PENGAWASAN PEMERINTAH DALAM KONSEP NEGARA KESATUAN

  1. Hubungan Pemerintah Pusat Dan Pemerintah Daerah

Secara teoritis Clark dan Stewart membedakan hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah menjadi  3 (tiga) model,yaitu: [1]

  1. The Relative Authonomy Model. Model hubungan seperti ini dimaksudkan adalah adanya pemberian kebebasan yang relative besar kepada Pemerintah Daerah dengan tetap menghormati eksistensi Pemerintah Pusat. Dalam model hubungan seperti ini, penekanannya terletak pada pemberian kebebasan pemerintah daerah dalam kerangka kekuasaan/tugas dan tanggung jawab yang telah dirumuskan di dalam peraturan perundang-undangan.
  2. The Agency Model. Model dimana Pemerintah Daerah tidak mempunyai kekuasaan yang cukup berarti sehingga keberadaannya tidak lebih hanya sekedar agen Pemerintah Pusat yang bertugas untuk menjalankan kebijaksanaan Pemerintah Pusat. Karenanya pada model hubungan seperti ini, berbagai petunjuk rinci dalam peraturan perundang-undangan sebagai mekanisme kontrol sangat menonjol. Hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dengan model seperti ini, pendapatan asli daerah tidak menjadi suatu hal yang vital, karena keuangan daerah didominasi oleh bantuan dari pemerintah pusat.
  3. The Interaction Model. Model hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dimana keberadaan dan peran Pemerintah Pusat ditentukan oleh interaksi yang terjadi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Model hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah tidak hanya berpaku pada tiga teori tersebut di atas, karena selain Clark dan Stewart, Ismail Suny membedakan hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah menjadi 5 (lima) model, yaitu: [2]

  1. Negara kesatuan dengan otonomi terbatas;
  2. Negara kesatuan dengan otonomi luas;
  3. Negara quasi federal dengan provinsi atas “kebaikan” Pemerintah Pusat. Dalam model seperti ini Pemerintah Pusat menentukan apakah keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh daerah berlaku atau tidak berlaku, sehingga model ini juga  dikenal dengan model federal semu.
  4. Negara federal dengan Pemerintahan Federal. Beberapa Negara yang menganut model pemerintahan seperti ini seperti: Amerika Serikat (AS), Australia, Kanada, dan Swiss;
  5. Negara Konfederasi. Dalam bentuknya yang paling ekstrim, Negara yang menganut model ini adalah apabila Pemerintah Pusat bergantung kepada Negara-negara anggota konfederasi atau Negara-negara anggota common wealth.

Secara kuantitatif, sentralisasi atau desentralisasi dari suatu tatanan hukum mungkin berbeda-beda derajatnya. Derajat sentralisasi dan desentralisasi ditentukan oleh perbandingan jumlah dan kepentingan relative  dari norma-norma pusat dan daerah dari tatanan hukum tersebut. Oleh sebab itu, dapat dibedakan antara desentralisasi dan sentralisasi keseluruhan dengan desentralisasi dan sentralisasi sebagian. Sentralisasi bersifat keseluruhan jika semua norma berlaku bagi seluruh territorial. Desentralisasi bersifat keseluruhan jika semua norma hanya berlaku bagi bagian-bagian territorial yang berbeda. Dalam kasus pertama, desentralisasi memiliki derajat nol, sedangkan dalam kasus kedua sentralisasi yang memiliki derajat nol. Jika sentralisasi atau desentralisasi tidak keseluruhan, kita sebut desentralisasi bagian dan sentralisasi bagian, yang dengan demikian adalah sama. Sentralisasi dan desentralisasi keseluruhan hanya merupakan kutub-kutub ideal. Ada derajat minimum bagi sentralisasi, dan ada juga derajat maksimum bagi desentralisasi yang tidak bisa dilampaui tanpa menghilangkan masyarakat hukum tersebut; paling tidak, satu norma, yaitu norma dasar, harus merupakan norma pusat, harus berlaku bagi keseluruhan teritorial, kalau tidak, teritorial ini tidak akan menjadi teritorial dari satu tatanan hukum semata dan kita tidak bisa brebicara tentang desentralisasi sebagai pembagian teritorial dari satu masyarakat hukum yang sama. Hukum positif hanya mengenal sentralisasi dan desentralisasi bagian.[3]

Kita menyebut desentralisasi sempurna apabila pembuatan norma-norma daerah adalah yang terakhir (final) dan tidak terikat oleh norma-norma pusat. Pembuatan norma ini disebut yang terakhir apabila tidak ada kemungkinan dihapusnya dan digantikannya norma daerah ini oleh suatu norma pusat.[4]

Dari filosofi bentuk Negara, terdapat dua pola dasar pembagian kekuasaan dari kewenangan yang digunakan, yaitu: pertama, pola general competence atau open arrangement, yang dinamakan otonomi luas, yakni urusan yang dilakukan oleh pemerintah pusat bersifat limitif dan sisanya (urusan residual) menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Di Negara Federal, limitasi (pembatasan) kekuasaan atau kewenangan Pemerintah Pusat untuk menjalankan  urusan pemerintahan secara eksplisit tersurat di dalam konstitusinya, sedangkan di negara kesatuan tercantum dalam undang-undang atau aturan hukum yang rendah. Kedua, pola ultravires atau otonomi terbatas adalah urusan-urusan daerah yang ditentukan secara limitif (terbatas) dan sisanya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Pembatasan ini dilakukan dalam suatu undang-undang atau Peraturan Pemerintah.[5]

Perkembangan hubungan pusat dan daerah senantiasa mengalami dinamika (pasang surut). Dinamika hubungan tersebut secara umum terdapat dua kecendrungan. Pertama, suatu hubungan yang sifatnya sentralistik, yang didasarkan pada pemikiran bahwa gerak kemajuan tingkat nasional hanya akan terjadi jika pemerintah pusat memegang kendali penuh dan segala aktivitasnya diatur secara terpusat, untuk meraih efisiensi dan efektifitas. Kedua, suatu hubungan yang desentralistik mengacu pada kenyataan bahwa pemusatan kekuasaan otomatis hanya memberikan keuntungan pusat, daerah jauh dari hal tersebut dan semakin terpinggirkan. Otoritas kekuasaan dan kewenangan yang tinggi kepada pemerintah pusat memberikan jalan sentralisasi bersemi dalam wujud eksploitasi daerah, dengan dalil demi kepentingan nasional.[6]

  1. Shabbir Cheema, John R. Nellis, dan Dennis A Rondinelli memandang bahwa pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah itu berkisar pada perencanaan dan pengambilan keputusan. Menurut Ermaya, bahwa didesentralisasi meliputi ambtelijke decentralisatie, staatskundige decentralisatie. Gie berpandangan bahwa desentralisasi di bidang pmerintahan diartikan sebagai pelimpahan wewenang Pemerintah Pusat kepada satuan-satuan organisasi pemerintahan untuk menyelenggarakan segenap kepentingan setempat dari kelompok yang mendiami suatu wilayah.[7]

Pembagian kewenangan Pemerintah Pusat dan pemerintah subnasional (daerah) akan sangat tergantung pada karekteristik dari masing- masing Negara. Secara teoritis Smith membagi kewenangan tersebut menurut dua sistem yaitu sistem ganda (dual sistem) dan sistem gabungan (fused sistem). Di bawah sistem ganda, pemerintah daerah dijalankan secara terpisah dari Pemerintah Pusat atau dari eksekutifnya di daerah. Sedangkan di bawah sistem gabungan, Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dilakukan secara bersama-sama dalam satu unit, dengan seorang pejabat pemerintah yang ditunjuk untuk mengawasi jalannya pemerintahan setempat.[8]

Dari sudut pandang yang lain misalnya dari Compo & Sundaram, membedakan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah berdasarkan dua prinsip. Pertama, prinsip ultra vires (ultra vires (beyond the power)principle), di mana entitas daerah menjalankan kekuasaan termasuk membuat keputusan yang didelegasikan secara spesifik oleh Pemerintah Pusat. Kedua, prinsip kompetensi umum (general competent principle), di mana entitas daerah dapat menyelenggarakan semua kekuasaan yang tidak dicadangkan untuk Pemerintah Pusat.[9]

Bagir Manan menyatakan bahwa dasar-dasar hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintahan Daerah dalam kerangka desentralisasi ada 4 (empat) macam, yaitu:[10]

  1. Dasar-dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara:

Undang Undang Dasar Tahun 1945 menghendaki kerakyatan dilaksanakan pada Pemerintahan Daerah yang berarti bahwa UUD Tahun 1945 menghendaki adanya keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah, untuk mewujudkan kehendak UUD Tahun 1945 tersebut, maka yang dapat dilakukan adalah dengan menerapkan sistem desentralisasi.

  1. Dasar pemeliharaan dan pengembangan prinsip-prinsip pemerintahan asli:

Pada tingkat daerah, susunan asli yang ingin dipertahankan adalah sesuai dengan dasar permusyawaratan dalam pemerintahan Negara.

  1. Dasar kebhinekaan:

“Bhineka Tunggal Ika” melambangkan keragaman Indonesia, otonomi dan desentralisasi merupakan salah satu langkah untuk mengendorkan “spanning” yang timbul dari keragaman tersebut.

  1. Dasar negara hukum:

Dalam perkembangannya paham Negara hukum tiak dapat dipisahkan dari paha kerakyatan sebab pada akhirnya hukum yang mengatur serta kekuasaan Negara diartikan sebagai hukum yang dibuat atas dasar kekuasaan atau kedaulatan rakyat.

