan watak kenegarawanan para pemimpin negara. Tanpa itu, kelompok rentan akan terus menjadi korban yang tertindas, dan sumber daya alam akan mengalami kerusakan yang fatal.

Setiap perundang – undangan tertulis di dalamnya terkandung suatu misi atau tujuan tertentu yang hendak dicapai. Lahirnya suatu perundang – undangan tertulis baru merupakan suatu titik awal untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Otto Kirchheimer, ahli konstitusi dari Jerman, yang mempunyai pendapat menarik tentang kedudukan konstitusi. Dia hubungkan konstitusi dengan suksesnya suatu revolusi atau perubahan masyarakat. Pada saat dia uraikan tentang pembaruan UUD dan demokrasi social, Kirchheimer menyatakan revolusi adalah bukan ciptaan konstitusi , tetapi konstitusi kebanyakan menjadi monument keberhasilan revolusi.[55]

Pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, dan memajukan HAM, salah satunya dalah hak-hak para penyandang cacat. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan social penyandang cacat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan bagi penyandang cacat.[56]

Pasal 28i ayat (4) UUD 1945 :

“ Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. “

Pasal 42 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM :

“ Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bemasyarakat, berbangsa, dan bernegara. “

Kewajiban pemerintah dalam hal ini, tidak hanya berhenti pada kebijakan formulatif ( pembuatan peraturan perundang-undangan ) saja, namun juga pada kebijakan aplikatif serta kebijakan eksekutif. Aspek substansi hukum yang menjamin aksesibilitasi bagi penyandang cacat dari sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah cukup memadai. Namun, perumusannya lebih banyak yang bersifat negative, yaitu memberikan hak-hak bagi para penyandang cacat.

Perumusan Negatif, diantaranya jaminan hak penyandang cacat di bidang kesejahteraan social, perkeretaapian, lalu lintas jalan, penerbangan, pelayaran, kesehatan, dan pendidikan. Perumusan positif, yaitu kewajiban untuk memberikan aksesibilitas bagi penyandang cacat antara lain ada pada ketentuan tentang perlindungan anak, bangunan gedung, dan ketenagakerjaan. Pelanggaran atas kewajiban tersebut diancam dengan sanksi, baik sanksi pidana maupun sanksi administrasi.

Norma-norma yang ada pada UUD harus mengalir dalam perundang-undangan di bawahnya, apakah berupa norma jabaran atau lebih kongkret. Maka, norma HAM yang terkandung dalam UUD, mempunyai dua posisi yaitu sebagai norma pengarah atau pemandu bagi hukum positif untuk mencapai cita-cita perlindungan HAM, dan sebagai norma penguji UU atau hukum positif apakah selaras dengan semangat HAM. Dengan kata lain, meminjam kerangka pemikiran Gustav Radbruch, seorang ahli filsafat hukum dari mahzab Beden, bahwa norma HAM yang terkandung dalam UUD berfungsi regulative maupun konstitutif. Fungsi regulative menempatkan norma HAM dalam UUD sebagai tolok ukur untuk menguji, apakah UU atau hukum positif telah selaras dengan cita-cita HAM. Sebagai fungsi konstitutif menentukan tanpa semangat HAM dalam UUD, UU atau hukum positif akan kehilangan makna sebagai hukum yang bermanfaat untuk masyarakat.

Namun, dilihat dari aspek struktur dan budaya hukum, belum sepenuhnya menunjang bagi perwujudan kemandirian dan kesejahteraan para penyandang cacat, sehingga banyak ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan belum dapat dilaksanakan. Untuk itu perlu dilakukan Alternative Action.[57]

Alternative Action untuk mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan bagi penyandang cacat. Penyandang cacat berhak mendapatkan perlakuan khusus. Aksi ini mengarah pada penyadaran public akan hak-hak penyandang cacat dan kewajiban mereka untuk berperan aktif dalam berinteraksi social yang sehat dan wajar. Aksi tersebut membutuhkan strategi sosialisasi yang efektif, menyangkut :

  1. Pola penyadaran integral antar pemerintah, penyandang cacat dan masyarakat pada umumnya sehingga memunculkan suatu sinergi. Pola tersebut meliputu :

ü  Peningkatan pengetahuan penyandang cacat akan hak-haknya.

