CONFLICT OF INTEREST MA DALAM PERMOHONAN FATWA TENTANG STATUS AHOK

CONFLICT OF INTEREST MA

DALAM PERMOHONAN FATWA TENTANG STATUS AHOK

Muncul banyak sekali perdebatan pasca Ahok kembali menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, setelah selama 3,5 bulan Ahok menjalani cuti di luar tanggungan Negara untuk kepentingan Kampanye dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta.

Perdebatan itu berpangkal pada adanya tafsir ganda atas makna yang terkandung dalam Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Setidaknya menurut pengamatan penulis terdapat 3 (tiga) tafsir yang berbeda atas Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 tersebut apabila dihubungkan dengan status Ahok yang hingga saat ini menyandang sebagai Terdakwa dalam dugaan penodaan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 156 dan Pasal 156a KUHP.

Tafsir pertama adalah versi Kemendagri yang pada intinya pemberhentian sementara Ahok adalah menunggu sampai adanya tuntutan resmi oleh Jaksa Penuntut Umum, mengingat (Ahok) didakwa dengan 2 (dua) pasal yakni Pasal 156 dan 156a KUHP, yang masing-masing ancaman hukumannya berbeda-beda. Pada pasal 156 menyebutkan ancaman penjara paling lama 4 (empat) tahun, sedangkan 156a menyebutkan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun. Sehingga pelaksanaan Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 harus menunggu sampai adanya Tuntutan Jaksa Penuntut Umum, apabila Jaksa mendakwa pasal 156, maka Ahok tidak diberhentikan sementara, akan tetapi apabila Jaksa mendakwa Ahok dengan Pasal 156a, maka ahok akan diberhentikan.

Tafsir kedua adalah menurut Mahfud MD yang juga hampir sama dengan Denny Indrayana dan Zainal Arifin Mochtar, yang pada intinya dengan berdasar pada Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 setuju dan sepakat untuk memberhentikan sementara Ahok, meskipun Mahfud MD menambahkan dengan pilihan Perpu bagi Presiden. Adapun yang menjadi alasan ketiganya adalah Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014, telah jelas dan tidak dapat diftafsirkan lagi, bahwa kepala daerah berstatus terdakwa diberhentikan sementara jika ancaman hukuman atas kasusnya paling singkat lima tahun.

Tafsir yang ketiga adalah oleh Refly Harun yang pada intinya menyatakan Pertama, Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 tidak dapat diterapkan kepada Ahok, dikarenakan makna paling singkat dalam Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 tidak mencakup Pasal 156a KUHP yang didakwakan kepada Ahok, mengingat pengertian makna paling singkat lima tahun sudah pasti termasuk jenis kejahatan atau tindak pidana berat, bukan tindak pidana ringan atau tindak pidana menengah yang ancaman hukumannya kurang dari atau paling lama lima tahun.

Selain itu yang Kedua menurut Refly, Rumusan Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 berkenaan dengan frasa “perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia” bersifat multitafsir, sehingga tidak dapat dikenakan kepada Ahok, mengingat menurut Refly Pasal tersebut bersifat subjektif dan hingga saat ini belum ada institusi yang bisa menilai dan mengatakan hal tersebut.

Namun atas perbedaan pendapat tersebut, Mahfud MD dan Refly Harun sependapat terhadap alasan dan argumentasi Kemendagri yang menyatakan tidak memberhentikan sementara Ahok karena menunggu sampai adanya tuntutan resmi oleh Jaksa Penuntut Umum adalah alasan yang tidak tepat dan keliru. Hal itu mengingat menurut keduanya sudah jelas Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014  kepala daerah berstatus “Terdakwa” bukan “Tertuntut”. Sehingga dengan demikian alasan Kemendagri menurut hukum tidak dapat dibenarkan menurut keduanya.

Kemudian disisi yang lain, juga terdapat beberapa usulan Permintaan Fatwa terhadap adanya perbedaan tafsir atas Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 kepada Mahkamah Agung RI. Ternyata melalui usulan ini direspon dengan cepat oleh Pemerintah, terbukti muncul beberapa pemberitaan di media bahwa Presiden mengintruksikan kepada Mendagri untuk meminta pendapat hukum terkait dugaan kasus yang menjerat Ahok. Hingga pada akhirnya Mendagri Tjahjo Kumolo pada hari Selasa tangal 14 februari 2017 bertemu dengan Ketua Mahkamah Agung (MA) Hatta Ali untuk menyampaikan surat permohonan pendapat hukum kepada MA tersebut.

