KEDUDUKAN SURAT KEPUTUSAN BERSAMA (SKB) APABILA DIKAITKAN DENGAN HIERARKI NORMA HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 12 TAHUN 2011

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara berkembang memerlukan peranan dari aparatur pemerintah dalam pelaksanaan pembangunan. Tugas pembangunan adalah salah satu dari aspek penyelenggaraan tugas pemerintahan yang sasarannya terwujud dalam tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam  Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Konsekuensi logis dari adanya tugas yang diemban dari aparatur pemerintah ini dilakukan suatu perbuatan penetapan (beschikking handeling) yang menghasilkan ketetapan (beschikking). Pengertian ketetapan berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 tentang PTUN, yaitu: suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ada beberapa unsur yang terdapat yang terdapat dalam beshikking menurut beberapa para sarjana, yaitu: penetapan tersebut tertulis dan dikeluarkan  oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara,berisi tindakan hukum dalam bidang Tata Usaha Negara,berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,bersifat konkrit, individual dan final, menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.[1]

Berdasarkan pengertian ketetapan di atas, Pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) / ketetapan tata usaha Negara(KTUN) harus memperhatikan  unsur-unsur dan beberapa persyaratan agar keputusan tersebut menjadi sah menurut hukum(rechtgeldig) dan memiliki kekuatan hukum untuk dilaksanakan. Syarat-syarat yang harus dipenuhi tersebut ialah syarat materil dan syarat formil. Ketetapan yang telah memenuhi syarat materil dan syarat formil, maka ketetapan itu telah sah menurut hukum dan dapat diterima sebagai suatu bagian dari tertib hukum.

Kelsen mengemukakan teorinya mengenai hirarki hukum. Ia berpendapat bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu hirarki tata susunan. Ini berarti suatu norma yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yaitu norma dasar. Suatu norma hukum itu keatas ia bersumber dan berdasar pada norma di atasnya, tetapi kebawah ia juga menjadi dasar dan menjadi sumber norma hukum di bawahnya, sehingga suatu norma hukum itu mempunyai masa berlaku yang relatif karena norma hukum itu berlaku tergantung pada norma yang diatasnya.

Maraknya dikeluarkannya Surat Keputusan Bersama (SKB) oleh beberapa kementerian Negara menimbulkan tafsir ganda, baik dari segi formil maupun materiil dari Surat Keputusan Bersama (SKB) yang keluarkan. Persoalannya tidak lain adalah menimbulkan pertanyaan apakah produk Surat Keputusan Bersama (SKB) merupakah Beschiking atau Regeling, dan kedudukan Surat Keputusan Bersama (SKB) dalam hierarki norma hukum seperti apa. Untuk itu hal ini menimbulkan tafsir ganda dalam kenyataannya. Seprti semisal contah Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Jemaah Ahmadiyah yang apabila diteliti dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) tersebut bersifat mengatur, bukan menetapkan.

Dari uraian di atas, maka penulis mencoba menganalisis tentang makna dan kedudukan Surat Keputusan Bersama (SKB) dalam hierarki norma hukum di Indonesia. Hal ini dikarenakan belum jelasnya baik secara formil dan materiil muatan maupun lembaga pembentuk dari Surat Keputusan Bersama (SKB) di Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah

            Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini diantaranya :

  1. Bagaimanakah kategori muatan Surat Keputusan Bersama (SKB) apabila dihubungkan dengan teori Beschiking dan Regeling ?
  2. Bagaimana kedudukan Surat Keputusan Bersama (SKB) apabila dikaitkan dengan hierarki norma hukum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan ?

1.3. Tujuan Penulisan

Tujuan Penulisan makalah ini adalah :

  1. Menganalisa kategori muatan Surat Keputusan Bersama (SKB) apabila dihubungkan dengan teori Beschiking dan Regeling
  2. Menjelaskan kedudukan Surat Keputusan Bersama (SKB) apabila dikaitkan dengan hierarki norma hukum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan

1.4. Manfaat Penulisan

Sedangkan yang menjadi manfaat dalam penulisan makalah ini adalah :

  1. Untuk memperkaya pengetahuan dibidang ilmu perundang-undangan, utamanya yang berkaitan dengan makna dan kedudukan Surat Keputusan Bersama (SKB) dalm system hukum Indonesia
  2. Untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh pengasuh mata kuiah Ilmu Perundang-Undangan Pascasarjana Unibersitas Indonesia

1.5. Metode Penulisan

Metode penulisan yang digunakan dalam makalah ini adalah :

  1.  Sifat penelitian

Penelitian bersifat deskriptif analisis,yaitu untuk menggambarkan keadaan mengenai makna dan kedudukan Surat Keputusan Bersama (SKB)

  1. Metode pendekatan

Penulis menggunakan metode pendekatan Yuridis Normatif,[2] yaitu suatu pendekatan masalah dengan melihat adanya pembatasan kekuasaan penyelenggara negara melalui hukum berlaku dengan adanya suatu ketetapan.

