URGENSI LEMBAGA PERADILAN PEMILU DI INDONESIA

PERAN MAHKAMAH AGUNG DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PILKADA DI INDONESIA

  1. PENDAHULUAN

Pemilu merupakan hal memiliki resistensi tinggi dan memiliki peluang untuk memecah persatuan dan kesatuan dalam tataran masyarakat, meski bersifat parsial. Kondisi seperti ini secara otomatis mewarnai even 5 tahunan di Indonesia. Tidak terkecuali pilkada, meski hanya lingkup daerah tetapi gesekan-gesekan horisontal antar calo dan pendukung kerap terjadi. Implementasi demokrasi belum seutuhnya merepresentasikan keadilan yang seadil-adilnya bagi semua pihak malah justru merusak tatanan demokrasi yang sedang dibangun oleh bangsa Indonesia.

Demokrasi sejatinya mampu merepresentasikan keadilan yang seadil-adilnya bagi semua lapisan masyarakat Indonesia. Konteks demokrasi yang begitu luas dan mampu diimplementasikan dalam kehidupan berbangsa dan benegara memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memahami dan mengkontemplasikan demokrasi sebagai isu fundamental bagi integrasi bangsa. Pemilihan kepala daerah merupakan salah satu implementasi demokrasi meski hanya normatif dan prosedural.[1] Dibalik semua itu demokrasi justru berjalan beriringan dengan pelanggaran HAM dan konflik. Hal ini mengakibatkan pilkada tidak merepresentasikan demokrasi yang sejalan dengan cita-cita demokrasi yang ada dimana keadilan dan HAM menjadi unsur terpenting dalam mewujudkan demokrasi konstitusional.

Suasana pilkada saat ini yang sedang marak di beberapa daerah belum merepresentasikan demokrasi yang seutuhnya. Kecurangan-kecurangan dalam pilkada dilakukan berdasarkan kondisi psikis calon pemimipn daerah hanya untuk meraih jabatan dan mayoritas dilakukan dengan money poltics. Cerminan demokrasi yang ada selain pemilihan kepala daerah secara langsung adalah terbukanya kesempatan bagi siapapun untuk maju menjadi calon kepala daerah. Ini membuktikan adanya aprsiasi dan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM). Meski berefek positif terhadap demokrasi, tetapi implementasi Pilkada sendiri masih jauh dari cita-cita demokrasi yang sehat.[2] Jabatan telah menjadi incaran siapapun dan pihak-pihak yang cenderung pragmatis menghalalkan segala cara agar menjadi pemimpin di daerahnya. Money politics, black champaign, kolusi dsb kerap mewarnai pilkada di sejumlah daerah. Melihat cara-cara yang seperti ini, demokrasi hanya akan melahirkan pemimpin karbitan yang memenangkan pilkada bukan karena kapabilitas dan kompetensinya melainkan uang yang berbicara. Black champaign yang sering kali menjatuhkan pesiang dalam pilkada juga merepresentasikan persaingan yang tidak sehat dan menimbulkan konflik horizontal antar masing-masing calon. Konflik yang dikarenakan perebutan jabatan ini seperti psy war (perang urat syaraf) demi jabatan yang temporer dan berefek luas terhadap suasana daerah karena bukan hanya masing-masing calon saja yang berkonflik tetapi juga para pendukung mereka yang mengakibatkan konflik horizontal di masyarakat.[3] Untuk perlu kepastian hukum untuk mengatur tata cara dan mekanisme penyelesaian perselisihan hasil pilkada di Indonesia.

  1. PILKADA BUKANLAH SEBAGAI REZIM PEMILU

Sesungguhnya kalau kita lihat keputusan MK No.97/PUU-XI/2013 yang telah mengabulkan semua permohonan Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) tentang kewenangan Mahkama Konstitusi sudah sangat jelas dan gamblang. Diperkuat lagi komentar anggota Hakim konstitusi Patrialis “RUU Pilkada sesungguhnya sudah sangat jelas di Putusan MK No.97 yakni MK tidak berhak menangani perkara Pilkada karena Pilkada bukan pemilihan UMUM seperti yang diamanatkan didalan UUD 1945.

Jika kita kembali melihat awal pembentukan Mahkamah Konstitusi, sangat jelas bahwa yang menjadi tugasutama Mahkamah Konstitusi adalah menguji Undang-Undang (UU) yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), dan kewenangan-kewenangan lainnya ialah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, seperti yang di atur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum Berdasarkan amanat Konstitusi pada BAB VIIB tentang Pemilihan Umum, Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dikatakan bahwa: “Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presidendan Dewan Perwakilan Daerah”,dalam hal ini penyelenggaraan Pemilu yangdiatur dalam konstitusi tidak menyebutkan untuk memilih kepala daerah.

Sementara tentang pemilihan kepala daerah dalam UUD 1945, dituliskan pada BAB yang berbeda, yaitu BAB IV tentangPemerintahan Daerah, pada Pasal 18 ayat (4) yang berbunyi: “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemeintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Artinya konstitusi sendiri tidak memasukkan Pemilihan KepalaDaerah kedalam bab yang mengatur tentang Pemilu.Dapat dikatakan pemilihan kepala daerah (Pemilukada) tidak tergolong dalam rezim Pemilu.Itu sebabnya dalam Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 tidak memasukan frasa kepala daerah dalam BAB Pemilihan Umum.Sehinggapada awal penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pemilukada) kewenangan untuk menangani sengketa Pemilukada diserahkan kepada Mahkamah Agung, dan saat itu Mahkamah Konstitusi masih terus fokus pada kewenangannya dalam menguji UU terhadap UUD 1945.