Bola Panas Berpindah

Atas permohonan Fatwa MA oleh Mendagri tersebut tentu bola panas akan berpindah kepada MA, mengingat atas inisiatif tersebut berdasarkan analisa penulis setidaknya akan menimbulkan beberapa problem hukum. Pertama, Pemerintah dalam hal ini diwakili oleh Kemendagri akan dinilai ragu-ragu dan tidak konsisten, sehingga akan menimbulkan ketidakpastian hukum terhadap kebijakan yang diambil sebelumnya terkait dengan pemberhentian sementara Ahok yang menyatakan menunggu sampai adanya tuntutan resmi oleh Jaksa Penuntut Umum sebagaimana telah diurai diatas. Padahal jelas menurut Pasal 9 ayat (4) UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan menyatakan “Ketiadaan atau ketidakjelasan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf b, tidak menghalangi Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang berwenang untuk menetapkan dan/atau melakukan keputusan dan/atau tindakan sepanjang memberikan kemanfaatan umum dan sesuai dengan AUPB

Kedua, Mahkamah Agung dalam hal ini juga harus berhati-hati terhadap permohonan Fatwa oleh Kemendagri, mengingat terhadap sikap Kemendagri sebelumnya yang mengaktifkan kembali Ahok sebagai Gubernur, juga telah digugat oleh Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, yang terregister dengan Nomor Perkara 36/G/2017/PTUN.JKT tertanggal 13 Februari 2017. Atas gugatan tersebut tentu akan memunculkan konsekwensi hukum apabila Mahkamah Agung mengeluarkan Fatwa terkait permohonan yang dimohonkan oleh Kemendagri, hal itu tentu akan mengganggu independensi dan beban psikologis Hakim PTUN Jakarta yang akan memeriksa dan mengadili atas perkara 36/G/2017/PTUN.JKT, mengingat antara Fatwa MA yang akan mungkin dikeluarkan dengan pokok perkara yang dipersoalkan dalam perkara 36/G/2017/PTUN.JKT adalah hampir sama, sehingga akan menimbulkan konflik kepentingan (conflict of interest) MA dalam mengeluarkan Fatwa yang dimintakan oleh Kemendagri terhadap status Gubernur Ahok.

Ketiga, Apabila Mahkamah Agung mengeluarkan fatwa yang diminta oleh Kemendagri, maka akan dinilai telah melakukan penyalahgunaan wewenang dengan cara melampaui wewenang sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Sehingga apabila hal tersebut terjadi, maka akan berpotensi terhadap adanya gugatan oleh pihak yang berkepentingan atas penyalahgunaan wewenang dengan cara melampaui wewenang oleh MA, atau hal lain juga berpeluang dilakukannya kontrol oleh lembaga Parlemen ataupun people power atas penyalahgunaan wewenang oleh MA tersebut.

Jalan Keluar

Pemerintah dalam hal ini Kemendagri menurut saya harus konsisten atas tindakan yang diambilnya terkait pemberhentian sementara Ahok. Apabila memang Pemerintah meyakini atas pandangan yang pada intinya pemberhentian sementara Ahok adalah menunggu sampai adanya tuntutan resmi oleh Jaksa Penuntut Umum, maka biarlah hal tersebut menjadi pijakan dan pilihan hukum pemerintah dengan segala konsekwensi hukumnya.

Selain itu terhadap banyaknya tafsir yang diberikan masyarakat luas, maka tafsir tersebut  harus diposisikan sebagai Doktrin (pendapat) hukum yang tidak bersifat mengikat.  Kemudian terhadap adanya rencana hak angket yang dilakukan oleh DPR, maka hal tersebut harus dipandang merupakan hak DPR, yang mau tidak mau harus dihadapi dengan argumentasi hukum Pemerintah sebagaimana telah diambil sebelumnya.

Terhadap adanya gugatan ke PTUN oleh Advokat Cinta Tanah Air (ACTA) atas status Ahok tersebut, maka biarlah percayakan kepada Pengadilan untuk menilai atas gugatan tersebut. Pada saatnya nanti akan ada Putusan resmi Pengadilan yang memiliki kekuatan hukum yang mengikat yang harus dihormati oleh semua kalangan.

Selain itu terhadap banyaknya tafsir liar atas Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tersbut, maka saya menyarankan agar menyudahi perdebatan dengan cara menempuh jalur uji materi (Judicial Review) kepada Mahkamah Konstitusi, untuk dapat memastikan kebenaran atas tafsir konstitusional atas Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tersebut.

