HAK ASASI MASYARAKAT UNTUK MENDAPATKAN KEADILAN DI PENGADILAN PERIKANAN

HAK ASASI MASYARAKAT UNTUK MENDAPATKAN KEADILAN DI PENGADILAN PERIKANAN

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Penelitian

Negara Indonesia memiliki wilayah laut sangat luas 5,8 juta km yang merupakan tiga per empat dari keseluruhan wilayah Indonesia. Di dalam wilayah laut tersebut terdapat sekitar 17.500 lebih dan dikelilingi garis pantai sepanjang 81.000 km, yang merupakan garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Fakta fisik inilah yang membuat Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia. Selain peran geopolitik, wilayah laut kita juga memiliki peran geokonomi yang sangat penting dan strategis bagi kejayaan dan kemakmuran bangsa Indonesia.[1] Sebagai negara kepulauan dan maritim terbesar di dunia, Indonesia diberkahi Tuhan YME dengan kekayaan laut yang sangat besar dan beraneka-ragam, baik berupa sumberdaya alam terbarukan (seperti perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, rumputlaut, dan produk-produk bioteknologi); sumberdaya alam yang takterbarukan (seperti minyak dan gas bumi, emas, perak, timah, bijih besi, bauksit, dan mineral lainnya); energi kelautan sepertipasang-surut, gelombang, angin, dan OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion); maupun jasa-jasa lingkungan kelautan seperti pariwisata bahari dan transportasi laut.[2]

Dengan ditetapkannya konvensi PBB tentang hukum laut Internasional 1982, wilayah 2 laut Indonesia yang dapat dimanfaatkan diperkirakan mencapai 7.9 juta km  terdiri dari 1.8 juta km  daratan, 3.2 juta km  laut teritorial dan 2.9 juta km  perairan ZEE. Wilayah perairan 6.1 juta km  tersebut adalah 77% dari seluruh luas Indonesia, dengan kata lain luas laut  Indonesia adalah tiga kali luas daratannya.

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki kedaulatan dan yurisdiksi atas wilayah perairan Indonesia, serta kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan tentang pemanfaatan sumber daya ikan, baik untuk kegiatan penangkapan maupun pembudidayaan ikan sekaligus meningkatkan kemakmuran dan keadilan guna pemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan bangsa dan negara dengan tetap memperhatikan prinsip kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya serta kesinambungan pembangunan perikanan nasional.

Selanjutnya sebagai konsekuensi hukum atas diratifikasinya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of the Sea 1982 menempatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki hak untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas yang dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.[3]

Perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil, pembudi daya-ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian, dan ketersediaan sumber daya ikan.[4]

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan sudah tidak dapat mengantisipasi perkembangan pembangunan perikanan saat ini dan masa yang akan datang, karena di bidang perikanan telah terjadi perubahan yang sangat besar, baik yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin efektif, efisien, dan modern, sehingga pengelolaan perikanan perlu dilakukan secara berhati-hati dengan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan.

Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan berkelanjutan perlu ditingkatkan peranan pengawas perikanan dan peran serta masyarakat dalam upaya pengawasan di bidang perikanan secara berdaya guna dan berhasil guna.

Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, adanya kepastian hukum merupakaan suatu kondisi yang mutlak diperlukan. Dalam Undang-Undang ini lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan, yang mencakup penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan demikian perlu diatur secara khusus mengenai kewenangan penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam menangani tindak pidana di bidang perikanan.

Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, di samping mengikuti hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, juga dalam Undang-Undang ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis). Penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum yang bersifat spesifik yang menyangkut hukum materiil dan hukum formil. Untuk menjamin kepastian hukum, baik di tingkat penyidikan, penuntutan, maupun di tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan, ditentukan jangka waktu secara tegas, sehingga dalam Undang-Undang ini rumusan mengenai hukum acara (formil) bersifat lebih cepat.[5]

Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan, maka dalam Undang-Undang ini diatur mengenai pembentukan pengadilan perikanan di lingkungan peradilan umum, yang untuk pertama kali dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. Namun demikian, mengingat masih diperlukan persiapan maka pengadilan perikanan yang telah dibentuk tersebut, baru melaksanakan tugas dan fungsinya paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku.[6] Pengadilan perikanan tersebut bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan yang dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas 1 (satu) orang hakim karier pengadilan negeri dan 2 (dua) orang hakim ad hoc.

  1. Rumusan Masalah

Berdasarkan alas an diatas, maka rumusan masalah yang saya buat adalah :

  1. Apa landasan Hukum peran dan fungsi peradilan perikanan dalam system kekuasaan kehakiman di Indonesia.
  2. Bagaimana pelaksanaan peran dan fungsi peradilan perikanan dalam system kekuasaan kehakiman di Indonesia.
  3. Bagaimana Hak masyarakat untuk mendapatkan Keadilam di Pengadilan Perikanan di Indonesia?
  4. Metode Penelitian

Untuk menjawab beberapa rumusan masalah yang saya utarakan, maka saya menggunakan metode penelitian yuridis sosiologis, yakni metode berdasarkan studi terhadap peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan pembahasan, dengan tidak menghilangkan studi terhadap kejadian-kejadian atau gejala-gejala yang terjadi di lapangan berdasarkan pengamatan saya selama ini.

Sedangkan metode teknik analisis data yang digunakan adalah metode kualitatif, yakni mengkaji dari yang bersifat umum dianalisa untuk kemudian menghasilkan hal-hal yang bersifat khusus.

Metode penelitian hukum pada umumnya membagi penelitian atas dua kelompok besar, yaitu metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian hukum empiris. Metode penelitian hukum normatif diartikan sebagai sebuah metode penelitian atas aturan-aturan perundangan baik ditinjau dari sudat hirarki perundang-undangn (vertikal), maupun hubungan harmoni perundang-undangan (horizontal). Penelitian hukum empiris adalah sebuah metode penelitian hukum yang berupaya untuk melihat hukum dalam artian yang nyata atau dapat dikatakan melihat, meneliti bagaimana bekerjanya hukum di masyarakat.

Kedua model penelitian hukum tersebut perlu saat ini umum difahami oleh para penstudi hukum di Indonesia khususnya. Pemikiran dua model penelitian hukum tersebut tampaknya saat ini perlu dilakukan pemikiran ulang (rethinking) atasnya. Pemikiran hukum empiris perlu kita fikirkan secara mendalam tentang hakikat model penelitian ini. Pemikiran empiris pada hakikatnya adalah penelitian yang melihat keadaan secara nyata, hal ini berawal dari sebuah filsafat positivisme yang melihat sesuatu adalah benar jika dapat dibuktikan nyata adanya (positif).

Pemikiran filsafat positivisme merupakan bentuk perkembangan akal manusia, yang menurut Auguste Comte (1798-1857) merupakan perkembangan ketiga dari perkembangan akal manusia. Ia menyatakan bahwa perkembangan akal manusia berkembang dalam tiga tahap pemikiran: tahap teologi, tahap metafisik, serta tahapan riil atau positif. Dalam tahap teologi, manusia mencari kebenaran atas berbagai fenomena yang ada di sekelilingnya, mulai tahap politeisme (keyakinan atas dewa-dewa) hingga monoteisme (keyakinan atas Tuhan yang Maha Esa). Tahap kedua adalah tahap metafisik, dimana manusia mulai menyandarkan kepada kemampuan analis dan logika abstral dan menolak kebenaran atas kekuatan magis. Hal ini muncul pada masa Renaissance. Kebenaran logika abstrak mulai ditinggalkan oleh manusia ketika manusia mulai mencari sesuatu yang bersifat positif, nyata, riil, serta rasional. Tahap inilah yang disebut sebagai tahapan positif yang melahirkan pemikiran positivisme. Pemikiran Comte tersebut mendukung faham empirisme yang sangat menjunjung nilai-nilai kepastian. Sosiologi menurut Comte adalah bentuk nyata ilmu yang nyata atau positif, selain matematika, astronomi, fisika, kimia, dan biologi. Pemikiran filsafat positivisme Comte tersebut mempengaruhi perkembangan ilmu hukum yang melahirkan konsep positivisme hukum.

Pemikiran filsafat positivisme menolak segala sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara nyata atau empirik atau konkrit dan positif adanya. Sesuatu yang bersifat abstrak, tidak nyata, tidak positif, seperti moral, keadilan adalah tertolak. Moral dan keadilan bukanlah hal yang nyata, keduanya tidak dapat diukur, tidak memiliki standar yang jelas, oleh karena itulah moral dan keadilan sulit diterima secara nyata, positif, juga empiris. Mengingat yang benar adalah sesuatu yang bersifat konkrit, positif, terstandar, empirik, dan dapat diukur dengan jelas, maka hukum juga harus memiliki standar yang jelas, baku, empiris (nyata) dan positif tentu saja, dalam hal ini kesemua itu dipenuhi oleh hadirnya Undang-undang. Nyata undang-undang itu ada, masalah adil atau tidak, itu bukanlah urusan hukum, karena keadilan tidak dapat diukur, keadilan di satu sisi akan memunculkan keadilan di sisi yang lain, lalu manakah yang dirasakan paling adil? Sangat-sangat tidak jelas! Yang jelas yaitu yang konkrit dan positif dalam hal ini adalah Undang-undang, sebuah pemikiran hukum yang sangat normatif-positivis!

Konsep berfikir hukum yang ada saat ini kemudian menjadi salah kaprah ketika kemudian para penstudi hukum kemudian melakukan klasifikasi atas dua model penelitian hukum, yaitu model normatif-positivis, serta model empiris-sosiologis. Dimana keduanya secara sadar atau tidak masing-masing melakukan klaim-klaim kebenaran atas metodologi hukum. Perang pemikiranpun terjadi, masing-masing kubu merasa paling benar. Penstudi hukum legal positivis menolak ide pendekatan empiris-soiologis atas hukum, demikian pula sebaliknya.

Berdasarkan pemikiran Auguste Comte di atas, maka jika kita mengklasifikasikan pemikiran hukum termasuk metodologi hukum atas hukum empiris dan normatif, maka sesungguhnya keduanya adalah sama. Struktur bangunan pemikiran hukum keduanya sebangun, karena berasal dari sebuah pemikiran filsafat yang sama yaitu filsafat positivisme yang mendukung faham empirisme! Klaim atas kebenaran aliran pemikiran hukum oleh pemikiran hukum normatif-positivis berbenturan dengan pemikiran hukum empiris-sosiologis tampaknya perlu kita renungkan ulang, karena keduanya berasal dari induk yang sama. Kesalahan fikir metodologis atas hukum tersebut sudah selayaknya menjadi renungan kita bersama.

BAB II

Landasan Teori

  1. Konsep Hukum Perikanan

Aparat penegak hukum di bidang perikanan adalah pejabat Polri, perwira TNI AL, dan Pengawas Perikanan. Pengawas Perikanan harus Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang bekerja di bidang perikanan dan diangkat oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.[7]

Kewenangan Pengawas Perikanan hampir sama dengan kewenangan aparat penegak hukum lainnya diantaranya adalah berwenang menghentikan, memeriksa, membawa, dan menahan kapal yang diduga atau patut diduga melakukan pelanggaran di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia ke pelabuhan terdekat untuk pemrosesan lebih lanjut. Pengawas Perikanan juga berwenang melakukan tindakan khusus terhadap kapal perikanan yang berusaha melarikan diri, melawan, membahayakan keselamatan kapal pengawas perikanan dan/atau awak kapal perikanan, serta mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Dalam melaksanakan tugasnya, Pengawas Perikanan dapat dilengkapi dengan kapal pengawas perikanan, senjata api, dan/atau alat pengaman diri. Berdasarkan amanat Undang Undang Perikanan tersebut, Kementerian Kelautan & Perikanan saat ini telah memiliki lebih dari 20 kapal pengawas perikanan dan 50an speedboat pengawasan yang tersebar di beberapa satker pengawasan di daerah. Sepak terjang tim patrol pengawasan perikanan sudah sering terdengar, termasuk penangkapan kapal nelayan Malaysia yang mencuri ikan di wilayah ZEE perairan Indonesia beberapa waktu yang lalu. Kasus penangkapan nelayan Malaysia ini cukup heroik mengingat Pengawas Perikanan dihalau oleh 3 helikopter Malaysia yang berusaha membebaskan nelayan mereka, namun para petugas tetap menggiring kapal nelayan Malaysia tersebut.[8]

Kewenangan Pengawas Perikanan memang mencakup wilayah ZEE sebagaimana tercantum pada UU 45/2009 Pasal 73 ayat 2 yang menyebutkan bahwa selain penyidik TNI AL, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di ZEE Indonesia. Bahkan petugas Polri pun tidak memiliki kewenangan penyidikan di wilayah ZEE.

Pengawas perikanan bertugas untuk mengawasi tertib pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan yang meliputi 10 bidang, yaitu kegiatan penangkapan ikan, pembudidayaan ikan & perbenihan, pengolahan & distribusi keluar masuk ikan, mutu hasil perikanan, distribusi keluar masuk obat ikan, konservasi, pencemaran akibat perbuatan manusia, plasma nutfah, penelitian dan pengembangan perikanan, dan ikan hasil rekayasa genetik.[9]

Sebelum dikeluarkannya UU 31/2004 Tentang Perikanan, penamaan yang sering digunakan adalah Kawasan Konservasi Laut atau disingkat KKL. KKL yang dikembangkan oleh pemerintah daerah biasa di sebut Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD). Ada juga kawasan konservasi yang luasannya lebih kecil dan berada pada level desa yang disebut Daerah Perlindungan Laut (DPL).

Sejak dikeluarkan PP No 60/2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan (KSDI), yang merupakan turunan dari UU 31/2004 tentang Perikanan, nomenklatur resmi yang digunakan adalah Kawasan Konservasi Perairan yang disingkat KKP. Namun demikian, terdapat istilah lain yang juga bisa digunakan sebagai nomenklatur kawasan konservasi laut sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri (Permen) No 17 Tahun 2008 tentang Kawasan Konservasi Di Wilayah Pesisir & Pulau Pulau Kecil. Berdasarkan Permen ini, kategori kawasan konservasi laut terdiri atas Kawasan Konservasi Pesisir & Pulau Pulau Kecil (KKP3K), Kawasan Konservasi Maritim (KKM), Kawasan Konservasi Perairan (KKP), dan Sempadan Pantai.[10]

Jika dirinci lebih detail, KKP3K terdiri dari Suaka Pesisir, Suaka Pulau Kecil, Taman Pesisir, dan Taman Pulau Kecil. KKM terdiri dari Perlindungan Adat Maritim dan Perlindungan Budaya Maritim. KKP terdiri dari Taman Nasional Perairan, Taman Wisata Perairan, Suaka Alam Perairan, dan Suaka Perikanan.