Baru kemudian, setelah munculnya UU Nomor 22 Tahun 2007 sebagaimana telah dirubah dengan UU Nomor15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, menggolongkan Pemilihan Kepala Daerah ke dalam rezim Pemilu yang terdapat pada Pasal1 ayat (4) Ketentuan Umum berbunyi: “Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Kemudian dilakukanlah perubahan hingga munculah UU Nomor12Tahun 2008 tentang Perubahan Atas UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dalam Undang-Undang ini penanganan sengketa pemilukada telah dialihkan dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi. Peralihan kewenangan penyelesaian sengketa tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 236C yang menyatakan bahwa: Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan”. Yang ditindaklanjuti dengan dibuatnya nota kesepahaman (MoU) pada tahun 2008 tentang pelimpahan kewenangan penanganan penyelesaian sengketa Pemilukadadari Mahkamah Agung kepada Mahkamah Konstitusi. Sementara dalam UU Mahkamah Konstitusi (UU Nomor 24 Tahun 2003 dan perubahannya UU Nomor8 Tahun 2011), tidak ada frasa yang menambahkan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam mengadili terhadap perkara sengketa pemilihan kepala daerah. Namun penambahan kewenangan itu diatur dalam Pasal29 ayat (1) huruf e UU Nomor48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dikatakan bahwa “kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang”. Kemudian terdapat frasa tentang penambahan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam penjelasan dari Pasal 29 ayat (1) huruf e yang mengatakan bahwa kewenangan memeriksa, dan memutus sengketa hasil pemilihan kepala daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”,yang menjadi legal standingpara Pemohon perselisihan hasil kepala daerah. Implikasi dari pengalihan kewenangan itulah yang kemudian memaksa Mahkamah Konstitusi berbagi fokus antara wewenang yang diberikan UUD 1945, terutama pengujian Undang-Undang, dengan ketatnya batas waktu penyelesaian sengketa Pemilukadayang diatur dalam UU Nomor24 Tahun 2003 pada Pasal78 huruf ayaitu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Mahkamah Konstitusi.

Awalnya Mahkamah Konstitusi hanya cukup menangani sengketa Pemilu Presiden dan DPR, DPD dan DPPRD untuk 5 (lima) tahun sekali, semenjak dilimpahkannya kewenangan terhadap penyelesaian perselisihan tentang hasil pemilihan umum tersebut, saat ini Mahkamah Konstitusi jadi disibukan oleh penanganan penyelesaian PHPU secara rutin terus menerus. Banyaknya gugatan yang masuk, akibat penyelenggaraan pemilihan kepala daerahyang tidak serentak yang membuat Mahkamah Konstitusi disibukan oleh perkara Pemilukadadan sempitnya waktu sidang 14 (empat belas) hari membuat Mahkamah Konstitusi tidak dapat maksimal secara cermat memeriksa kasus sengketa Pemilukada, dan menjadi celah dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk memainkan kepada kepala daerah yang berambisi untuk bisa menang di Mahkamah Konstitusi, karena itu akan menjadi upayanya yang pertama dan yang terakhir dalam mencari keadilan.[4]

Runtuhnya keadilan hukum kita akibat perilaku corrupt yang dilakukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi harus kita jadikan momentum untuk mengevaluasi perjalanan Mahkamah Konstitusi 10 tahun terakhir. Jika kita kembali melihat awal pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK), sangat jelas bahwa yang menjadi tugas utama MK adalah menguji Undang-Undang (UU) yang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945), dan kewenangan-kewenangan lainnya ialah memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum, seperti yang di atur dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945.

Mencermati kewenangan MK dalam memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum (PHPU), berdasarkan amanat Konstitusi pada BAB VIIB tentang Pemilihan Umum,  pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dikatakan bahwa : “Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah”, tidak ada dalam BAB VIIB tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum soal pemilihan Kepala Daerah. Sementara tentang pemilihan Kepala Daerah dalam UUD 1945, dituliskan pada bab yang berbeda, yaitu BAB IV tentang Pemerintahan Daerah, pada pasal 18 ayat (4) yang berbunyi : “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemeintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”.

Artinya konstitusi sendiri tidak memasukan Pemilihan Kepala Daerah kedalam BAB yang mengatur tentang PEMILU. Artinya Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak tergolong dalam Rezim Pemilu. Itu sebabnya dalam pasal 22E ayat (2) UUD 1945 tidak memasukan frasa Kepala Daerah dalam BAB Pemilihan Umum. Sehingga pada awal penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kewenangan untuk menangani sengketa pilkada diserahkan kepada Mahkamah Agung, dan saat itu Mahkamah Konstitusi masih terus fokus pada kewenangannya dalam menguji UU terhadap UUD 1945.

Kemudian  setelah munculnya UU No. 22 Tahun 2007 sebagaimana telah dirubah dengan UU No. 15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum (UU 22 Tahun 2007 sudah dinyatakan tidak berlaku lagi), menggolongkan Pemilihan Kepala Daerah ke dalam Rezim Pemilu yang terdapat pada pasal 1 ayat (4) Ketentuan Umum berbunyi : “Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.

Dimasukannya Pilkada dalam rezim pemilu menjadi Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) oleh UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum jelas bertentangan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang secara eksplisit menyatakan bahwa Pemilihan Umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Daerah.