Harapannya melalui jalan keluar sebagaimana tersebut diatas, yakni dengan mempercayakan kepada lembaga-lembaga yang berwenang sesuai dengan kewenangannya, tentunya dengan tidak menghilangkan kontrol sosial atas kewenangan yang dijalankan oleh lembaga berwenang tersebut, diharapkan keributan, saling tuduh, saling menyalahkan dan saling marah dapat terhindarkan. Bukankah kita hidup untuk mencari kebahagiaan…

Link : Conflict of Interest MA dalam Permohonan Fatwa Tentang Status Ahok

Continue Reading

PERDEBATAN PEMBERHENTIAN SEMENTARA GUBERNUR AHOK

PERDEBATAN PEMBERHENTIAN SEMENTARA GUBERNUR AHOK

Jabatan Gubernur DKI Jakarta kembali dijabat oleh Basuki Tjahja Purnama (Ahok) per tanggal 12 Februari 2017, hal itu dikuatkan dengan adanya Serah-terima jabatan (sertijab) antara  Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat dengan Plt Gubernur DKI Sumarsono yang digelar di Balai Kota DKI Jakarta, pada hari Sabtu tanggal 11 februari 2017.

Atas peristiwa tersebut, muncul beberapa perdebatan baik ditingkatan masyarakat maupun kalangan pemerhati hukum serta beberapa kalangan anggota DPR, mengingat status Ahok yang hingga saat ini menyandang sebagai Terdakwa dalam dugaan penodaan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 156 dan Pasal 156a KUHP.

Adapun alasan hukum yang digunakan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengapa tidak memberhentikan sementara Ahok adalah menunggu sampai adanya tuntutan resmi oleh Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan, hal itu dikarenakan (Ahok) didakwa dengan 2 (dua) pasal yakni Pasal 156 dan 156a KUHP, yang masing-masing ancaman hukumannya berbeda-beda. Pada pasal 156 menyebutkan ancaman penjara paling lama 4 (empat) tahun, sedangkan 156a menyebutkan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun.

Kemendagri beralasan telah mengambil keputusan yang sudah benar secara aturan, serta tidak spekulatif dengan tetap berpedoman pada Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu menurut Kemendagri akan menjadi blunder apabila pemerintah mengambil sikap dengan memberhentikan sementara Ahok, ternyata JPU nantinya memberikan tuntutan mengacu Pasal 156 dengan ancaman pidana paling lama 4 tahun penjara, sehingga Kemendagri akan dinilai tidak patuh pada peraturan perundang-undangan, bahkan dinilai cenderung tak netral. Sehingga dengan dua dakwaan tersebut, Kemendagri menyatakann masih perlu menunggu kepastian pasal mana yang akan digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum.

Disisi yang lain terdapat perdebatan atau berpedaan pandangan dalam hal ini antara Mahfud MD dengan Refly Harun berkaitan dengan pemaknaan Pemberhentian Sementara Kepala Daerah berdasar Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut :

“Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana  penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Menurut Mahfud MD Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, telah jelas dan tidak dapat diftafsirkan lagi, bahwa kepala daerah berstatus terdakwa diberhentikan sementara jika ancaman hukuman atas kasusnya paling singkat lima tahun. Selain itu menurut Mahfud, alasan yang dipakai Kemendagri bahwa harus menunggu tuntutan itu pun tidak beralasan, dikarenakan dalam dakwaan sudah jelas terkait ancaman pidana kepada Ahok yakni pasal 156 atau pasal 156a dengan ancaman masing-masing empat dan lima tahun.

Namun menurut Mahfud apabila Pemerintah tetap berkeinginan mempertahankan Ahok sebagai Gubernur, maka Pemerintah harus mencabut Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Presiden mengeluarkan Perpu sesuai dengan hak subjektifnya tentunya dengan segala akibat politik yang akan dipertanggungjawabkannya.

Berbeda dengan Refly Harun yang secara tegas berbeda pandangan dengan Mahfud MD dengan menyatakan Tak Ada Alasan untuk Menonaktifkan Ahok. Adapun alasan yang menjadi argumentasi hukum Refly terdiri 2 (bagian), Pertama, Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 tidak dapat diterapkan kepada Ahok, dikarenakan dalam Pasal tersebut mengandung Frasa “tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, sehingga makna paling singkat tersebut menurut Refly tidak mencakup Pasal 156a KUHP yang didakwakan kepada Ahok, mengingat pengertian makna paling singkat lima tahun sudah pasti termasuk jenis kejahatan atau tindak pidana berat, bukan tindak pidana ringan atau tindak pidana menengah yang ancaman hukumannya kurang dari atau paling lama lima tahun.