Dalam bidang hukum dan perundangan, Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) telah melakukan terobosan di bidang hukum dan perundangan yaitu dengan disahkannya UU No. 31/2004 tentang Perikanan oleh Presiden RI, Megawati Soekarnoputri pada tanggal 6 Oktober 2004 lalu. UU No. 31/2004 merupakan penyempurnaan dari UU No.9/1985 tentang Perikanan yang dipandang belum menampung semua aspek pengelolaan sumber daya ikan dan kurang mampu mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum serta perkembangan teknologi.[11]

Lahirnya UU No. 31/2004 tentang Perikanan juga merupakan inisiatif dari DPR-RI untuk melahirkan suatu perubahan landasan hukum di bidang Perikanan. Disamping itu UU No. 31/2004 ini merupakan salah satu solusi strategis agar sektor perikanan mampu berperan lebih besar dalam mewujudkan perekonomian yang tangguh dan mampu mensejahterakan rakyat dan dipandang sangat perlu disosialisasikan baik untuk kepentingan internal DKP maupun masyarakat perikanan lainnya. Penerapan UU No. 31/2004 tentang Perikanan ini akan ditindaklanjuti dengan penetapan Peraturan Pemerintah yang akan disusun DKP.

  1. Semangat Pembentukan Pengadilan Perikanan

Disamping adanya hakim karier dan ad hoc, dalam UU No. 31/2004 tentang Perikanan tersebut dijelaskan bahwa putusan hakim harus sudah dijatuhkan dalam waktu paling lama 30 hari sejak tanggal penerimaan perkara, dan putusan perkara tersebut dapat dilakukan oleh hakim tanpa kehadiran terdakwa. Untuk kepentingan pemeriksaan, hakim di sidang pengadilan berwenang menetapkan penahanan selama 20 hari, dan dapat diperpanjang selama 10 hari lagi apabila diperlukan.

Apabila ada orang yang melakukan penangkapan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat, cara, bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya diancam dihukum pidana penjara paling lama 6 tahun dan denda sebesar 1,2 miliar.[12]

Demikian juga bagi nakhoda, ahli penangkap ikan dan Anak Buah Kapal yang melakukan hal seperti tersebut diatas diancam dihukum pidana penjara selama 10 tahun dan denda paling banyak 1,2 miliar. Sedangkan bagi pemilik kapal, pemilik perusahaan dan operator kapal akan diancam hukuman 10 tahun penjara dan dengan denda yang lebih besar yaitu 2 miliar.

Disamping itu ditegaskan pula bagi orang yang memiliki maupun menggunakan alat tangkap yang tidak sesuai dengan yang ditetapkan diancam hukuman penjara 5 tahun dengan dengan sebesar 2 miliar. Dan bagi yang melakukan pencemaran dan membahayakan baik itu lingkungan sumberdaya ikan maupun kesehatan manusia akan diancam hukuman penjara 6-10 tahun dengan denda 1,5 – 2 miliar.

Dalam UU No. 31/2004 pula dicantumkan tentang diaturnya prinsip pertanggungjawaban korporasi dalam UU 31/2004 tentang Perikanan, dimana yang dapat dituntut atas suatu tindak pidana perikanan tidak saja mereka yang merupakan pelaku langsung di lapangan tetapi juga pihak korporasi yang berada di belakang mereka.

Kembali pada pokok pebicaraan kita mengenai pembentukan Pengadilan Perikanan, ide pembentukan lembaga-lembaga peradilan khusus seperti halnya PP ini, pada dasarnya dialndasi oleh semangat untuk mengatasi krisis “ketidakberdayaan” lembaga-lembaga peradilan yang ada dalam menjawab berbagai persoalan hukum. Proses hukum yang ada dinilai jauh dari asas sederhana, cepat dan biaya ringan. Alasan yang tak kalah penting adalah dengan semakin pesatnya kemajuan teknologi, serta  semakin kompleksnya persoalan-persoalan hukum, terutama di bidang-bidang yang sangat spesifik seperti korupsi, lingkungan hidup, tata niaga, pajak, profesi kedokteran, perikanan, dll, dibutuhkan suatu lembaga peradilan yang lebih profesional yang didukung oleh SDM yang benar-benar menguasi persoalan-persoalan khusus tersebut.

Dasar-dasar pertimbangan di atas berlaku pula pada di bidang perikanan. Penanganan kasus-kasus perikanan selama ini dinilai tidak berjalan secara optimal. Kita bisa melihat bagaimana instansi-instansi yang terkait dengan penegakan hukum di bidang perikanan tidak berjalan secara sinergis, bahkan cenderung berebut dan bersaing sesuai dengan kepentingannya masing-masing.[13] Lihat saja misalnya kasus pelepasan 6 kapal ikan Thailand berikut 250 anak buah kapal (ABK)-nya di Pontianak setahun yang lalu, padahal jelas-jelas kapal asing tersebut tertangkap sedang menangkap ikan secara ilegal di perairan Indonesia. Alasannya pun tidak masuk akal, karena pemerintah kesulitan memenuhi kebutuhan makan mereka serta dikhawatir kan ABK yang ditahan menularkan penyakit HIV/AIDS (Harian Kompas, 19 Februari 2003). Persoalan tersebut semakin diperburuk dengan banyaknya putusan-putusan pengadilan yang jauh dari rasa keadilan masyarakat. Contohnya   putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara  yang menyidangkan kasus pencurian ikan oleh 2 kapal ikan Thailand. Kedua kapal ilegal itu hanya didenda masing-masing Rp 10 juta serta Rp 15 juta per unit, sedangkan kapal yang disita dilepaskan lagi (Harian Kompas, 1 Oktober 2003). Kasus serupa terjadi di Pengadilan Negeri Gresik, dimana kasus pencurian ikan oleh kapal asing hanya di divonis bebas dan dikenai biaya perkara Rp. 1.000,-.

Di samping Kasus-kasus di atas, sebenarnya masih banyak kasus lain yang dapat kita lihat di media-media masa. Hal ini menunjukan kepada kita betapa penanganan terhadap kasus-kasus perikanan di Indonesia sangat memperihatinkan. Padahal akibat lumpuhnya penegakan hukum di bidang perikanan ini telah mengakibatkan kerugian besar bagi negara. Kerugian akibat pencurian ikan di perairan Indonesia diperkirakan berkisar 1 juta sampai 1,5 juta ton per tahun, atau setara dengan dua miliar dollar AS sampai empat miliar dollar AS (Rokhmin Dahuri:2003). Kerugian tersebut belum termasuk kerusakan biota laut sebagai akibat dari penangkapan ikan dengan menggunakan pukat harimau dan berbagai alat tangkap berteknologi canggih lainnya. Berangkat dari kenyataan itulah, kemudian banyak kalangan mulai menyuarakan perlunya dibentuk Pengadilan Perikanan.[14]

  1. Kompetensi Pengadilan Perikanan

Kemampuan pengadilan perikanan sebagai terobosan hukum menarik untuk kita renungkan, khususnya ditinjau dari tiga aspek berikut: pertama, saat ini dunia peradilan kita sedang menjalani proses pembaruan, khususnya  berkenaan dengan perbaikan kinerja dan manajemen lembaga peradilan yang sudah ada. Menariknya, di tengah kuatnya arus pembaruan tersebut, rencana beberapa kalangan untuk membentuk pengadilan-pengadilan khusus juga terus berjalan, seperti rencana pembentukan Pengadilan Lingkungan, Pengadilan Korupsi, Pengadilan Pencuri Kayu, Pengadilan Perindustrian, Pengadilan Profesi Kedokteran, Pengadilan Hubungan Industrial, dan Pengadilan Perikanan (selanjutnya disingkat PP). Dua pengadilan terakhir ini bahkan telah mempunyai dasar hukum yaitu UU No. 31/2004 tentang Perikanan dan UU No. 2/2004 tentang Penyelesian Perselisihan Hubungan Industrial.[15]

Kedua, lahirnya UU No. 31 Tahun 2004 tentang  Perikanan yang di dalamnya mengamanatkan dibentuknya PP saat ini sedang gencar-gencarnya mendapat sorotan publik. Tak kurang Ketua Mahkamah Agung sendiri telah dibuat kaget dengan ”lolosnya” ketentuan dalam UU tersebut, yang konon pembahasannya tidak melibatkan pihak Mahkamah Agung (Hukumonline, 18 Oktober 2004). Kritik tajam juga dilontarkan Prof Dr Indriyanto Seno Adji. Bagi Indriayanto, pembentukan peradilan khusus semacam ini dinilainya hanya akan menimbulkan kesimpangsiuran dan inkonsistensi asas penyatuatapan, di samping melanggar sistematisasi lembaga peradilan yang mengakui MA sebagai top judicial (Harian Kompas, Kamis 23 September 2004). Ketiga, terlepas dari persoalan di atas,  rencana pembentukan PP itu sendiri ternyata masih menyisakan banyak persoalan mendasar seperti: kelamahan-kelamahan dalam hukum acara, tidak adanya mekanisme koordinasi (khususnya pada tingkat penyidikan), tidak adanya jaksa ad hoc,  tidak jelasnya format pengadilan yang akan dibentuk, serta kendala-kendala non teknis lainnya.

Berangkat dari tiga hal di atas, melalui tulisan singkat ini akan coba dijelaskan bagaimanakah sebenarnya posisi serta relevansi keberadaan PP ini dalam konteks pembaruan di bidang perdilan yang saat ini sedang berjalan, mampukah pengadilan perikanan menjadi sebuah terobosan, serta persoalan apa saja yang perlu mendapat perhatian.[16]

Inilah persoalannya. Setelah kini ada landasan hukum bagi pembentukan PP, tidak serta merta pesoalan menjadi selesai. Kalau kita cermati ketentuan-ketentuan dalam UU No. 31/2004, khususnya Bab XIII tentang Pengadilan Perikanan, ternyata masih banyak hal yang harus dibenahi sebelum lembaga baru ini benar-benar dibentuk dua tahun ke depan.  Menurut hemat kami, paling tidak ada tiga persoalan pokok yang perlu mendapat perhatian serius.[17]

Pertama, adanya kelamahan-kelamahan pada hukum acara.  Hukum acara PP mematok waktu cukup singkat, yaitu 160 hari untuk penyelesaikan  suatu perkara mulai dari penyidikan sampai putusan MA. Waktu yang cukup singkat dibanding standar KUHAP yang untuk penyelesaian perkara tingkat pertama saja butuh waktu tiga kali lebih lama.  Persoalannya, jangka waktu yang sedemikian singkat itu akan berbenturan dengan kondisi rill di lapangan, khususnya berkenan dengan jalur beracara yang harus dilalui. Acara pemeriksaan di PP mengenal tiga tahapan, yaitu pemeriksaan tingkat pertama (PP), tingkat banding (PT) dan kasasi (MA). Untuk tiap tahapan tersebut dialokasikan waktu masing-masing 30 hari. Di tingkat pertama (PP) – dengan dukungan SDM yang memadai serta khusus hanya menangani perkara-perkara perikanan – mungkin tenggang waktu 30 hari cukup memadai,  tapi bagaimana halnya dengan PT dan MA? Cukupkah waktu 30 hari? Faktanya perkara yang ditangani kedua lembaga peradilan ini selalu overload. Kelemahan mekanisme ini sebenarnya terkait dengan tidak adanya mekanisme pembatasan terhadap perkara-perkara yang akan diajukan bading/kasasi. Disamping itu, tidak adanya hakim ad hoc di tingkat banding dan kasasi juga akan berpengaruh terhadap kemampuan dab kesigapan  penanganan perkara di kedua tingkat peradilan ini.[18]

Selain tidak adanya hakim ad hoc di tingkat banding/kasasi, dalam PP juga tidak dikenal jaksa ad hoc. Padahal keberadaan jaksa ad hoc ini sebenarnya sangat penting, sebab bagaimanapun jaksalah yang akan membedah dan membuktikan suatu perkara di pengadilan. Kenyataannya, banyak kasus yang lolos di pengadilan bukan hanya disebabkan oleh hakim yang tidak begitu memahami perkara perikanan, tapi karena ketidakmampuan jaksa dalam membuktikan tindak pidana di bidang perikanan tersebut.

Hal lain yang tak kalah penting adalah mengenai alat bukti yang masih mengacu pada KUHAP. Padahal dengan semakin pesatnya kemajuan teknologi, alat bukti yang diatur dalam KUHAP sudah tidak memadai lagi. Di bidang perikanan data dan informasi hasil pengawasan melalui Vessel Monitoring System (VMS) — yang saat ini sedang digalakan di Indonesia– sebenarnya  sangat penting bagi proses pembuktian. Namun sayangnya hal itu justru tidak dimasukan sebagai salah satu alat bukti.[19]

Kedua, tidak adanya mekanisme koordinasi, khususnya pada tingkat penyidikan. Penyidik di bidang perikanan terdiri darai PPNS, TNI AL, dan Kepolisian. Institusi tersebut sama-sama mempunyai dasar hukum atas kewenangannya sebagai penyidik di laut. Persoalannya, dalam praktek di lapangan koordinasi diantara instansi tersebut sangat lemah. Seperti pada kasus-kasus yang telah dikemukakan di atas, akibat kuatnya ego dan kepentingan  diantara mereka, proses penyidikan tindak-tindak pidana di bidang perikanan menjadi kurang optimal. Lalu bagaimana UU 31/2004 mengatur hal itu? Ternyata dalam UU 31/2004 nyaris tidak ada sesuatu yang baru yang diharapkan dapat mengatasi persoalan lemahnya koordinasi tersebut. Diposisikannya PPNS sejajar dengan TNI AL dan Kepolisian sebagai penyidik, serta diberikannya kewenangan kepada Menteri untuk membentuk forum  koordinasi bagi kepentingan penyidikan di tingkat daerah, belum memberikan solusi nyata bagi persoalan tersebut. Apalagi forum koordinasi tersebut nota bene dibentuk pada tingkat menteri, sedangkan Bakorkamla yang sudah lama eksis dan dibentuk dengan Surat Keputusan Bersama (SKP) saja nyaris tidak bisa berbuat apa-apa.[20]

Ketiga, banyaknya hal-hal teknis yang belum diatur, khususnya terkait dengan format pengadilan yang akan dibentuk, seperti: bagaimana susunan PP tersebut (pimpinan, hakim anggota, sekretaris, panitera, dan lain-lain), apa tugas dari masing-masing perangkat pengadilan tersebut, siapa yang menjadi hakim ketua, bagaimana mekanisme pengangkatan dan pemberhentian hakim (ad hoc), berapa lama masa jabatan hakim (ad hoc), apa saja persyaratan untuk diangkat menjadi hakim (ad hoc), apakah semua perkara harus diputus oleh Majelis (tiga orang hakim) atau dapat oleh hakim tunggal untuk perkara-perkara yang ringan, dan bagaimana mekanisme pembinaan dan pengawasan terhadap pengadilan ini. Hal-hal tersebut sama sekali tidak diatur dalam UU 31/2004. Hal ini dikhawatirkan  sedikit banyak akan menjadi hambatan bagi PP dalam menjalankan fungsinya nanti.[21]

Tentang tidak adanya mekanisme pembinaan dan pengawasan, hal ini sebenarnya sangat fatal, sebab realisasi pembinaan dan pengawasan terhadap badan peradilan sangat  diperlukan guna menjamin terwujudnya  penegakan hukum yang benar-benar memberikan rasa keadilan bagi masyarakat.

