PEMBUBARAN PARPOL KORUPTIF
Sangat mengejutkan, melalui sidang perdana pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dengan agenda dakwaan Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus dugaan korupsi e-KTP atas nama terdakwa Irman dan Sugiharto, muncul nama-nama besar yang patut diduga ikut menerima suap dalam pengadaan e-KTP. Dalam dakwaannya, Jaksa menyebut setidaknya terdapat 38 pihak yang diduga sebagai penerima dana pengadaan e-KTP dari terdakwa Irman dan Sugiharto. Nama-nama tersebut terdiri dari berbagai macam kalangan profesi seperti para pejabat negara, puluhan politisi, Menteri, Kepala Daerah, Korporasi dan kalangan swasta sebagai penerima suap.
Banyaknya politisi yang sebagian besar sebagai penerima suap sungguh sangat memprihatinkan, terlebih lagi politisi tersebut memiliki otoritas dan jabatan baik dalam struktur organisasi partai politik maupun dalam jabatan pemerintahan. Untuk itu memunculkan harapan publik bagi aparat penegak hukum dan pemerintah yakni tidak hanya dapat menjerat orang perorang dari kalangan parpol, akan tetapi juga muncul harapan dari sebagian masyarakat agar aparat penegak hukum dan pemerintah dapat menjerat partai politik secara institusi untuk dapat dibubarkan.
Atas wacana tersebut tentu terdapat pertanyaan mendasar, dapatkah membubarkan parpol yang terlibat dalam tindakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme ? Bagaimana prosedur dan tata caranya ? dan bagaimana pula peluang dan tantangannya ?
Prosedur
Secara konstitusional Pasal 24C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memutus pembubaran partai politik. Adapun yang memiliki Legal Standing sebagai Pemohon dalam Pembubaran partai politik menurut Pasal 68 Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi adalah Pemerintah.
Kemudian ditegaskan bahwa Pemohon Pembubaran partai politik menurut Pasal 3 ayat (1) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur beracara dalam Pembubaran Partai Politik adalah Pemerintah yang dapat diwakili oleh Jaksa Agung dan/atau Menteri yang ditugasi oleh Presiden. Sedangkan Termohon menurut Pasal 3 ayat (2) PMK No. 12 tahun 2008 adalah partai politik yang diwakili oleh pimpinan partai politik yang dimohonkan atau dapat didampingi oleh kuasa hukumnya.
Pemohon harus dapat menguraikan permohonannya dengan didasarkan pada ideologi, asas, tujuan, program partai politik yang dimohonkan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, serta kegiatan atau akibat yang ditimbulkan oleh partai politik yang dimohonkan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu Pemohon harus mendasarkan pada alat-alat bukti pendukung atas permohonan pembubaran parpol yang dimohonkan.
Terhadap permohonan yang telah dinyatakan lengkap, MK akan menetapkan hari sidang perdana paling lambat 7 hari kerja sejak permohonan dinyatakan lengkap, sedangkan Termohon wajib menyerahkan jawaban paling lama 1 hari sebelum sidang perdana dimulai. Kemudian MK akan memeriksa dan mengadili serta wajib mengambil putusan dalam jangka waktu paling lambat 60 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam buku registrasi perkara konstitusi.
Peluang dan Tantangan
Dewasa ini parpol telah memiliki peranan yang sangat penting terhadap pertumbuhan dan perkembangan suatu negara. Bahkan, dalam beberapa aspek tertentu peranan parpol telah melebihi peran dan pengaruh suatu negara. Namun dalam perkembangannya, parpol seringkali melakukan tindakan-tindakan yang mengarah pada pelanggaran hukum bahkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia, salah satunya turut andilnya parpol dalam praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Kondisi yang demikian tentu akan berdampak negatif bagi perkembangan bernegara.
Kedudukan Parpol sebagai ujung tombak sistem demokrasi bukan berarti parpol dalam menjalankan aktivitasnya menjadi kebal hukum atau tidak dapat dibubarkan. Parpol yang nyata-nyata terlibat dalam praktek/kegiatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme maka jelas telah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, sehingga tidak alasan untuk tidak dapat dibubarkan.
Berdasarkan analisa penulis terhadap peluang dan tantangan pembubaran parpol yang terlibat dalam kegiatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme setidaknya terdapat beberapa hal, Pertama KPK harus dapat membuktikan bahwa aliran dana yang bersumber dari praktek Koruptif tersebut juga dinikmati atau mengalir kepada Parpol dalam menjalankan aktivitas organisasinya. Untuk itu diperlukan sinergi antara KPK dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) serta lembaga terkait lainnya, guna mencari dan membuktikan apakah memang terdapat aliran dana hasil dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme kepada Parpol.
Kedua, apabila berdasarkan putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkrach) terbukti terdapat aliran dana dari hasil praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme kepada parpol, maka diharapkan KPK merapatkan barisan untuk berkoordinasi dengan Pemerintah dalam hal ini Presiden yang memiliki legal standing untuk dapat mengajukan permohonan pembubaran Partai Politik kepada Mahkamah Konstitusi. KPK dalam hal ini juga dapat berkoordinasi dengan lembaga penegak hukum terkait lainnya guna mendapat dukungan baik moral dan politik demi tegaknya hukum dan keadilan.
Ketiga, Pemerintah dalam hal ini Presiden harus objektif menilai terhadap urgensi penyelenggaraan Negara yang bersih bebas dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Sehingga apabila terdapat partai politik yang juga turut andil atau turut serta dan merasakan dalam kegiatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, maka diharapkan tidak ragu untuk mengambil langkah-langkah hukum utamanya berkenaan dengan Permohonan Pembubaran Parpol yang terlibat dalam kegiatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme kepada Mahkamah Konstitusi.
Keempat, masyarakat juga harus mengawal semangat berdemokrasi yang berkwalitas dan bersih dari praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Selain itu untuk memberikan sanksi yang tegas terhadap parpol yang secara nyata turut andil atau turut serta dan merasakan dalam kegiatan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, maka tidak ada sedikitpun keraguan untuk mendukung aparat penegak hukum dan Pemerintah guna memproses secara hukum dengan cara mengajukan permohonan pembubaran atas parpol tersebut kepada Mahkamah Konstitusi.
Kelima, Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga pengawal konstitusi yang salah satunya diberikan kewenangan secara konstitusional untuk memeriksa dan mengadili Permohonan Pembubaran Partai Politik, harus tetap menjaga independensinya dalam memutus berkaitan dengan permohonan pembubaran partai politik oleh Pemerintah. MK harus menjadi harapan lembaga yang dapat menegakkan konstitusi yang salah satunya dengan cara objektif mengambil putusan yang seadil-adilnya terhadap partai politik yang nyata-nyata merugikan keuangan Negara dan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Tentu pembubaran partai politik ini bukanlah perkara yang mudah, mengingat dalam pratek dilapangan akan sangat bersinggungan dan tarik-menarik kepentingan antara penegakan hukum dan politik didalamnya. Apalagi apabila parpol yang dimohonkan merupakan parpol yang cukup besar dan merupakan parpol pendukung pemerintah. Akan tetapi biarlah waktu yang akan membuktikan sejauh mana antara pemegang kepentingan dapat mempersonifikasikan dirinya sebagai abdi masyarakat dalam hal ini, sehingga mampu memberikan nilai-nilai keadilan bagi penegakan hukum di Indonesia.
1 Comment