ü  Implementasi perundang-undangan dari tingkat pusat hingga daerah.

ü  Melakukan advokasi hukum penyandang cacat dalam memperjuangkan hak-haknya.

  1. Pola pembudayaan dari sosialisasi sinergis di atas.

Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya yang disadari oleh prinsip pemihakan kepada mereka yang lemah dan di lemahkan, agar mereka mempunyai posisi tawar sehingga mampu memecahkan masalah dan mengubah kondisi dan posisinya. Pemberdayaan dalam pengertian ini meliputi langkah perbaikan kualitas hidup rakyat, yang tidak hanya diukur dari peningkatan kesejahteraan yang bersifat ekonomis, tetapi juga kuasa dalam mengambil keputusan.[58]

Negara hukum merupakan suatu dimensi dari negara demokratis dan memuat substansi HAM, bila tidak dikuatirkan akan kehilangan esensinya dan cenderung sebagai alat penguasa untuk melakukan penindasan terhadap rakyat, juga sebagai instrument untuk melakukan justifikasi terhadap kebijakan pemerintah yang sebenarnya melanggar HAM.

Salah satu aspek kemanusiaan yang sangat mendasar dan asasi adalah hak untuk hidup dan hak untuk melangsungkan kehidupan, karena hak tersebut diberikan langsung oleh Tuhan kepada setiap manusia. Reformasi pada dasarnya merupakan usaha yang rasional dan sistematis untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dasar (core values) demokasi yang terdiri dari : konsistensi untuk selalu transparan dalam pengambilan keputusan publik, perlindungan dan penegakan terhadap pelanggaran HAM, peradilan bebas dan tidak memihak, penciptaan norma hukum yang aspiratif.

  1. PENUTUP

Perundang-undangan HAM dapat berlaku efektif, untuk itu diperlukan cara upaya-upaya pencanangan perundang-undangan HAM dengan baik, pelaksana dalam menunaikan tugasnya searah dan senafas sesuai dengan bunyi serta penafsiran yang telah disepakati, penegak HAM harus menuntut para pelanggarnya. Sederetan Undang – Undang yang menyangkut penyandang cacat dia atas baru merupakan titik awal dalam rangka mencapai kesamaan kesempatan dalam aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat penyandang cacat, guna mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat. Upaya mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan merupakan tanggungjawab bersama pemerintah, masyarakat, keluarga, dan penyandang cacat sendiri. Hal ini tidak akan terwujud tanpa ada suatu struktur sosial yang mendukung.

Pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, dan memajukan HAM, salah satunya dalah hak-hak para penyandang cacat. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan social penyandang cacat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan bagi penyandang cacat.

Pasal 28i ayat (4) UUD 1945 :

“ Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. “

Jaminan utama terhadap dianutnya negara hukum tersebut diletakkan dalan suatu Konstitusi atau UUD yang fungsi utamanya membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian, hak-hak warga negara terlindungi.

Konstitusi atau UUD tersebut mengatur jaminan terhadap hak-hak rakyat ( termasuk didalamnya partisipasi rakyat dalam pemerintahan ) dan pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah agar kekuasaan yang dipegangnya tidak disalahgunakan. Pengaturan tersebut sering disebut sebagai pembatasan atau pembagian kekuasaan dan perumusan hak – hak asasi rakyat menghubungkan konsep negara hukum dan konsep demokrasi.

Maka dari itu, Negara wajib melindungi HAM warga negaranya dan melegalkannya melalui instrument-instrumen hukum mulai dari yang tertinggi ( UUD ) hingga yang paling rendah ( Peraturan Desa ). Termasuk negara wajib melindungi HAM anak-anak cacat untuk dapat hidup layak seperti warganegara lainnya.

