Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada hari Jumat 26 Mei 2017 terhadap Pejabat Eselon I BPK Rochmadi Saptogiri dan Auditor BPK Ali Sadli, serta terhadap Irjen Kemendes Sugito dan pejabat eselon III Kemendes Jarot Budi Prabowo. Keempat orang tersebut kemudian ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan dengan dugaan tindak pidana suap terkait pemberian predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) kepada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).
Kejadian tersebut tentu sangat memilukan, mengingat apabila melihat falsafah dan tujuan dari pemberian Opini oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah merupakan bagian dari pengimplementasian prinsip Good Governance dan Clean Governance dalam pelaporan keuangan baik oleh Lembaga Pemerintahan baik yang di Pusat maupun di Daerah sebagaimana diamanatkan dalam Paket Undang-Undang tentang Pengelolaan Keuangan Negara serta Undang-Undang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme. Sehingga tidak salah apabila Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan yang lalu menegur serta mengingatkan terhadap beberapa Kementerian atau Lembaga yang masih mendapat Opini Disclaimer dan Wajar Dengan Pengecualian (WDP), agar supaya pada laporan keuangan selanjutnya harus memperoleh status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK.
Eksistensi WPT
Dalam praktek di lapangan, tidak jarang Kementerian atau Lembaga baik yang ada di Pusat ataupun didaerah berlomba-lomba guna mendapatkan status Laporan Keuangan dengan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK. Hal itu tentu bukan tanpa sebab, mengingat dengan status laporan Keuangan yang WTP tersebut setidaknya akan berpengaruh terhadap eksistensi Kementerian atau Lembaga baik dari perspektif politik, hukum atau bahkan ekonomi.
Dalam perspektif Politik misalnya, predikat Laporan Keuangan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) akan berpengaruh terhadap pencitraan Kementerian atau Lembaga dalam usaha menjalankan wewenang dan tanggung jawabnya. Selain itu dengan diperolehnya status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) maka Kementerian atau Lembaga tertentu tersebut seakan-akan telah menjalankan prinsip pengendalian dan pelaporan keuangan yang sesuai dengan standart kewajaran dan tata kelola akuntansi yang baik. Dengan predikat itulah Pejabat tersebut akan menggunakan penilaian WTP sebagai dasar atas keberhasilannya dalam menjalankan roda pemerintahan, sehingga pada akhirnya diharapkan publik atau atasannya akan tetap memberikan kepercayaan kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan.
Kemudian dalam perspektif hukum, tidak jarang predikat Laporan Keuangan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dijadikan dasar oleh Kementerian atau Lembaga sebagai bagian dari pelaksanaan penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) pada institusi yang dipimpinnya. Meskipun bukan merupakan dasar utama dari kementerian atau Lembaga yang mendapatkan opini WTP, akan tetapi hal tersebut tetap saja dapat digunakan sebagai acuan utamanya bagi Kementerian atau Lembaga untuk menyatakan kepada publik bahwa seakan-akan lembaga yang dipimpinnya telah menjalankan prinsip Good Governance dan Clean Governance. Sehingga bukan tanpa sebab apabila status WTP berpeluang hanya dijadikan kedok atau topeng guna menutupi kebobrokan birokrasi dalam menjalankan lembaga yang dipimpinnya.
Selain perspektif politik dan hukum seperti yang telah diurai diatas, juga terdapat keuntungan secara ekonomi bagi Lembaga yang mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Hal itu seperti yang dijanjikan oleh Pemerintah melalui Kementerian Keuangan, terhadap Pemerintah daerah yang telah memenuhi kriteria utama dan memiliki kinerja baik akan mendapatkan dana insentif daerah pada tahun 2017 yang dialokasikan sebesar Rp7,5 triliun. Adapun yang dimaksud Kriteria utama itu adalah pemerintah daerah tersebut telah mendapatkan opini WTP atau WDP dari BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dan telah menetapkan Perda APBD dengan tepat waktu. Untuk itulah predikat Laporan Keuangan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) menjadi semakin seksi dan semakin diperebutkan oleh Kementerian dan Lembaga baik yang berada di Pusat maupun didaerah.