Desentralisasi dianggap mampu memberikan banyak manfaat bagi daerah dan juga bagi pusat. Shabbir Cheema dan Rondinelli menyampaikan 14 (empat belas) alasan yang merupakan rasionalitas dari desentralisasi, yaitu:[11]

  1. Desentralisasi dapat merupakan cara yang ditempuh untuk mengatasi keterbatasan karena perencanaan yang bersifat sentralistik dengan mendelegasikan sejumlah kewenangan terutama dalam perencanaan pembangunan, kepada pejabat di daerah yang bekerja di lapangan dan tahu betul masalah yang dihadapi masyarakat. Dengan desentralisasi, maka perencanaan dapat dilakukan sesuai dengan kepentingan masyarakat di daerah yang bersifat heterogen.
  2. Desentralisasi dapat memotong jalur birokrasi yang rumit serta prosedural yang sangat terstruktur dari Pemerintah Pusat.
  3. Dengan desentralisasi fungsi dan penugasan kepada pejabat di daerah, maka tingkat pemahaman serta sensitifitas terhadap kebutuhan masyarakat daerah akan meningkat. Kontak hubungan yang meningkat antara pejabat dengan masyarakat setempat akan meningkat. Kontak hubungan yang meningkat antara pejabat dengan masyarakat setempat akan memungkinkan kedua belah pihak untuk  memiliki informasi yang lebih baik, sehingga dengan demikian akan mengakibatkan perumusan kebijaksanaan yang lebih realistik dari pemerintah.
  4. Desentralisasi akan mengakibatkan terjadi “pentrasi” yang lebih baik dari Pemerintah Pusat bagi daerah-daerah yang terpecil atau sangat jauh dari pusat, dimana seringkali rencana pemerintahan tidak dipahami oleh masyarakat setempat atau dihambat oleh elite lokal, dan dimana dukungan terhadap program pemerintah sangat terbatas.
  5. Desentralisasi memungkinkan representasi yang lebih luas dari berbagai kelompok politik, etnis, keagamaan di dalam perencanaan pembangunan yang kemudian dapat memperluas kesamaan dalam mengalokasikan sumber daya dan investasi pemerintah.
  6. Desentralisasi dapat meningkatkan kapasitas pemerintahan serta lembaga privat di daerah, yang kemudian dapat meningkatkan kemampuan mereka untuk mengambil alih fungsi yang selama ini dijalankan oleh Departemen yang ada di pusat.
  7. Desentralisasi dapat meningkatkan efisiensi pemerintahan dengan tidak lagi pejabat puncak di pusat menjalankan tugas rutin karena hal itu dapat diserahkan kepada pejabat daerah. Dengan demikian, pejabat di pusat dapat menggunakan waktu dan energi mereka untuk melakukan sepervisi dan pengawasan terhadap implementasi kebijaksanaan,
  8. Desentralisasi juga dapat menyediakan struktur dimana berbagai departemen di pusat dapat dikoordinasi secara efektif bersama pejabat daerah dan sejumlah NGOs di berbagai daerah. Provinsi. Kabupaten, dan Kota dapat menyediakan basis wilayah koordinasi bagi program pemerintah, khususnya di Dunia III dimana banyak sekali program pedesaan yang dijalankan.
  9. Struktur pemerintahan yang didesentralisasikan dipergunakan guna melembagakan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan implementasi program. Struktur seperti ini dapat merupakan wahana bagi pertukaran informasi yang menyangkut kebutuhan masing-masing daerah kemudian secara bersama-sama menyampaikannnya kepada pemerintah.
  10. Dengan menyediakan modal alternative cara pembuatan kebijaksanaan, desentralisasi dapat meningkatkan pengaruh atau pengawasan atas berbagai aktivitas yang dilakukan oleh elite lokal, yang sering kali tidak simpatik dengan program pembangunan nasional dan tidak sensitive terhadap kebutuhan kalangan miskin di pedesaan.
  11. Desentralisasi dapat mengantarkan kepada administrasi pemerintahan yang mudah disesuaikan, inovasi, dan kreatif. Pemerintah Daerah dapat memiliki peluang untuk menguji inovasi, serta bereksperimen dengan kebijaksanaan yang baru di daerah-daerah tertentu tanpa harus menjustifiksinya kepada seluruh wilayah Negara. Kalau mereka berhasil maka dapat dicontoh oleh daerah lainnya.
  12. Desentralisasi perencanaan dan fungsi manajemen dapat memungkinkan pemimpin di daerah untuk menetapkan pelayanan dan fasilitas secara efektif di tengah-tengah masyarakat, mengintegrasikan daerah-daerah yang terisolasi, memonitor, dan melakukan evaluasi implementasi proyek pembangunan dengan lebih baik daripada yang dilakukan oleh pejabat di pusat.
  13. Desentralisasi dapat memantapkan stabilitas politik dan kesatuan nasional dengan memberikan peluang kepada berbagai kelompok masyarakat di daerah, sehingga dengan demikian akan meningkatkan kepentingan mereka dalam memelihara sistem politik.
  14. Desentralisasi dapat meningkatkan penyediaan pemerintah pusat dan daerah ke tingkat lokal dengan biaya yang lebih rendah, karena hal itu tidak lagi menjadi beban pemerintah pusat karena sudah diserahkan kepada daerah.

Persoalan-persoalan yang semestinya dituntaskan oleh birokrasi dalam hubungan atau relasi antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat adalah sebagai berikut:[12]

  1. Kemiskinan infrastruktur, baik berupa sistem transportasi yang belum memadai  sehingga tidak menunjang eksesibilitas atau pergerakan orang ataupun jasa maupun belum berkembangnya teknologi komunikasi dan aksesibilitas dalam mendapatkan informasi-informasi mengenai pembangunan’
  2. Masih tingginya angka kemiskinan;
  3. Masih rendahnya kualitas kesehatan;
  4. Masih rendahnya derajat pendidikan;
  5. Masih rendahnya pelayanan umum dari Pemerintah Daerah;
  6. Ketertinggalan kualitas sumber daya manusia; dan
  7. Kemampuan keuangan daerah yang rendah.

Sebelum adanya reformasi banyak yang menyatakan bahwa hubungan daerah dan pusat adalah sentralistik walaupun ada yang menyatakan bahwa desentralistik sudah ada sejak dahulu (sebelum reformasi). Beberapa peraturan yang dinyatakan sebagai bentuk bahwa desentralisasi sudah menjadi suatu pemikiran manusia Indonesia sejak dahulu antara lain Undang-undang nomor 1 tahun 1945, peraturan yang merupakan awal peletakan landasan hukum pelaksanaan pemerintahan di daerah, Undang-undang Nomor 22 tahun 1948, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957, Perpres Nomor 6 tahun 1959, dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965. [13]

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 memberikan otonomi yang seluas-luasnya kepada daerah-daerah, dimana otonomi ini lebih luas daripada masa Hindia Belanda. Pembatasan terhadap otonomi itu hanyalah asal tidak bertentangan dengan peraturan pusat dan daerah yang lebih tinggi.[14]

Di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945, penjelasan Pasal 2 menyebutkan bahwa Komite Nasional Indonesia daerah diubah sifatnya menjadi Badan Perwakilan Rakyat Daerah. Wewenang BPRD sebagai badan legislatif meliputi 3 (tiga) bagian: (1) membuat peraturan-peraturan untuk kepentingan daerahnya (otonomi). (2) membantu pemerintah yang lebih tinggi dalam pelaksanaan peraturan-peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah yang lebih tinggi (medebewind dan selfgovernment). (3) membuat peraturan mengenai masalah yang didelegasikan oleh Undang-undang umum, dengan ketentuan bahwa peraturan itu harus disahkan lebih dulu oleh pemerintah yang tingkatannya lebih tinggi (wewenangnya diantara otonomi dan selfgovernment). [15]

Dilihat dari muatannya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 menganut asas otonomi formal. Kepala Daerah, disamping berkedudukan sebagai organ daerah otonom, berkedudukan pula sebagai alat pusat di daerah, karena tidak dipilih oleh KNID melainkan diangkat oleh Pemerintah Pusat. [16]

Otonomi daerah yang dimaksud dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 dilihat dari salah satu kewenangan BPRD yaitu kewenangan untuk membuat peraturan yang dibutuhkan oleh daerah atau untuk kepentingan daerah, kewenangan ini dalam hal otonomi daerah masih dipertahankan yang dapat kita temukan dalam Pasal 18 Ayat (6) Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945, yang menyatakan bahwa Pemerintah Daerah berhak menetapkan Peraturan Daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. Namun, yang menjadi pembeda yang sangat jelas antara otonomi daerah yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 dengan otonomi daerah yang sedang diterapkan di Indonesia saat ini adalah tentang pengangkatan Kepala Daerah. Ditahun 1945, Kepala Daerah diangkat oleh Pemerintah Pusat sedangkan pada saat ini Kepala Daerah dipilih sendiri oleh masyarakat di daerah tersebut.

Realitas politik dari hadirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 adalah adanya dualisme kekuasaan eksekutif di daerah yang menimbulkan persoalan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945, ada dua jenis pemerintahan di daerah, yaitu, pemerintahan yang memiliki KNID dan pemerintahan yang tidak memiliki KNID. Pemerintahan daerah yang memiliki KNID adalah pemerintahan otonom yang berhak mengatur rumah tangganya sendiri, yakni, karisidenan, kota, kabupaten, atau daerah lain yang mendapat persetujuan menteri dalam negeri. Sedangkan pemerintahan di daerah lain seperti provinsi (kecuali Sumatera), kawedanan, dan kecamatan, tidak mempunyai KNID sehingga daerah-daerah tersebut sepenuhnya diperlakukan sebagai daerah administrative. Pengaturan yang berbeda ini menimbulkan keberatan bukan hanya pada masalah hubungan antara pusat dan daerah, tetapi juga dalam hal timbulnya ketidakseragaman dalam pemerintahan antara satu daerah dengan lainnya. UU No. 1 tahun 1945 juga tidak berhasil menghilangkan sifat sentralistik, baik karena KNID tidak berhasil melaksanakan fungsinya maupun terlalu dominannya kepala daerah dalam menjalankan pemerintahan atas prakarsanya sendiri. Keberatan atas UU No. 1 tahun 1945 dapat juga dilihat dari pemilihan ajaran formal sebagai asas otonominya. Asas otonomi formal tersebut menjadi sebab adanya ketidakjelasan tugas, wewenang dan tanggungjawab daerah otonom mengenai urusan rumah tangganya.[17]

 

  1. Otonomi dalam Negara Indonesia
  2. Otonomi Dalam Negara Kesatuan

Menjadikan otonomi sebagai pilihan adalah tindakan yang sangat strategis dalam rangka memelihara nation state (Negara-bangsa) yang sudah lama kita bangun dan kita pelihara. Disamping hal tersebut, pilihan desentralisasi dimaksudkan untuk memantapkan kehidupan demokrasi Indonesia di masa-masa yang akan datang. Demokrasi tanpa adanya penguatan penguatan politik dan lokal akan menjadi rapuh karena demokrasi tidak mungkin dibangun hanya dengan memperkuat elit politik nasional. Desentralisasi/otonomi daerah diyakini mampu mencegah kepincangan dalam menguasai sumber daya yang dimiliki oleh suatu Negara.[18]