Demikian pula tidak adanya pengaturan mengenai persyaratan untuk diangkat menjadi hakim PP, menyebabkan tidak jelasnya standar kualifikasi bagi hakim-hakim yang akan diangkat. Kita semua menyadari, sebaik apapun aturan hukum dibuat,  namun yang lebih menjamin keberhasilannya nanti adalah sejauh mana integritas moral yang dimiliki oleh hakim-hakim PP dalam membedah kasus-kasus di pengadilan. Dari optik sosiologis, undang-undang itu hanya ”benda mati”, yang hidup, jika ”dihidupkan” oleh para penegak hukum.[22]

  1. Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan Kehakiman di Indonesia diatur dalam ketentuan perundang-undangan yakni UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan induk dan kerangka umum meletakkan dasar serta asas-asas peradilan secara umum, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan bebas campur tangan dari pihak-pihak di luar kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan demi terselenggaranya negara hukum.

Dalam negara hukum, teori yang dianut adalah teori kedaulatan hukum. Menurut teori ini, yang memiliki bahkan yang merupakan kekuasaan tertinggi di dalam suatu negara adalah hukum itu sendiri. Hal tersebut karena baik penguasa maupun rakyat atau warga negaranya, bahkan negara itu sendiri semuanya tunduk pada hukum. Semua sikap, tingkah laku dan perbuatannya harus sesuai dan menurut hukum. Jadi menurut Krabbe yang berdaulat itu adalah hukum.

Hal tersebut bermula dari konsep kedaulatan rakyat yang diwujudkan melalui instrumen-instrumen hukum yang kemudian dalam negara hukum harus diwujudkan dalam sitem kelembagaan negara dan pemerintahan sebagai institusi hukum yang tertib agar dapat dijalankan.[23]

Dari segi kelembagaan prinsip organisasi kemasyarakatan harus diwujudkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang akan dihasilkannya, juga tercermin dalam struktur mekanisme kelembagaan nagara dan pemerintahan yang menjamin tegaknya sistem hukum dan berfungsinya sistem demokrasi. Dari segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat itu biasanya diorganisasikan melalui dua pilihan, yaitu melaui sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan (distribution of power). Pemisahan kekuasaan bersifat horisontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan kedalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengimbangi (checks and balances). Sedangkan pembagian kekuasaan lebih bersifat vertikal dalam arti perwujutan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal kebawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara dibawah lembaga pemegang kedaulatan rakyat.

Gagasan mengenai pemisahan dan pembagian kekuasaan negara mendapatkan dasar pijakan, antara lain Jhon Locke dan Montesquieu. Jhon locke dalam bukunya yang berjudul “Two Treaties of Goverment” mengusulkan agar kekuasaan dalam pemerintahan itu dibagi kepada organ-organ negara yang berbeda, menurut Jhon Locke agar pemerintah tidak sewenamg-wenang harus ada pembedaan pemegang kekuasaan dalam negara ke dalam tiga macam kekuasaan yaitu:[24]

  1. Kekuasaan Legislatif (membuat Undang-undang)
  2. Kekuasaan Eksekutif (melaksanakan Undang-undang)
  3. Kekuasaan Federatif (melakukan hubungan diplomatik dengan negara-negara lain)

Montesquieu melalui bukunya “L’espirit des Lois”, pada tahun 1748 menawarkan alternatif yang agak berbeda dari yang ditawarkan Jhon Locke. Menurut Montesquieu untuk tegaknya negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan negara dalam tiga poros kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif (pembuat Undang-undang), kekuasaan eksekutif (pelaksana Undang-undang) dan kekuasaan yudikatif (peradilan/kehakiman untuk menegakkan perundang-undangan kalau terjadi pelanggaran). Ketiga poros kekuasaan tersebut masing-masing terpisah satu sama lain baik mengenai orangnya maupun kekuasaannya. Ajaran mengenai pemisahan kekuasaan kedalam tiga pusat kekuasaan dari Montesquieu kemudian oleh Imanuel Kant diberi nama Trias Politica.[25]

Jika dibandingkan antara pendapat Locke dan Montesquieu terlihat ada pembedaan sebagai berikut :

  1. Menurut Locke, kekuasaan eksekutif merupakan kekuasan yang mencakup kekuasaan yudikatif, karena mengadili itu berati melaksanakan Undang-undang, sedangkan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri.
  2. Menurut Montesquieu, kekuasaan eksekutif mencakup kekuasaan federatif karena melakukan hubungan luar negeri itu termasuk kekuasaan eksekutif. Sedangkan kekuasaan yudikatif harus merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan terpisah dari eksekutif.

Dalam perkembangannya, ternyata cara pembedaan kekuasaan menurut Montesquieu lebih dapat diterima. Namun dalam praktek ketatanegaraan, konsep Trias Politika sulit dilaksanakan secara murni dan konsekuen. Oleh karena dalam suatu negara hukum modern, satu organ atau badan kenegaraan itu tidak hanya diserahi satu fungsi kekuasaan saja. Kenyataan menunjukkan bahwa pembuat undang-undang yang seharusnya tugas legislatif, ternayata eksekutif juga diikutsertakan.[26] Bahkan di Amerika Serikat yang dianggap kampiun dalam menjalankan konsep pemisahan negara, ternyata dalam praktek ketatanegaraannya dikenal sistem saling mengawasi dan saling mengadakan perimbangan (check dan balance system) antara kekuasaan-kekuasaan negara tersebut. Adanya hak veto dari presiden terhadap rancangan undang-undang yang diajukan kongres Amerika padaha kekatnya sudah mengurangi pelaksanaan Trias Politica, karena wewenang menetapkan undang-undang oleh legislatif (kongres) sudah dikurangi.

UUD 1945 tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) tersebut. Pembuat UUD 1945 tidak menghendaki agar sistem pemerintahanya disusun berdasarkan ajaran Tris Politica dari Montesquieu, karena ajaran atu dianggap sebagai paham liberal. Prof. Soepomo selaku salah seorang perancang UUD 1945 berpendapat bahwa UUD 1945 mempunyai sitem tersendiri, yaitu berdasarkan pembagian kekuasaan (distribution of power).[27]

Dalam pembagian kekuasaan dimungkinkan adanya kerjasama antara lembaga-lembaga negara. Pasal 5 ayat (1) dan pasal 20 ayat (1) menujukkan adanya kerjasama antara DPR dengan pemerintah dalam tugas legislatif. Disamping itu Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menentukan bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Pemusyawaratan Rakyat (MPR). Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa sumber kekuasaan itu dari tangan rakyat. Selanjutnya sumber kekuasaan itu melalui Majelis dilimpahkan dan didistribusikan kepada lembaga-lembaga lain, yang kedudukannya bnerada dibawah Mejelis. Lembaga-lembaga tersebut ialah Presiden (Pasal 4 (1)), DPR (pasal 19), DPA (Pasal 16), BPK (Pasal 23) dan Mahkamah Agung (Pasal 24). Dengan demikian berarti poros kekuasaan yang sejajar dengan eksekutif menurut UUD 1945 tidak terbatas pada tiga kekuasaan saja, tetapi ada lima poros kekuasaan.[28]

Dari lima poros kekuasaan tersebut, cabang kekuasaan kehakiman merupakan salah satu cabang kekuasaan rakyat yang didistribusaikan oleh lembaga negara, sesuai dengan prinsip pembagian poros kekuasaam dimana cabang kekuasaan kehakiman dikembangkan sebagai satu kesatuan sistem yang berpuncak kepada Mahkamah Agung yang Independen dan tidak terpengaruh cabang kekuasaan yang lain.

Sejak reformasi bergulir, tampak realisasi akan perubahan terhadap UUD 1945 tidak dapat dielakkan. Sebagai salah satu agenda reformasi, perubahan terhadap UUD 1945 menjadi begitu mendesak sebab perubahan masyarakat demikian cepat, demikian pula perubahan yang terjadi dalam supra setruktur politik perlu direspon dengan perubahan konstitusi sebagai hukum dasar negara yang menjadi pijakan utama dalam menyelenggarakan kehidupan bernegara.

Susunan kekuasaan negara setelah perubahan UUD 1945 menampilkan perubahan yang sangat fundamental. MPR berubah kedudukannya dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga join session antara DPR dan DPD. DPA dihapus karena dilihat fungsinya tidak lagi setrategis. DPR dipertegas kewenanganya baik dalam fiungsi legislasi maupun fungsi pengawasan. Aturan tentang BPK ditambah, selain itu UUD 1945 setelah perubahan memunculkan lembaga-lembaga baru seperti Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemilihan Umum, Bank Indonesia dan Komisi Yudisial.[29]

Kekuasaan kehakiman setelah UUD 1945, tetapi menjadi kekuasaan yang sangat fundamental dan sebagai bagian dari poros kekuasaan yang mempunyai fungsi menegakkan keadilan. Kekuasaan kehakiman dalam susunan kekuasaan negara menurut UUD 1945 setelah perubahan tetap ditempatkan pada kekuasaan yang mendiri bebas dari campur tangan kekuasaan lain. Dalam susunan kekuasaan negara Republik Indonesia yang baru, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung (MA), badan-badan peradilan lain dibawah MA (Peradilan Umum, Peradilan Tatausaha Negara, Peradilan Militer, Peradilan Agama) serta Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat (2) UUD 1945). Untuk menjaring hakim-hakim Agung yang perofesional dan mempunyai integritas terhadap profesinya sebagai penegak hukum dan keadilan, terdapat lembaga yang khusus diadakan untuk rekruitmen calon-calon Hakim Agung yaitu Komisi Yudisial (Pasal 24B UUD 1945).[30]

Namun dalam perkembangannya puncak kekuasaan kehakiman tersebut berkembang menjadi suatu puncak yaitu MA dan Mahkamah Konstitusi (MK) Hal tersebut diungkapkan oleh Profesor Jimly Assiddiqie. Jimly Assidiqie mengungkapkan bahwa, setelah perubahan ketiga UUD 1945 disahkan, kekuasaan kehakiman negara kita mendapat tambahan satu jenis Mahkamah lain yang berada diluar MA. Lembaga baru tersebut mempunyai kedudukan yang setingkat atau sedrajat dengan MA. Sebutanya adalah Mahkamah Konstitusi (Constitusional Court) yang dewasa ini makain banyak negara yang membentuknya di luar kerangka MA. Dapat dikatakan Indonesia merupakan negara ke 78 yang mengadopsi gagasan pembentukan MK yang berdiri sendiri. Setelah Austria pada tahun 1920, Italia pada tahun 1947 dan Jerman pada tahun 1948.[31]

Secara umum, untuk landasan hukumnya dapat kita lihat setelah diundangkannya UU No 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, secara organisatoris, administratif dan finansial MK berada dibawah kekuasaan dan kewenangan MK (Pasal 13 ayat (2) UU No 4 tahun 2004.

Memaksimalkan Sistem Satu Atap Kekuasaan Kehakiman di Indonesia

Komitmen politik untuk menjalankan mekanisme sistem satu atap dalam kekuasaan kehakiman di bawah kewenangan Mahkamah Agung selain merupakan suatu hal yang telah lama dinanti, namun juga menimbulkan polemik di berbagai kalangan. Anggapan bahwa Mahkamah Agung (MA) belum siap dan mampu menjalankan seluruh tugas dn wewenangnya secara maksimal.

Salah satu yang menjdai sorotan adalah lemahnya kinerja, kulitas dan integritas hakim dan personel pengadilan, maka yang perlu diupayakan oleh MA adalah peningkatan kualitas dan kinerja serta integritas melalui perbaikan yang serius dan secara menyeluruh dalam hal pengawasan

Dalam rangka itu, maka dibutuhkan lembaga yang bertugas untuk melakukan kontrol terhadap pelaksanaan kekuasaan kehakiman, yaitu Komisi Yudisial (KY). Pembentukan KY akan memberikan dampak yang positif kepada MA dan pengadilan-pengadilan, baik berupa penyesuaian fungsi, pembenahan lembaga, maupun perbaikan setiap mekanisme publik yang terkait di dalamnya. Fungsi utama dari KY adalah , martabat, serta perilaku hakim.[32]

Dengan lahirnya UU No. 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial, maka telah terdapat dua lembaga yang secara normatif memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap hakim. Pertama pengawasan oleh Mahkamah Agung dan yang kedua oleh Komisi Yudisial. Dalam rangka mempersiapkan mekanisme satu atap dalam kekuasaan kehakiman, maka dibuat sebuah landasan hukum, yaitu UU No. 5 Tahun 2004 Tentang Stuktur Organisasi MA yang baru MA menetapkan Ketua Muda Bidang Pengawasan dan Ketua Muda Bidang Pembinaan berada di bawah Ketua Non-Yudisial. Permasalahannya adalah, tanpa adanya pengaturan yang memadai mengenai mekanisme pengawasan perilaku hakim, maka lembaga tersebut tidak akan dapat bekerja secara efektif. Oleh karena itu perlu dilakukan penyususnan sistem dan mekanisme pengawasan terhadap perilaku hakim yang baik

Berbicara mengenai kewenangan KY untuk mengusulkan pengangkatan hakim, tidak dapat dipisahkan dari lemahnya rekruitmen hakim agung selama ini, yang cenderung KKN. Banyak laporan dari masyarakat mengenai Track Record yang buruk terhadap calon hakim agung seringkali tidak ditindaklanjuti. Selain itu, DPR yang pada awalnya juga memiliki kewenangan dalam hal recruitmen hakim agung juga sangat kental dengan nuansa politis. Kiranya wewenang pengusulan pengangkatan hakim agung oleh KY merupakan pilihan yang tepat.[33]

Selain mengusulkan pengangkatan Hakim Agung telah juga disebutkan sebelumnya bahwa Komisi Yudisial juga berfungsi Untuk “menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, melihat perilaku hakim. Selama ini kondisi pengawasan peradilan sangatlah memprihatinkan. Sangat sedikit jumlah hakim yang ditindak, sementara keluhan masyarakat mengenai intregritas penegak hukum terutama hakim sanngatlah besar, bahkan Komisi Ombusman Nasional mencatat bahwa laporan pengaduan terbanyak yang masuk komisi ini sebagian besar menyangkut perilaku penegak hukum yang sebagian besar para hakim. Lemahnya sistem pengawasan internal yang kini terpusat pada MA ini menyebabkan pesimisme di masyarakat bahwa hakim-hakim ‘nakal’ akan ditindak.

Keberadaan lembaga baru ini akan menjadi harapan besar bahwa akan ada institusi yang dapat diharapkan mampu melakukan tindakan serius dalam rangka memperbaiki integritas lemahnya hakim di pengadilan. UU No. 22 Tahun 2004 menyatakan dalam pasal 20 bahwa dalam melaksanakan wewenang tersebut maka Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim dalam rangka menjaga martabat dan keluhuran serta perilaku para hakim. Dalam pelaksanaan kewenangan ini Komisi Yudisial akan bertugas menerima dan menindaklanjuti laporan masyarakat maupun melakukan tindakan aktif untuk memanggil dan meminta keterangan hakim yang diduga melakukan pelanggaran kode etik. Namun demikian suatu hal yang sangat disayangkan sangsi yang direkondasikan Komisi Yudisial kepada MA hanya bersifat rekomendatif, sedangkan keputusan terakhir tetap ada ditangan ketua MA. Hal-hal yang dapat dilakukan yang dapat di minimalisir dari kelemahan tersebut adalah dengan membuka proses pemeriksaan dan hasil pemeriksaan komisi kepada publik. Hal ini selain sebagai jaminan akutabilitas dan transparansi, juga sebagai preasure kepada MA, jika ternyata MA tidak menindaklanjuti rekomendasi KY meskipun telah terdapat bukti-bukti yang cukup kuat.