Perbaikan Sistem
Terhadap urgenitas predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) bagi Kementerian atau Lembaga baik dalam perspektif politik, hukum atau bahkan ekonomi seperti yang telah diurai diatas, maka perlu kiranya adanya perbaikan sistem secara keseluruhan dalam upaya mengurangi potensi koruptif oleh oknum BPK dalam upaya pemberian opini penilaian laporan keuangan oleh BPK. Terhadap upaya pencegahan itulah setidaknya menurut penulis terdapat 3 (tiga) hal yang harus diperhatikan, diantaranya:
Pertama, membumikan kembali pengawasan melekat (Waskat), yakni pengawasan yang dilakukan oleh setiap pimpinan terhadap bawahan dalam lingkungan satuan kerja yang dipimpinnya. Hal ini menjadi sangat penting mengingat salah satu kegiatan pengawasan merupakan tugas dan tanggung jawab setiap pimpinan dalam struktur organisasi Kementerian atau Lembaga. Pimpinan dalam pelaksanaan pengawasan melekat diharapkan sebagai pendidik terhadap anak buahnya, sehingga fungsi pengawasan melekat pimpinan pada bawahan atau yang dipimpinnya memiliki unsur pendidikan pula, yaitu dalam bentuk pembinaan kepala suatu unit organisasi terhadap anak buahnya.
Kedua, mengutamakan prinsip-prinsip etika dalam penyelenggaraan fungsi dan kewenangan Penyelenggara Negara. Etika penyelenggara negara merupakan salah satu wujud kontrol terhadap Pejabat Publik dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi dan kewenangannya. Jika Penyelenggara negara menginginkan sikap, tindakan dan prilakunya dikatakan baik, maka dalam menjalankan tugas pokok, fungsi, dan kewenangannya harus menyandarkan pada etika Penyelenggara Negara. Etika Penyelenggara Negara disamping digunakan sebagai pedoman, acuan, dan referensi Pejabat Publik dapat pula digunakan sebagai standar untuk menilai apakah sikap, prilaku, dan kebijakannya dapat dikatakan baik atau buruk beserta sanksi terhadap pelanggaran etika dalam menjalan fungsi dan kewenangannya.
Ketiga, perlu penyamaan tentang standart baku dalam penyelenggaraan fungsi dan kewenangan Penyelengara Negara. Standart baku merupakan salah satu bagian terpenting dalam upaya mencapai tujuan organisasi, baik organisasi swasta, maupun pemerintahan. Dengan adanya standart baku yang berkualitas, maka dipastikan seluruh kegiatan akan kecil kemungkinan terjadi kesalahan ataupun kekeliruan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya apapun dan siapapun orangnya. Dengan adanya standart yang jelas maka proses penyelenggaraan pemerintah menjadi lebih efektif dan efisien serta mengurangi terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi yang diembannya.
Tiga cara dalam upaya mengurangi potensi koruptif dalam pemberian opini penilaian laporan keuangan oleh BPK sebagai diurai diatas, merupakan satu kesatuan dan tidak dapat terpisahkan satu sama lainnya. Namun tentunya cara-cara tersebut bukan merupakan sebuah jaminan dalam upaya mengurangi atau mencegah terjadinya koruptif dalam pemberian predikat Laporan Keuangan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh BPK. Pada akhirnya tentu akan tetap bergantung pada integritas, kemauan dan kesungguhan pejabat yang memiliki wewenang memeriksa dan menerbitkan opini laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.
Namun yang pasti semoga kedepan koruptif dalam hal penilaian laporan keuangan oleh BPK dapat benar-benar terhindarkan. Sehingga opini yang diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan benar-benar dapat menyajikan laporan keuangan dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai profesionalisme dan prinsip-prinsip kewajaran sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan. Sehingga peristiwa jual beli WTP seperti yang terjadi pada masa sebelumnya benar-benar merupakan peristiwa terakhir dan tidak terulang kembali dilain kesempatan.