  1. Tahapan penelitian

Tahapan penelitian  yang akan dilakukan adalah:

  1. a)        Studi kepustakaan, dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang terdiri dari bahan hukum sekunder, berupa buku-buku,majalah, dan surat kabar serta karya ilmiah dan situs-situs website mengenai Keputusan Tata Usaha Negara (Beschikking).
  2. b)         Teknik pengumpulan data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan alat pengumpulan data yaitu studi kepustakaan dengan bahan hukum sekunder.

  1. c)         Analisis data

Analisis data dilakukan dengan metode Yuridis kualitatif yaitu data diperoleh disusun secara kualitatif untuk mencapai kejelasan tentang makna dan kedudukan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang tidak menggunakan rumus, kemudian data sekunder yang diperoleh dari penelitian disusun dengan teratur dan sistematis sehingga dapat dianalisis dan ditarik kesimpulan.

BAB 2

TEORI TENTANG BESCHIKING DAN REGELING

2.1. BESCHIKING

  1. Istilah Ketetapan

Ketetapan Tata Usaha Negara pertama kali diperkenalkan oleh seorang sarjana Jerman, Otto Meyer, dengan istilah verwaltungsakt. Istilah  ini diperkenalkan di negeri Belanda dengan  nama beschikking oleh Vollenhoven dan C.W. van der Pot, yang oleh beberapa penulis, seperti AM. Donner,H.D. van Wijk/Willemkonijnenbelt, dianggap sebagai “de vader van  het modern beschikkingsbegrip,”(bapak dari konsep beschikking yang modern).[3]

Di Indonesia istilah Beshikking  diperkenalkan pertama kali oleh WF. Prins. Ada yang menerjemahkan istilah beshikking ini dengan “ketetapan”, seperti E.Utercht, Bagir Manan, Sjachran Basah, dan lain lain , dan dengan “keputusan” seperti WF. Prins dan SF. Marbun, dan lain lain.

Meskipun penggunaaan istilah keputusan dianggap lebih tepat, namun dalam buku Ridwan HR, akan digunakan istilah ketetapan dengan pertimbangan untuk membedakan dengan penerjemahan “besluit” (keputusan) yang sudah memiliki pengertian khusus, yaitu sebagai keputusan yang bersifat umum dan mengikat atau  sebagai peraturan perundang-undangan.

Keputusan Administratif merupakan suatu pengertian yang sangat umum dan abstrak, yang dalam praktik tampak dalam bentuk keputusan-keputusan yang sangat berbeda. Namun demikian keputusan administratif juga mengandung ciri-ciri yang sama, karena akhirnya dalam teori hanya ada satu pengertian “Keputusan Administratif”. Adalah penting untuk mempunyai pengertian yang mendalam tentang pengertian keputusan administratif, karena perlu untuk dapat mengenal dalam praktek keputusan-keputusan/tindakan-tindakan tertentu sebagai keputusan administrative. Dan hal itu diperlukan, karena hukum positif mengikatkan akibat-akibat hukum tertentu pada keputusan-keputusan tersebut, misalnya suatu penyelesaian hukum melalui hakim tertentu. Sifat norma hukum keputusan adalah individual-konkrit.