Dengan Komisi Yudisial inilah diharapkan ologarki kekuasaan Yudisial yang secara keseluruhan terpusat kepada MA sejak penyatuatapan kekuasaan kehakiman dapat terawasi dan terkendali sehingga amanat dari konstitusi tentang penyatuatapan kekuasaan kehaiman tersebut dapat berjalan maksimal untuk menegakkan keadilan di Republik Indonesia.[34]

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Menurut sistem UUD 1945, kekuasaan kehakiman sebagai penyelenggara negara merupakan sa­lah satu badan penyelenggara negara, di samping MPR, DPR, Presiden dan BPK. Sebagai badan penyelenggara negara, susunan kekuasaan kehakiman berbeda dengan susunan badan penyelenggara negara yang lain. Kekuasaan kehakiman terdiri atas kekuasaan kehakiman tertinggi dan kekuasaan kehakiman tingkatan lebih rendah. Sedangkan badan penyelenggara negara yang lain hanya terdiri atas satu susunan. Tidak ada susunan badan MPR, DPR, Presiden dan BPK, tingkatan yang lebih rendah.

Kekuasaan kehakiman tertinggi dijalankan oleh Mahkamah Agung bersama-sama badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Menurut sistem UUD 1945, fungsi kekuasaan Mahkamah Agung, ialah:

  1. a)      Melakukan kekuasaan kehakiman, yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Akan tetapi DPR berperan untuk mengontrol kekuasaan Mahkamah Agung melalui penentuan pengangkatan dan pemberhentian hakim agung, yang diusulkan oleh Komisi Yudisial.
  2. b)      Dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung, Presiden diberi hak untuk memberikan grasi dan rehabilitasi.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengintroduksi suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Komisi Judisial ditentukan dalam Pasal 24B UUD 1945, sebagai berikut:

1)      Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.

2)      Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela.

3)      Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

4)      Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang.

Implementasi Pasal 24B UUD 1945, yaitu diundangkannya Undang-undang Nomor 22 Tahun 2004, tentang Komisi Yudisial. Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung, serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim. Komisi Yudisial merupakan lembaga negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari campur tangan atau pengaruh kekuasaan lainnya. Komisi Yudisial mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan Hakim Agung kepada DPR, dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim. Dari rincian fungsi masing-masing lembaga tersebut di atas dapat terlihat bahwa hubungan di antara Presiden, DPR dan Mahkamah Agung, dikembangkan secara seimbang melalui mekanisme ‘checks and balances’. Melalui mekanisme ‘checks and balances’ tersebut, ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan judisial yang tercermin dalam tiga lembaga tersebut dapat saling mengendalikan dan saling mengimbangi, sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan di antara satu sama lain.[35]

Kekuasaan kehakiman yang dijalankan oleh Mahkamah Agung bersama-sama badan-badan peradilan yang berada di bawahnya, adalah kekuasaan untuk memeriksa dan mengadili serta memberikan putusan atas perkara-perkara yang diserahkan kepadanya untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan perundang-undangan. Badan yang memegang kekuasaan kehakiman dan peradilan ini harus dapat bekerja dengan baik dalam tugas-tugasnya, sehingga dihasilkan putusan-putusan yang objektif dan tidak memihak dengan senantiasa menjunjung tinggi hukum dan keadilan. Karenanya badan ini harus bebas dari pengaruh kekuasaan lain atau pengaruh kekuasaan pemerintahan.

Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, seperti dikehendaki Pasal 24 UUD 1945. Hal ini berarti kekuasaan kehakiman yang merdeka atau independensi kekuasaan kehakiman, telah diatur secara konstitusional dalam UUD 1945. Dari konsep negara hukum seperti yang digariskan oleh konstitusi, maka dalam rangka melaksanakan Pasal 24 UUD 1945, harus secara tegas melarang kekuasaan pemerintahan negara (eksekutif) untuk membatasi atau mengurangi wewenang kekuasaan kehakiman yang merdeka yang telah dijamin oleh konstitusi tersebut. Dengan demikian kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sebagai upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan rakyat dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah.

Asas kekuasaan kehakiman yang merdeka sebagai salah satu sendi penyelenggaraan Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak dapat dipisahkan dari asas bahwa negara Indonesia adalah negara berdasarkan konstitusi dan negara hukum. UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.[36]

Untuk memahami asas kekuasaan kehakiman yang merdeka, tidak terlepas dari doktrin Montesquieu mengenai tujuan dan perlunya ‘pemisahan’ kekuasaan, yaitu untuk menjamin adanya dan terlaksananya kebebasan politik anggota masyarakat negara. Montesquieu memberikan arti kebebasan politik sebagai “a tranquility of mind arising from the opinion each person has of his safety. In order to have this liberty, it is requisite the government be so constituted as one man need not be afraid of another”. Kebebasan politik ditandai adanya rasa tenteram, karena setiap orang merasa dijamin keamanannya atau keselamatannya. Untuk mewujudkan kebebasan politik tersebut maka badan pemerintahan harus ditata sedemikian rupa agar orang tidak merasa takut padanya, seperti halnya setiap orang tidak merasa takut terhadap orang lain di sekitarnya.

Penataan badan negara atau pemerintahan yang akan menjamin kebebasan tersebut, menurut Montesquieu dilakukan dengan cara pemisahan badan pemerintahan ke dalam tiga cabang kekuasaan. Tanpa pemisahan itu, maka tidak akan ada kebebasan. Dikemukakan oleh Montesquieu dalam ‘The Spirit of The Laws’ dalam pembenaran doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power), bahwa:[37] “When the legislative and executive powers are united in the same person, or in the same body of magistrates, there can be no liberty; because apprehensions may arise; lest the same monarch or senate should enact tyranical laws, to execute than in a tyranical manner. Again, there is no liberty, if the judiciary power be not separated from the legislative and executive. Were it joined with the legislative, the live and liberty of the subject would be exposed to arbitrary control; for the judge would be then the legislator. Were it joined to executive power, the judge might behave with violence and oppression. There would be an end of everything, were to some man, or the somebody, weather of the nobbles or of the people, to the exercise those three powers, that of enacting laws, that of executing the public resolution and of trying the causes of individuals.”

Apabila kekuasaan kehakiman digabungkan dengan kekuasaan legislatif, maka kehidupan dan kebebasan seseorang akan berada dalam suatu kendali yang dilakukan secara sewenang-wenang. Di lain pihak, kalau kekuasaan kehakiman bersatu dengan kekuasaan eksekutif, maka hakim mungkin akan selalu bertindak semena-mena dan menindas. Dengan demikian, ditinjau dari ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power), kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari upaya untuk menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan.[38]

Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia tidak dianut ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) ‘Trias Politica’ seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu. Tetapi dengan Perubahan UUD 1945 dapat dikatakan bahwa Indonesia sedang membangun doktrin hukum mengenai pemisahan kekuasaan (separation of powers) dan kewenangan masing-masing kekuasaan dimungkinkan adanya pengawasan (check) terhadap kewenangan kekuasaan lainnya sehingga dapat saling mengimbangi dalam kesetaraan dan kesederajatan, agar tercipta harmonisasi kekuasaan (harmonization of powers) berada dalam keseimbangan (balances), atau ‘check and balances among of powers’, untuk mencegah timbulnya kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan kekuasaan.

Dalam membangun doktrin-doktrin hukum sedemikian ini, dapat dikatakan sebagai inti dari keseluruhan reformasi berbagai bidang di Indonesia. Dengan konsep check and balances dimungkinkan adanya pengawasan dari satu kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya di antara cabang-cabang kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudisial, sehingga dapat saling mengimbangi dalam kesetaraan dan kesederajatan demi tercapainya harmonisasi kekuasaan berada dalam keseimbangan untuk mencegah kesewenang-wenangan atau penyalahgunaan kekuasaan. Doktrin-doktrin hukum dalam keseluruhan reformasi tersebut, kemudian memunculkan pemikiran penggunaan konsep check and balances, berkenaan dengan kewenangan pengawasan terhadap kekuasaan kehakiman.

Meskipun UUD 1945 tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan (separation of power) ‘Trias Politica’ seperti yang dikemukakan oleh Montesquieu tersebut, kekuasaan kehakiman yang merdeka harus tetap ditegakkan baik sebagai asas dalam negara hukum, maupun untuk memungkinkan kekuasaan kehakiman menjamin agar pemerintahan tidak terlaksana secara sewenang-wenang. Ditinjau dari doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers), kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan bagian dari upaya untuk menjamin kebebasan dan mencegah kesewenang-wenangan. Dengan kata lain, kekuasaan kehakiman yang merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, sebagai upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan rakyat dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah. Dengan demikian, kehadiran kekuasaan kehakiman yang merdeka tidak lagi ditentukan oleh stelsel pemisahan kekuasaan (separation of power) atau stelsel pembagian kekuasaan (distribution of power), tetapi sebagai suatu ‘conditio sine quanon’ bagi terwujudnya negara hukum, terjaminnya kebebasan serta pengendalian atas jalannya pemerintahan negara.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka dapat dikatakan sebagai suatu refleksi dari ‘Universal Declaration of Human Rights’, dan ‘International Covenant on Civil and Political Rights’, yang di dalamnya diatur mengenai “independent and impartial judiciary“. Di dalam Universal Declaration of Human Rights, dinyatakan dalam Article 10, “Every one is entitled in full equality to a fair and public hearing by in independent and impartial tribunal in the determination of his rights and obligations and of any criminal charge against him”. Setiap orang berhak dalam persamaan sepenuhnya didengarkan suaranya di muka umum dan secara adil oleh pengadilan yang merdeka dan tidak memihak, dalam hal menetapkan hak-hak dan kewajibannya dan dalam setiap tuntutan pidana yang ditujukan kepadanya. Di dalam International Covenant on Civil and Political Rights, dalam Article 14 dinyatakan, “… in the determination of any criminal charge against him, or of his rights and obligations in a suit at law, everyone shall be entitled to a fair and public hearing by a competent, independent and impartial tribunal established by law”.[39]

Unsur-unsur yang dapat ditarik dari rumusan di atas yakni menghendaki: (i) adanya suatu peradilan (tribunal) yang ditetapkan oleh suatu perundang-undangan; (ii) peradilan itu harus independent, tidak memihak (impartial) dan competent; dan (iii) peradilan diselenggarakan secara jujur (fair trial) dan pemeriksaan secara terbuka (public hearing). Semua unsur-unsur tersebut tercantum dalam penjelasan Pasal 24 dan 25 UUD 1945 sebelum perubahan dan diimplementasikan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999, seperti telah dicabut dan digantikan dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman.

Dari konsep negara hukum seperti digariskan dalam konstitusi Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka dalam rangka melaksanakan Pasal 24 UUD 1945, harus secara tegas melarang kekuasaan pemerintahan negara atau eksekutif untuk membatasi dan mengurangi wewenang kekuasaan kehakiman yang merdeka atau hakim yang bebas dalam proses peradilan yang telah dijamin oleh konstitusi tersebut.

Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dikatakan oleh Russell dalam ‘Toward a General Theory of Judicial Independence’: “A theory of judicial independence that is realistic and analytically useful cannot be concerned with every inside and outside influence on judges”. Dalam hal hakim yang bebas dalam proses peradilan, menurut Kelsen: “The judges are, for instance, ordinarily ‘independent’ that is, they are subject only to the laws and not to the orders (instructions) of superior judicial or administrative organs”. Dalam proses peradilan hakim hanya tunduk kepada hukum dan tidak tunduk kepada perintah atau instruksi dari organ yudisial atau administratif yang lebih tinggi. Betapa pentingnya kekuasaan kehakiman, Harold J. Laski dalam “Elements of Politics” mengemukakan, “Certainly no man can over estimate the importance of the mechanism of justice”. Dalam kaitannya kekuasaan kehakiman yang merdeka, Scheltema dalam ‘De Rechtsstaat’, mengemukakan: “Beslissing van rechtsgeschillen door en onafhankelijkerechter is de basis voor een goed functionerend rechtssystem. Wil men ook garanderen dat de overheid zich houdt aan het geldende recht, dan zal onafhankelijke rechter over klachten van burgers dienaangaande moeten oordelen. Aan deze eis wordt in ons voldaan.”

Dalam penyelesaian sengketa hukum oleh suatu kekuasaan kehakiman yang merdeka (hakim yang bebas), merupakan dasar bagi berfungsinya sistem hukum dengan baik. Dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, setiap orang akan mendapat jaminan bahwa pemerintah akan bertindak sesuai dengan hukum yang berlaku, dan dengan hanya berdasarkan hukum yang berlaku itu kekuasaan kehakiman yang merdeka bebas memutus suatu perkara.

Di Indonesia kekuasaan kehakiman diatur dalam berbagai undang-undang sesuai dengan lingkungan peradilan masing-masing. Berkaitan dengan kekuasaan kehakiman yang merdeka, dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 4 tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman, memberikan batasan mengenai ruang lingkup ‘merdeka’, yaitu bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia.[40] Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.

Kekuasaan kehakiman yang merdeka bukan berarti bahwa kekuasaan kehakiman dapat dilaksanakan sebebas-bebasnya tanpa rambu-rambu pengawasan, oleh karena dalam aspek beracara di pengadilan dikenal adanya asas umum untuk berperkara yang baik (general principles of proper justice), dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural atau hukum acara yang membuka kemungkinan diajukannya berbagai upaya hukum. Dengan demikian dalam hal fungsi kehakiman adalah keseluruhan rangkaian kegiatan berupa mengadili suatu perkara sengketa yang individual konkret dan dalam kaitannya dengan konsep kekuasaan kehakiman yang merdeka, yang dalam konteks hukum meliputi wewenang, otoritas, hak dan kewajiban, maka kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai kekuasaan, hak dan kewajiban untuk menentukan apa dan bagaimana norma hukum terhadap kasus konflik-individual-konkret yang diajukan kepadanya, maka kekuasaan kehakiman terikat pada peraturan-peraturan yang bersifat prosedural yang disebut Hukum Acara. Kekuasaan kehakiman yang merdeka yaitu terwujud dalam kebebasan hakim dalam proses peradilan, dan kebebasan hakim dalam menjalankan kewenangannya ini, ada rambu-rambu aturan hukum formal dan hukum material, serta norma-norma tidak tertulis yang disebut asas umum penyelenggaraan peradilan yang baik (general principles of proper justice).] Dengan kata lain, kekuasaan peradilan terikat pada aturan hukum material dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural yakni hukum acara. Dengan demikian aturan hukum material dan peraturan-peraturan yang bersifat prosedural, dapat dikatakan sebagai batas normatif terhadap kebebasan kekuasaan peradilan atau kebebasan hakim dalam proses peradilan.[41]

Kekuasaan kehakiman merupakan suatu mandat kekuasaan negara yang dilimpahkan kepada kekuasaan kehakiman. Mandat kekuasaan negara untuk sepenuhnya mewujudkan hukum dasar yang terdapat dalam rechtsidee untuk diwujudkan dalam suatu keputusan hukum yang individual dan konkret, untuk diterapkan pada suatu perkara hukum yang juga individual konkret. Dengan perkataan lain, kekuasaan kehakiman dapat diartikan sebagai kewenangan dan kewajiban untuk menentukan apa dan bagaimana norma hukum terhadap kasus konflik-individual-konkret yang diajukan kepadanya dengan memperhatikan hukum dasar negara. Dengan demikian dalam sistem hukum nasional yang berlaku, penyelesaian hukum dalam perkara yang individual konkret hanya ada pada satu tangan yaitu pada kekuasaan kehakiman. Hal demikian berlaku tidak saja untuk perkara-perkara konkret yang berkaitan dengan persengketaan hukum yang terjadi di antara sesama warga negara, tetapi juga berlaku untuk perkara-perkara yang menyangkut sengketa antara warga negara dan pemerintah.[42]

Dari uraian di atas, dapat diambil simpulan pengertian bahwa dalam kekuasaan kehakiman yang merdeka terkandung tujuan atau konsep dasar, yaitu:[43]

  • Sebagai bagian dari sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) atau pembagian kekuasaan(distribution of power) di antara badan-badan penyelenggara negara.
  • Sebagai bagian dari upaya untuk menjamin dan melindungi kebebasan rakyat.
  • Untuk mencegah kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari pemerintah.
  • Sebagai suatu ‘conditio sine quanon’ bagi terwujudnya negara hukum dan pengendalian atas jalannya pemerintahan negara.

