PERDEBATAN PEMBERHENTIAN SEMENTARA GUBERNUR AHOK
Jabatan Gubernur DKI Jakarta kembali dijabat oleh Basuki Tjahja Purnama (Ahok) per tanggal 12 Februari 2017, hal itu dikuatkan dengan adanya Serah-terima jabatan (sertijab) antara Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat dengan Plt Gubernur DKI Sumarsono yang digelar di Balai Kota DKI Jakarta, pada hari Sabtu tanggal 11 februari 2017.
Atas peristiwa tersebut, muncul beberapa perdebatan baik ditingkatan masyarakat maupun kalangan pemerhati hukum serta beberapa kalangan anggota DPR, mengingat status Ahok yang hingga saat ini menyandang sebagai Terdakwa dalam dugaan penodaan agama sebagaimana diatur dalam Pasal 156 dan Pasal 156a KUHP.
Adapun alasan hukum yang digunakan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengapa tidak memberhentikan sementara Ahok adalah menunggu sampai adanya tuntutan resmi oleh Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan, hal itu dikarenakan (Ahok) didakwa dengan 2 (dua) pasal yakni Pasal 156 dan 156a KUHP, yang masing-masing ancaman hukumannya berbeda-beda. Pada pasal 156 menyebutkan ancaman penjara paling lama 4 (empat) tahun, sedangkan 156a menyebutkan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun.
Kemendagri beralasan telah mengambil keputusan yang sudah benar secara aturan, serta tidak spekulatif dengan tetap berpedoman pada Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Selain itu menurut Kemendagri akan menjadi blunder apabila pemerintah mengambil sikap dengan memberhentikan sementara Ahok, ternyata JPU nantinya memberikan tuntutan mengacu Pasal 156 dengan ancaman pidana paling lama 4 tahun penjara, sehingga Kemendagri akan dinilai tidak patuh pada peraturan perundang-undangan, bahkan dinilai cenderung tak netral. Sehingga dengan dua dakwaan tersebut, Kemendagri menyatakann masih perlu menunggu kepastian pasal mana yang akan digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum.
Disisi yang lain terdapat perdebatan atau berpedaan pandangan dalam hal ini antara Mahfud MD dengan Refly Harun berkaitan dengan pemaknaan Pemberhentian Sementara Kepala Daerah berdasar Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut :
“Kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah diberhentikan sementara tanpa melalui usulan DPRD karena didakwa melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun, tindak pidana korupsi, tindak pidana terorisme, makar, tindak pidana terhadap keamanan negara, dan/atau perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”
Menurut Mahfud MD Pasal 83 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, telah jelas dan tidak dapat diftafsirkan lagi, bahwa kepala daerah berstatus terdakwa diberhentikan sementara jika ancaman hukuman atas kasusnya paling singkat lima tahun. Selain itu menurut Mahfud, alasan yang dipakai Kemendagri bahwa harus menunggu tuntutan itu pun tidak beralasan, dikarenakan dalam dakwaan sudah jelas terkait ancaman pidana kepada Ahok yakni pasal 156 atau pasal 156a dengan ancaman masing-masing empat dan lima tahun.
Namun menurut Mahfud apabila Pemerintah tetap berkeinginan mempertahankan Ahok sebagai Gubernur, maka Pemerintah harus mencabut Pasal 83 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Presiden mengeluarkan Perpu sesuai dengan hak subjektifnya tentunya dengan segala akibat politik yang akan dipertanggungjawabkannya.
Berbeda dengan Refly Harun yang secara tegas berbeda pandangan dengan Mahfud MD dengan menyatakan Tak Ada Alasan untuk Menonaktifkan Ahok. Adapun alasan yang menjadi argumentasi hukum Refly terdiri 2 (bagian), Pertama, Pasal 83 ayat (1) UU 23/2014 tidak dapat diterapkan kepada Ahok, dikarenakan dalam Pasal tersebut mengandung Frasa “tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun”, sehingga makna paling singkat tersebut menurut Refly tidak mencakup Pasal 156a KUHP yang didakwakan kepada Ahok, mengingat pengertian makna paling singkat lima tahun sudah pasti termasuk jenis kejahatan atau tindak pidana berat, bukan tindak pidana ringan atau tindak pidana menengah yang ancaman hukumannya kurang dari atau paling lama lima tahun.