Implikasi dimasukannya Pilkada kedalam rezim pemilihan umum oleh UU No. 22 Tahun 2007 adalah terjadinya pelimpahan kewenangan terhadap perselisihan tentang hasil pemilihan umum dari MA cq PT ke MK. Pengalihan kewenangan itu kemudian memaksa MK berbagi fokus antara wewenang yang diberikan UUD 1945, terutama pengujian UU, dengan ketatnya batas waktu penyelesaian sengketa pilkada yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2003 pada pasal 78 huruf (a) yaitu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Awalnya MK Konstitusi hanya cukup menangani sengketa pemilu Presiden dan DPR, DPD dan DPPRD untuk 5 (lima) tahun sekali, semenjak dilimpahkannya kewenangan terhadap Penyelesaian Perselisihan tentang Hasil Pemilihan Umum tersebut, saat ini fokus MK menjadi teralihkan oleh penanganan penyelesaian sengketa Pilkada secara rutin terus menerus.

Selain itu permasalahan lainnya akibat pelimpahan kewenangan ini adalah putusan MK yang bersifat final dan mengikat (upaya pertama dan terakhir) dalam penyelesaian perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Artinya setelah MK memutus tidak ada lagi upaya lain yang dapat ditempuh. Banyaknya gugatan yang masuk, sempitnya waktu penyelenggaraan (14 hari), dan sifat putusan yang final dan mengikat inilah yang membuat MK tidak dapat maksimal secara cermat memeriksa kasus sengketa pemilukada, dan menjadi celah dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk memainkan kepada kepala daerah yang berambisi untuk bisa menang di MK, karena itu akan menjadi upayanya yang pertama dan yang terakhir dalam mencari keadilan.[5] Posisi inilah yang mengakibatkan potensi terjadinya tindakan Corupt dari oknum hakim Konstitusi semakin besar, di dukung dengan tidak adanya lembaga pengawas yang mengawasi jalannya setiap persidangan perselisihan tentang hasil pemilihan umum di MK. Akhirnya masyarakat yang kembali menjadi korban dibawah kepemimpinan daerah dari produk putusan MK yang sudah terpengaruh dengan tindakan Corupt hakim konstitusi selama 5 (lima) tahun. dan berpotensi menjadikan MK menjadi peradilan yang tidak dapat diharapkan sebagai tempat pencari keadilan.

III.   URGENSI PEMBENTUKAN PERADILAN KHUSUS PEMILU DI INDONESIA

Alangkah eloknya gagasan Pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu dapat segera diimplemantasikan untuk menangani persoalan pelik yang selalu diahadapi dalam penyelesaian sengketa Pilkada di Indonesia.[6] Pemasalahan-Permasalahan Pemilu yang sekarang ini terjadi tidak diselesaikan begitu saja di melalui lembaga yang sudah ada, karena bukan ranah hukum yang ditangani oleh lembaga tersebut telah banyak sekali. Melihat beban berat Pengadilan Negeri dalam menangani perkara pidana dan perdata, seyogyanya dibentuk Pengadilan Khusus Pemilu yang bersifat add hoc di bawah kewenangan Mahkamah Agung Republik Indonesia tentunya dengan format sistem peradilan yang Lex Specialis.  Dengan melihat format sistem Pengadilan add hoc Tindak Pidana Korupsi. Kedudukan Hukum Peradilan Khusus Pemilu dapat dibentuk ditingkatan Ibukota Propinsi

Jika Pengadilan Khusus Pemilu dapat dilaksanakan, Mahkamah Agung sebagai lembaga Peradilan tertinggi, seharusnya dapat  menyiapkan hakim-hakim Pengadilan Khusus Pemilu yang handal   dan memiliki kompetensi dalam bidang kepemiluan dan hukum adminitrasi pemilu. Hakim-hakim tersebut dapat diambilkan dari hakim karier dan non karier, untuk hakim karier dapat diambilkan dari hakim-hakim peradilan umum yang sudah memiliki sertifikat pendidikan dan pelatihan yang diadakan oleh Mahkamah Agung sedangkan hakim non karier harus dipersyaratkan khusus misalnya : Sarjana Hukum dan Magister Hukum, berumur sekurang-kurangnya 35 Tahun, serta memiliki pengalaman dibidang kepemiluan sekurang-kurangnya 10 Tahun. Kemudian hakim-hakim non karier tersebut harus mendapat sertifikasi Pendidikan dan Latihan dari Mahkamah Agung, untuk hakim non karier memiliki masa tugas selama 5 (lima) Tahun dan dapat dipilih kembali satu periode.

Disamping penyiapan hakim pengadilan khusus Pemilu, juga sangat penting adalah Hukum Acara Pengadilan Khusus Pemilu, dimana Pengadilan Khusus Pemilu hanya memutuskan sengketa tindak pidana pemilu pada proses tahapan, program dan jadwal waktu oleh Penyelenggara Pemilu dalam hal ini KPU, tidak memutuskan persengketaan hasil pemilu. Dalam Hukum Acara Pengadilan Khusus Pemilu proses penyelesaiannya lebih cepat, mudah dan murah  dibandingkan dengan perkara lain. Dengan tetap memberikan azas kepastian hukum, kepada para pihak yang sedang berperkara dalam penyelenggaran Pemilu

Kemudian timbul suatu pertanyaan, bagaimana khusus untuk administrasi kepemiluan, misalnya: KPU Kabupaten melakukan penetapan Daftar Calon Tetap sesuai dengan Tahapan Pemilu Legislatif, kemudian ada di lain pihak memprotes keputusan KPU Kabupaten tersebut mengenai salah satu Caleg yang menurut bersangkutan ijazah yang digunakan palsu. Tapi KPU Kabupaten sebelumnya sudah mengklarifikasi kepada Dinas Pendidikan Kabupaten dan ternyata ijazah tersebut benar-benar asli, akantetapi dari pihak memprotes tersebut tidak puas, kemudian dari persoalan tersebut, apakah ranah hukum Pengadilan Khusus Pemilu mengadili hal tersebut diatas? Padahal sah dan tidak sahnya suatu ijazah yang menentukan hanya Pengadilan Tata Usaha Negara.