BAB III

PEMBAHASAN

  1. Landasan Hukum peran dan fungsi peradilan perikanan

Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki kedaulatan dan yurisdiksi atas wilayah perairan Indonesia, serta kewenangan dalam rangka menetapkan ketentuan tentang pemanfaatan sumber daya ikan, baik untuk kegiatan penangkapan maupun pembudidayaan ikan sekaligus meningkatkan kemakmuran dan keadilan guna pemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan bangsa dan negara dengan tetap memperhatikan prinsip kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya serta kesinambungan pembangunan perikanan nasional.[44]

Selanjutnya sebagai konsekuensi hukum atas diratifikasinya Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of the Sea 1982 menempatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki hak untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas yang dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.

Perikanan mempunyai peranan yang penting dan strategis dalam pembangunan perekonomian nasional, terutama dalam meningkatkan perluasan kesempatan kerja, pemerataan pendapatan, dan peningkatan taraf hidup bangsa pada umumnya, nelayan kecil, pembudidaya-ikan kecil, dan pihak-pihak pelaku usaha di bidang perikanan dengan tetap memelihara lingkungan, kelestarian, dan ketersediaan sumber daya ikan.[45]

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan sudah tidak dapat mengantisipasi perkembangan pembangunan perikanan saat ini dan masa yang akan datang, karena di bidang perikanan telah terjadi perubahan yang sangat besar, baik yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin efektif, efisien, dan modern, sehingga pengelolaan perikanan perlu dilakukan secara berhati-hati dengan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan.[46]

Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan secara optimal dan berkelanjutan perlu ditingkatkan peranan pengawas perikanan dan peran serta masyarakat dalam upaya pengawasan di bidang perikanan secara berdaya guna dan berhasil guna.

Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. Oleh karena itu, adanya kepastian hukum merupakaan suatu kondisi yang mutlak diperlukan. Dalam Undang-Undang ini lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan, yang mencakup penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan demikian perlu diatur secara khusus mengenai kewenangan penyidik, penuntut umum, dan hakim dalam menangani tindak pidana di bidang perikanan.

Dalam menjalankan tugas dan wewenang penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, di samping mengikuti hukum acara yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang¬Undang Hukum Acara Pidana, juga dalam Undang-Undang ini dimuat hukum acara tersendiri sebagai ketentuan khusus (lex specialis). Penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu, diperlukan metode penegakan hukum yang bersifat spesifik yang menyangkut hukum materiil dan hukum formil. Untuk menjamin kepastian hukum, baik di tingkat penyidikan, penuntutan, maupun di tingkat pemeriksaan di sidang pengadilan, ditentukan jangka waktu secara tegas, sehingga dalam Undang-Undang ini rumusan mengenai hukum acara (formil) bersifat lebih cepat.[47]

Untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan, maka dalam Undang-Undang ini diatur mengenai pembentukan pengadilan perikanan di lingkungan peradilan umum, yang untuk pertama kali dibentuk di lingkungan Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, dan Tual. Namun demikian, mengingat masih diperlukan persiapan maka pengadilan perikanan yang telah dibentuk tersebut, baru melaksanakan tugas dan fungsinya paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal Undang-Undang ini mulai berlaku. Pengadilan perikanan tersebut bertugas dan berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan yang dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas 1 (satu) orang hakim karier pengadilan negeri dan 2 (dua) orang hakim ad hoc.

Mengingat perkembangan perikanan saat ini dan yang akan datang, maka Undang-Undang ini mengatur hal-hal yang berkaitan dengan:[48]

  • pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang berkelanjutan;
  • pengelolaan perikanan wajib didasarkan pada prinsip perencanaan dan keterpaduan pengendaliannya;
  • pengelolaan perikanan dilakukan dengan memperhatikan pembagian kewenangan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah;
  • pengelolaan perikanan yang memenuhi unsur pembangunan yang berkesinambungan, yang didukung dengan penelitian dan pengembangan perikanan serta pengendalian yang terpadu;
  • pengelolaan perikanan dengan meningkatkan pendidikan dan pelatihan serta penyuluhan di bidang perikanan;
  • pengelolaan perikanan yang didukung dengan sarana dan prasarana perikanan serta sistem informasi dan data statistik perikanan;
  • penguatan kelembagaan di bidang pelabuhan perikanan, kesyahbandaran perikanan, dan kapal perikanan;
  • pengelolaan perikanan yang didorong untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan kelautan dan perikanan;
  • pengelolaan perikanan dengan tetap memperhatikan dan memberdayakan nelayan kecil atau pembudidaya-ikan kecil;
  • pengelolaan perikanan yang dilakukan di perairan Indonesia, zona ekonomi eksklusif Indonesia, dan laut lepas yang ditetapkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan dengan tetap memperhatikan persyaratan atau standar internasional yang berlaku;
  • pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan, baik yang berada di perairan Indonesia, zona ekonomi eksklusif Indonesia, maupun laut lepas dilakukan pengendalian melalui pembinaan perizinan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan internasional sesuai dengan kemampuan sumber daya ikan yang tersedia;
  • pengawasan perikanan;
  • pemberian kewenangan yang sama dalam penyidikan tindak pidana di bidang perikanan kepada penyidik pegawai negeri sipil perikanan, perwira dan pejabat polisi negara Republik Indonesia;
  • pembentukan pengadilan perikanan; dan
  • pembentukan dewan pertimbangan pembangunan perikanan nasional.

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, Undang-Undang ini merupakan pembaharuan dan penyempurnaan pengaturan di bidang perikanan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan.[49]

  1. Pelaksanaan peran dan fungsi peradilan perikanan

Peradilan perikanan yang diciptakan pada pemikiran :

Pertama; tata cara peradilan yang ada tidak menjamin peradilan yang cepat, sehingga perlu dibentuk peradilan perikanan dengan hukum acara khusus yang akan menjamin peradilan yang cepat.

Kedua; khusus dalam peradilan pidana, ketentuan hukum substantif dianggap belum memcakup perbuatan-perbuatan yang dirasakan sebagai suatu kejahatan atau pelanggaran, sehingga perlu perluasan terhadap perbuatan yang dapat dipidana (stafbaar). Kalaupun telah ada, dianggap kurang berat, sehingga perlu pemberatan pemidanaan.

Ketiga; ada dugaan keras, hakim-hakim yang ada tidak cakap atau tidak mempunyai etikad baik dalam memeriksa dan mengadili perkara yang mempunyai dampak luas terhadap kehidupan negara dan masyarakat. Terhadap keraguan ini, maka selain perubahan hukum substantif dan hukum acara, perlu ditambahkan hakim-hakim ad hoc. Hakim ad hoc tidak hanya berfungsi mendorong agar hakim-hakim yang ada menjalankan tugas sebagaimana mestinya, melainkan sangat menentukan karena dalam setiap majelis jumlah hakim ad hoc lebih banyak dari hakim biasa.[50]

Terlepas dari alasan-alasan pembenaran di atas, suatu upaya penguatan peradilan dalam jangka panjang tidak semestinya mengke-depankan melahirkan badan-badan peradilan tambahan yang bukan saja membagi wewenang badan peradilan yang ada melainkan justeru melemahkan badan peradilan yang ada. Kehadiran peradilan perikanan, lebih-lebih yang disertai sistem ad hoc sekaligus menampakkan dua hal yaitu kesementaraan dan keadaan tidak normal. Karena itu dalam jangka panjang yang semestinya dilakukan adalah penguatan dan pemberdayaan (empowering) badan peradilan yang menjadi bagian dari susunan dasar kenegaraan, bukan justru menggerogoti susunan dasar tersebut. Dalam jangka panjang, dengan meniadakan kelemahan sistem peradilan yang ada melalui berbagai penguatan dan pemberdayaan, berbagai peradilan perikanan semestinya di “ahsorb” kembali dalam susunan dan tatanan peradilan yang merupakan bagian dari susunan dasar kenegaraan kita.

  1. Alasan Didirikannya Peradilan Pidana Perikanan

Alasan kehadiran peradilan pidana perikanan antara lain adalah:

Pertama; dimensi ekonomi. Di berbagai media berita, disebutkan betapa banyak pencurian ikan di laut oleh nelayan asing. Kerugian bertrilyun rupiah setiap tahun. Tetapi Indonesia tidak berdaya, karena penegakan hukum tidak memadai. Salah satu yang menerima hukuman sebagai kunci kelemahan penegakkan hukum pencurian ikan adalah pengadilan. Hukuman yang dijatuhkan hakim terlalu ringan, bahkan banyak yang dibebaskan. Untuk itu perlu dibentuk peradilan perikanan sebagai instrumen penguatan penegakan hukum. Tetapi kalau kita kosekuen terhadap sistem yang disebut “integrated criminal justice system” atau lebih luas “integrated legal system” maka untuk menunjang penguatan pengadilan perlu juga penguatan aturan hukum, penguatan pemerintahan, dan penguatan penegak hukum lain di luar pengadilan. Tanpa penguatan unsur-unsur tersebut, akan selalu muncul kelemahan penegakan hukum.

Kedua; Dimensi kedaulatan negara di laut. Walaupun hanya terbatas pada tindak pidana perikanan, tetapi peradilan pidana perikanan akan ikut menunjang penegakan kedaulatan RI di laut. Melalui peradilan pidana perikanan yang kuat akan mendorong pihak asing menghormati kedaulatan kita di laut, sebagai bagian dari kesatuan wilayah negara RI.

Undang Undang No 31 Tahun 2004 ini telah memberikan suatu landasan hukum yang yang cukup kokoh bagi pembangunan perikanan pada umumnya dan penegakan hukum dibidang perikanan pada khususnya sebab melalui Undang Undang ini diatur antara lain hal-hal sebagai berikut :

  1. Perikanan tidak hanya dipandang sebagai sub sektor, akan tetapi perikanan merupakan sistem bisnis perikanan mulai sejak pra produksi, produksi, pengolahan, sampai dangan pemasaran.
  2. Memberikan keberpihakan kepada nelayan kecil dan pembudidaya ikan kecil.
  3. Memberikan porsi seimbang antara penangkapan dan pembudidayaan ikan.
  4. Pengaturan bidang perikanan yang tidak hanya dilihat sebagai aspek ekonomi semata-mata, melainkan juga mempertimbangkan aspek lingkungan, sosial budaya, dan sekaligus merefleksikan laut sebagai pemersatu bangsa.
  5. Dari aspek pengawasan, memberikan peran yang besar kepada pengawas perikanan dangan didukung persenjataan dan kapal pengawas perikanan berserta kewenangannya.
  6. Dari aspek penegakan hukum, telah diamanatkan keberadaan Pengadilan Perikanan yang untuk pertama kalinya dibentuk di Medan, Jakarta Utara, Pontianak, Bitung dan Tual.
  1. Kekhususan Pengadilan Perikanan

Pengadilan Perikanan ini memiliki kekhususan yaitu :

  1. Jaksa Penuntut Umum disyaratkan memahami teknis dibidang perikanan dan pernah mengikuti diklat dibidang perikanan;
  2. Dimungkinkan adanya Hakim ad hoc yang berasal dari lingkungan perikanan, baik dari dunia akademi, instansi pemerintah, LSM, asosiasi-asosiasi, dll;
  3. Tenggang waktu penanganan tindak pidana perikanan mulai proses Penyidikan hingga putusan pengadilan lebih kurang 2,5 bulan;
  4. Pemeriksaan di sidang pengadilan dapat dilakukan tanpa kehadiran terdakwa;

Dengan adanya pengadilan perikanan yang secara khusus mengadili, memeriksa dan memutus perkara tindak pidana bidang perikanan ini diharapkan penanganan tindak pidana perikanan dapat diproses secara efektif, efisien dan professional.

  1. Fungsi dan Peranan Pengadilan Perikanan dalam menjalankan tugasnya terhadap perkara tindak pidana pencemaran dan perusakan sumberdaya perikanan

Fungsi Pengadilan Perikanan

Sesuai Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 di Indonesia dibentuk pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan. Pengadilan perikanan yang dibentuk berada di lingkungan peradilan umum dan memiliki daerah hukum sesuai dengan daerah hukum pengadilan negeri yang bersangkutan.

Pembentukan, pelaksanaan tugas dan fungsi pengadilan perikanan dilaksanakan secara bertahap oleh pemerintah sesuai dengan kebutuhan yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Untuk pertama kalinya, akan dibentuk pengadilan perikanan di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi selama ini terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum yang bersifat spesifik yang menyangkut hukum materil dan hukum formil pada pengadilan perikanan. Guna meningkatkan efisiensi dan efektifitas penegakan hukum terhadap tindak pidana di bidang perikanan maka diperlukan persiapan dan pemahaman tentang kewenangan antar pengadilan negeri serta memerlukan kesiapan sumber daya manusia sarana prasarana dan perangkat penunjang pelaksanaan lainnya baik di lingkungan Pemerintah maupun lembaga peradilan.

Apabila Pasal 71 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan diberlakukan pada waktu yang telah ditentukan sementara belum ada kesiapan dari institusi yang menangani pengadilan perikanan maka akan berdampak terganggunya penegakan hukum di bidang perikanan. Hal ini dapat terjadi karena pengadilan perikanan harus menjalankan tugas dan fungsinya dalam jangka waktu 2 (dua) tahun terhitung mulai sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Ketentuan hukum yang menyangkut masalah kewenangan Pengadilan Perikanan yang daerah hukumnya sesuai dengan daerah hukum Pengadilan Negeri berwenang memeriksa mengadili dan memutus perkara tindak pidana di bidang perikanan sesuai dengan daerah hukumnya dengan mempergunakan hukum acara yang berlaku pada Pengadilan Perikanan.

Dengan memperhatikan hal-hal tersebut di atas dan setelah mempertimbangkan Surat Ketua Mahkamah Agung kepada Presiden Republik Indonesia Nomor KMA/295/IX/2006 tanggal 07 September 2006 perihal Penerbitan PERPU tentang Penangguhan Pelaksanaan Tugas dan Fungsi Pengadilan Perikanan maka Pemerintah berpendapat adanya kesamaan pemahaman dengan Mahkamah Agung untuk menangguhkan pelaksanaan tugas dan fungsi Pengadilan Perikanan dimaksud.[51]

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas maka perlu menetapkan penangguhan pelaksanaan tugas dan fungsi Pengadilan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan paling lambat 1 (satu) tahun.