Yang dimaksud otonomi daerah adalah suatu perpaduan langsung dari ide-ide desentralisasi dengan ide-ide demokrasi. Organ-organ pembuat norma-norma daerah dipilih oleh para subjek dari norma ini. Sebuah contoh dari satuan daerah otonom adalah kotapraja atau kotamadya atau walikota. Ini adalah sebuah Pemerintahan Daerah yang otonom dan desentralisasi. Desentralisasi menunjuk hanya kepada masalah-masalah tertentu menyangkut kepentingan khusus di daerah, dan ruang lingkup wewenang kotapraja atau kotamadya dibatasi kepada tingkatan norma-norma khusus.[19]

Held berpendapat bahwa daya tarik Negara terletak pada janji-janjinya terhadap komunitas masyarakat yang akan diatur dengan batas-batas aturan main yang fair sehingga seluruh warga merasa menjadi bagian di dalamnya. Held juga menyatakan bahwa prinsip otonomi menggambarkan secara esensial dua gagasan dasar, yaitu (1) ide bahwa rakyat seharusnya berhak menentukan sendiri nasibnya. (2) gagasan tentang pemerintahan demokrasi yang menegaskan struktur terbatas kekuasaan secara illegal.[20]

Otonomi daerah merupakan esensi pelaksanaan pemerintahan yang desentralistik, namun dalam perkembangan otonomi daerah, selain mengandung arti zulfwetgeving (membuat Perda), juga mencakup zelfbestuur (pemerintahan sendiri).[21] Dalam mengembangkan desentralisasi dan otonomi daerah minimal ada dua ciri yang harus dipertimbangkan, yaitu (1) daerah diberi wewenang untuk mengambil keputusan yang berkaitan dengan urusan yang menyangkut daerahnya, (2) daerah diberi kebebasan penguasaan dan pengalihan atas berbagai sumber potensi daerah yang bersangkutan. Dari kedua hal tersebut, yang sekarang dianut di Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah ciri yang pertama, sebab bagi Indonesia untuk menganut sepenuhnya kedua ciri tersebut tidak memungkinkan karena adanya asas pemerataan, kondisi, potensi dan sumber daya yang berbeda-beda antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya dan adanya prinsip pencapaian laju pertumbuhan antar daerah yang seimbang serta wawasan nusantara yang merupakan suatu ciri dari Negara Republik Indonesia sebagai Negara Kesatuan.[22]

Setiap Negara kesatuan (unitary state, eenheidsstaat) dapat disusun dan diselenggarakan menurut asas dan sistem sentralisasi, yaitu semua kegiatan pemerintahan dilaksanakan oleh dan dari pemerintah pusat (single centralized government) atau dilaksanakan dengan cara Pemerintah Pusat bekerja bersama-sama dengan organ-organnya yang dipencarkan di daerah-daerah untuk menjalankan sebagian wewenang Pemerintahan Pusat di daerah. Sentralisasi yang disertai dengan pemencaran ogan-organ Pemerintah Pusat dikenal dengan dekonsentrasi (centralisatie men deconsentratie). Desentralisasi akan didapat apabila kewenangan mengatur dan mengurus penyelenggaraan pemerintahan tidak semata-mata dilakukan oleh Pemerintah Pusat (central government), melainkan juga oleh kesatuan-kesatuan pemerintahan yang lebih rendah yang mandiri (zelftanding), bersifat otonom (territorial atau fungsional). [23]

Prinsip pada Negara kesatuan ialah bahwa yang memegang tampuk kekuasaan tertinggi atas segenap urusan Negara ialah Pemerintah Pusat tanpa adanya suatu delegasi atau pelimpahan kekuasaan kepada Pemerintah Daerah (local government). [24] Prinsip pembagian kekuasaan atau kewenangan pada Negara kesatuan adalah: pertama, kekuasaan atau kewenangan pada dasarnya milik Pemerintah Pusat, daerah diberi hak dan kewajiban untuk mengelola dan menyelenggarakan sebagian kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan atau diserahkan. Jadi, terjadi proses penyerahan  atau pelimpahan kewenangan. Kedua, Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Daerah tetap memiliki garis komando dan hubungan hirarkis. Pemerintah sebagai subordinasi Pemerintah Pusat, namun hubungan yang dilakukan tidak untuk mengintervensi dan mendekte Pemerintah Daerah dalam berbagia hal. Ketiga, kewenangan atau kekuasaan yang dialihkan atau diserahkan kepada daerah dalam kondisi tertentu, di mana daerah tidak mampu menjalankan dengan baik, maka kewenangan yang dilimpahkan dan diserahkan tersebut dapat ditarik kembali ke Pemerintah Pusat sebagai pemilik kekuasaan atau kewenangan tersebut.[25]

Memahami konsep pembagian kekuasaan atau kewenangan dalam pelaksanaan pemerintahan dalam Negara kesatuan dapat dipergunakan tiga pendekatan. Yaitu: pertama, ultravires, yang dapat dikaji menurut pembagian kewenangan yang diatur dalam perincian kewenangan kepada Pemerintah Daerah dan sisanya kepada Pemerintah Pusat. Penggunaan kriteria ini akan melahirkan urusan Kabupaten/Kota dan urusan daerah Provinsi yang bersifat wajib, sementara sisanya merupakan urusan Pemerintah Pusat. Kedua, general competence, yang dikaji menurut pembagian kewenangan kepada daerah bersifat umum serta sis kewenangan berada pada pemerintah pusat. Ini akan melahirkan urusan Pemerintah Pusat dan urusan Provinsi serta sisanya merupakan urusan pemerintah Kabupaten/Kota. Ketiga, campuran, yang dikaji menurut pembagian kewenangan kepada daerah bersifat perpaduan antara ultravires dengan general competence.[26]

Menurut kamus istilah hukum, atribusi (attributie) mengandung arti  pembagian (kekuasaan), dalam kata attributie van rechtmacht, diartikan sebagai pembagian kekuasaan kepada berbagai instansi (absolute competinte atau kompetensi mutlak), yang merupakan lawan dari attributie van rechtmacht. Pada atribusi (pembagian kekuasaan hukum) diciptakan suatu wewenang.[27]

Atribusi kewenangan terjadi apabila pendelegasian kekuasaan itu didasarkan pada amanat suatu konstitusi dan dituangkan dalam suatu Peraturan Pemerintah tetapi tidak didahului oleh suatu pasal dalam undang-undang untuk diatur lebih lanjut. Sedangkan dalam delegasi, kewenangan terjadi apabila pendelegasian kekuasaan didasarkan pada amanat undang-undang dan suatu Peraturan Pemerintah yang sebelumnya diamanatkan dalam salah satu pasal undang-undang (khususnya dalam konsideran mengingat) untuk ditindaklanjuti.[28] Di dalam Negara kesatuan tanggungjawab pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan pada dasarnya tetap berada di tangan Pemerintah Pusat. Akan tetapi karena sistem pemerintahan Indonesia salah satunya menganut asas Negara kesatuan yang didesentralisasikan, maka ada tugas-tugas tertentu yang diurus sendiri, sehingga menimbulkan hubungan timbal balik yang melahirkan adanya hubungan kewenangan dan pengawasan.[29] Negara kesatuan merupakan landasan batas dari isi pengertian otonomi. Berdasarkan landasan tersebut, dikembangkanlah berbagai peraturan (rules) yang mengatur mekanisme yang akan menjelmakan keseimbangan antara tuntutan otonomi. Disini pulalah letak kemungkinan spanning yang timbul dari kondisi tarik-menarik antara kedua kecendrungan tersebut. [30]

Prinsip persatuan sangat dibutuhkan karena keragaman suatu bangsa, agama, dan budaya yang diwarisi oleh bangsa Indonesia dalam sejarah yang mengharuskan bangsa Indonesia bersatu dengan seerat-eratnya dalam keragaman itu.keragaman itu merupakan kekayaan yang harus dipersatukan (united), tetapi tidak boleh dipersatukan atau diseragamkan (uniformed). Oleh karena itu, prinsip persatuan Indonesia tidak boleh diidentikkan dengan kesatuan. Prinsip persatuan juga tidak boleh dipersempit maknanya ataupun diidentikkan dengan pengertian kelembagaan bentuk Negara kesatuan yang merupakan bangunan Negara yang dibangun atas motto Bhineka Tunggal Ika (unity in diversity). Bentuk Negara kita adalah Negara Kesatuan ( Unitary State), sedangkan persatuan Indonesia adalah prinsip dasar bernegara yang harus dibangun atas dasar persatuan (unity), bukan kesatuan (uniformity).[31]

Hubungan pusat dan daerah atas dasar otonomi territorial merupakan konsep Negara kesatuan. Satuan otonomi territorial merupakan suatu satuan mandiri dalam lingkungan Negara kesatuan yang berhak melakukan tindakan  hukum sebagai subjek hukum untuk mengatur dan mengurus fungsi pemerintahan (administrasi negara) yang menjadi urusan rumah tangganya. Jadi hubungan pusat dan daerah atas dasar otonomi tritorial memiliki kesamaan dengan hubungan pusat dan daerah atas dasar federal, yaitu hubungan antara dua subjek hukum yang masing-masing berdiri sendiri. Perbedaannya dalam otonomi territorial pada dasarnya fungsi kenegaraan dan pemerintahan ada dalam lingkungan pemerintah pusat yang kemudian dipencarkan kepada satuan-satuan otonomi. Pemencaran ini dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, undang-undang menetapkan secara tegas berbagai fungsi pemerintahan (administrasi negara) sebagai urusan rumah tangga daerah. Cara-cara ini mirip dengan cara-cara dalam sistem federal yang merinci kekuasaan Negara bagian. Kedua, pusat dari waktu ke waktu menyerahkan berbagai urusan baru kepada satuan otonom. Ketiga, pusat mengakui urusan-urusan pemerintahan tertentu yang ‘diciptakan’ atau yang kemudian diatur dan diurus satuan otonomi baik karena tidak diatur dan diurus pusat maupun atas dasar semacam concurrent power. Keempat. Membiarkan suatu urusan secara tradisional atau sejak semula dikenali sebagai fungsi pemerintahan yang diatur dan diurus satuan otonomi. Cara-cara penentuan rumah tangga satuan otonomi ini akan menentukan suatu otonomi bersifat luas atau terbatas.[32]