Pasal 71 UU Nomor 39 Tahun 1999, mengatakan :

“ Pemerintah wajib dan bertanggungjwab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM. “

Pemerintah harus menghormati berarti tidak melanggar HAM. Melindungi berarti menjaga agar HAM tidak dilanggar orang. Menegakkan berarti melakukan penghukuman atas orang-orang yang melakukan pelanggaran HAM, dengan mengadili pelakunya dan penjatuhan hukuman sesuai UU yang berlaku. Memajukan berarti melakukan upaya atau tindakan agar penghormatan HAM semakin baik.

Kewajiban dan tanggungjawab pemerintah ( Pasal 72 UU No 39/2009 ), meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, social, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Artidjo Alkostar, Pembangunan Hukum dan Keadilan, dalam  Moh. Mahfud MD, dkk (Ed)

Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1988

Bagir Manan, S.H., M.CL. Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum. 1996. Jakarta : Gaya Media Pratama.

Data menurut Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tahun 2004

Darwan Prinst, S.H. Sosialisasi & Diseminasi Penegakan HAM. 2001. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Djohanjah, Akses Pada Keadilan, Makalah pada Pelatihan HAM bagi Jejaing Komisi Yudisial, Bandung, 3 Juli 2010

Erman Rajagukguk, Agenda Pembaharuan Hukum Ekonomi Indonesia, dalam Moh. Mahfud MD, dkk, Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, UII Press, Yogyakarta, 1997

Makmur Sunusi, Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial

Nico Schulte Nordholt. Menyongkong Civil Society dalam Era Kegelisahan, dalam Sindhunata ( Editor ), Mengenang Y.B. Mangunwijaya, Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan, Kanisius, Yogyakarta, 1999

Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan telah mengadakan ekspos data penyandang cacat klasifikasi ICF bekerjasama dengan PT. Surveyor Indonesia (Persero).

Muladi. Hak Asasi Manusia ( Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam Prespektif Hukum dan Masyarakat ). Bandung : PT. Refika Aditama.

  1. Boedisoetya, Hak-Hak Asasi sehubungan dengan ketatanegaraan Republik Indonesia, karangan untuk Panitia ad hoc IV MPRS. Oktober 1966.

Uning Pratimaratri. Jaminan Aksesibilitasi Bagi Penyandang Cacat ( Sebagai Perwujudan Perlindungan Hak Asasi Manusia ).

  1. Syahbuddin Latief. 1999. Jalan Kemanusiaan, Panduan untuk Memperkuat HAM. Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama.

GG.Howards dan Rummers dalam tulisan Hassa Suryono “ Implementasi dan Sinkronisasi HAM Internasional dan Nasional “ dalam buku Prof. Muladi “ HAM ( Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Prespektif Hukum dan Masyarakat ). 2005. Bandung : PT. Refika Aditama.

Slamet Marta Wardaya. Hakekat, Konsepsi dan Rencana Aksi Nasional HAM.

Suwandi. Instrumen dan Penegakan HAM di Indonesia. 2005. Bandung : PT. Refika Aditama.

Mahfud M.D., Moh. 2001. Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.

Miriam Budiardjo. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Paper Lembaga Pembela Hak – Hak Asasi Manusia, 28 Maret 1968, hlm 2. Lihat juga Muh.Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945 ( Jakarta : Yayasan Prapanca, 1959 ), Jilid 1

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. Hukum Tata Negara Indonesia. 1988. Jakarta : CV. Sinar Bakti.

  1. Boedisoetya, Hak-Hak Asasi sehubungan dengan ketatanegaraan Republik Indonesia, karangan untuk Panitia ad hoc IV MPRS. Oktober 1966.

Drs. H. Andi Mustari Pide, S.H. Ketatanegaraan Indoenesia dalam Konteks Demokrasi Pancasila.

Jimly Asshiddiqie, S.H. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. 2010. Jakarta : Sinar Grafika.

Albert Hasibuan. Masalah Hubungan Antar Lembaga Tinggi Negara dan HAM berdasarkan UUD 1945.