Bisa saja peranan dan wewenang Pengadilan Khusus Pemilu, ditambah mengenai persoalan-persoalan administratif Pemilu, karena Pengadilan Khusus Pemilu berhubungan erat dengan permasalahan-permasalahan kepemiluan termasuk persoalan administratif Pemilu.[7] Kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara menurut SEMA  RI No 11 Tahun 2010 seyogyanya dapat diubah, ketika Pengadilan Khusus Pemilu diberlakukan.  Jika SEMA RI No 11 Tahun 2010 masih berlaku, maka akan terjadi tumpang tindih dalam kewenangan penanganan kasus kepemiluan, dimana akan terjadi dua institusi hukum yang akan menangani kasus pemilu yang sama. Yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Khusus Pemilu.

Sistem demokrasi tanpa ada kepastian hukum, akan menimbulkan anarkisme demokrasi. Anarkisme demokrasi akan mengakibatkan kesengsaraan rakyat dan berakibat perang saudara, oleh karena itu demokrasi harus memberikan kepastian hukum kepada semua pihak yang terlibat dalam proses demokrasi.  Pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat, dan sebagai salah satu prasyarat sebagai Negara Demokrasi, maka rule of law harus di kedepankan. Tidak ada salahnya jika Pengadilan Khusus Pemilu merupakan  bagian terpenting dalam mengawal proses demokrasi, disamping Mahkamah Konstitusi

Pengadilan khusus Pemilu sebenarnya salah satu komponen terpenting dalam azas-azas penyelengaran pemilu diantaranya adalah  “kepastian hukum”. Dalam konteks kepastian hukum, adalah bahwa antara penyelenggara pemilu, pengawas pemilu, pemantau pemilu dan peserta pemilu menerima secara baik dari proses tahapan, program dan jadwal waktu penyelenggaran pemilu. Apabila ada pihak-pihak yang belum puas atas hasil kerja yang diberikan oleh Komisi Pemilihan Umum sebagai Penyelenggara Pemilu, dapat mengajukan sengketanya di Pengadilan Khusus Pemilu .[8]

Adapun dampak yang dapat dilihat secara signifikan Pengadilan Khusus Pemilu adalah memberikan ruang hukum kepada pihak-pihak yang dirugikan dalam penyelenggaraan Pemilu untuk mendapatkan kepastian hukum dalam kehidupan negara demokrasi. Memang didalam Hukum Ketatanegeraan Republik Indonesia sekarang ini,

Oleh Karena itu diperlukan Pengadilan Khusus Pemilu yang dalam penanganan hukumnya berbeda dengan tugas dan kewenangan Mahkamah Konstitusi, dimana Pengadilan Pemilu dapat memberikan pencerahan hukum ketata negaraan di republik indonesia. Oleh karena itu menurut hemat penulis, Pertama solusi Pengadilan Khusus Pemilu ditingkat Ibukota Kabupaten/Kota tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Khusus Pemilu pada tingkat banding yang berkedudukan di Ibukota Propinsi merupakan solusi tepat, dalam menangani setiap sengketa Pemilu di tingkat daerah, karena Mahkamah Konstitusi dalam kewenanganya hanya sebatas sengketa Perselisihan Hasil Pemilu, bukan sengketa pidana pemilu dan administrasi pemilu pada proses Tahapan, Program dan Jadwal Waktu Penyelenggaraan Pemilu.[9] Kedua dengan dibentuknya Pengadilan Khusus Pemilu ditingkat Ibukota Kabupaten/Kota tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Khusus Pemilu pada tingkat banding yang berkedudukan di Ibukota Propinsi  maka para pencari keadilan yang berasal di daerah luar jawa, tidak berbondong-bondong ke Ibukota Jakarta, akantetapi cukup di Ibukota Kabupaten/kota atau Propinsi yang akan menjadikan Pengadilan Khusus Pemilu lebih efektif dan efisien dalam mengadili kasus-kasus Pemilu, Ketiga Pembentukan Pengadilan Khusus Pemilu memang membutuhkan investasi yang cukup besar, akantetapi dilihat investasi hukum jangka panjang, maka Pengadilan Khusus Pemilu akan memberikan alternatif hukum dalam menangani kasus-kasus pemilu agar  lebih cepat, murah dan mudah serta memberikan kepastian hukum kepada semua pihak, keempat  Pengadilan Khusus Pemilu merupakan salah satu komponen dasar terciptanya kepastian hukum menuju negara demokrasi yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dibawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia .

  1. PERAN MAHKAMAH AGUNG DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PILKADA DI INDONESIA

Badan Yudikatif Indonesia berfungsi menyelenggarakan kekuasaan kehakiman dengan tujuan menegakkan hukum dan keadilan.[10] Kekuasaan kehakiman di Indonesia, menurut konstitusi, berada di tangan Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya (peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, peradilan tatausaha negara) serta sebuah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung – sesuai Pasal 24A UUD 1945 – memiliki kewenangan mengadili kasus hukum pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang. Sebagai sebuah lembaga yudikatif, Mahkamah Agung memiliki beberapa fungsi. Fungsi-fungsi tersebut adalah:

  1. Fungsi Peradilan (Yustiele Fungctie). Pertama, membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali. Kedua, memeriksa dan memutuskan perkara tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang kewenangan mengadili, permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, sengketa akibat perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal perang RI. Ketiga, memegang hak uji materiil, yaitu menguji ataupun menilai peraturan perundangan di bawah undang-undang apakah bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi. Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui putusan kasasi dan peninjauan kembali menjaga agar semua hukum dan undang-undang diseluruh wilayah negara RI diterapkan secara adil, tepat dan benar.
  2. Fungsi Pengawasan (Toeziende Fungctie). Pertama, Mahkamah Agung adalah pengawas tertinggi terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan. Kedua, Mahkamah Agung adalah pengawas pekerjaan pengadilan dan tingkah laku para hakim dan perbuatan pejabat pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok kekuasaan kehakiman, yaitu menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan. Ketiga, Mahkamah Agung adalah pengawas Penasehat Hukum (Advokat) dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan.
  3. Fungsi Mengatur (Regelende Fungctie). Dalam fungsi ini, Mahkamah Agung mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung.
  4. Fungsi Nasehat (Advieserende Fungctie). Pertama, Mahkamah Agung memberikan nasehat ataupun pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain. Kedua, Mahkamah Agung memberi nasehat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian/penolakan Grasi dan Rehabilitasi.
  5. Fungsi Administratif (Administrative Fungctie). Pertama, mengatur badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara) sesuai pasal 11 ayat 1 Undang-undang nomor 35 tahun 1999. Kedua, mengatur tugas dan tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan.

Saat ini, Mahkamah Agung memiliki sebuah sekretariat yang membawahi Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Tata Usaha Negara, Badan Pengawasan, Badan Penelitian dan Pelatihan dan Pendidikan, serta Badan Urusan Administrasi. Badan Peradilan Militer kini berada di bawah pengaturan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Tata Usaha Negara. Mahkamah Agung memiliki sebelas orang pimpinan yang masing-masing memegang tugas tertentu. Daftar tugas pimpinan tersebut tergambar melalui jabatan yang diembannya yaitu: (1) Ketua; (2) wakil ketua bidang yudisial; (3) wakil ketua bidang non yudisial; (4) ketua muda urusan lingkungan peradilan militer/TNI; (5) ketua muda urusan lingkungan peradilan tata usaha negara; (6) ketua muda pidana mahkamah agung RI; (7) ketua muda pembinaan mahkamah agung RI; (8) ketua muda perdata niaga mahkamah agung RI; (9) ketua muda pidana khusus mahkamah agung RI, dan; (10) ketua muda perdata mahkamah agung RI.

Negara Indonesia adalah negara hukum, demikian bunyi Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Konsekwensi pernyataan itu menunjukkan bahwa hakim sebagai pejabat negara dalam mengemban tugasnya haruslah juga didasarkan kepada aturan-aturan hukum yang berklaku. Dalam menyelesaikan perkara melalui pengadilan tentunya harus mempedomani ketentuan-ketentuan hukum acara yang berlaku di Pengadilan,  baik  itu yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Segala alur proses pemeriksaan harus pula sesuai dengan hukum. Hakim tidak boleh menyimpangi ketentuan-ketentuan hukum acara kecuali yang dibenarkan oleh hukum itu sendiri.

Setiap perkara yang diajukan oleh masyarakat ke pengadilan tidak ada alasan bagi hakim untuk menolaknya, disamping itu hakim diwajibkan pula untuk membantu masyarakat pencari keadilan agar proses pemeriksaan perkaranya dapat dilakukan dengan lancar, tanpa berpihak kepada salah satu pihak yang berperkara. Seperti membantu pembuatan dan penyusunan surat gugatan. Keberadaan peradilan bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul di antara anggota masyarakat. Sengketa yang terjadi, berbagai ragam. Ada yang berkenaan dengan pengingkaran atau pemecahan perjanjian (breach of contract), perceraian, pailit, sengketa perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), sengketa hak milik (property right), penyalahgunaan wewenang oleh penguasa yang merugikan pihak-pihak tertentu. Semuanya ini mengharapkan suatu penyelesaian dari hakim agar dapat memberikan suatu putusan yang adil dan dapat diterima oleh semua pihak.

Untuk memberikan suatu putusan dalam suatu perkara tidak semudah membalikkan telapak tangan, sebelum pengambilan putusan hakim haruslah terlebih dahulu melakukan proses pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum acara, yang salah satunya adalah acara pembuktian. Proses pembuktian adalah sangat menentukan dalam hakim untuk sampai pada kesimpulannya dalam hal pengambilan suatu  putusan, mulai dari beban pembuktian sampai alat-alat bukti yang dikemukakan oleh para pihak adalah merupakan persoalan hukum, yang harus diperhatikan oleh hakim karena beban pembuktian itu merupakan persoalan yang tidak mudah, karena tidak ada satu pasal pun di dalam hukum acara yang mengatur secara tegas tentang pembagian beban pembuktian.