  1. Definisi Ketetapan

Beberapa sarjana telah membuat definisi tentang ketetapan yang agak berlainan satu dengan yang lain :[4]

  1. Menurut Prins adalah susatu tindak hukum sepihak di bidang pemerintahan dilakukan oleh alat penguasa berdasarkan kewenangan khusus.
  2. E.Utrecht menyatakan ketetapan adalah suatu perbuatan berdasrkan hukum public yang bersegi satu, ialah yang dilakukan oleh alat-alat pemerintahan berdasarkan sesuatu kekuasaan istimewa.
  3. Van der Pot berpendapat bahwa ketetapan adalah perbuatan hukum yang dilakukan alat-alat pemerintahan itu menyelenggarakan hal khusus, dengan maksud mengadakan perubahan dalam lapangan hubungan hukum.
  4. Van Vollenhoven berpendapat bahwa penetapan/keputusan yang bersifat legislative yang mempunyai arti berlainan.

      c.Unsur-Unsur Ketetapan

Ada beberapa unsur yang terdapat yang terdapat dalam beshikking menurut beberapa para sarjana, yaitu:

  1. Penetapan tersebut tertulis dan dikeluarkan  oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
  2. Berisi tindakan hukum dalam bidang Tata Usaha Negara.
  3. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  4. Bersifat konkrit, individual dan final.
  5. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No.5 Tahun 1986, ketetapan memiliki definisi yang mengandung unsur-unsur dalam KTUN yaitu sebagai berikut:

  1. Penetapan Tertulis

Secara teoritis, hubungan hukum public senantiasa bersegi satu (tindakan hukum administrasi adalah tindakan hukum sepihak). Oleh karena itu, hubungan hukum publik berbeda halnya dengan hubungan hukum dalam bidang perdata yang selalu bersifat dua pihak karena dalam hukum perdata disamping ada kesamaan kedudukan juga ada asas otonomi berupa kebebasan pihak yang bersangkutan untuk mengadakan hubungan hukum atau tidak serta menentukan apa isi hubungan hukum itu.Ketika pemerintah dihadapkan pada peristiwa konkret dan pemerintah memiliki motivasi dan keinginan untuk menyelesaikan peristiwa tersebut, pemerintah diberi wewenang untuk mengambil tindakan hukum sepihak dalam bentuk ketetapan yang merupakan hasil dari tindakan hukum yang dituangkan dalam bentuk tertulis.

  1. Dikeluarkan oleh Pemerintah

Hampir semua organ kenegeraan dan pemerintahan berwenang untuk mengeluarkan ketetapan atau keputusan. Tetapi ketetapan yang dimaksudkan disini hanyalah ketetapan yang dikeluarkan oleh pemerintah selaku administrasi negara. Ketetapan yang dikeluarkan oleh organ-organ kenegaraan tidak termasuk dalam pengertian beschikking berdasarkan hukum administrasi.

  1. Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan yang Berlaku

Pembuatan dan penetapan ketetapan harus didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku atau harus didasarkan pada wewenang pemerintahan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.

  1. Bersifat Konkret, Individual, dan Final

Ketetapan memiliki sifat norma hukum yang individual-konkrit dari rangkaian norma hukum yang bersifat umum-abstrak.

KTUN bersifat Konkrit berarti objek yang diputuskan dalam KTUN itu tidak abstrak, tetapi berwujud,tertentu atau dapat ditentukan. Dalam hal apa dan kepada siapa keputusan itu dikeluarkan,harus secara jelas disebutkan dalam keputusan. Atau dalam rumusan lain,objek dan subjek dalam keputusan harus disebut secara tegas.

            KTUN bersifat individual artinya tidak ditujukan untuk umum, tetapi tertentu baik alamat maupun hal yang dituju. Kalau yang dituju lebih dari seorang,tiap-tiap nama orang yang terkena disebutkan. Tindakan Tata Usaha dalam menyatakan kehendaknya- dengan maksud terjadi perubahan pada lapangan hukum publik yang bersifat umum,seharusnya dituangkan dalam bentuk Peraturan (regeling).

            KTUN bersifat final berarti sudah definitif sehingga dapat menimbukan akibat hukum. Ketetapan yang masih memerlukan persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final sehingga belum dapat menimbulkan suatu hak atau kewajiban pada pihak yang bersangkutan.

  1. Menimbulkan Akibat Hukum

Ketetapan merupakan wujud konkrit dari tindakan hukum pemerintahan. Secara teoritis, tindakan hukum berarti tindakan-tindakan yang berdasarkan sifatnya dapat menimbulkan akibat hukum tertentu. Dengan demikian, tindakan hukum pemerintahan merupakan tindakan hukum yang dilakukan oleh organ pemerintahan untuk menimbulkan akibat-akibat hukum tertentu khususnya dibidang pemerintahan atau administrasi negara.