Joeniarto, S.H. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara. 1990. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Hlm.11.

Harold J. Laski : “ The State in theory and practice “, cetakan V, The Vail-Ballou-Press U.S.A

Woro Winandi. Reformasi Penegakan Hak Asasi Manusia di Era Globalisasi, dalam Hak Asasi Manusia ( Editor : Prof. Dr. H. Muladi, S.H.) Bandung : PT. Refika Aditama. Hal. 58

Kiteria Negara Hukum oleh para ahli hukum internasional ( International Commision of Jurists ) dalam konferensi di Bangkok tahun 1965.

Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan telah mengadakan ekspos data penyandang cacat klasifikasi ICF bekerjasama dengan PT. Surveyor Indonesia (Persero).

  1. Syahbuddin Latief. 1999. Jalan Kemanusiaan, Panduan untuk Memperkuat HAM. Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama.

Joko Setiyono. Kebijakan Legislatif Indonesia ( Tentang Kejahatan Terhadap Kemanusiaan sebagai Salah Satu Bentuk Pelanggaran HAM yang Berat ).

Kelompok Kerja Akses Terhadap keadilan, Strategi Nasional Akses Terhadap Keadilan, BAPPENAS Derektorat Hukum dan HAM, Jakarta, 2009

Willem van Genugten J.M (ed), Human Rights Reference, Netherlands ministry of foreignAffairs, The Hague,  1994,

Sri Palupi, Problem dan Tantangan dalam Akses Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dalam Prasetyohadi dan Savitri Wisnuwardhani (Ed), Penegakan Hak Asasi Manusia dalam 10 Tahun Reformasi, Komnas HAM, Jakarta, 2008,

Stephan Golub, Beyond Rule of Law Orthodocy : The Legal Empowerment Alternative, “Rule of Law series, Democracy and Rule of Law Project, Number 41

Suparman Marzuki, Tragedi Politik Hukum HAM, Pusham UII-Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, hlm 431-432

Rival G Ahmad, dkk, Dari Parlemen ke Ruang Publik : Menggagas Proses Pembentukan Peraturan Partisipatif, Jentera, Edisi 2, Tahun 2003

I Nyoman Nurjaya, Pluralisme Hukum Sebagai Instrumen Integrasi Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, dalam Donny Donardono (Ed), Wacana Pembaharuan

Arif Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000

Mauro Cappelletti dan Bryant Garth (Eds), Acces To Justice : Book I, Supra note 1

Willem van Genugten J.M (ed), Human Rights Reference, Netherlands ministry of foreignAffairs, The Hague,  1994

Ricardo Simartana, Pluralisme Hukum, Mengapa Perlu?, dalam Donny Donardono (Ed), Wacana Pembaharuan Hukum di Indonesia, HuMa, 2007

Stephan Golub, Beyond Rule of Law Orthodocy : The Legal Empowerment Alternative, “Rule of Law series, Democracy and Rule of Law Project, Number 41, 2003

Lihat International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Pasal 2, 3 dan 26 sebagaimana telah diratifikasi dan menjadi UU No. 12 tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik

Willem van Genugten J.M (ed), Human Rights Reference, Netherlands ministry of foreignAffairs, The Hague,  1994,

                [1] Tulisan ini disampaikan dalam kegiatan Seminar Pengarusutamaan Hak-hak Penyandang Disabilitas dengan tema Akses Terhadap Keadilan : Menuju Sistem Hukum Nasional Pro Penyandang Disabilitas yang diselenggarakan oleh Jimly School Of Law And Governmant bekerjasama dengan The Australia Indonesia Partnership For Justlice (AIPJ)  bertempat di Hotel JS Luwansa, Jl. Rasuna Said Jakarta.

[2] Muladi. Hak Asasi Manusia ( Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam Prespektif Hukum dan Masyarakat ). Bandung : PT. Refika Aditama. Hlm.254.

[3] R. Boedisoetya, Hak-Hak Asasi sehubungan dengan ketatanegaraan Republik Indonesia, karangan untuk Panitia ad hoc IV MPRS. Oktober 1966.