Dalam praktek, para hakim memerlukan ketelitian dan kebijaksanaan untuk menentukan pihak mana yang perlu diberi beban pembuktian lebih dahulu dan selanjutnya. Ada satu pasal yang mengatur beban pembuktian, yaitu pasal 163 HIR, 283 RBg. Tetapi ketentuan pasal ini tidak begitu jelas, karena itu sulit untuk diterapkan secara tegas, apakah beban pembuktian itu ada pada pihak penggugat atau pada pihak tergugat. Kesalahan dalam memberikan beban pembuktian adalah menjerumuskan pihak yang dibebani pembuktian  kejurang kekalahan, hal ini pasti keadilan tidak akan pernah tercapai, akibatnya putusan hakim menjadi putusan yang tidak adil.

Kesalahan-kesalahan hakim dalam pengambilan putusan dalam suatu perkara mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan sangat rendah. Banyak sekali putusan hakim yang sudah memiliki kekuatan pasti tidak dapat dilaksanakan eksekusinya, karena mendapat perlawanan dari masyarakat. Kridibilitas lembaga peradilan kita dalam pandang masyarakat memang sangat rendah dalam beberapa tahun belakang ini, ini disebabkan oleh beberapa paktor, antara lain yang sangat dominan adalah faktor perilaku penegak hukum itu sendir termasuk di dalamnya hakim itu sendiri disamping penegak hukum yang lainnya, baik hakim pada tingkat Pengadilan Negeri maupun ditingkat tertinggi sekali yaitu Mahkamah Agung.

Mafia peradilan tidak asing lagi bagi telinga masyarakat, kepercayaan terhadap keadilan yang diciptakan melalui badan peradilan yang dinamakan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung itu terasa sirna bila kita mendengar, melihat dan mebaca berita yang disuguhkan melalui masmedia. Mahkamah Agung sebagai tameng terakhir untuk mendapat keadilan tercemar oleh sekelompok pedagang keadilan yang tidak bertanggung jawab. Kesadaran hukum adalah suatu tuntutan dalam penegakan hukum, tidak hanya tuntutan ini ditujukan kepada masyarakat saja,  tetapi juga kepada penegak hukum itu sendiri. Kesadaran hukum masyarakat tidak ada gunanya bila tidak diimbangi dengan pengetahuan hukum itu sendiri, demikian pula sebaliknya pengetahuan hukum sudah cukup dan kesadaran hukum sudah tinggi tidak ada artinya kalau tidak dimbangi oleh perilaku yang tidak manis dari petugas hukum itu sendiri.

Kita menyadari bahwa kesadaran dan pengetahuan hukum masyarakat kita sangat rendah, terutama di daerah-daerah. Terlepas dari itu seyogianya setiap aparatur hukum yang terkait di dalam penegakan hukum haruslah memberikan penjelasan yang benar atas setiap persoalan hukum yang terjadi di dalam masyarakat yang awam akan mengerti serta memahami tentang hukum yang mengikat setiap tingkah laku mereka sehari-hari. Pekerjaan ini tidak mudah dan tidak pula murah.Tetapi  masyarakat harus diberikan penyuluhan terhadap hukum, agar rakyat tahu tentang hukum itu.

Dalam suatu lingkungan masyarakat tidak jarang para anggotanya memiliki berbagai kepentingan yang satu sama lain saling bertentangan, sehingga dalam mempertahankan kepentingannya itu mereka dapat terlibat dalam pertentangan-pertentangan yang dapat membahayakan ketertiban dan keamanan masyarakat. Dengan begitu eksistensi, dan pengetahuan hukum masyarakat  diperlukan untuk mencegah timbulnya bahaya-bahaya yang mampu meresahkan kehidupan masyarakat sehingga setiap anggota masyarakat merasa aman dan tentram karena memperoleh suatu perlindungan hukum.

Hukum yang baik belum tentu dapat dilaksanakan dengan baik apabila pelaksana hukumnya tidak menguasai hukum dengan baik, demikian juga jika pelaksana hukum memiliki penguasaan hukum yang sangat baik juga tidak akan menghasilkan keputusan hukum yang baik jika mental atau moral penegak hukumnya tidak baik. Akan sempurna jika penegak hukum menguasai materi hukum dengan baik dan memiliki moral yang baik, inilah hakim yang didambakan oleh masyarakat.

Kemampuan untuk menguasai hukum akan terpenuhi jika pelaksana hukum dalam kehidupan sehari-harinya selalu mentaati hukum. Ketidak taatan kepada hukum hanya akan menghasilkan penegak-penegak hukum yang otoriter, yang dengan kekuasaannya menekan anggota masyarakat untuk mentaati hukum menurut seleranya sendiri. Sikap yang demikian jelas bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu untuk meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan ditanah air ini, penegak-penegak hukum haruslah orang-orang yang mengusai hukum sendiri, dan juga bermoral  dan beriman. Sehingga dalam penerapan hukum ia dapat berlaku adil jujur serta mau mengindahkan hukum yang berlaku.

Akan tetapi dalam kenyataannya, keinginan masyarakat untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum sering merasa kecewa karena apa yang diharapkan melalui lembaga peradilan tidak mencerminkan lembaga peradilan, tetapi tidak lain dari lembaga jual beli hukum. Untuk memperbaiki citra badan peradilan ini tentu tidak mudah, harus dilakukan perbaikan-perbaikan dalam segala hal, seperti gaji, sarana dan prasarana penunjang dan terutama adalah sumber daya manusianya. Kesejahteraan adalah merupakan kambing hitam yang utama yang dijadikan alasan mengapa para penegak hukum menjadi tidak bermoral. Di samping itu tentu juga adalah pembenahan lembaga peradilan itu sendiri, agar menjadi lembaga yang mandiri terlepas dari pengaruh kekuasaan negara lainnya, yang mempengaruhi kemandirian hakim dalam melaksanakan tugasnya sebagai hakim.