Hubungan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam suatu Negara kesatuan disamakan dengan gedecentraliseerd. Sementara, dalam kajian Hukum Tata Negara, pemerintahan yang berdasarkan asas desentralisasi disebut staatskundige decentralisatie (desentralisasi politik), di mana rakyat turut serta dalam penyelenggaraan pemerintahan melalui wakil-wakilnya dalam batas wilayah daerah masing-masing.[33] Pola keseimbangan hubungan antara pusat dan daerah dalam Negara kesatuan republik Indonesia adalah dengan mendesentralisasikan sebagian urusan kepada daerah dan memberikan kewenangan yang luas kepada daerah untuk mengatur dirinya sendiri sesuai dengan aspirasi masyarakat daerah tersebut. Oleh karena itu, desentralisasi/otonomi daerah merupakan pilihan yang terbaik bagi kepentingan bangsa dan masyarakat Indonesia ketimbang sentralisasi/dekonsentrasi.[34]

Dalam konteks bentuk Negara, meskipun bangsa Indonesia memilih bentuk Negara kesatuan, di dalamnya terselenggara suatu mekanisme yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya keragaman antardaerah di seluruh tanah air. Kekayaan alam dan budaya antar daerah tidak boleh diseragamkan dalam sturktur Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan kata lain, bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia diselenggarakan dengan jaminan otonomi

yang seluas-luasnya kepada daerah-daerah untuk berkembang sesuai dengan potensi dan kekayaan yang dimilikinya masing-masing, tentunya dengan dorongan, dukungan, dan bantuan yang diberikan oleh Pemerintah Pusat.[35]

Tugas pembantuan dapat dijadikan sebagai terminal menuju “penyerahan penuh” suatu urusan Kepada Daerah atau tugas pembantuan merupakan tahap awal sebagai persiapan menuju kepada penyerahan penuh. Kaitan tugas antara tugas pembantuan dengan desentralisasi dalam melihat hubungan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, seharusnya bertolak dari: (1) tugas pembantuan adalah bagiandari desentralisasi. Jadi, pertanggungjawaban mengenai penyelenggaraan tugas pembantuan adalah tanggungjawab daerah yang bersangkutan; (2) tidak ada perbedaan pokok antara otonomi dan tugas pembantuan karena dalam tugas pembantuan terkandung unsur otonomi, daerah mempunyai cara-cara sendiri untuk melaksanakan tugas pembantuan; serta (3) tugas pembantuan sama halnya dengan otonomi, yang mengandung unsur penyerahan, bukan penugasan. Yang dapat dibedakan secara mendasar bahwa kalau otonomi adalah penyerahan penuh, maka tugas pembantuan adalah penyelenggaraan tidak penuh.[36]

Esensi pasal 18 UUD 1945 yang tidak mengisyaratkan adanya daerah administrative, tetapi tidak menafikkan munculnya dekonsentrasi dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan penguatan desentralisasi. Namun demikian, dekonsentrasi, di samping desentralisasi, harus memperhatikan hal-hal berikut ini.[37]

  1. Kehadiran wilayah pemerintahan administrative jangan sampai mematikan atau memandulkan inisiatif, prakarsa, dan kebebasan daerah di dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sehingga mengakibatkan daerah menjadi bergantung pada Pemerintah Pusat.
  2. Jangan sampai menimbulkan dualisme penyelenggaraan pemerintahan tingkat daerah.
  3. Jangan sampai menimbulkan kontrol yang begitu ketat dari Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah sehingga daerah tidak dapat mencerminkan dirinya sebagai daerah otonom yang dibentuk berdasarkan asas kedaulatan rakyat.
  4. Jangan sampai menimbulkan duplikasi dan tumpang tindih wewenang, tugas, dan tanggung jawab dengan satuan pemerintahan otonom yang akan mempengaruhi fungsi pelayanan terhadap masyarakat.

Asas desentralisasi pada dasarnya  dalam kajian teori kewenangan  dalam administrasi Negara dipersepsikan dengan “kewenangan secara atributif atau delegatif” dari pembentuk undang-undang dan atau perintah atasan. Sementara, asas dekonsentrasi dipersepsikan dengan “kewenangan secara delegatif” dari pemerintah atasan dan asas tugas pembantuan dipersepsikan dengan “kewenangan secara mandat atau penugasan/mandatir” dari pimpinan tingkat atas.[38]

Asas dekonsentrasi dapat ditinjau dari tiga segi, yaitu: (1) dari segi wewenang: asas ini memberikan/melimpahkan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada pejabat-pejabat di daerah untuk menyelenggarakan tugas-tugas pemerintah Pusat yang ada di daerah, termasuk juga pelimpahan wewenang pejabat-pejabat atasan kepada tingkat di bawahnya; (2) dari segi pembentuk pemerintahan: berarti membentuk pemerintah lokal administrasi di daerah, untuk diberi tugas menyelenggarakan urusan pembagian wilayah: asas ini membagi wilayah negara menjadi daerah-daerah pemerintah lokal administrative atau akan membagi wilayah negara menjadi wilayah-wilayah administrative. [39]

Pelaksanaan pemerintahan di daerah meliputi kewenangan Zelfwetgeving yaitu kewenangan daerah membentuk peraturan sendiri dan Zelfbestuur yang diartikan sebagai suatu usaha pemerintah dalam mengambil tindakan untuk melayani kesejahteraan umum atau dengan kata lain zulfbestuur merupakan kewenangan untuk melakukan pemerintahan sendiri.[40]

Oleh sebab itu, produk legislative di daerah provinsi ataupun daerah Kabupaten/Kota berupa Peraturan Daerah sebagai hasil kerja dua lembaga, yaitu Kepala Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang kedua-duanya dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilu umum dan pemilihan kepala daerah, tidak dapat dibatalkan oleh keputusan sepihak dari pemerintah pusat begitu saja.[41]

Berkaitan dengan kewenangan membuat peraturan dan melaksanakan pemerintahan sendiri, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NKRI Tahun 1945) sebagai konstitusi Indonesia, telah mengaturnya, yang menyatakan bahwa Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang diatur oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.[42]

Kewenangan Pemerintah Daerah yang didelgasikan dari Pemerintah (pusat), dari waktu ke waktu berbeda, demikian pula mengenai batasan-batasan kewenangan yang didelegasikan kepada Pemerintah Daerah dan pejabat daerah tidak diberikan rinci secara implisit. Hal demikian dapat menimbulkan masalah, antara lain: pertama, ketidak konsistenan pendelegasian bentuk dan sifat kewenangan Pemerintahan kepada Pemerintah daerah dan pejabat daerah membuat kesimpulan bahwa pelaksanaan otonomi daerah tidak pernah berhasil dengan baik dan menyentuh lapisan masyarakat. Kedua, pelaksanaan kewenangan  Pemerintah Daerah dan pejabat daerah sering terjadi benturan antara kepentingan Pemerintah Pusat dan pejabat pusat dengan Pemerintah Daerah karena perbedaan persepsi dan penafsiran mengenai hakekat pelaksanaan Pemerintah Daerah di Negara kesatuan. Ketiga, ketidakjelasan pembatasan pelaksanaan kewenangan secara rinci dan tegas membuat penafsiran dan penerapan yang berbeda antara daerah yang satu dengan daerah yang lain, maupun antara pejabat daerah yang satu dengan pejabat daerah yang lainnya. keempat, pergantian undang-undang organik Pemerintahan Daerah yang tidak didahului evaluasi yang lengkap dan menyeluruh, membuat daerah dan masyarakat bersikap apatis dan acuh karena pendelegasian kewenangan hanya dianggap sebagai simbolis dan kepedulian sesaat. Kelima, evaluasi yang dilakukan terhadap sosialisasi dan pelaksanaan undang-undang organik pemerintah daerah tidak dapat berhasil dengan baik karena terkadang semua hal yang diinginkan belum diwujudkan dalam aturan formal, seperti peraturan pelaksanaan dari undang-undang organik tersebut (PP, Kepres, dan Kepmen) maupun dalam penataan perangkat lembaga dan sistem pengawasan belum diwujudkan secara menyeluruh.[43]

Kekuasaan memuat peraturan diberikan juga kepada Pemerintah Daerah otonom, ialah sebagian kekuasaan berdasarkan inisiatif sendiri (otonom) dan sebagian lagi berdasarkan delegasi “medebewind”, agar supaya Pemerintah Daerah itu dapat menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.[44] Kedaulatan rakyat adalah hak rakyat untuk menentukan nasibnya sendiri, yang tidak hanya ada pada puncak pemerintahan negeri, melainkan juga pada tiap tempat.[45]

Konsep kedaulatan rakyat yang bersifat monistik, tidak dapat dipecah-pecah merupakan konsepsi utopis yang memang jauh dari kenyataan. Dengan demikian, konsep kedaulatan rakyat itu dewasa ini cenderung dipahami secara pluralis, tidak lagi monistik. Meskipun daerah-daerah bagian dari Negara kesatuan itu bukanlah unit-unit Negara bagian yang tersendiri, tetapi rakyat di daerah-daerah itu tetap mempunyai kedaulatannya sendiri-sendiri dalam lingkungan daerah Provinsi atau daerah Kabupaten/Kotanya, disamping kedaulatan dalam konteks bernegara kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.[46]

Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 mengatur tentang otonomi yang berlaku di Indonesia saat ini. Pasal yang mengatur tentang otonomi adalah Pasal 18, 18A, 18B. dalam pasal yaitu di dalam Pasal 18A ayat (1) menyatakan bahwa “Hubungan wewenang antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota, atau dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah”. Dan dilajutkan dalam Pasal 18B yang menyatakan bahwa Pemerintah Pusat menghormati kekhususan daerah, kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indinonesia yang diatur dalam Undang-undang.

  1. Kedudukan Eksekutif dan Legislatif Daerah di Indonesia

Undang Undang Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 1 Ayat (3) menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum. Konsekuensi Indonesia memilih sebagai Negara hukum adalah Indonesia harus mengakui dan melaksanakan adanya asas legalitas, sebab asas legalitas adalah salah satu asas penting Negara hukum sebagaimana yang diungkapkan oleh oleh Ni’matul Huda dalam bukunya tentang Hukum Tata Negara.