[4] Bagir Manan, S.H., M.CL. Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum. 1996. Jakarta : Gaya Media Pratama. Hlm 198.

[5] Uning Pratimaratri. Jaminan Aksesibilitasi Bagi Penyandang Cacat ( Sebagai Perwujudan Perlindungan Hak Asasi Manusia ). Hlm 255.

[6] Data diolah daril Departemen Sosial c.q Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial www.depsos.go.id

[7] Ibid

[8] Makmur Sunusi, Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial

[9] Nico Schulte Nordholt. Menyongkong Civil Society dalam Era Kegelisahan, dalam Sindhunata ( Editor ), Mengenang Y.B. Mangunwijaya, Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan, Kanisius, Yogyakarta, 1999, hlm.93.

[10] Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan telah mengadakan ekspos data penyandang cacat klasifikasi ICF bekerjasama dengan PT. Surveyor Indonesia (Persero).

[11] Data menurut Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tahun 2004

[12] M. Syahbuddin Latief. 1999. Jalan Kemanusiaan, Panduan untuk Memperkuat HAM. Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama. Hlm 197.

[13] Pendapat GG.Howards dan Rummers dalam tulisan Hassa Suryono “ Implementasi dan Sinkronisasi HAM Internasional dan Nasional “ dalam buku Prof. Muladi “ HAM ( Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Prespektif Hukum dan Masyarakat ). 2005. Bandung : PT. Refika Aditama. Hal. 54

[14] Slamet Marta Wardaya. Hakekat, Konsepsi dan Rencana Aksi Nasional HAM. Hal. 6

[15] Suwandi. Instrumen dan Penegakan HAM di Indonesia. 2005. Bandung : PT. Refika Aditama.hlm.39

[16] Mahfud M.D., Moh. 2001. Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta. Hal. 61

[17] Miriam Budiardjo. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Hlm 127.

[18] Paper Lembaga Pembela Hak – Hak Asasi Manusia, 28 Maret 1968, hlm 2. Lihat juga Muh.Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945 ( Jakarta : Yayasan Prapanca, 1959 ), Jilid 1, hlm. 287-289 dan 299-300.

[19] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. Hukum Tata Negara Indonesia. 1988. Jakarta : CV. Sinar Bakti. Hlm 321

[20] R. Boedisoetya, Hak-Hak Asasi sehubungan dengan ketatanegaraan Republik Indonesia, karangan untuk Panitia ad hoc IV MPRS. Oktober 1966. Hal. 121

[21] Drs. H. Andi Mustari Pide, S.H. Ketatanegaraan Indoenesia dalam Konteks Demokrasi Pancasila. Hal. 31

[22] Jimly Asshiddiqie, S.H. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. 2010. Jakarta : Sinar Grafika. Hlm vii.

[23] Bagir Manan, S.H., M.CL. Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum. 1996. Jakarta : Gaya Media Pratama. Hlm 196.

[24] Albert Hasibuan. Masalah Hubungan Antar Lembaga Tinggi Negara dan HAM berdasarkan UUD 1945. Hal. 62

[25] Joeniarto, S.H. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara. 1990. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Hlm.11.

[26] Harold J. Laski : “ The State in theory and practice “, cetakan V, The Vail-Ballou-Press U.S.A., hlm 8.

[27] Woro Winandi. Reformasi Penegakan Hak Asasi Manusia di Era Globalisasi, dalam Hak Asasi Manusia ( Editor : Prof. Dr. H. Muladi, S.H.) Bandung : PT. Refika Aditama. Hal. 58

[28] Kiteria Negara Hukum oleh para ahli hukum internasional ( International Commision of Jurists ) dalam konferensi di Bangkok tahun 1965.

[29] Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan telah mengadakan ekspos data penyandang cacat klasifikasi ICF bekerjasama dengan PT. Surveyor Indonesia (Persero).

[30] M. Syahbuddin Latief. 1999. Jalan Kemanusiaan, Panduan untuk Memperkuat HAM. Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama. Hlm 197.