Karena perubahan Undang-Undang harus dilakukan dengan Undang-Undang dan pembahasan Undang-Undang memerlukan waktu cukup lama sementara saat mulai berlakunya Pasal 71 ayat (5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pada tanggal 6 Oktober 2006 semakin mendesak maka penangguhan pelaksanaan tugas dan fungsi Pengadilan Perikanan pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara Medan Pontianak Bitung dan Tual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (5) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.

Pada prinsipnya penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara tindak pidana perikanan dilakukan berdasarkan hukum acara yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam undang-undang perikanan.

Penyidikan tindak pidana perikanan dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan, Perwira TNI AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. Untuk kepentingan Penyidikan, Penyidik berwenang melakukan hal-hal sebagai berikut :

  • Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang perikanan
  • Memanggil dan memeriksa tersangka dan/atau saksi
  • Membawa dan menghadapkan seseorang sebagai tersangka dan/atau saksi untuk didengar keterangannya
  • Menggeledah sarana dan prasarana perikanan yang diduga dipergunakan dalam atau menjadi tempat melakukan tindak pidana di bidang perikanan
  • Menghentikan, memeriksa, menangkap, membawa, dan/atau menahan kapal dan / atau orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan
  • Memeriksa kelengkapan dan keabsahan dokumen usaha perikanan
  • Memotret tersangka dan/ atau barang bukti tindak pidana di bidang perikanan
  • Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan tindak pidana di bidang perikanan
  • Membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan
  • Melakukan penyitaan terhadap barang bukti yang digunakan dan/atau hasil tindak pidana
  • Melakukan pengentian Penyidikan
  • Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab

Selain itu untuk kepentingan Penyidikan, Penyidik juga dapat menahan tersangka paling lama 20 (dua puluh) hari.

Apabila terjadi tindak pidana perikanan, setelah dilakukan penyidikan kemudian dilanjutkan dengan proses penuntutan. Penuntutan dilakukan oleh pihak kejaksaan (Jaksa Penuntut Umum) dengan memenuhi persyaratan : berpengalaman menjadi penuntut umum sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun, telah mengikuti pendidikan dan pelatihan teknis di bidang perikanan, serta cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi selama menjalankan tugasnya. Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari Penyidik maka wajib untuk memberitahukan hasil penelitiannya kepada Penyidik dalam waktu lima hari sejak tanggal diterimanya berkas Penyidikan. Penyidikan akan dianggap selesai apabila dalam waktu lima hari penuntut umum sudah tidak mengembalikan hasil Penyidikan atau sebelum batas waktu berakhir telah ada pemberitahuan tentang hal tersebut dari penuntut umum kepada Penyidik. Dalam kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan guna kepentingan pemeriksaanyang belum terselesaikan.

Apabila proses Penyidikan dan penuntutan selesai, maka dilanjutkan pemeriksaan di sidang pengadilan. Hakim pengadilan perikanan terdiri atas hakim karier dan hakim ad hoc dengan susunan 2 (dua) hakim ad hoc dan 1 (satu) hakim karier. Hakim ad hoc adalah seseorang yang berasal dari di bidang perikanan, antara lain, perguruan tinggi di bidang perikanan, organisasi di bidang perikanan, dan mempunyai keahlian.

Peranan Pengadilan Perikanan

Kegiatan pembangunan yang semakin meningkat mengandung resiko terjadinya pencemaran dan perusakan di bidang perikanan, akibatnya struktur dan fungsi dasar ekosistem yang menjadi penunjang kehidupan akan dapat rusak. Pencemaran dan perusakan di bidang perikanan merupakan beban sosial, yang pada akhirnya masyarakat dan pemerintah harus menanggung biaya pemulihannya. [52]

Untuk menguragi dan mencegah terjadinya pencemaran dan perusakan di bidang perikanan sebagai akibat kegiatan pembangunan, perlu memasukkan pertimbangan lingkungan ke dalam kegiatan pembangunan. Dalam pengelolaan di bidang perikanan terkandung prinsip-prinsip dasar antara lain keterpaduan, pencegahan dan transparansi. Dengan demikian maka aspek penindakan diharapkan terjadi sekecil mungkin. Hal ini didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektivitas baik dari segi waktu, biaya, dan tenaga yang harus dihabiskan untuk dapat menyelesaikan suatu perkara di pengadilan perikanan. Tetapi pada kenyataannya kasus pencemaran dan perusakan di bidang perikanan terus saja meningkat, oleh karena itu penegakan hukum terhadap pelaku pencemaran dan perusakan di bidang perikanan menjadi penting diterapkan. [53]

Penegakan hukum merupakan tindakan untuk menerapkan perangkat hukum perikanan dalam rangka memaksakan sanksi hukum perikanan. Penegakan hukum perikanan menjadi kewajiban semua pihak, dimana pemerintah sebagai regulator perlu melakukan inventarisasi dan evaluasi terhadap pengembangan kebijakan dalam pengelolaan di bidang perikanan secara berkesinambungan, di lain pihak secara bersamaan mempunyai kewajiban mendorong penegakan hukum lingkungan baik bagi aparatur pemerintah maupun bagi masyarakat dan pelaku pembangunan lainnya.

Untuk menciptakan suatu kondisi yang menjamin terlaksananya penegakan hukum perikanan, arah kebijaksanaan yang ditempuh adalah sebagai berikut:[54]

  1. Mengembangkan budaya hukum di seluruh lapisan masyarakat. Budaya hukum adalah sikap dan perilaku selurh anggota masyarakat termasuk para penyelenggara negara memiliki kesadaran, ketaatan dan epatuhan serta menjunjung tinggi hukum dalam kerangka supremasi dan tegaknya negara hukum.
  2. Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan pelaku pembanunan, termasuk masyarakat, dunia usaha dan aparat pemerintah dilandasi dengan etika dan moralitas guna mengayomi masyarakat dan mendukung pembangunan.
  3. Meningkatkan sarana dan prasarana hukum, misalnya informasi hukum, piranti aparat Penyidik termasuk laboratorium dan lain-lain, untuk menjamin kelancaran dan kelangsungan berperannya hukum sebagai pengatur kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
  4. Mewujudkan lembaga peradilan perikanan yang mandiri dan bebas dari penguasa dan pihak manapun. Lembaga peradilan perikanan akan menghasilkan keputusan yang memberikan rasa keadilan bagi mereka yang bersengketa. Rasa keadilan inilah yang menjadi dambaan setiap manusia Indonesia.
  5. Menyelenggarakan proses peradilan secara cepat, mudah, murah dan terbuka, serta bebas KKN dengan tetap menjunjung tinggi asas kebenaran dan keadilan. Dengan demikian maka kepastian hukum, segera didapat dan masyarakat luas dapat menikmati peradilan yang diharapkan.
  6. Mengembangan peraturan perundang-undangan yang mendukung kegiatan perekonomian dalam menghadapi era perdagangan bebas tanpa merugikan kepentingan nasional, termasuk lingkungan hidup dengan keanekaragaman hayati lainnya.
  7. Mengembangkan penyelesaian sengketa di bidang perikanan diluar peradilan. Ini hanya untuk sengketa perdata. Diharapan dengan adanya penyelesaian sengketa lingkungan hidup ini dapat diselesaikan dengan cepat, murah dan memuaskan pihak yang bersengketa.

Memang harus disadari bahwa sikap tegas terhadap penerapan hukum bagi pelanggar hukum di bidang perikanan akan menimbulkan konsekuensi ekonomi, tenaga kerja dan lain sebagainya, walau tak sepenuhnya hal itu benar. Oleh karena itu dalam pengelolaan di bidang perikanan penerapan prinsip mengutamakan pencegahan akan lebih menguntungan daripada penanggulangan. Di lain pihak upaya peningkatan kesadaran bagi masyarakat, dunia usaha dan pelaku pembangunan lainnya melalui sosialisasi serta meningkatkan hubungan yang wajar dan proporsional antara ketiganya dengan menempatkannya sebagai mitra yang setara yang berasaskan kesetiaan dan kejujuran, diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan terhadap hukum di bidang perikanan. [55]

Dalam penegakan hukum di bidang perikanan sering mengalami kegagalan atau dirasakan penyelesaian yang ditempuh melalui pengadilan perikanan kurang mencerminkan rasa keadilan. Hal ini disebabkan oleh faktor yang mempengaruhi pelaksanaannya, antara lain sulitnya pembuktian, mahalnya biaya penelitian dan perbedaan persepsi antara aparat penegak huum serta adanya campur tangan kelompok tertentu terhadap proses pengadilan. Mencermati masalah ini maka pelaksanaan kebijakan penegakan hukum perikanan dilakukan antara lain: [56]

  1. Pengembangan instrumen hukum dan ekonomi serta peningkatan pendayagunaannya, yakni pada tingkat pengambilan keputusan dan perencanaan, pada tingkat pelaksanaan melalui penataan baku mutu limbah dan pada tingkat produksi melalui penerapan standarisasi di bidang perikanan dan pemberian sanksi bagi pelanggaran di bidang perikanan.
  2. Memberikan kewenangan kepada daerah yang lebih besar dalam pengelolaan lingkungan hidup sejalan dengan prinsip otonomi daerah. Kewenangan tersebut antara lain pengangkatan pejabat pengawas di bidang perikanan daerah dan paksaan pemerintah terhadap penanggung jawab usaha atau kegiatan untuk mencegah dan mengakhiri terjadinya pencemaran serta penanggulangan akibat yang ditimbulkannya.
  3. Mengembangkan kebijakan sebagai dasar pelaksanaan penyelesaian sengketa di bidang perikanan diluar pengadilan perikanan. Diharapkan melalui kebijakan ini penyelesaian sengketa di bidang perikanan dapat memberikan kepuasan bagi para pihak.

Untuk dapat mewujudkan tegaknya hukum di bidang perikanan, maka strategi yang dilaksanakan adalah:[57]

  1. Meningkatkan peran IUU Fishing sebagai instrumen efektif dalam pengelolaan hasil sumberdaya perikanan.
  2. Meningkatkan koordinasi baik ditingkat pusat maupun daerah dan melakukan pemantauan secara perioik terhadap kegiatan yang secara potensial menimbulkan pencemaran dan perusakan sumberdaya perikanan.
  3. Keterbukaan baik pada saat perumusan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Dengan demikian diharapkan akan dapat meningkatkan peran masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya perikanan.
  4. Meningkatkan pengawasan terhadap kegiatan yang berpotensi menimbulkan pencemaran maupun perusakan sumberdaya perikanan dan menindaklanjutinya bila terjadi pelanggaran
  1. Model Spesifik Sistem Segitiga Terpadu Penegakan Hukum Pidana Bidang Perikanan (Triangle Integrated Environmental Criminal Justice System)

Banyak penyidikan dan penuntutan terhadap pelaku tindak pidana di bidang perikanan yang berakhir dengan kegagalan atau putusan yang kurang memuaskan, karena tidak menimbulkan daya tangkal atau daya jera. Sebagian besar dari kegagalan tersebut disebabkan kurang efektifnya strategi dan teknis yustisial yang digunakan oleh Penyidik dalam proses penyidikan dan oleh penuntut umum dalam proses penuntutan, khususnya padatahap upaya pembuktian dakwaan dan konstruksi penuntutan. [58]

Terbinanya wadah team work yang solid tersebut diupayakan melalui apa yang dinamakan penegakan hukum pidana melalui model sistem segitiga terpadu antara tiga pemeran utama dalam penegakan hukum pidana. Penyidik, Penuntut Umum dan Saksi Ahli khususnya atau antara Penyidik, Penuntut Umum dan Witnesses for the Prosecution pada umumnya. Untuk lebih memantapkan keberhasilan Penyidikan dan penuntutan perkara tindak pidana di bidang perikanan, diharapkan juga dapat diterapkan secara konsisten apa yang dinamakan dalam istilah sepak bola yaitu ”Total Football System” yang arti penerapannya dalam kegiatan penegakan hukum pidana di bidang perikanan adalah agar setiap pemeran dalam pembuktian tindak pidana seperti Penyidik, Penunut Umum dan Saksi-saksi (Witnesses for the Prosecution)terutama saksi ahli (expert witness) dapat melaksanakan perannya secara optimal.

Baik Penyidik maupun Jaksa Penuntut Umum harus menarik garis batas/pembedaan yang jelas dan tegas antara alat-alat buktu dan saksi-saksi (terutama saksi ahli) yang dapat mendukung dakwaan JPU dengan alat-alat bukti dan saksi-saksi (terutama saksi ahli) yang akan meng-counter upaya JPU dalam membuktikan dakwaan. Dengan tetap menaga fairness dan objektivitas alat-alat bukti dan saksi-saksi terutama saksi ahli, sebelum sidang, sudah harus disusun dan dipersiapkan teknik pendayagunaannya. Dalam batas-batas tertentu, forum gelar perkara atau ekspose dapat dimanfaatkan dalam menata alat-alat bukti dan saksi-saksi yang akan didayagunakan. Teknik pendayagunaan alat-alat bukti dan saksi-saksi tentunya harus dikaitkan dengan fakta-fakta yang merupakan unsur-unsur pasal tindak pidana yang akan dibuktikan. Dalam upaya pembuktian tindak pidana di bidang perikanan, yang harus dibuktikan tidak hanya terbatas pada aspek yuridis dari suatu tindak pidana peradilan perikanan, tetapi juga aspek teknisnya.

Untuk menentukan aspek teknis mana yang relevam dalam upaya pembuktian, JPU memerlukan kerjasama dan masukan dari saksi ahli yang bersangkutan. Berhubung sifat tindak pidana peradilan perikanan yang adakalanya memerlukan beberapa dukungan disiplin ilmu maka JPU adakalanya juga memerlukan beberapa saksi ahli dari beberapa disiplin ilmu yang diperlukan.

Dengan menerapkan total football system diharapan tidak ada sikap dan keterangan Penyidik, Penuntut Umum dan Saksi-saksi, termasuk Saksi Ahli yang saling bertentangan/melemahkan satu dengan satu yang lain. Dan sebelum pelimpahan perkara tahap kedua dari Penyidik kepada Penuntut Umum, diharapkan sudah terbina kontak-kontak koordinasi pribadi antara pihak Penyidik dengan pihak Kejaksaan yang bersangkutan dan antara Jaksa Penuntut Umum dengan aparat pemda dan aparat teknis sektoral yang terkait (terutama dengan para saksi ahli yang disiapkan oleh Penyidik/Penuntut Umum). Perlu sekali diupayakan terbinanya kesamaan persepsi mengenai perkara yang sedang ditangani antara Penyidik, Penuntut Umum dengan aparat sektor teknis maupun Pemerintah Daerah.

  1. Koordinasi dan Pendayagunaan Saksi Ahli

Pendapat saksi ahli sering merupakan klimaks dalam pembuktian perkara.[59] Namun dalam prakte tidak selalu mudah bagi Penyidik/Penuntut Umum untuk menentukan saksi ahli yang bagaimana yang diperlukan dalam membantu Penyidik/Penuntut Umum dalam membuat rencana penyidikan dan penuntutan (terutama penyusunan surat dakwaan dan pembuktian dakwaan). Dan juga Penyidik/Penuntut Umum tidak mempunyai akses mengenai informasi/data dimana dan bagaimana caranya untuk mendapatkan saksi ahli dengan disiplin ilmu yang diperlukan.