Salah satu asas penting Negara hukum adalah asas legalitas. Substansi dari asas legalitas tersebut adalah menghendaki agar setiap tindakan badan/pejabat administrasi berdasarkan Undang-undang. Tanpa dasar Undang-undang, badan atau pejabat administrasi Negara tidak berwenang melakukan suatu tindakan yang dapat merubah atau mempengaruhi keadaan hukum warga masyarakat. [47]

Asas legalitas berkaitan erat dengan gagasan demokrasi dan gagasan Negara hukum (het democratish ideal en het rechsstaats ideal). Gagasan demokrasi menuntut agar setiap bentuk Undang-undang dan berbagai keputusan mendapatkan persetujuan dari wakil rakyat. Gagasan Negara hukum menuntut agar penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus didasarkan pada Undang-undang dan memberikan jaminan terhadap hak-hak dasar rakyat yang tertuang dalam Undang-undang. [48]

Secara teoritis dan yuridis, asas legalitas dapat diperoleh suatu badan/pejabat administrasi melalui atributif (legislator), baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Di Indonesia, asas legalitas yang berupa atributif, pada tingkat pusat, atributif yang diperoleh (berasal) dari MPR merupakan UUD dan dari DPR yang bekerja sama dengan pemerintah merupakan Undang-undang, sedangkan atributif yang diperoleh dari pemerintahan di tingkat daerah yang bersumber dari DPRD dan Pemerintah Daerah adalah Peraturan Daerah. [49]

Kedua sumber wewenang di atas disebut original legislator atau berasal dari pembuat Undang-undang asli (original wetgever). Atas dasar itulah terjadinya penyerahan wewenang (baru) dari pembentuk undang-undang (rakyat melalui wakil-wakilnya di parlemen) kepada badan/pejabat administrasi Indonesia. Selanjutnya atas dasar atributif itu tindakan badan / pejabat administrasi Indonesia menjadi sah secara yuridis dan mempunyai kekuatan mengikat umum karena telah memperoleh persetujuan dari wakil-wakilnya di parlemen. [50]

Perbedaan antara Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) terletak pada hakikat kepentingan yang diwakilinya masing-masing. Dewan Perwakilan Rakyat dimaksudkan untuk mewakili rakyat, sedangkan dewan Perwakilan Rakyat Daerah dimaksudkan untuk mewakili daerah-daerah[51]

Majelis Syura sebagai lembaga representasi masyarakat merupakan wahana ikut serta mereka dalam kekuasaan politik. Majelis Syura merupakan majelis rakyat yang dibentuk untuk menyambung lidah mereka dalam menyampaikan kehendak dan pendapatnya kepada khalifah.[52]

Ada beberapa definisi syura yang diberikan oleh beberapa pemikir Muslim, di antaranya:[53]

  1. Syura adalah meminta pendapat kepada ahlinya untuk mengambil kebijakan yang dekat kepada kebenaran.
  2. Syura adalah meminta pendapat kepada umat atau yang mewakilinya dalam masalah-masalah yang berhubungan dengan kepentingan publik.
  3. Syura adalah wahana peran serta masyarakat dalam rangka tukar pendapat dan membuat kebijakan publik.

Di majelis syura orang-orang muslim dapat duduk bersama dan memusyawarahkan masalah-masalah mereka sendiri. Tentang hal ini Abdulhamid Abu Sulaiman berkomentar:[54]

“Sistem syura memberikan prosedur. Sehingga, orang-orang muslim dapat duduk bersama dan memusyawarahkan masalah-masalah penting agar dicapai dan diikat dnegan kesimpulan konsep adil yang filosofis. Jika masalah yang diperdebatkan tidak memperhatikan keadilan tetapi merupakan perkara pilihan seseorang atas yang lainnya, tidak ada larangan menggunakan parameter-parameter, seperti voting dengan tetap mematuhi sudut pandang minoritas, dan sebagainya. Parameter yang sama (voting) dapat digunakan jika pembahasan mengalami jalan buntu karena tidak tercapai kesepakatan bersama”.

Untuk membuktikan hubungan yang sesungguhnya dari perwakilan, tidaklah cukup bahwa wakil diangkat atau dipilih oleh yang diwakili. Wakil perlu diwajibkan secara hukum untuk melaksanakan kehendak dari orang-orang yang diwakilinya, dan pemenuhan kewajiban ini harus dijamin oleh hukum. Jaminan khusus yang harus ditetapkan oleh hukum adalah kekuasaan dari orang-orang yang diwakili untuk ditarik kembali wakil tersebut apabila kegiatan wakil tidak sesuai dengan kehendak atau keinginan yang diwalikinya.[55]

Secara umum dikatakan bahwa pemilihan Kepala Daerah secara langsung itu lebih demokratis. Setidaknya ada dua alasan mengapa gagasan pemilihan langsung dianggap perlu. Pertama, untuk lebih membuka pintu bagi tampilnya Kepala Daerah yang sesuai dengan kehendak mayoritas rakyat sendiri. Kedua, untuk menjaga stabilitas pemerintahan agar tidak mudah dijatuhkan di tengah jalan.[56]

Kepala Negara tetap dalam jabatannya, selama dipandang baik dan mampu menjalankan tugas-tugasnya. Rakyat berhak untuk mengangkat Kepala Negara. Oleh karena itu, rakyat juga berhak untuk memberhentikannya apabila ada alasan-alasannya.[57]

Dalam hal pembuatan Peraturan Daerah Pemerintahan Daerah (DPRD dan Kepala Daerah),[58] diberi kewenangan yang seluas-luasnya untuk menjalankan tugas pemerintahan yang telah ditentukan oleh Undang-undang.[59]

Undang-undang Pemerintahan Daerah mengenal adanya pembagian urusan pemerintahan, sebagaimana yang tertuang dalam Bab III. Pasal 10 Ayat (3) membagi urusan pemerintah menjadi beberapa urusan, yaitu: (1) Politik luar negeri; (2) Pertahanan; (3) Keamanan; (4) Yustisi; (5) Moneter dan fiscal nasional dan (6) Agama. Pasal 13 membagi urusan wajib bagi pemerintahan daerah provinsi meliputi:

  1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
  2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
  3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
  4. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
  5. Penanganan bidang kesehatan;
  6. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
  7. Penanggulangan masalah sosial lintas kabupaten/kota;
  8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan lintas kabupaten/kota;
  9. Pengendalaian lingkungan hidup;
  10. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah termasuk lintas kabupaten/kota;
  11. Pelayanan pendudukan, dan catatan sipil;
  12. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
  13. Pelayanan administrasi penanaman modal termasuk lintas kabupaten/kota;
  14. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya yang belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten/kota; dan
  15. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Bagi pemerintahan kabupaten/kota, urusan pemerintahan yang wajib dituang dalam pasal 14, yaitu:

  1. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
  2. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
  3. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
  4. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
  5. Penanganan bidang kesehatan;
  6. Penyelenggaraan pendidikan dan alokasi sumber daya manusia potensial;
  7. Penanggulangan masalah sosial;
  8. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;
  9. Pengendalaian lingkungan hidup;
  10. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil, dan menengah;
  11. Pelayanan pendudukan, dan catatan sipil;
  12. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
  13. Pelayanan administrasi penanaman modal;
  14. Penyelenggaraan pelayanan dasar lainnya; dan
  15. Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan.

Selain urusan wajib tersebut, Pemerintahan Provinsi dan Kabupaten/Kota diberi urusan pilihan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan, sebagaimana tertuang dalam Pasal 13 Ayat (2) dan Pasal 14 Ayat (2)

  1. Pengawasan Pemerintah Pusat Terhadap Daerah

Ketegangan antara Pusat dan Daerah juga terjadi dalam hal interpretasi terhadap kewenangan antara pusat dan daerah. Hal ini terlihat antara lain dari dibatalkannya sejumlah Peraturan Daerah yang dipandang “bermasalah” oleh Pemerintah Pusat dengan alasan bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan lainnya.[60]

Polemik di seputar Peraturan Daerah (Perda) yang dipandang “bermasalah” berawal dari temuan Kamar dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, bahwa ada 1006 Perda di seluruh Indonesia yang dianggap memberatkan dunia usaha. Atas temuan tersebut Pemerintah (Presiden) akhirnya meminta Departemen dalam Negeri (Depdagri) untuk melihat dan memonitor pelaksanaan otonomi daerah agar tidak membebani para pengusaha di daerah. Dari temuan tersebut kemudian depdagri melakukan kajian intensif terhadap seluruh Perda yang dikeluarkan oleh daerah Kabupaten dan Kota di Indonesia. Perda “bermasalah” dalam temuan Kadin tersebut sebagian mengatur tentang pungutan terhadap hasil bumi, pajak reklame terhadap label dalam botol minuman, dan seterusnya. Tetapi

setelah dilakukan kajian terhadap Perda “bermasalah” oleh Depdagri, ternyata temuan mereka berbeda dengan yang disampaikan oleh Kadin. Menurut Depdagri baru, ada 105 Perda mengenai retribusi dan pajak daerah yang bermasalah.[61]

Intervensi dalam perundang-undangan di daerah juga tampak pada kewenangan dalam pengawasan umum, pengawasan prefentif, dan pengawasan represif. Melalui ketiga macam pengawasan tersebut pemerintah pusat dapat secara efektif mengontrol kebijakan daerah. Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah yang menguntungkan kepentingan Pemerintah Pusat akan segera disahkan, tetapi, sebaliknya jika ada Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang dipandang akan “mengancam” dominasi pusat atau mengurangi keleluasaan pusat di daerah, pasti akan ditolak pengesahannya. Disamping itu Pemerintah Pusat juga berwenang menaguhkan atau membatalkan suatu Peraturan Daerah atau Keputusan Kepala Daerah yang dipandang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dengan tolak ukur yang ditentukan sendiri oleh pusat.[62]

Pengawasan adalah kegiatan untuk menilai suatu pelaksanaan tugas secara de facto, sedangkan tujuan pengawasan hanya terbatas pada pencocokan apakah kegiatan yang dilaksanakan telah sesuai dengan tolak ukur yang telah ditetapkan sebelumnya (dalam hal ini berujud suatu rencana/plan).[63]

Pengawasan terhadap Pemerintah adalah upaya untuk menghindari terjadinya kekeliruan-kekeliruan, baik sengaja maupun tidak disengaja, sebagai usaha preventif , atau juga untuk memperbaiki apabila sudah terjadi kekeliruan itu, sebagai usaha represif.[64]

Dalam organisasi pemerintahan pengawasan adalah suatu usaha untuk menjamin:[65]

  1. Keserasian antara penyelenggaraan tugas pemerintah oleh Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat, dan
  2. Kelancaran Pemerintah Pusat terhadap Pemerintah Daerah meliputi:
    1. Pengawasan umum, yaitu pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat terhadap pelaksanaan tugas dan wewenang yang telah diberikan oleh pemerintah kepada Pemerintah Daerah
    2. Pengawasan preventif
    3. Pengawasan represif, yaitu pengawasan terkait dengan penangguhan atau pembatalan Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah.