[31] Joko Setiyono. Kebijakan Legislatif Indonesia ( Tentang Kejahatan Terhadap Kemanusiaan sebagai Salah Satu Bentuk Pelanggaran HAM yang Berat ).

[32] Darwan Prinst, S.H. Sosialisasi & Diseminasi Penegakan HAM. 2001. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

[33] Djohanjah, Akses Pada Keadilan, Makalah pada Pelatihan HAM bagi Jejaing Komisi Yudisial, Bandung, 3 Juli 2010

[34] Ibid

[35] Sumber BPS di update tanggal 28 Mei 2013

[36] Sumber BPS di update tanggal 28 Mei 2013

[37] Kelompok Kerja Akses Terhadap keadilan, Strategi Nasional Akses Terhadap Keadilan, BAPPENAS Derektorat Hukum dan HAM, Jakarta, 2009, hlm 5-6

[38] Willem van Genugten J.M (ed), Human Rights Reference, Netherlands ministry of foreignAffairs, The Hague,  1994, hlm. 73

[39] Sumber BPS di update tanggal 28 Mei 2013

[40] Sri Palupi, Problem dan Tantangan dalam Akses Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dalam Prasetyohadi dan Savitri Wisnuwardhani (Ed), Penegakan Hak Asasi Manusia dalam 10 Tahun Reformasi, Komnas HAM, Jakarta, 2008, hlm 111

[41] Artidjo Alkostar, Pembangunan Hukum dan Keadilan, dalam  Moh. Mahfud MD, dkk (Ed), Kritik Sosial… Op. Cit, hlm 335-339

[42] Stephan Golub, Beyond Rule of Law Orthodocy : The Legal Empowerment Alternative, “Rule of Law series, Democracy and Rule of Law Project, Number 41, 2003

[43] Suparman Marzuki, Tragedi Politik Hukum HAM, Pusham UII-Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, hlm 431-432

[44] Paulus E. Lotulung, Menuju Sistem Hukum Nasional Pro Penyandang Disabilitas, Prospek dan tantangan. Jakarta, Makalah, tanpa tahun Publikasi

[45] Rival G Ahmad, dkk, Dari Parlemen ke Ruang Publik : Menggagas Proses Pembentukan Peraturan Partisipatif, Jentera, Edisi 2, Tahun 2003, hlm 118-119

[46] I Nyoman Nurjaya, Pluralisme Hukum Sebagai Instrumen Integrasi Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, dalam Donny Donardono (Ed), Wacana Pembaharuan… op. cit, hlm 75-77

[47] Arif Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hlm 2-9

[48] Ibid

[49] Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1988,, hlm 27

[50] Erman Rajagukguk, Agenda Pembaharuan Hukum Ekonomi Indonesia, dalam Moh. Mahfud MD, dkk, Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, UII Press, Yogyakarta, 1997

[51] Mauro Cappelletti dan Bryant Garth (Eds), Acces To Justice : Book I, Supra note 1, hlm  6-7

[52] Willem van Genugten J.M (ed), Human Rights Reference, Netherlands ministry of foreignAffairs, The Hague,  1994, hlm. 73

[53] Ricardo Simartana, Pluralisme Hukum, Mengapa Perlu?, dalam Donny Donardono (Ed), Wacana Pembaharuan Hukum di Indonesia, HuMa, 2007, hlm 72-73

[54] Stephan Golub, Beyond Rule of Law Orthodocy : The Legal Empowerment Alternative, “Rule of Law series, Democracy and Rule of Law Project, Number 41, 2003

[55] Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1988,, hlm 27

[56] Lihat International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Pasal 2, 3 dan 26 sebagaimana telah diratifikasi dan menjadi UU No. 12 tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik

[57] Lihat International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Pasal 2, 3 dan 26 sebagaimana telah diratifikasi dan menjadi UU No. 12 tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik

[58] Willem van Genugten J.M (ed), Human Rights Reference, Netherlands ministry of foreignAffairs, The Hague,  1994, hlm. 73

Continue Reading