  1. Seseorang atau Badan Hukum Perdata

Subjek hukum terdiri dari manusia dan badan hukum. Berdasarkan hukum keperdataan, seseorang atau badan hukum yang dinyatakan tidak mampu seperti orang yang berada dalam pengampuan atau perusahaan yang dinyatakan pailit tidak dapat dikualifikasi sebagai subjek hukum. Ketetapan sebagai wujud dari tindakan hukum publik sepihak dari organ pemerintahan ditujukan pada subjek hukum yang berupa seseorang atau badan hukum perdata yang memiliki kecakapan untuk melakukan tindakan hukum.[5]

  1. Macam-Macam Ketetapan

Dalam buku-buku hukum administrasi berbahasa Indonesia, dapat dibaca beberapa pengelompokan keputusan. E.Utrecht menyebutnya “ketetapan”, sedangkan Prajudi Atmosudirjo menyebutnya “penetapan”. Pengelompokkan tersebut antara lain oleh: E.Utrecht dan Prajudi Atmosudirjo.

Pertama-tama disini diketengahkan dulu pengelompkkan E.Utrecht membedakan keputusan atas:

  1. Ketetapan Positif dan Negatif

Ketetapan positif menimbulkan hak atau kewajiban bagi yang dikenai ketetapan. Sedangkan ketetapan negatif tidak menimbulkan perubahan dalam keadaan hukum yang telah ada. Ketetapan negatif dapat berbentuk: pernyataan tidak berkuasa, pernyataan tidak diterima atau suatu penolakan.

  1. Ketetapan Deklaratur dan ketetapan konstitutif

Ketetapan deklaratur hanya menyatakan bahwa hukumnya demikian. Ketetapan konstitutif adalah membuat hukum.

  1. Ketetapan Kilat dan Ketetapan yang Tetap

–         Menurut Prins, ada empat macam ketetapan kilat: ketetapan yang

bermaksud mengubah redaksi ketetapan lama.

–          Suatu ketetapan negatif.

–          Penarikan atau pembatalan suatu ketetapan.

–          Suatu pernyataan pelaksanaan.

  1. Dispensasi, izin, Lisensi dan konsesi

Prof. van der Pot mengadakan pembagian  dalam tiga pengertian : dispensasi-izin-konsesi. Yang dimaksud dengan “ dispensasi[6] adalah keputusan administrasi negara yang membebaskan suatu perbuatan dari kekuasaan peraturan yang menolak perbuatan itu.

Bilamana pembuat peraturan tidak umumnya melarang suatu perbuatan, tetapi masih juga memperkenankannya asalsaja diadakan secara yang ditentukan masing-masing hal konkrit maka keputusan administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin (vergunning).[7]

Kadang-kadang pembuat peraturan beranggapan bahwa suatu perbuatan yang penting bagi umum, sebaik-baiknya dapat diadakan oleh suatu subjek hukum partikelir, tetapi dengan turut campur dari pihak pemerintah. Suatu keputusan administrasi negara yang memperkenankan ya g bersangkutan mengadakan perbuatan tersebut, membuat suatu konsensi ( concessive).

Sedangkan Prajudi Atmosudirdjo membedakan dua macam penetapan yaitu penetapan negatif (penolakan) dan penetapan positif (permintaan dikabulkan). Penetapan negatif hanya berlaku satu kali saja, sehingga permintaannya boleh diulangi lagi.

Penetapan positif terdiri atas lima golongan yaitu:[8]

–          Yang menciptakan keadaan hukum baru pada umumnya.

–          Yang menciptakan keadaan hukum baru hanya terhadap suatu objek saja

–          Yang membentuk atau membubarkan suatu badan hukum

–          Yang memberikan beban (kewajiban)

–          Yang memberikan keuntungan. Penetapan yang memberikan keuntungan

adalah: dispensasi, izin, lisensi dan konsesi.

  1. Syarat-Syarat Pembuatan Ketetapan

Syarat-syarat yang harus diperhatikan dalam pembuatan ketetapan ini mencakup syarat-syarat material dan syarat formal.

Syarat Material terdiri dari:[9]

–          Organ Pemerintahan yang membuat ketetapan harus berwenang.

–          Ketetapan tidak boleh mengandung kekurangan-kekurangan yuridis.

–          Ketetapan harus berdasarkan suatu keadaan tetrtentu.

–          Ketetapan harus dapat dilaksanakan dan tanpa melanggar peraturan lainnya,

Serta isi dan tujuannya harus sesuai dengan isi dan tujuan peraturan dasarnya.