Wewenang pejabat dalam melaksanakan tugas pengawasan umum meliputi hal-hal berikut:[66]

  1. Meminta, menerima, dan mengusahakan bahan-bahan atau keterangan yang diperlukan dari pejabat-pejabat daerah
  2. Melaksanakan atau menyuruh pejabat lain melaksanakan penyelidikan dan/atau pemeriksaan di tempat-tempat pekerjaan
  3. Menerima dan mempelajari pengaduan
  4. Memanggil pejabat-pejabat di daerah untuk dimintai keterangan yang diperlukan
  5. Menyarankan langkah-langkah baik preventif maupun represif terhadap segala bentuk pelanggaran kepada pejabat yang berwenang

Ditinjau dari segi waktu pelaksanaan pengawasan, Paulus Effandi membedakan pengawasan atau kontrol menjadi dua, yaitu:[67]

  1. Kontrol Apriori, yaitu kontrol yang dilakukan sebelum dikeluarkannya keputusan atau ketetapan Pemerintah ataupun peraturan lainnya.
  2. Kontrol Aposteriori, yaitu kontrol setelah atau sesudah terjadi tindakan.

Apabila pengawasan terlalu ditarik sangat kencang, sehingga nafas kemandirian daerah akan terkurangi bahkan hilang. Apabila hal ini terjadi, maka pengawasan bukan lagi merupakan satu sisi dari otonomi tetapi menjadi “pembelenggu” otonomi. Sendi yang semestinya diperahankan adalah sendi kedaulatan rakyat dan sendi kemandirian disamping sendi Negara berdasarkan atas hukum. Dalam Negara yang bersendikan kedaulatan rakyat dan berdasarkan hukum, sistem pengawasan prefentif sedapat mungkin dihindari, karena pengawasan ini seolah-olah menghukum suatu perbuatan yang belum dilaksanakan atau dilakukan, pengawasan yang utama adalah pengawasan represif.[68]

Pada masa berlakunya UU No. 5 Tahun 1974, dalam rangka pengawasan preventif, semua Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) memang harus sudah disampaikan terlebih dulu kepada Menteri Dalam Negeri untuk dinilai apakah Raperda tersebut bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi ataupun bertentangan tidaknya dengan kepentingan umum. Setelah reformasi, berdasarkan UU. No. 22 Tahun 1999 ketentuan atau pengawasan prefentif ini dihapuskan dalam rangka otonomi luas dan bertanggung jawab serta dalam rangka mengurangi intervensi Pusat kepada Daerah yang dianggap berlebihan. Karena pemahaman desentrralisasi menurut UU NO. 5 Tahun 1974 dalam prakteknya sangat kental dengan nuansa sentralisasi. Karena itu, dalam UU. No. 22 Tahun 1999, pengawasan prefentif dihapuskan. Pengawasan yang ada hanya pengawasan represif yaitu bahwa Peraturan Daerah (Perda) dan Keputusan Kepala Daerah yang bersifat pengaturan (regeling) yang sudah diundangkan dalam Lembaran Daerah, selambat-lambatnya 15 hari harus disampaikan kepada Pusat untuk dinilai apakah bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau kepentingan umum, atau Peraturan Daerah lainnya (vide Pasal 113 s/d Pasal 115 UU No. 22 Tahun 1999). Oleh karena UU No. 22 Tahun 1999 dianggap kebablasan (lebih federalist dari pada Negara federal) maka UU tersebut digantikan dengan UU No. 32 Tahun 2004 yang secara substantive kedudukannya ditengah-tengah antara UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 5 Tahun 1974.[69]

Dalam perspektif sistem Negara kesatuan atau unitary state (eenheidsstaat) adalah logis untuk mengembangkan pengertian bahwa pemerintahan atas berwenang melakukan kontrol terhadap unit pemerintahan bawahan. Artinya, Pemerintahan Pusat dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan UUD 1945 tentu dapat dikatakan mempunyai kewenangan untuk mengontrol unit-unit Pemerintahan Daerah Provinsi atau Pemerintahan Daerah Kabupaten dan Kota. Demikian pula daerah Pemerintahan Provinsi juga dapat diberi kewenangan tertentu dalam rangka mengendalikan jalannya Pemerintahan Daerah Kabupaten dan Kota di bidang pengaturan.[70]

Barometer pengukur atau penilai yang dipakai oleh lembaga penguji, dalam hal ini Pemerintah Pusat, bukanlah Undang Undang Dasar, tetapi hanya Undang-undang. Alasan pembatalan-pembatalan Peraturan Daerah itu, semata-mata karena peraturan-peraturan daerah itu dnilai melanggar ketentuan Undang-undang yang lebih tinggi derajatnya dalam hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Oleh karena itu pengujian yang demikian itu tidak dapat disebut sebagai pengujian konstitusional (constitutional review).[71]

Namun, di atas kertas, bahwa batu uji yang dipakai oleh pemerintah yang berkuasa adalah UUD. Jika pembentuk undang-undang menilai bahwa pemerintah berwenang menguji legalitas Peraturan Daerah, maka bukan tidak mungkin suatu kali Pemerintahpun akan melakukan penafsiran yang memperluas kewenangannya sendiri dengan menguji Peraturan Daerah menurut standar UUD. Jika suatu pemerintahan berkembang sebagai pemerintahan yang otoriter, apa saja bisa dilakukannya dengan memperluas penafsiran atas hukum dan konstitusi sesuai kehendaknya sendiri.[72]

Kewenangan untuk melakukan “exekutive review” itulah yang sebaiknya diberikan kepada pemerintahan atasan, bukan mekanisme “review” atas Peraturan Daerah yang sudah berlaku dan mengikat untuk umum. Jika suatu peraturan yang dibentuk oleh lembaga eksekutif dan legislative yang sama-sama dipilih langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum dibatalkan hanya oleh pejabat eksekutif tingkat atas, berarti “prinsip Negara kesatuan” dijadikan dalih untuk mengebiri aspirasi rakyat dengan tindakan yang semata-mata didasarkan atas pertimbangan politik. Oleh karena itu, terhadap Peraturan Daerah sebagai produk legislative di daerah, sebaiknya hanya di “preview” oleh pemerintahan atasan apabila statusnya masih sebagai rancangan peraturan daerah yang belum mengikat untuk umum. Jika Peraturan Daerah ini sudah mengikat untuk umum, maka sebaiknya, yang mengujinya adalah lembaga peradilan sebagai pihak ketiga yang sama sekali tidak terlibat dalam proses pembentukan Peraturan Daerah yang bersangkutan.[73]

Peran Pemerintahan atas misalnya Pemerintahan Pusat terhadap Pemerintahan Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, ataupun Pemerintahan Provinsi terhadap Pemerintahan Kabupaten/Kota, cukup dikaitkan dengan prosedur “executive abstract preview” saja, bukan dengan “executive abstract review”. Pemerintahan Pusat cukup diberi wewenang untuk menyatakan menolak pengesahan suatu Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah mendapat persetujuan bersama antara Gubernur dan DPRD Provinsi dalam waktu tertentu. Sedangkan untuk Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota wewenang ini dapat diberikan kepada Gubernur, sehingga tugas Gubernur lebih dapat diefektifkan terhadap pemerintahan Daerah bawahannya.[74]

Kedudukan yang paling tinggi ialah jika keberadaan organ dan functie atau kewenanagn diatur oleh Undang Undang Dasar. Dalam kategori inilah organ negaranya disebut sebagai lembaga yang kewenangannya diberikan oleh Undang Undang Dasar. Dalam kategori ini, dapat kita sebut adanya beberapa lembaga seperti Gubernur, Bupati, walikota, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, baik untuk Provinsi maupun untuk Kabupaten/Kota. Di samping itu, dalam Pasal 18B Ayat (1) disebutkan pula adanya satuan-satuan Pemerintahan Daerah yang bersifat khusus atau istimewa.[75]

Untuk menciptakan ketepatan dan pengawasan dan kebebasan dalam desentralisasi, maka harus dikaji bentuk dan pembatasan pengawasan yang tepat dan efektif atau pengawasan mutlak harus dilakukan, namun harus tetap disertai batasan-batasan dalam kerangka peraturan perundang-undangan. Dalam kajian yuridis, pengawasan dapat dibedakan dalam beberapa hal, di antaranya pengawasan represif, yang dilaksanakan dalam bentuk penangguhan atau penundaan (schorsing) dan pembatalan (vernietiging); wewenang pengawasan represif dalam pengaturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelaksanaan pemerintahan di daerah berbeda-beda.[76]

Pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat terhadap pembentukan Peraturan Daerah (Perda) didasarkan pada Pasal 145 dan Pasal 218 Undang-undang Pemerintahan Daerah. Pasal 145, berbunyi: Ayat (1) “Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lambat 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan”. Ayat (2): “ Perda sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah”. Dalam Pasal 218 Ayat (1), berbunyi: “Pengawasan atas penyelenggaraan Pemerintahan daerah dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi: (a) Pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintahan di daerah; (b) Pengawasan terhadap Peraturan daerah dan Peraturan Kepala daerah”. Ayat (2) berbunyi: “Pengawasan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) Huruf a dilaksanakan oleh aparat pengawas intern Pemerintahan sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

Dalam hal pengawasan terhadap Rancangan Peraturan Daerah dan Peraturan Daerah, Pemerintah melakukan dengan 2 (dua) cara sebagai berikut: [77]

  1. Pengawasan terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda), yaitu terhadap Rancangan Peraturan Daerah yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RUTR sebelum disahkan oleh Kepala Daerah terlebih dulu dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Raperda provinsi, dan oleh Gubernur terhadap Raperda Kabupaten/Kota.
  2. Pengawasan terhadap semua Peraturan Daerah diluar yang termasuk dalam angka 1, yaitu setiap Peraturan Daerah wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk Provinsi dan Gubernur untuk Kabupaten/Kota untuk memperoleh klarifikasi. Terhadap Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku.