Pemecahannya adalah perlu melakukan upaya-upaya konsultasi dengan berbagai pihak (instansi/lembaga perikanan). Pertanyaan berikutnya adalah: dengan siapa? Jawabnya adalah pertama-tama dapat dilakukan kontak/konsultasi dengan instansi pemda setempat yang mempunyai tugas dan membantu kepala daerah melakukan pengelolaan sumberdaya perikanan di wilayahnya, konkritnya adalah dengan kepala Dinas Perikanan dan Kelautan.[60]

Masalahnya akan menjadi relevan bagi pihak Penuntut Umum yang menerima suatu berkas perkara dari Penyidik, sedangkan dalam berkas perkara belum ada saksi ahlinya. Dalam hal demikian, banyak hal yang dapat dibicarakan/dikonsultasikan dengan pejabat tersebut seperti:

  1. Penjelasan tentang aspek-aspek teknis yang terkait dengan perkara yang dihadapi.
  2. Disekitar asas subsidiaritas apakah sudah terpenuhi atau belum.
  3. Mengenai riwayat ketaatan perusahaan tersebut dimasa yang lalu dapat dibuktikan dengan dokumen-dokumen hasil pengawasan/pemantauan yang dilakukan oleh instansi yang berwenang/pemda diwaktu yang lalu.
  4. Apakah semua persyaratan tenis dan administratif (kewajiban dan larangan) yang tercantum dalam Surat Izin Usaha/Kegiatan sudah ditaati dan selanjutnya upayakan untuk mendapat foto copy dari Surat Izin Usahanya.
  5. Motif kejahatan/tindak pidana yang dilakukan
  6. Potensi dampak sosial yang sudah atau mungkin akan timbul.
  7. Hubungan kerjasama antara perusahaan dengan masyarakat.
  8. Sengketa yang pernah timbul dengan masyarakat setempat dan penyelesaiannya.
  9. Saksi ahli dengan disiplin ilmu yang bagaimana yang diperlukan, nama disertai dengan gelar kesarjanaannya, agama dan alamat tempat tinggal dan alamat pekerjaannya.
  1. Bukti Kunci Dalam Perkara Tindak Pidana Pencemaran dan Perusakan Sumberdaya Perikanan.

Pencemaran lingkungan sumberdaya perikanan adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan sumberdaya perikanan oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya menurun sampai pada tingkat tertentu yang menyebabkan sumberdaya ikan tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.[61]

Maka untuk membuktikan apakah terjadi pencemaran lingkungan sumberdaya perikanan, bukti kunci terletak pada baku mutu ambien lingkungan hidup. Apakah akibat masuk atau dimasukkannya suatu benda/bahan atau zat ke dalam laut. Baku mutu lingkungan sumberdaya perikanan (ambien) yang ditetapkan bagi suatu media linkungan sumberdaya perikanan yang dimasukkan menjadi terlanggar atau tidak. Jika jawabnya terlanggar maka dapat dipastikan telah terjadi pencemaran pada lingkungan sumberdaya perikanan.

Perusakan lingkungan sumberdaya perikanan adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tida langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayati lainnya yang mengakibatkan lingkungan hidup tidak berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkelanjutan.

Yang perlu dicermati dan diupayakan dalam perkara pencemaran dan pengrusakan lingkungan sumberdaya perikanan oleh JPU dengan bantuan saksi ahli dan saksi aparat sektor teknis adalah agar berkas perkara/penyidikan diharapan memuat data/fakta/hal-hal sebagai berikut:[62]

  1. Apakah zat yang masuk terebut termasuk bahan berbahaya/beracun.
  2. Dalam perkara pencemaran lingkungan sumberdaya perikanan perlu diidentifiasikan perbandingan kualitas air laut pada up stream dengan down stream dan perhitungan beban pencemaran yang ditimbulkan.
  3. Kepastian dapat diidentifikasinya hubungan kausalitas antara pihak yang menjadi sumber pencemaran dengan daerah pesisir/laut yang tercemar.
  4. Dilakukan sampling (pengambilan contoh) dan pemeriksaan laboratorium baik terhadap limbah (effluen) dan juga sampling terhadap air laut (ambien) minimal di dua titik loasi yaitu di up stream dan down stream.
  5. Fungsi atau peruntukan media lingkungan sumberdaya perikanan yang menjadi objek perkara, baik menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau peruntukannya dalam kenyataan sehari-hari.
  6. Dampak langsung/jangka pendek dan dampak jangka panjang pencemaran terhadap manusia, ikan, dan sumberdaya hayati lainnya.
  7. Kerugian yang diderita oleh masyarakat pengguna sumberdaya ikan dan sumber hayati lain.
  8. Kegiatan pemulihan yang dilakukan dan perkiraan biayanya.
  9. Hubungan masyarakat dengan pihak terpidana dan reaksi masyarakat.
  10. Terhadap kegiatan sampling agar dibuatkan peta/sketsanya.

Untuk itu dalam upaya memerangi dan menanggulangi praktek-praktek illegal fishing dan tindak pidana lainnya di laut, Departemen Kelautan dan Perikanan telah merumuskan upaya-upaya sebagai berikut :[63]

  1. Penguatan armada nasional, melalui peningkatan armada perikanan terutama yang dimiliiliki oleh nelayan skala kecil sehingga mampu beroperasi di wilayah off shore, baik untuk kepentingan ekonomi maupun fungsi sabuk pengaman atau security belt. Pada saat yang sama secara bertahap tapi pasti kita harus mengadakan optimalisasi intensitas penangkapan pada setiap wilayah perairan sesuai potensi wilayahnya;
  2. Penerbitan izin kapal ikan asing, yang saat ini telah diterbitkan Kepmen Kelautan dan Perikanan Nomor : KEP.60/MEN/2001 tentang penataan terhadap status kapal asing atau eks asing melalui skema purchase on installment, joint venture, atau licensing, sepanjang masih terdapat surplus Jumlah Tangkapan yang Dibolehkan (JTB);
  3. Pengembangan teknologi pengawasan, melalui pelaksanaan VMS dan system informasi terpadu (CDB) melalui jasa satelit serta patroli pengawasan dangan menggunakan Kapal Pengawas Perikanan pada perairan rawan terjadinya illegal fishing;
  4. Penegakan hukum dan pengendalian penangkapan tersangka tindak pidana Perikanan, melalui peranan PPNS Perikanan, mempercepat proses penanganan ABK, barang bukti, proses pemberkasan tindak pidana perikanan, dll;
  5. Membangun kelembagaan pengawasan, melalui pembentukan satuan pengawasan di pelabuhan-pelabuhan perikanan, stasiun dan pos pengawas yang didukung dangan sarana Kapal Pengawas Hiu, Baracuda, Todak, Marlin dan Kapal Pengawas Hiu Macan, alat komunikasi serta Pusdal Departemen Kelautan dan Perikanan;
  6. Pengembangan system pengawasan berbasis masyarakat, melaui pembentukan Pokmaswas di berbagai daerah dengan melibatkan unsur-unsur dalam masyarakat.

Diantara berbagai upaya yang digariskan tersebut, upaya penegakan hukum merupakan upaya yang cukup strategis. Untuk itu, dari kegiatan peningkatan kapasitas teknis aparat penegak hukum dibidang perikanan ini dapat dihasilkan rumusan-rumusan konkrit yang dapat dilaksanakan dalam waktu singkat sebagai tindak lanjut dari hasil kegiatan peningkatan kapasitas teknis aparat penegak hukum dibidang perikanan ini.[64]

  1. Hak Masyarakat Untuk Mendapatkan Keadilam Di Pengadilan Perikanan

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dikenal beberapa jenis delik perikanan, diatur dalam pasal 86 sampai pasal 101. adapun delik perikanan ini terbagi atas, delik pencemaran, pengrusakan sumberdaya ikan serta penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, delik pengelolaan sumberdaya ikan dan delik usaha perikanan tanpa izin. Dalam tulisan ini penulis akan mengkaji delik pencemaran, pengerusakan sumberdaya ikan serta penangkapan ikan dengan menggunakan bahan terlarang

Ketentuan mengenai delik ini diatur dalam pasal 84 sampai pasal 87. Pada pasal 84 ayat (1) rumusannya sebagai berikut:

Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat/dan atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana di maksud dalam Pasal 8 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).

Ketentuan Pasal 8 ayat (1) undang-undang perikanan yang dimaksudkan adalah larangan bagi setiap orang atau badan hukum untuk melakukan kegiatan penangkapan dan pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia dan sejenisnya yang dapat membahayakan kelestarian sumberdaya ikan dan lingkungannya.

Pada pasal 84 juga ditujukan kepada nahkoda atau pemimpin kapal, ahli penangkapan ikan, dan anak buah kapal hal ini diatur dalam ayat 2. pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggungjawab perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan, hal ini diatur dalam ayat 3. sedangkan pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, dan/atau penanggungjawab perusahaan pembudidayaan ikan, diatur dalam ayat 4. Hal ini semua ditujukan bilamana dilakukan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia.[65]

Penggunaan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya yang tidak saja mematikan ikan secara langsung, tetapi dapat pula membahayakan kesehatan manusia dan merugikan nelayan serta pembudi daya ikan. Apabila terjadi kerusakan sebagai akibat penggunaan bahan dan alat yang dimaksud, pengembalian keadaan semula akan membutuhkan waktu yang lama, bahkan mungkin mengakibatkan kepunahan.

Kemudian pada Pasal 85 yang diubah dal;am UU No. 45 Tahun 2009, menyebutkan:

Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).[66]

Ketentuan dalam pasal 9 mengatur tentang penggunaan alat penangkap ikan yang tidak sesuai dan yang sesuai dengan syarat atau standar yang di tetapkan untuk tipe alat tertentu oleh negara termasuk juga didalamnya alat penangkapan ikan yang dilarang oleh negara.

Pelarangan penggunaan alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan diperlukan untuk menghindari adanya penangkapan ikan dengan menggunakan peralatan yang dapat merugikan kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya. Hal itu dilakukan mengingat wilayah pengelolaan perikanan Indonesia sangat rentan terhadap penggunaan alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan ciri khas alam, serta kenyataan terdapatnya berbagai jenis sumber daya ikan di Indonesia yang sangat bervariasi, menghindari tertangkapnya jenis ikan yang bukan menjadi target penangkapan.[67]

Sedangkan pasal 86 berisi larangan bagi setiap orang atau badan hukum untuk melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan dan/atau lingkungannya, yang dimaksud dengan pencemaran sumber daya ikan adalah tercampurnya sumber daya ikan dengan mahluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen l

Berdasarkan pasal-pasal larangan diatas, maka semua orang berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum, dan dengan segala hak dan kewajibannya dapat mengajukan kepada Pengadilan Perikanan, dan pengadilan perikanan berhak memproses dan menyidangkan semua perkara yang diajukan.

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki ± 17.508 pulau, wilayahnya terbentang sepanjang 3.9777 mil antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik telah menjadi salah satu negara dengan kekayaan laut terbesar di dunia . Namun pemanfaatan sumber daya laut tersebut untuk kesejahteraan masyarakat ternyata belum optimal, Rp. 20 trilyun pertahun atau 75 % dari kekayaan laut hilang sebagai akibat illegal fishing .[68]

Upaya penanggulangan illegal fishing telah dilakukan dengan melahirkan Undang-undang No. 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan (UU Perikanan) pada tanggal 6 Oktober 2004 yang pokoknya mengatur tentang pengelolaan perikanan untuk meningkatkan kemakmuran dan keadilan guna pemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi kepentingan bangsa dan negara dengan tetap memperhatikan prinsip kelestarian sumber daya ikan dan lingkungannya serta kesinambungan pembangunan perikanan nasional. Pengunaan sarana pidana dalam undang-undang ini dilakukan dengan terlebih dahulu membentuk pengadilan perikanan pada lima pengadilan negeri, yaitu Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual paling lambat pada tanggal 6 Oktober 2006, namun berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2006 pembentukan pengadilan perikanan telah ditangguhkan menjadi paling lambat sampai dengan 6 Oktober 2007. Kini pengadilan perikanan telah terbentuk lebih dari satu tahun lamanya.[69]

Sebagai suatu kebijakan dalam penanggulangan illegal fishing yang akan menjadi landasan dalam kebijakan aplikasi maupun eksekusi, maka UU Perikanan telah memuat regulasi/formulasi baik mengenai hukum acara pidana maupun tindak pidana perikanan. Hukum acara dalam penyidikan, penuntutan maupun persidangan pada pengadilan perikanan dilakukan menurut KUHAP kecuali telah ditentukan secara khusus dalam UU Perikanan. Tindak pidana perikanan juga telah mendapatkan legitimasi dalam Bab XV, yaitu dalam Pasal 84 s/d Pasal 105 UU Perikanan.

Makalah ini akan menganalisis mengenai kelemahan-kelemahan dalam kebijakan formulasi hukum acara pidana dan tindak pidana perikanan dalam UU Perikanan, karena tahap ini merupakan tahap yang paling strategis dari upaya pananggulangan kejahatan melalui “penal policy”. Kelemahan pada kebijakan formulasi dapat dipandang sebagai kesalahan strategis dan oleh karenanya dapat menghambat atau setidak-tidaknya mempengaruhi efektifitas penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana .

Hukum acara dalam UU Perikanan diatur dalam Bab XIII dan Bab XIV. Pada hakikatnya hukum acara dalam UU Perikanan sama dengan hukum acara pada pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP. Perbedaan hanya dalam beberapa ketentuan yang telah diatur secara khusus diatur oleh UU Perikanan.[70]

Di tinjau dari aspek formulasi hukum acara, setelah empat tahun UU perikanan berlaku, kiranya semakin tampak berbagai kelemahan mendasar yang menghambat penegakan hukum dalam penanggulangan tindak pidana perikanan sehingga perlu mendapatkan perhatian serius, yaitu :

Pertama, pembentukan Pengadilan Perikanan didasarkan pada Pasal 71 ayat (1) UU Perikanan. Pembentukan pengadilan khusus perikanan seharusnya dibentuk berdasarkan undang-undang yang khusus mengatur tentang pengadilan perikanan, bukan didasarkan pada UU Perikanan. Hal ini didasarkan pada Pasal 24A Ayat 5 UUD 1945 yang berbunyi : ”Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara Mahkamah Agung serta badan peradilan dibawahnya diatur dengan undang-undang”. Dari segi teknik perundang-undangan, frasa ”diatur dengan undang-undang” berarti harus diatur dengan undang-undang tersendiri .[71]

Kedua, kompetensi relatif pengadilan perikanan sesuai dengan pengadilan negeri yang bersangkutan (Pasal 71 ayat (4)). Selama belum dibentuk pengadilan perikanan selain pengadilan perikanan pada Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual, maka perkara tindak pidana perikanan yang terjadi di luar wilayah hukum pengadilan perikanan tersebut tetap diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri yang berwenang (Pasal 106). Ketentuan demikian menjadikan adanya dualisme rezim hukum, yaitu rezim hukum pengadilan negeri dan rezim hukum pengadilan perikanan.