Di dalam dunia peradilan, prinsip-prinsip dasar kekuasaan kehakiman yang mandiri yang harus dihormati oleh setiap negara yang melakukan rule of law, adalah  meliputi:[11]

  1. Judicial Indefendence, lembaga peradilan harus merupakan suatu lembaga yang memberikan manfaat sangat besar bagi setiap masyarakat, dimana setiap orang berhak untuk mendapatkan peradilan yang terbuka untuk umum yang dilaksnakan oleh pengadilan yang berwenang, adil dan tidak memihak. Peradilan yang mandiri merupakan syarat mutlak untuk melaksanakan hak tersebut yang mensyaratkan bahwa peradilan akan memeriksa perkara dengan adil dan menerapkan hukum yang baik.
  2. Objectieve of the judiciary, tujuan peradilan adalah :
  3. Menjamin setiap orang dapat hidup dengan aman di bawah the rule of law.
  4. Meningkatkan penghormatan dan pelaksanaan hak asasi manusia.
  5. Melaksanakan hukum secara adil dalam sengketa antara sesama warga masyarakat dan antar warga masyarakat dengan negara.
  6. Appoinment of judges. Para hakim harus diangkat berdasarkan kemampuannya yang nyata, integritas yang tinggi dan mandiri, dan harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga akan menjamin bahwa hanya yang terbaik yang dapat menduduki jabatan tersebut. Prosedur pengangkatannya harus transparan dan tanpa diskriminasi (suku, warna kulit, agama, gender, aliran politik, dan sebagainya).
  7. Tenure, yaitu bahwa masa jabatan hakim harus dijamin, baik melalui pemilihan kembali atau prosedur resmi lainnya. Tetapi diusulkan agar Hakim hanya akan pensiun/diberhentikan setelah mencapai usia tertentu dan ketentuan batas usia tersebut tidak boleh dirubah sehingga merugikan Hakim yang sedang melaksanakan tugasnya. Hakim hanya boleh diberhentikan  sebelum batas usia pensiun karena terbukti tidak mampu, dijatuhi pidana, atau mempunyai kelakuan yang tidak sesuai dengan kedudukannya sebagai Hakim, dan harus berdasarkan prosedur yang jelas.
  8. Judicial Condition, yaitu para hakim harus menerima penggajian yang memadai dan diberikan persyaratan kerja dan jaminan yang wajar.
  9. Jurisdiction, dimana kewenangan penyerahan perkara kepada hakim merupakan administrasi pengadilan dan pengawasan utama berada pada ketua pengadilan yang bersangkutan.
  10. Judicial Administration, yaitu bahwa administrasi pengadilan yang meliputi pengangkatan, pengawasan, dan penjatuhan disiplin kepada pejabat administrasi dan petugas pengadilan lainnya, serta anggaran pengadilan haruslah diberikan tanggung jawabnya kepada badan peradilan, atau oleh suatu badan di mana judiciary mempunyai peranan penting.
  11. Realitionship with the executive, yaitu bahwa kewenangan yang dimiliki oleh Eksekutif yang berdampak terhadap Hakim dalam melaksanakan tugasnya, gaji atau sumber pendapatannya, tidak boleh digunakan untuk mengancam atau menekan para Hakim, perlindungan Hakim dan keluarganya.
  12. Recources, yaitu bahwa agar para hakim dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, kepada mereka harus diberikan jaminan yang cukup.
  13. Emergency, bahwa dalam hal sedang terjadi kesulitan/krisis ekonomi di mana negara tidak memungkin memberi biaya yang memadai bagi Hakim, tetapi untuk tegaknya the rule of law dan perlindungan hak asasi manusi, pengadilan harus diberikan prioritas dalam pembiayaan.
  1. PENUTUP

Berdasarkan uraian singkat diatas, maka sangat perlu dibentuk suatu lembaga yang menangani pelanggaran maupun sengketa Pemilu. Hal itu dikarenakan persoalan pemilu sangat kompleks karena  dalam proses penegakan hukum Pemilu dan Pemilukada yang meliputi berbagai aspek hukum yaitu tata Negara, administrasi Negara, pidana dan  perdata menyebabkan penanganannyapun melibatkan beberapa lembaga peradilan yaitu Mahkamah Konstitusi, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Peradilan umum. Hal ini menyebabkan dapat terjadi putusan satu lembaga peradilan bertentangan dengan putusan lembaga peradilan lain atau dapat terjadi juga putusan suatu lembaga peradilan  misalnya putusan MK tentang penggelembungan suara yang melibatkan penyelenggara Pemilu yang jelas juga merupakan tindak pidana pemilu tidak terproses secara pidana.

Dari gambaran tersebut memperlihatkan  betapa rumitnya penegakan hukum dalam proses pemilu dan pemilukada. Dilain sisi lembaga pengawas Pemilu yaitu Bawaslu dan jajarannya tidak lebih dari tukang pos yang tugasnya dalam penegakan hukum pemilu dan Pemilukada  meneruskan kasus yang mengandung unsur pidana ke polisi dan pelanggaran administrasi ke KPU. Hal ini menambah rumit penegakan hukum dalam Pemilu dan Pemilukada.