Pengawasan Pemerintah Pusat terhadap pembentukan Peraturan Daerah (Perda) dan Peraturan Kepala Daerah merupakan kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang. Kewenangan dinyatakan sah bila ditinjau dari segi sumber darimana kewenangan diperoleh dari tiga kategori, yaitu:[78]

  1. Kewenangan atributif, yaitu kewenangan asli atau kewenangan yang tidak dibagi-bagi. Kewenangan ini biasanya berasal dari Undang Undang Dasar;
  2. Kewenangan mandat, yaitu kewenangan yang bersumber dari proses atau prosedur pelimpahan dari pejabat atau badan yang lebih tinggi kepada pejabat atau badan yang lebih rendah. Kewenangan ini terdapat dalam hubungan rutin atasan bawahan, pemberi kewenangan dapat mengambil kembali kewenangannya kapan saja. Ciri dari kewenagan ini adanya tanda atas nama (a.n) atau tanda untuk beliau (u.b);
  3. Kewenangan delegatif, yaitu kewenangan yang bersumber dari pelimpahan suatu organ pemerintahan kepada organ lain dengan dasar peraturan perundang-undangan. Dalam kewenangan ini tanggung jawab dan tanggung gugat beralih kepada yang diberi limpahan kewenangan (delegateris).

Dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah No.79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Peraturan Pemerintahan Daerah Pasal 37 Ayat (4) dan (5) yang menyatakan bahwa: Ayat (4)”Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Presiden berdasarkan usulan Menteri”, Pasal (5):”Peraturan Kepala Daerah sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) yang bertentangan dengan kepentingan umum, Peraturan Daerah dan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan dengan Peraturan Menteri”. Dari kedua ayat tersebut ada perbedaan yang mendasar yaitu:

  1. Pembatalan dengan penetapan Peraturan Presiden jika bertentangan dengan:
  1. Kepentingan umum;
  2. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
  1. Pembatalan dengan penetapan Peraturan Menteri jika bertentangan dengan:
  1. Kepentingan umum;
  2. Peraturan daerah (Perda);
  3. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
  1. Kedudukan Peraturan Daerah Dalam Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Indonesia

Norma hukum itu berjenjang dalan tata susunan hirarki. Suatu norma yang lebih rendah berlaku dan bersumber atas dasar norma yang lebih tinggi, dan norma yang lebih tinggi berlaku dan bersumber kepada norma yang lebih tinggi lagi.[79]

Struktur sistem norma yang berlapis atau berjenjang itu oleh Hans Nawiasky kemudian dikualifikasikan menjadi empat tingkat norma hukum, yang secara berurutan terdiri atas:[80]

  1. Tingkat pertama: staatsfundamentalnorm, atau staatsgroundnorm, yaitu atau norma dasar.
  2. Tingkat kedua: staatsgrundgesetz, yaitu norma hukum dasar Negara, aturan pokok Negara, atau konstitusi.
  3. Tingkat ketiga: formell gesetz atau gesetzerechts, yaitu norma hukum tertulis. Undang-undang, atau norma hukum konkrit;
  4. Tingkat keempat: Verordnung atau autonome satzung, atuaran pelaksana dan aturan otonom.

Ajaran tentang tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut mengandung beberapa prinsip berikut:[81]

  1. Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi kedudukannya dapat dijadikan landasan atau dasar hukum bagi peraturan perundang-undangan yang lebih rendah atau berada di bawahnya.
  2. Peraturan perundang-undangan tingkat yang lebih rendah harus bersumber atau memiliki dasar hukum dari peraturan yang tingkat lebih tinggi.
  3. Isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.
  4. Suatu peraturan perundang-undangan hanya dapat dicabut, diganti atau diubah dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau paling tidak dengan yang sederajat.
  5. Peraturan perundang-undangan yang sejenis apabila mengatur materi yang sama, peraturan yang terbaru harus diberlakukan walaupun tidak dengan secara tegas dinyatakan bahwa peraturan yang lama itu dicabut. Selain itu, peraturan yang mengatur materi yang lebih khusus harus diutamakan dari peraturan perundang-undangan yang lebih umum.

Dari segi pembuatannya, sudah semestinya kedudukan Perda ini, baik Perda tingkat Provinsi maupun perda tingkat Kabupaten atau Kota, dapat dilihat setara dengan Undang-undang dalam arti semata-mata merupakan produk hukum lembaga legislative. Namun demikian, dari segi isi kedudukan, peraturan yang mengatur materi dalam ruang lingkup daerah yang lebih sempit dianggap mempunyai kedudukan yang lebih rendah dibandingkan peraturan dengan ruang lingkup yang lebih luas. Dengan demikian Undang-undang lebih tinggi kedudukannya dari pada Perda Provinsi, dan Perda Kabupaten atau Perda Kota. Oleh karena itu, prinsip hirarki peraturan perundang-undangan, peraturan yang lebih rendah itu tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang derajatnya lebih tinggi. [82]

Sebagai konsekuensi ditegaskan pemisahan kekuasaan eksekutif, legislative, dan yudikatif dalam Undang Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Maka, apabila ada peraturan di tingkat pusat dengan peraturan di tingkat Provinsi ataupun peraturan di tingkat Kabupaten/Kota yang telah ditetapkan secara sah bertentangan dengan peraturan di tingkat Pusat, maka pengadilan harus menentukan bahwa perda itulah yang berlaku sepanjang untuk daerahnya. [83]

Bagir Manan berpendapat bahawa perda  dibuat oleh satuan pemerintahan yang mandiri (otonom) serta dengan lingkungan wewenang yang mandiri pulamaka dalam pengujiannya terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (kecuali UUD) belum tentu salah kalau ternyata peraturan perundang-undangan tingkat tinggi itu melanggar hak dan kewajiban daerah yang dijamin UUD atau UU Pemerintahan Daerah.[84]

Hukum itu sah apabila dibuat oleh lembaga yang berwenang membentuknya dan berdasarkan norma yang lebih tinggi sehingga dalam hal ini norma yang lebih rendah (inferior) dapat dibentuk oleh norma yang lebih tinggi (superior), dan hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis membentuk hirarki, dimana suatu norma yang lebih rendah berlaku, sumebr, dan berdasarkan pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat lagi ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (groundnorm).[85]

Berkaitan dengan pengertian “local constitution” atau “local groundwet” tersebut di atas, maka peratuan daerah dapat dilihat sebagai bentuk Undang-undang yang bersifat lokal. Mengapa demikian? Meskipun dalam tata urutannya menurut ketentuan UU No. 10 tahun 2004, Peraturan Daerah (Perda) itu adalah bentuk peraturan perundang-undangan dibawah Undang-undang dan Perpu, Peraturan Pemerintah, dan Peraturan Presiden, namun dari segi isinya maupunmekanisme pembentukannya, Peraturan Daerah itu mirip dengan Undang-undang. Pertama, seperti Undang-undang maka organ Negara yang terlibat dalam proses pembentukan Peraturan Daerah itu adalah lembaga legislative dan eksekutif secara bersama-sama. Jika undang-undang dibentuk oleh lembaga legislative pusat dengan persetujuan bersama dengan Presiden selaku Kepala pemerintahan eksedutif, maka Peraturan Daerah dibentuk oleh lembaga legistatif daerah bersama-sama dengan kepala pemerintahan setempat. Dengan perkataan lain sama dengan Undang-undang, Peraturan Daerah juga merupakan produk legislative yang melibatkan peran para wakil rakyat yang dipilih secara langsung oleh rakyat yang berdaulat.[86]

Di dalam sistem demokrasi perwakilan dan demokrasi langsung yang diterapkan untuk mengisi jabatan-jabatan di lembaga legislative dan eksekutif tersebut, peran partai politik sangat menonjol. Meskipun calon presidan dan calon kepala daerah diajukan sebagai perseorangan, akan tetapi yang mencalonkan sebagai peserta pemilihan umum adalah partai politik atau gabungan partai politik. Karena itu, untuk pencalonan untuk pengisian jabatan di lembaga eksekutif dan di lebaga legislative, baik di tingkat daerah maupun di tingkat pusat, peranan partai politik sangat menonjol. Dengan demikian undang-undang dan peraturan daerah sama-sama merupakan produk politik yang mencerminkan pergulatan kepentingan diantra cabang-cabang kekuasaan legislative dan eksekutif, baik di tingkat daerah maupun pusat, tidak boleh dinilai atau diuji oleh sesame lembaga politik. Pengujian undang-undang dan pengaturan daerah itu harus dilakukan dengan mekanisme “judicial review” dengan melibatkan peran hakim yang objektif dan imprasial sebagai pihak ketiga. [87]

Jika Peraturan Daerah sebagai poduk politik diuji dan dibatalkan oleh lembaga politik melalui mekanisme yang juga politik dnegan Peraturan Presiden, berarti partai politik akan dihadapai oleh partai politik. Proses politik yang sudah selesai di tingkat daerah, dilanjutkan dengan proses politik di tingkat pusat. Jika Pemerintah Pusat dikuasai oleh partai A, sedangkan pemerintahan di daerah dikuasai oleh partai B yang saling bertentangan satu sama lain, maka besar kemungkinan Peraturan Daerah sebagai produk politik di daerah yang bersangkutan akan mudah dibatalkan oleh pemerintah pusat yang dikuasai oleh lawan politiknya.[88]

Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, peraturan daerah jelas disebut sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan yang resmi dengan hirarki di bawah undang-undang. Sepanjang suatu norma hukum dituangkan dalam peraturan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No. 10 Tahun 2004 tersebut, maka sebagaimana ditentukan oleh pasal 24A ayat (1) Undang Undang Dasar 1945, pengujiannya hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah Agung, bukan lembaga lain.[89]

Peraturan Daerah merupakan salah satu ciri daerah yang mempunyai hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri (otonom). Urusan rumah tangga daerah berasal dari dua sumber, yakni otonomi dan tugas pembantuan (medebewind). Karena itu Peraturan Daerah akan terdiri dari peraturan di bidang otonomi dan peraturan daerah di tugas pembantuan. Sehingga dapat dikatakan

bahwa peraturan daerah di bidang otonomi adalah peraturan daerah bersumber dari atribusi, sementara Peraturan Daerah di bidang tugas pembantuan adalah Peraturan Daerah yang bersumber dari kewenangan delegasi.[90]

Pada tahap pembuatan undang-undang, sampai derajat tertentu, dimungkinkan untuk memadukan prinsip demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung. Perpaduan semacam itu adalah pelembagaan “inisiatif rakyat”, yang berarti bahwa parlemen harus memutuskan usul-usul bagi pembuatan undang-undang yang ditandatangani oleh sejumlah warga Negara tertentu. Satu cara lain untuk memadukan demokrasi langsung dan demokrasi tidak langsung adalah “referendum”, yang berarti bahwa rancangan undnag-undang tertentu yang ditetapkan oleh parlemen harus diajukan kepada pemungutan suara rakyat sebelum memperoleh kekuatan hukum. Inisiatif dan referendum dapat dipadukan dengan berbagai cara.[91]

Dalam pembuatan Peraturan Daerah (Perda) memperhatikan peraturan yang lebih tinggi dan dengan memperhatikan ciri khas dari daerah masing-masing.sebagaimana tertuang dala Pasal 136 Ayat (3), yaitu: “Perda sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)[92] merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan masing-masing daerah.