Syarat Formil terdiri dari:[10]

–         Syarat-syarat yang ditentukan berhubung dengan persiapan dibuatnya

ketetapan dan berhubung dengan cara dibuatnya ketetapan harus dipenuhi.

–         Ketetapan harus diberi bentuk yang telah ditentukan dalam peraturan

perundang-undangan yang menjadi dasar dikeluarkannya ketetapan itu.

–          Syarat-syarat berhubung dengan pelaksanaan ketetapan itu harus dipenuhi.

–     Jangka waktu harus ditentukan antara timbulnya hal hal yang menyebabkan

dibuatnya dan diumumkannya ketetapan itu harus diperhatikan.

2.2. REGELING

  1. Regeling (Mengeluarkan peraturan)

Regeling merupakan perbuatan pemerintah dalam hukum publik berupa suatu pengaturan yang bersifat umum dan abstrak. Pengaturan yang dimaksud dapat berbentuk. Undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan menteri, dsb. Melalui regeling terwujud kehendak pemerintah bersama lembaga legislatif, ataupun oleh pemerintah sendiri.

Perbuatan pemerintah yang dilakukan dalam bentuk mengeluarkan peraturan atau regeling,[11] dimaksudkan dengan tugas hukum yang diemban pemerintah dengan menerbitkan peraturan-peraturan yang sifatnya umum. Maksud perkataan umum dalam pengertian regeling atau peraturan,berarti bahwa pemerintah atau pejabat tata usaha negara sedang dalam upaya mengatur semua warga masyarakat tanpa terkecuali, atau dengan perkataan lain peraturan ini ditujukan kepada semua warga masyarakat tanpa terkecuali, dan bukan bersifat khusus. Sebagai contoh adalah perbuatan pemerintah menerbitkan peraturan,tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam upaya mengajukan permohonan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) ataupun Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) .Dalam kedua peraturan tersebut, pemerintah tidak menyebut nama atau identitas orang perorang, akan tetapi secara umum kepada setiap orang yang akan melaksanakan permohonan ke dua akta hukum di atas.

  1. Materiele Daad (melakukan perbuatan materiil)

Materiele Daad merupakan perbuatan hukum publik yang dilakukan  oleh pemerintah untuk kepentingan umum yang dilakukan menurut hukum perdata. Dalam materiele Daad terdapat dua kehendak (bersegi dua), yakni kehendak pemerintah dan kehendak sipil yang tidak sama kedudukannya. Dilihat dari segi materiil, maka dalam materiele daad terdapat perbuatan hukum dalam hukum perdata, misalnya: perjanjian kerja, kerja sama, tukar menukar, tukar guling, dsb. Dilihat dari segi formil, dalam materiele daad perbuatan-perbuatan hukum tersebut dibungkus dalam baju keputusan badan atau pejabat TUN.

Dalam kenyataannya, bahwa terlihat pihak pemerintah ingin membangun dan mengadakan perbaikan perumahan untuk penduduk di daerah tertentu. Namun, pemerintah tidak memiliki dana yang mencukupi. Untuk maksud tersebut, perlu mengadakan perjanjian dengan pihak swasta mengenai bagaimana pihak pemerintah memberi jaminan pada pihak lawan kontraknya, bagaimana pihak lawan kontraknya menentukan peruntukan penghuninya, dan sebagainya. Contoh lain, dalam kenyataan mengenai distribusi dan penyerahan tenaga listrik, energi, air minum, dan gas dilakukan privatisasi, artinya penyelenggaraan distribusi sarana-saran kehidupan pokok tersebut diserahkan kepada perusahaan-perusahaan swasta. Tindakan hukum yang dilakukan pemerintah tersebut dalam wujudnya berupa suatu hubungan hukum yang dilakukan pemerintah tersebut dalam wujudnya berupa suatu hubungan hukum dalam bentuk kontrak-kontrak standar dimana syarat-syarat perjanjiannya diletakkan dalam syarat-syarat penyerahan yang ditentukan secara sepihak oleh pemerintah.

Perbuatan pemerintah yang merupakan perbuatan materiil, adalah perbuatan nyata yang dilakukan oleh semua pejabat atau badan tata usaha negara sehari-hari. Perbuatan ini secara riil dapat dilihat dengan mata telanjang sekali pun, yaitu seperti tugas PEMDA melakukan perbaikan jalan, penebangan pohon, pengerukan sungai dan perbuatan lain yang sifatnya secara nyata dilakukan.