Selain itu yang Kedua menurut Refly, Rumusan Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah berkenaan dengan frasa “perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia” bersifat multitafsir, sehingga tidak dapat dikenakan kepada Ahok, mengingat menurut Refly Pasal tersebut bersifat subjektif dan hingga saat ini belum ada institusi yang bisa menilai dan mengatakan hal tersebut.

Namun yang pasti baik pendapat hukum Mahfud MD dan Refly Harun sebagaimana tersebut diatas, keduanya sama-sama menilai terhadap alasan dan argumentasi Kemendagri yang menyatakan tidak memberhentikan sementara Ahok karena menunggu sampai adanya tuntutan resmi oleh Jaksa Penuntut Umum adalah alasan yang tidak tepat dan keliru. Hal itu mengingat menurut keduanya sudah jelas Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah kepala daerah berstatus “Terdakwa” bukan “Tertuntut”. Sehingga dengan demikian alasan Kemendagri menurut hukum tidak dapat dibenarkan.

Kontrol Parlemen dan Peradilan

Perdebatan diatas baik oleh Kemendagri, Ahli Hukum dan Masyarakat luas tentunya bukan merupakan Putusan Hukum yang dapat dikategorikan sebagai tafsir yang bersifat mengikat secara mutlak. Keputusan Kemendagri yang menyatakan tidak memberhentikan sementara Ahok karena menunggu sampai adanya tuntutan resmi oleh Jaksa Penuntut Umum, sementara harus dianggap benar sesuai dengan Prinsip Praduga Rechtmatig/Presumtio Iustia Causa.

Selain itu terhadap tafsir yang diberikan baik oleh Mahfud MD maupun Refly Harun maupun masyarakat luas harus diposisikan sebagai Doktrin (pendapat) hukum yang tidak bersifat mengikat. Doktrin-doktrin tersebut tidak lebih hanya sebagai argumentasi hukum untuk memperkaya dan memberikan pemahaman tentang problematika perkembangan hukum yang terus berkembang seiring perkembangan zaman.

Namun diluar itu tentu terdapat fungsi pengawasan DPR apabila kuat dugaan atas Keputusan Kemendagri terhadap status aktif Gubernur Ahok tersebut diduga bertentangan atau melanggar ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Sehingga DPR dapat menggunakan fungsi pengawasan yang sah menurut hukum (baik berupa hak angket dan hak interpelasi) utamanya berkaitan dengan pengawasan mengenai sejauhmana pelbagai kebijakan yang tertuang secara mengikat dalam bentuk undang-undang itu dijabarkan sebagaimana mestinya dalam pelbagai peraturan pelaksanaannya, dan dalam praktik di lapangan oleh Pemerintah (ekskutif).

Selain itu masyarakat yang memiliki kepentingan secara langsung dan dirugikan atas Keputusan Kemendagri terhadap status aktif Gubernur Ahok tersebut, maka dapat melakukan Gugatan Tata Usaha Negara dengan tenggang waktu 90 (Sembilan puluh) hari sejak Keputusan Kemendagri mengaktifkan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dengan segala macam kekurangannya, upaya hukum ini tentu akan memakan waktu yang cukup lama untuk sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).

Selain itu terhadap banyaknya tafsir liar atas Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tersbut, masyarakat yang memiliki legal standing dan terdapat kerugian konstitusional atas berlakunya Pasal tersebut dapat menempuh jalur uji materi (Judicial Review) kepada Mahkamah Konstitusi, untuk dapat memastikan kebenaran atas tafsir konstitusional atas Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tersebut.

Harapannya melalui 2 (dua) jalur tersebut baik melalui Pengawasan Fungsi Parlemen dan Pengawasan Fungsi Lembaga Peradilan dalam hal ini melalui jalur Peradilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi dapat meminimalisir adanya perdebatan yang kurang sehat seperti adanya saling tuduh dan saling curiga antar pihak pro dan kontra yang akhirnya akan mengikis rasa kebihnnekaan dan persatuan dan kesatuan bangsa.

Link : Pemberhentian Sementara Gubernur Ahok

Continue Reading