Dalam teori ilmu hukum dikenal ada tiga hal yang menjadikan kaidah hukum dapat dinyatakan berlaku, yaitu:[93]

  1. Hal berlakunya kaidah hukum secara yuridis. Dengan mengacu pada teori stufenbau, Hans kelsen menyatakan bahwa kaidah hukum akan berlaku secara yuridis apabila penentuannya berdasarkan kaidah yang lebih tinggi, sementara W. zefenbergen menyatakan bahwa berlakunya kaidah hukum seara yuridis jikalau kaidah tersebut terbentuk menurut cara-cara yang ditetapkan.
  2. Hal berlakunya kaidah hukum secara sosiologis, yang intinya adalah efektifitas kaidah hukum di dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini dikenal dua teori, yaitu Pertama, teori kekuasaan, yang pada pokoknya menyatakan bahwa kaidah hukum itu dipaksakan berlakunya oleh penguasa, diterima atau tidak oleh warga masyarakat. Kedua, teori pengakuan yang menyatakan bahwa berlakunya kaidah hukum itu didasarkan pada penerimaan atau penegakan oleh masyarakat.
  3. Hal berlakunya kaidah hukum secara filosofis. Artinya hukum itu sesuai dengan cita-cita hukum (rechtsidee) sebagai nilai positif yang tertinggi (oberpositiven wert), misalnya, Pancasila dan keadilan.

.

[1] Ni’matul Huda, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, FH UII Press, 2007, hal.1-2.

[2] Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan Dan Problematika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2005, hal.87-88.

[3] Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien, Nusamedia dan Nuansa, Bandung, 2006, hal.433-434.

[4] ibid, hal.443.

[5] Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum, Ghalia Indonesia,  Bogor, 2007,  hal.53.

[6] Ibid,  hal.2-3.

[7] Ibid.

[8] Ni’matul huda, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah…..op.cit, hal.45.

[9] ibid, hal.45.

[10] Bagir Manan, Hubungan Pusat Dan Daerah Menurut UUD 1945, Sinar Harapan,  Jakarta, 1994, hal. 161-167.

[11]Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan…..op.cit, hal.93-95.

[12] Artikel Edi Purwanto dalam buku Membangun Indonesia Dari Daerah: Partisipasi Publik dan Politik Publik dan Anggaran Daerah, Center For Strategic International Stuies bekerjasama dengan Japan Internasional Cooperation Agency, 2007, hal. 334

[13]  Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah Kajian ….op.cit, hal.8.

[14] Ni’matul huda, Pengawasan Pusat Terhadap Daerah….Opcit, hal.55.

[15] Ibid.

[16] Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat Dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi Menurut UUD 1945, disertasi, pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, h.183. dikutip oleh Mahfud MD, Dalam Politik Hukum Di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1990,  hal.104.

[17] Ni’matul huda, Pengawasan Pusat Terhadap….op.cit, hal.56.

[18] Syaukani  et.al, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, cetakan pertama, Pusat Pengkajian Etika Politik dan Pemerintahan kerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002, hal.38-44.

[19] Hans Kelsen, Teori Umum Tentang….op.cit, hal.445.

[20] David Held, Demokrasi Dan Tatanan Global Dari Negara Modern Hingga Pemerintahan Kosmopolitan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hal.180.

[21] Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah….op.cit,  hal.108-109.

[22] Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan…..op.cit, hal.92.

[23] Bagir Manan, Hubungan antara Pusat dan…., op.cit, hal.40.

[24] M. Solly Lubis, Pergeseran Garis Politik dan Perundang-undangan Mengenai Pemerintah Daerah, Alumni, Bandung, hal.8

[25] Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah….op.cit,  hal.71-72.

[26] ibid,  hal.54.

[27] ibid,  hal.101.

[28] ibid,  hal.102.

[29] Ni’matul Huda, Pengawasan Pusat Terhadap….op.cit, hal.6-7.

[30] Bagir Manan, Kecendrungan Histories Pasal 18 UUD 1945, UNISCA, Jakarta, hal.3.

[31] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusional Indonesia, diterbitkan atas kerjasama Mahkamah Konstitusi dengan Pusat studi HTN FH Universitas Indonesia, Jakarta, hal.63.

[32] Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, PSH FH UII, Yogyakarta, 2001, hal. 34-35.

[33] Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah….op.cit,  hal.5.

[34] Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi, …op.cit, hal.118-119.

[35] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan….op.cit, hal.63

[36] Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah Kajian….op.cit,  hal.93.

[37] ibid,  hal.292.

[38] Ibid,  hal.303.

[39] Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, PT Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2006, hal.312.

[40] Notohamijojo, Makna Negara Hukum, Badan Penerbit Kristen, Jakarta, 1970, hal.14.

[41] Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal.37.

[42] Pasal 18 ayat (5) UUD NKRI Tahun 1945

[43] Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah….op.cit,  hal.306-307.

[44] R. Atang Ranumihardja, Hukum Tata Usaha Negara Dan Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Tarsito, Bandung, 1994, hal.11.

[45] Mohammad Hatta, Ke Arah Indonesia Merdeka, Kumpulan Karangan Jilid I, Bulan Bintang, Jakarta, 1976, hal. 15-16.

[46] Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara….op.cit, hal.37.

[47] Ni’matul Huda, Hukum Tata….op.cit, hal.78.

[48] Ridwan. HR, Hukum Administrasi Negara,  UII Press, Yogyakarta, 2002,  hal.68-69.

[49] Ni’matul Huda, Hukum Tata….op.cit, hal.79.

[50] ibid, hal.79.

[51]Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme….op.cit, hal.184-185.

[52] Ija Suntana, Model Kekuasaan Legislatif Dalam sistem Ketatanegaraan Islam, PT Rfika Aditama, Bandung, 2007, hal.3.

[53] ibid, hal.10-11.

[54] ibid, hal.11.

[55] Hans Kelsen, Teori Umum Tentang….op.cit, hal.410.

[56] Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan…..op.cit, hal.204.

[57] H.A Djazuli, Fiqih Siyasah Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu Syari’ah, edisi revisi, Prenada Media, Bogor, 2003, hal.174.

[58] Undang-undang Pemerintahan daerah Pasal 1 Ayat (2): “Pemerintahan Daerah  adalah penyelenggara urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnyadalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undnag Undang Dasar Republik indonesia Tahun 1945.

[59] Pasal 5 UUD NKRI Tahun 1945, yaitu: “Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang ditentukan oleh undnag-undang sebagai urusan Pemerintah Pusat.

[60] Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan…..op.cit, hal.148.

[61] Ni’matul Huda, Otonomi Daerah Filosofi, Sejarah Perkembangan…..op.cit, hal.227-228.

[62] Ibid, hal.201.

[63] Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparaat Pemerintah dan Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1992, hal.37.

[64] Paulus Effendi Lotulung, Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum Terhadap Pemerintah, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1993, hal.xvi-xvii.

[65] C.S.T Kansil dan Cristine. ST. Kansil, Sistem Pemerintahan Indonesia, edisi revisi, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2005, hal. 154.

[66] ibid, hal. 155.

[67] Paulus Effendi Lotulung, Beberapa Sistem tentang….op.cit, hal.1-2.

[68] Ni’matul Huda, Pengawasan Pusat Terhadap….op.cit, hal.6-7.

[69] Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal.96-97.

[70] ibid, hal.107.

[71] Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, hal.74.

[72] ibid, hal.75.

[73] Jimly Asshiddiqie, Perihal….op.cit, hal.108-109.

[74] ibid, hal.109-110.

[75] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan & Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2006,  hal.278.

[76] Agussalim Andi Gadjong, Pemerintahan Daerah….op.cit,  hal.261.

[77] Penjelasan atas Undang-undang Pemerintahan Daerah, Bab I Penjelasan Umum huruf 9.

[78] Lutfi Effendi, Pokok Pokok Hukum Administrasi, Banyumedia Publishing, Malang, 2004, hal. 77-79

[79] Hans Kelsen, Teori Umum Tentang….op.cit, hal.113.

[80] Artikel Taufiqurrohman Syahuri dalam buku Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia kontemporer, The Biography Institute, Bekasi, 2007, hal. 144.

[81] Bagir Manan, Teori Dan Politik Konstirusi, FH UII Press, Yogyakarta, 2004, hal.133.

[82] Ni’matul Huda, Hukum Tata….op.cit, hal.58.

[83] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Diterbitkan atas kerjasama Mahkamah Konstitusi dengan Pusat Studi HTN FH Universitas Indonesia, Jakarta, 2004, hal.279-280.

[84] Bagir Manan, Teori Dan Politik….op.cit, hal.142.

[85] Ni’matul Huda, Pengawasan Pusat Terhadap….op.cit, hal.97-98.

[86] Jimly Asshiddiqie, Perihal….op.cit, hal.92-93.

[87] ibid, hal.103-104.

[88] ibid, hal.104.

[89] Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara….op.cit, hal.38.

[90] Sirajuddin, Fathurrohman, dan Zulkarnain, Legislative Drafting: Pelembagaan….op.cit, hal.115.

[91] Hans Kelsen, Teori Umum Tentang….op.cit, hal.410.

[92] Pasal 136 Ayat (1) UU Pemerintahan Daerah, yaitu: “Perda ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD”.

[93] Artikel Taufiqurrohman Syahuri dalam buku Konstitusi dan Ketatanegaraan Indonesia Kontemporer, The Biography Institute, Bekasi, 2007, hal. 144.

Continue Reading