BAB 3

MAKNA DAN KEDUDUKAN SURAT KEPUTUSAN BERSAMA (SKB)

DALAM SISTEM HUKUM INDONESIA

3.1. Surat Keputusan Bersama (SKB) Beschiking atau Regeling

Sebelum kita menyimpulkan tentang Surat Keputusan Bersama apakah dapat dikatakan sebagai beschiking atau regeling, terlebih dahulu kita melihat dan mengkaji tentang perbedaan diantara keduanya, baru kemudian kita analisa dari sudut pandang Surat Keputusan Bersama (SKB) apakah termasuk kategori Beschiking atau Regeling. Adapun perbedaan mengenai keduanya adalah dapat diuraikan melalui tulisan berikut ini.

Menurut Pasal 1 angka 2 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, peraturan perundang-undangan  adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan.

Sedangkan, mengenai penggunaan istilah “keputusan” dan “peraturan”, menurut buku “Perihal Undang-Undang” karangan Jimly Asshiddiqie,[12] negara sebagai organisasi kekuasaan umum dapat membuat tiga macam keputusan yang mengikat secara hukum bagi subjek-subjek hukum yang terkait dengan keputusan-keputusan itu: Yaitu keputusan-keputusan yang bersifat umum dan abstrak (general and abstract) biasanya bersifat mengatur (regeling), sedangkan yang bersifat individual dan konkret dapat merupakan keputusan yang bersifat atau berisi penetapan administratif (beschikking) ataupun keputusan yang berupa ‘vonnis’ hakim yang lazimnya disebut dengan istilah putusan.

Oleh karena itu menurut Jimly,[13] ada tiga bentuk kegiatan pengambilan keputusan yang dapat dibedakan dengan penggunaan istilah “peraturan”, “keputusan/ketetapan” dan “tetapan”, menurut Jimly istilah-istilah tersebut sebaiknya hanya digunakan untuk:

  1. Istilah “peraturan” digunakan untuk menyebut hasil kegiatan pengaturan yang menghasilkan peraturan (regels).
  2. Istilah “keputusan” atau “ketetapan” digunakan untuk menyebut hasil kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan administratif (beschikkings).
  3. Istilah “tetapan” digunakan untuk menyebut penghakiman atau pengadilan yang menghasilkan putusan (vonnis).

Namun, sebagaimana dijelaskan Jimly[14] memang penggunaan istilah-istilah tersebut dalam praktik tidak terjadi suatu keseragaman, misalnya dalam menyebut “tetapan” menggunakan istilah “keputusan hakim”.

Dari penjelasan Jimly di atas tersebut maka dapat kita simpulkan pengertian istilah “keputusan” dapat diartikan secara luas dan sempit. Dalam pengertian istilah “keputusan” yang luas, di dalamnya terkandung juga pengertian “peraturan/regels”, “keputusan/beschikkings” dan “tetapan/vonnis”. Sedangkan, dalam istilah “keputusan” dalam arti yang sempit, berarti adalah suatu hasil kegiatan penetapan atau pengambilan keputusan administratif (beschikkings).

Mengenai perbedaan antara keputusan (beschikking) dengan peraturan (regeling) disebutkan dalam buku Hukum Acara Pengujian Undang-undang karangan Jimly Asshiddiqie,[15] keputusan (beschikking) selalu bersifat individual dan kongkrit (individual and concrete), sedangkan peraturan (regeling) selalu bersifat umum dan abstrak (general and abstract). Yang dimaksud bersifat general and abstract, yaitu keberlakuannya ditujukan kepada siapa saja yang dikenai perumusan kaedah umum.

Selain itu, menurut Maria Farida Indrati S dalam buku “Ilmu Perundang-Undangan (1) (Jenis, Fungsi, Materi, Muatan)”,[16] suatu keputusan (beschikkiking) bersifat sekali-selesai (enmahlig), sedangkan peraturan  (regeling) selalu berlaku terus-menerus (dauerhaftig). Lebih jauh, dalam buku yang sama (hal. 28), Jimly menyatakan bahwa produk keputusan digugat melalui peradilan tata usaha negara, sedangkan produk peraturan diuji (Judicial review) langsung ke Mahkamah agung atau kalau untuk undang-undang diuji ke Mahkamah Konstitusi.