Selain itu yang Kedua menurut Refly, Rumusan Pasal 83 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah berkenaan dengan frasa “perbuatan lain yang dapat memecah belah Negara Kesatuan Republik Indonesia” bersifat multitafsir, sehingga tidak dapat dikenakan kepada Ahok, mengingat menurut Refly Pasal tersebut bersifat subjektif dan hingga saat ini belum ada institusi yang bisa menilai dan mengatakan hal tersebut.
Namun yang pasti baik pendapat hukum Mahfud MD dan Refly Harun sebagaimana tersebut diatas, keduanya sama-sama menilai terhadap alasan dan argumentasi Kemendagri yang menyatakan tidak memberhentikan sementara Ahok karena menunggu sampai adanya tuntutan resmi oleh Jaksa Penuntut Umum adalah alasan yang tidak tepat dan keliru. Hal itu mengingat menurut keduanya sudah jelas Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah kepala daerah berstatus “Terdakwa” bukan “Tertuntut”. Sehingga dengan demikian alasan Kemendagri menurut hukum tidak dapat dibenarkan.
Kontrol Parlemen dan Peradilan
Perdebatan diatas baik oleh Kemendagri, Ahli Hukum dan Masyarakat luas tentunya bukan merupakan Putusan Hukum yang dapat dikategorikan sebagai tafsir yang bersifat mengikat secara mutlak. Keputusan Kemendagri yang menyatakan tidak memberhentikan sementara Ahok karena menunggu sampai adanya tuntutan resmi oleh Jaksa Penuntut Umum, sementara harus dianggap benar sesuai dengan Prinsip Praduga Rechtmatig/Presumtio Iustia Causa.
Selain itu terhadap tafsir yang diberikan baik oleh Mahfud MD maupun Refly Harun maupun masyarakat luas harus diposisikan sebagai Doktrin (pendapat) hukum yang tidak bersifat mengikat. Doktrin-doktrin tersebut tidak lebih hanya sebagai argumentasi hukum untuk memperkaya dan memberikan pemahaman tentang problematika perkembangan hukum yang terus berkembang seiring perkembangan zaman.
Namun diluar itu tentu terdapat fungsi pengawasan DPR apabila kuat dugaan atas Keputusan Kemendagri terhadap status aktif Gubernur Ahok tersebut diduga bertentangan atau melanggar ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Sehingga DPR dapat menggunakan fungsi pengawasan yang sah menurut hukum (baik berupa hak angket dan hak interpelasi) utamanya berkaitan dengan pengawasan mengenai sejauhmana pelbagai kebijakan yang tertuang secara mengikat dalam bentuk undang-undang itu dijabarkan sebagaimana mestinya dalam pelbagai peraturan pelaksanaannya, dan dalam praktik di lapangan oleh Pemerintah (ekskutif).
Selain itu masyarakat yang memiliki kepentingan secara langsung dan dirugikan atas Keputusan Kemendagri terhadap status aktif Gubernur Ahok tersebut, maka dapat melakukan Gugatan Tata Usaha Negara dengan tenggang waktu 90 (Sembilan puluh) hari sejak Keputusan Kemendagri mengaktifkan kembali Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Dengan segala macam kekurangannya, upaya hukum ini tentu akan memakan waktu yang cukup lama untuk sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Selain itu terhadap banyaknya tafsir liar atas Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tersbut, masyarakat yang memiliki legal standing dan terdapat kerugian konstitusional atas berlakunya Pasal tersebut dapat menempuh jalur uji materi (Judicial Review) kepada Mahkamah Konstitusi, untuk dapat memastikan kebenaran atas tafsir konstitusional atas Pasal 83 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tersebut.
Harapannya melalui 2 (dua) jalur tersebut baik melalui Pengawasan Fungsi Parlemen dan Pengawasan Fungsi Lembaga Peradilan dalam hal ini melalui jalur Peradilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Konstitusi dapat meminimalisir adanya perdebatan yang kurang sehat seperti adanya saling tuduh dan saling curiga antar pihak pro dan kontra yang akhirnya akan mengikis rasa kebihnnekaan dan persatuan dan kesatuan bangsa.