Dalam rangka memperbaiki dan menata ulang penegakan hukum Pemilu dan Pemilukada dimasa mendatang perlu dipikirkan pembentukan peradilan khusus Pemilu dan Pemilukada atau paling tidak adanya peradilan terpadu  yang  menangani  pelanggaran pemilu baik itu pelanggaran pidana, pelanggaran administrasi serta sengketa TUN. Selain itu Bawaslu dan jajarannya  perlu diberi kewenangan lebih dalam penegakan hukum dalam arti Bawaslu dan jajarannya diberi kewenangan untuk menjatuhkan sanksi administrasi serta perlu adanya aparat kepolisian dan kejaksaan yang bertugas khusus di pengawas pemilu dalam rangka melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap kasus pelanggaran pemilu.

DAFTAR PUSTAKA

Gaffar, Janedjri M., 2013. Politik Hukum Pemilu, cetakan kedua, Jakarta:  Konstitusi Press.

Gaffar, Janedjri M., 2013. Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, cetakan pertama, Jakarta:  Konstitusi Press.

Indonesia, Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.

Lutfi, Mustafa, 2010. Hukum Sengketa Pemilukada di Indonesia- gagasan perluasan kewenangan konstitusinal Mahkamah Konstitusi, cetakan Pertama, Yogyakarta: UII Press.

Mulyadi, Dedi,2013. Perbandingan Tindak Pidana Pemilu Legislatif – dalam perspektif hukum di Indonesia, cetakan Kesatu, Bandung : Refika Aditama.

Santoso, Topo, 2006. Penegakan Hukum Pemilu – praktik Pemilu 2004, kajian Pemilu 2009-2014, Jakarta : Perludem-US AID-DRSP.

Sardini, Nur Hidayat, 2011. Restorasi Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, cetakan Pertama, Yogyakarta : Fajar Media Press

Sahdan, Gregorius dkk, 2008. Politik Pilkada-tantangan merawat demokrasi, Yogyakarta: IPD-Konrad Adenauer Stiftung.

Wibowo, Arif, 2013. Menata ulang Sistem Penyelesaian dan Pelanggaran Pemilukada, dalam buku : Demokrasi Lokal-evaluasi Pemilukada di Indonesia,  cetakan kedua, Jakarta : Konstitusi Press.

Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1986; Jimly Ashiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Kostitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994.

Jimly Asshiddiqie, “Struktur Ketatanegraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945”, Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasioanal VIII dengan tema penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum NASIONAL Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denpasar.

John Alder, Constitutional & Administrative Law, London: Macmillan Profes-sional Masters 1989.

J.C.T. Simorangkir, Penetapan UUD Dilihat Dari Segi Hukum Tata Negara Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, 1984.

  1. Scheltema, De Rechtsstaat, dalam J.W.M. Engels (et.al), 1989, De Rechtsstaat Herdacht, Zwolle:TjeenWillink
  1. Tolchah Mansoer , Pembahasan beberapa Aspek Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif di Indonesia, Jakarta : Pradnya Paramita, 1983.

Ofer Raban, Modern Legal Theory and Judicial Impartiality, 2003

Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.

Pergulatan Tanpa Henti Menabur Benif Reformasi (Jakarta: Otoboigrafi , Aksara Karunia ,2004

Refly Harun ,dkk Menjaga Denyut Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi , Jakarta; Konstitusi Pers.

Romi Librayanto, 2008, Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, PuKAP-Indonesia, Makassar.

Richard Susskind, The future of law, facing the challenges of information technology. New Russel.

Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI 1945, Cetakan VI, Bandung: Citra Aditya Bakti,1989.

Syahran Basah, Fungsi Hukum Dalam Kehidupan Masyarakat, Dalam Tiga Tulisan Tentang Hukum, Amrico, 1986

Satjito Raharjo, Membedah Hukum Progresif, Alumni, Bandung, 2008

T.M. Luthfi Yazid, “ Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”, Makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas dengan tema: „Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD NRI 1945, diselenggarakan oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, di Hotel Aryaduta, Jakarta, 9 September 2004.

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Cet. VI, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 1989.

[1] Topo Santoso, Penegakan Hukum Pemilu – praktik Pemilu 2004, Kajian Pemilu 2009-2014 (Jakarta : PerludemUS-AID, DRSP), hlm. 5

[2] Ibid, hlm. 176

[3] Janedjri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu, (Jakarta : Konstitusi Press, 2013), hlm. 77.

[4] Mustafa Lutfi, Hukum Sengketa Pemilukada di Indonesia ( Yogyakarta : UII, 2010) hlm. 113

[5]  Ibid, hlm. 78.

[6] Arif Wibowo, Menata Ulang Sistem Penyelesaian Sengketa dan Pelanggaran Pemilukada- dlm buku Demokrasi local, (Jakarta, Konstitusi Press, 2013) hlm. 117.

[7] Dedi Mulyadi, Perbandingan Tindak Pidana Pemilu Legislatif – dalam perspektif hukum di Indonesia, Cetakan Kesatu, (Bandung : PT Refika Aditama, 2013), hlm. 276.

[8] Janedjri M. Gaffar, Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, (Jakarta : Konstitusi Press, 2013) hlm. 175

[9] Nur Hidayat Sardini,  Restorasi Penyelenggaraan Pemiludi Indonesis,  (Yogyakarta : Fajar Media Press, 2011), hlm. 233.

[10] Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984. Hal 112

[11] M. Scheltema, De Rechtsstaat, dalam J.W.M. Engels (et.al), 1989, De Rechtsstaat Herdacht, Zwolle:TjeenWillink, Hal.15-17)

 

You may also like

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Verifikasi Bukan Robot *