Dari penjelasan-penjelasan di atas tersebut maka dapat dibuat tabel perbedaan antara keputusan dengan peraturan sebagai berikut:[17]

Keputusan (beschikking) Peraturan (regeling)
Selalu bersifat individual and concrete. Selalu bersifat general and abstract.
Pengujiannya melalui gugatan  di peradilan tata usaha negara. Pengujiannya untuk peraturan di bawah undang-undang (judicial review) ke Mahkamah Agung, sedangkan untuk undang-undang diuji ke Mahkamah Konstitusi.
Bersifat sekali-selesai (enmahlig). Selalu berlaku terus-menerus (dauerhaftig).

Apabila dihubungkan dengan berbagai Surat Keputusan Bersama (SKB) yang dikeluarkan oleh Kementerian Negara, maka sebenanarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) secara materi yang diatur dapat dikategorikan bersifat general and abstract dan berlaku terus-menerus (dauerhaftig),[18] untuk itu berdasarkan ciri-ciri sebagaimana telah diurai diatas, maka Surat Keputusan Bersama (SKB) termasuk dalam kategori Peraturan (regeling). Namun apabila dilihat dari segi penamaan dari Surat Keputusan Bersama (SKB) sendiri, maka yang namanya Surat Keputusan Bersama (SKB) termasuk kategori Keputusan (beschiking). Untuk itu norma Surat Keputusan Bersama (SKB) ini menjadi tidak jelas posisinya, apakah sebagai Peraturan (regeling) atau sebagai Keputusan (beschiking).

3.2. Kedudukan Surat Keputusan Bersama (SKB) dalam Hierarki Norma Hukum

Pada 12 Agustus 2011 yang lalu, Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan(UU No. 12/2011). UU No. 12/2011 ini secara otomatis menggantikan UU Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU 10/2004) yang diundangkan pada 22 Juni 2004. Dengan adanya UU 12/2011 maka UU 10/2004 dinyatakan tidak berlaku. Terdapat beberapa perubahan penting dalam UU 12/2011ini dibanding UU 10/2004.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembetukan Peraturan Perundang-undangan (selanjutnya disebut sebagai ”UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 2011”. UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan 2011 secara umum Secara umum memuat materi-materi pokok yang disusun secara sistematis sebagai berikut: asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan; jenis, hierarki, dan materi muatan, Peraturan Perundang-undangan; perencanaan Peraturan Perundangundangan; penyusunan Peraturan Perundang-undangan; teknik penyusunan Peraturan Perundang-undangan; pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang; pembahasan dan penetapan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah.

Sebagai penyempurnaan terhadap UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 2004, UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 2011 memuat materi muatan baru yang ditambahkan, yaitu antara lain:

  1. penambahan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai salah satu jenis Peraturan Perundang-undangan dan hierarkinya ditempatkan setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. perluasan cakupan perencanaan Peraturan Perundang-undangan yang tidak hanya untuk Prolegnas dan Prolegda melainkan juga perencanaan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Perundang-undangan lainnya;
  3. pengaturan mekanisme pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  4. pengaturan Naskah Akademik sebagai suatu persyaratan dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang atau Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota;
  5. pengaturan mengenai keikutsertaan Perancang Peraturan Perundang-undangan, peneliti, dan tenaga ahli dalam tahapan Pembentukan Peraturan Perundang-undangan; dan
  6. penambahan teknik penyusunan Naskah Akademik dalam Lampiran I Undang-Undang ini.

Dalam Pasal 7 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan 2011 mengatur jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut :

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
  3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
  4. Peraturan Pemerintah;
  5. Peraturan Presiden;
  6. Peraturan Daerah Provinsi; dan
  7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

Selanjutnya Pasal 8 Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan-perundang-Undangan menatakan bahwa :

(1).   Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

(2).   Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Apabila megacu kepada bunyi pasal diatas, maka produk Surat Keputusan Bersama (SKB) tetap tidak termasuk dalam kaegori dalam Peraturan Perundang-Undangan. Hal itu dikarenakan penamaan dari dari Surat Keputusan Bersama (SKB), bukan peraturan. Produk Keputusan seperti yang telah dikemukakan sebelumnya adalah produk (beschiking), meskipun dalam kenyataannya Surat Keputusan Bersama (SKB) bersifat mengatur. Hemat penulis Surat Keputusan Bersama (SKB) sama halnya dengan surat himbauan atau pengumuman yang derajatnya lebih tinggi dari surat biasa, sehingga posisinya juga tidak tegas disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

BAB 4

PENUTUP

4.1. Simpulan

  1. Dari segi isinya Surat Keputusan Bersama (SKB) termasuk dalam kategori Peraturan (regeling), namun apabila dilihat dari segi penamaan dari Surat Keputusan Bersama (SKB) sendiri, maka yang namanya Surat Keputusan Bersama (SKB) termasuk kategori Keputusan (beschiking). Untuk itu norma Surat Keputusan Bersama (SKB) ini menjadi tidak jelas posisinya, apakah sebagai Peraturan (regeling) atau sebagai Keputusan (beschiking).
  2. Apabila megacu kepada bunyi pasal diatas, maka produk Surat Keputusan Bersama (SKB) tetap tidak termasuk dalam kaegori dalam Peraturan Perundang-Undangan. Hal itu dikarenakan penamaan dari dari Surat Keputusan Bersama (SKB), bukan peraturan (regeling) akan tetapi penetapan (regeling).

4.2. Saran

  1. Diharapkan produk Surat Keputusan Bersama (SKB) apabila dari segi formil dan materiil bersifat mengatur dan seperti halnya Peraturan Perundang-Undangan, maka dari segi penamaan dapat dirubah menjadi Peraturan Bersama.
  2. Sehingga apabila dirubah menjadi Peraturan Bersama, maka telah masuk kategori norma abstrak (regeling)

DAFTAR PUSTAKA

Assyddiqie, Jimly, Perihal Undang-Undang, Konpress, Jakarta, 2006

Atmosudirdjo, Prajudi, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta,1994.

Bagir Manan, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-undangan        Tingkat Daerah , LPPM Unisba,Bandung,1985.

Indarti, Maria Farida, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta, 2000

Marbun ,SF., Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997.

Marbun,S.F. dan Moh.Mahfud MD, Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif        di Indonesia, Liberty, Yogyakarta,1997.

Michiels ,F.C.M.A., De Arob-Beschikking, ‘s-Gravenhage, Vuga Uitgeverij B.V., 1987.

Utrecht ,E. dan Moh. Saleh Djindang,Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, PT Ichtiar Baru,Anggota IKAPI,Jakarta, 1990.

Purbapranoto, Kuntjoro,Beberapa Catatan Hukum Tata pemerintahan dan Peradilan  Administrasi Negara, Penerbit Alumni,Bandung,1985.

Philipus M. Hadjon (et.al), Pengantar Hukum Admnistrsi Indonesia,  Gajah Mada University Press, Anggota IKAPI ,Yogyakarta, 2005.

Prodjodikoro, Wirjono, Asas-Asas Hukum Perdata, Sumur Bandung, Bandung,1983.

Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung,1985.

                [1] Riduan Syahrani, Seluk-Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung,1985. Hal. 27

                [2] Soerjono Soekanto, Metode Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2002, Hal 53

                [3] F.C.M.A. Michiels, De Arob-Beschikking, ‘s-Gravenhage, Vuga Uitgeverij B.V., 1987. Hal. 94

                [4] Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta,1994.Hal 5

                [5] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perdata, Sumur Bandung, Bandung,1983. Hal. 72

                [6] SF. Marbun , Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997. Hal. 93

                [7] E. Utrecht dan Moh. Saleh Djindang,Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, PT Ichtiar Baru,Anggota IKAPI,Jakarta, 1990. Hal. 40

                [8] S.F. Marbun, dan Moh.Mahfud MD, Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif  di Indonesia, Liberty, Yogyakarta,1997. Hal. 73

[9] Ibid

[10] Ibid

                [11] Bagir Manan, Sistem dan Teknik Pembuatan Peraturan Perundang-undangan Tingkat Daerah , LPPM Unisba,Bandung,1985. Hal. 19

                [12] Jimly Assyddiqie, Perihal Undang-Undang, Konpress, Jakarta, 2006, Hal. 9

                [13] Ibid, Hal. 10

                [14] Ibid, Hal. 11

                [15] Ibid, Hal. 2

                [16] Maria Farida Indarti, Ilmu Perundang-Undangan, Kanisius, Yogyakarta, 2000, Hal 78

                [17] Kuntjoro Purbapranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata pemerintahan dan Peradilan  Administrasi Negara, Penerbit Alumni,Bandung,1985. Hal. 23

                [18] Philipus M. Hadjon (et.al), Pengantar Hukum Admnistrsi Indonesia,  Gajah Mada University Press, Anggota IKAPI ,Yogyakarta, 2005. Hal. 121

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Verifikasi Bukan Robot *