Ketiga, penyidik tindak pidana di bidang perikanan dapat dilakukan sendiri-sendiri atau bersama-sama oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Perikanan, Perwira TNI AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia (Pasal 73 ayat 1). Tampaknya ketentuan ini dimaksudkan sebagai legitimasi bagi PPNS, Perwira TNI AL maupun Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia untuk melakukan penyidikan tindak pidana perikanan yang terjadi di seluruh Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia. Akan tetapi UU Perikanan tidak mencabut ketentuan mengenai penyidikan dalam Pasal 14 UU No. 5 Th. 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) yang menentukan bahwa penyidik di ZEEI adalah Perwira TNI AL, sehingga terhadap tindak pidana dengan locus delicty di ZEEI sering terjadi tarik menarik kewenangan antar penyidik. Sesuai UU ZEEI sebagai undang-undang yang mengatur secara khusus mengenai ZEEI dibandingkan UU Perikanan, maka berlaku asas lex specialist derogat legi generaly, kewenangan melakukan penyidikan di ZEEI hanyalah milik Penyidik Perwira TNI AL .[72]

Keempat, persidangan pengadilan perikanan dilakukan dengan 1 (satu) hakim karier sebagai ketua majelis dan 2 (dua) orang anggota yang berasal dari hakim ad hoc (Pasal 78). Apabila keberadaan hakim ad hoc pada pengadilan perikanan untuk menutupi kelemahan sumber daya manusia yang dianggap ada, hal ini menjadi rancu karena keberadaan hakim ad hoc hanya ada pada pengadilan tingkat pertama, pada pengadilan tingkat banding maupun kasasi tidak dikenal adanya hakim ad hoc perikanan.

Kelima, jangka waktu penanganan perkara perikanan diatur cukup singkat, yaitu 20 hari ditingkat penuntutan sedangkan ditingkat pengadilan perikanan, Pengadilan Tinggi (PT) dan Mahkamah Agung (MA) masing-masing 30 hari terhitung penerimaan berkas perkara. Membandingkannya dengan KUHAP, penyelesaian perkara tidak ditentukan jangka waktunya, yang ditentukan adalah jangka waktu penahanan.

Ketentuan pembatasan waktu tersebut sering berbenturan dengan kondisi riil dilapangan. Pada tingkat penuntutan akan berbenturan dengan mekanisme kontrol di Kejaksaan yang berjenjang sehingga penyelesaian di kejaksaan membutuhkan waktu yang lama, sedangkan pada pemeriksaan di pengadilan akan berbenturan dengan mekanisme beracara yang harus dilalui. Waktu 30 hari sering tidak cukup karena digunakannya hak terdakwa mengajukan eksepsi, adanya tanggapan penuntut umum terhadap eksepsi, tuntutan pidana penuntut umum, pembelaan, replik, maupun duplik. Kesulitan memanggil saksi maupun pemanggilan saksi atau terdakwa agar syah dan patut menurut KUHAP juga membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Terlebih lagi harus memberikan kesempatan kepada penuntut umum mengajukan tuntutan pidananya. Penuntut umum biasanya harus menunggu rencana tuntutan (rentut) yang sangat birokratis hingga Kejaksaan Agung. Pada tingkat pemeriksaan di PT atau MA, waktu 30 hari tersebut juga sering menyulitkan karena perkara yang ditangani kedua lembaga peradilan ini selalu overload.[73]

Tindak pidana perikanan telah merugikan negara begitu besar dengan hilangnya kekayaan laut yang seharusnya dapat dinikmati rakyat. Oleh karena itu, memegang aturan secara strict law dengan cara hakim pengadilan perikanan menyatakan penuntutan penuntut umum tidak dapat diterima karena jangka waktu 30 hari telah habis sebagai akibat penuntut umum belum dapat mengajukan saksi-saksi atau penuntut umum belum mengajukan tuntutan pidananya akan berbenturan dengan rasa keadilan masyarakat. Dengan jangka waktu 30 hari telah digunakan, pada putusan akan melekat asas ne bis in idem. Perkara yang diputus demikian tidak dapat diajukan kembali kepengadilan oleh penuntut umum sehingga potensi kerugian negara semakin tidak terhindarkan.[74]

Sebagaimana lazimnya dalam kebijakan formulasi tindak pidana, dalam UU Perikanan telah diformulasikan dengan memperhatikan 3 (tiga) substansi pokok dari hukum pidana. Permasalahan pokok tersebut adalah :

pertama, perbuatan apa yang sepatutnya dipidana, atau disingkat dengan masalah “tindak pidana”,

kedua, syarat apa yang seharusnya dipenuhi untuk menyalahkan/mempertanggungjawabkan seseorang yang melakukan perbuatan itu, atau biasa disingkat dengan masalah “kesalahan” dan tiga, sanksi (pidana) apa yang sepatutnya dikenakan kepada orang yang disangka melakukan perbuatan pidana, atau biasa disebut dengan masalah pidana.

  1. Rumusan Tindak Pidana

Tindak pidana perikanan berdasarkan Pasal 103 UU Perikanan dibedakan dalam dua kategori, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84, Pasal 85, Pasal 86, Pasal 88, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93 dan Pasal 94 adalah kejahatan sedangkan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 95, Pasal 96, Pasal 97, Pasal 98, Pasal 99 dan Pasal 100 adalah pelanggaran.
Pembedaan antara kejahatan dan pelanggaran tersebut ternyata dalam perumusannya sama-sama menempatkan kesalahan pelaku sebagai syarat pemidanaan, yaitu dalam Pasal 90 dan Pasal 87 mensyaratkan adanya kesengajaan atau kealpaan yang pada hakikatnya adalah bentuk dari kesalahan. Padahal doktrin hukum pidana mengajarkan bahwa pelanggaran adalah delik undang-undang (wetsdelict)[75] dan untuk dapat dipidananya pelaku tidak perlu menilai sikap bathin pelaku. Terbuktinya pelaku melakukan perbuatan yang dilarang sudah cukup untuk menjatuhkan pidana kepada pelaku.

  1. Rumusan Pertanggungjawaban Pidana

Perkembangan hukum pidana telah menganggap bahwa korporasi adalah subyek hukum dalam hukum pidana sehingga korporasi dapat melakukan tindak pidana sekaligus dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Dalam penerapannya ini dimungkinkan walaupun KUHP hanya mengenal pertanggungjawaban pidana oleh manusia alamiah (natuurlijke persoon), yaitu dengan adanya Pasal 103 KUHP sebagai pasal jembatan dengan ketentuan-ketentuan hukum pidana khusus.
Dalam UU Perikanan telah diakui korporasi sebagai subyek hukum yang dapat melakukan tindak pidana. Akan tetapi korporasi tidak ditentukan dapat dijatuhi pidana, karena yang dipertanggungjawabkan hanya pengurusnya (Pasal 101) . Pemidanaan hanya kepada pengurus tidak cukup menjadi represi terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Seharusnya korporasi juga ditentukan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana seperti dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 7 Drt 1955 Tentang Tindak Pidana Ekonomi , yaitu yang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana adalah :[76]

  1. badan hukum, perseroan, perserikatan atau yayasan; atau
  2. mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin/penanggungjawab dalam perbuatan atau kelalaian; atau
  3. kedua-duanya (a dan b).
  4. Rumusan Sanksi Pidana
  5. Sanksi pidana dalam UU Perikanan dirumuskan secara kumulatif kecuali rumusan pelanggaran pada Pasal 97 dan Pasal 100 yang hanya merumuskan pidana denda. Pada perkara yang dikategorikan sebagai pelanggaran lainnya, yaitu Pasal 87 ayat (1) dirumuskan sanksi pidananya adalah penjara 2 (dua) tahun dan denda Rp. 1.000.000.000,- . Perumusan demikian terkesan tidak membeda-bedakan antara kejahatan dan pelanggaran, karena pada umumnya pelanggaran diancam dengan pidana kurungan atau pidana yang lebih ringan dari kejahatan .
  6. Terhadap pelaku tindak pidana warga negara asing yang melakukan tindak pidana perikanan di ZEEI tidak dapat dijatuhi pidana penjara kecuali telah ada perjanjian antara pemerintah Republik Indonesia dengan pemerintah negara yang bersangkutan (Pasal 102) . Ketentuan ini paralel dengan Pasal 73 ayat (3) United Nations Convention on The Law of The Sea (UNCLOS) 1982 yang tidak membenarkan peraturan negara pantai melaksanakan hukuman penjara (imprisonment) atau hukuman badan (corporal punishment), jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara negara-negara bersangkutan. Kerancuannya adalah UU Perikanan tidak mengatur pengganti apabila denda tidak dibayar oleh terdakwa. Penggunaan terobosan dengan melakukan perampasan kapal sebagai pengganti denda tidak relevan, mengingat barang bukti telah ditentukan dapat dirampas untuk negara (Pasal 104 ayat (2)). Dalam praktik pengganti denda tersebut menggunakan dasar Pasal 30 KUHP yaitu pidana perampasan kemerdekaan berupa pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau dapat menjadi maksimal 8 (delapan) bulan apabila ada pemberatan (recidive/concursus).[77]

Record atau catatan yang diberikan oleh VMS mengenai record waktu, record koordinat wilayah dapat memberikan keterangan sebagai locus delicti dan tempus delicti, di mana track record data tersebut dapat dijadikan dasar penentuan yurisdiksi bagi penyidik dan pengadilan untuk menentukan wilayah kewenangan mengadili, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dalam pengaturan  tentang  kewenangan  mengadili  yang  biasa  disebut  juga kompetensi. Dalam hal kompetensi terdapat dua macam, yaitu:

  1. Kekuasaan berdasarkan peraturan  hukum  mengenai pembagian kekuasaan mengadili (attribute van rechtsmacht) kepada suatu macam pengadilan (pengadilan negeri), bukan kepada  pengadilan  lain,  yang  dapat  disebut  kompetensi mutlak (absolute kompetentie).
  2. Kekuasaan berdasarkan peraturan  hukum  mengenai pembagian  kekuasaan  mengadili  (distributive  van rechtsmacht)  di  antara  satu  macam  (pengadilan-pengadilan negeri), yang dapat disebut juga kompetensi relatif (relatieve kompetentie).

Kompetensi  mutlak  (absolute)  diatur  dalam  Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 25 ayat (1), berbunyi :

Badan  peradilan  yang  berada  di  bawah  Mahkamah  Agung meliputi  badan  peradilan  dalam  lingkungan  peradilan  umum,peradilan  agama,  peradilan  militer,  dan  peradilan  tata  usaha negara. ,  dan untuk kewenangan mengadili kasus illegal fishing diatur dalam pasal 71  Undang-Undang  45  tahun  2009  tentang  Perubahan  Atas  Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan yang berbunyi:

  1. Dengan Undang-Undang ini  dibentuk  pengadilan  perikanan yang  berwenang  memeriksa,  mengadili  dan  memutus  tindak pidana di bidang perikanan.
  2. Pengadilan perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pengadilan  khusus  yang  berada  dalam  lingkungan peradilan umum.

Mengenai kompetensi relatif diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dalam pasal 84, berbunyi:

  1. Pengadilan negeri berwenang  mengadili  segala  perkara mengenai tindak pidana yang dilakukan dalam daerah hukumnya.
  2. Pengadilan negeri yang di dalam daerah hukumnya terdakwa bertempat tinggal, berdiam  terakhir,  di  tempat  ia  diketemukan, atau  ditahan,  hanya  berwenang  mengadili  perkara  terdakwa tersebut,  apabila  tempat  kediaman  sebagian  besar  saksi  yang dipanggil lebih dekat pada pengadilan negeri itu daripada tempat kedudukan  pengadilan  negeri  yang  di  dalam  daerahnya  tindak pidana itu dilakukan.

Sistem  peradilan  pidana  pada  hakekatnya  merupakan  suatu proses  penegakan  hukum  pidana.[78]  Oleh  karena  itu  berhubungan  erat sekali  dengan  perundang-undangan  pidana  itu  sendiri,  baik  hukum substantif  maupun  hukum  acara  pidana,  karena  perundang-undangan pidana  itu  pada  dasarnya  merupakan  penegakan  hukum  pidana  in abstracto  yang akan diwujudkan dalam penegakan hukum  in concreto . [79]

Pentingnya peranan perundang-undangan pidana dalam sistem peradilan pidana,  karena  perundang-undangan  tersebut  memberikan  kekuasaan pada pengambil kebijakan dan memberikan dasar hukum atas kebijakanyang  diterapkan.  Lembaga  legislatif  berpartisipasi  dalam  menyiapkan kebijakan  dan  memberikan  langkah  hukum  untuk  memformulasikan kebijakan  dan  menerapkan  program  kebijakan  yang  telah  ditetapkan.

Jadi, semua merupakan bagian dari politik hukum yang pada hakekatnya berfungsi  dalam  tiga  bentuk,  yakni  pembentukan  hukum,  penegakan hukum, dan pelaksanaan kewenangan dan kompetensi.

Berkaitan dengan hal tersebut di atas, ada beberapa asas utama yang harus diperhatikan dalam mengoperasionalisasikan hukum pidana, sebab  individu  harus  benar-benar  merasa  terjamin  bahwa  mekanisme sistem peradilan pidana tidak akan menyentuh mereka tanpa landasan hukum  tertulis,  yang  sudah  ada  terlebih  dahulu  (legality  principle).  Di samping  itu,  atas  dasar  yang  dibenarkan  oleh  undang-undang  hukum acara pidana mengenai apa yang dinamakan asas kegunaan (expediency principle)  yang  berpangkal  tolak  pada  kepentingan  masyarakat  yang dapat ditafsirkan sebagai kepentingan tertib hukum (interest of the legal order). Atas dasar ini penuntutan memperoleh legitimasinya. Asas yang ketiga  adalah  asas  perioritas  (priority  principle)  yang  didasarkan  pada semakin beratnya beban sistem peradilan pidana.[80] Hal ini bisa berkaitan dengan berbagai kategori yang sama. Perioritas ini dapat juga berkaitan dengan pemilihan jenis-jenis pidana atau tindakan yang dapat diterapkan pada pelaku tindak pidana.

Tindak  pidana  perikanan  mencakup  segala  tindakan  hukum berupa tindakan kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh subjek hukum melalui prosedur peradilan. Penentuan tempat terjadinya tindak pidana ini untuk menentukan pengadilan negeri mana yang berwenangmengadili.   Ada 3 teori untuk menentukan lokasi terjadinya tindak pidana, yaitu: [81]

  1. Teori Perbuatan materiel (jasmaniah);
  2. Teori instrumen (alat)
  3. Teori Akibat.

Menurut Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana locus delicti Pasal 10 RUU KUHAP tempat tindak pidana adalah:

  1. Tempat pembuat melakukan  perbuatan  yang  dilarang  oleh peraturan perundang-undangan;
  2. Tempat terjadinya  akibat  yang  dimaksud  dalam  perundang-undangan atau tempat yang menurut perkiraan pembuat akan terjadi akibat tersebut.

Teori-teori locus delicti yaitu:

  1. Teori Perbuatan fisik (de leer van de lichamelijke daad)
  2. Teori bekerjanya alat yg digunakan (de leer van et instrumen)
  3. Teori Akibat (de leer van het gevolg)
  4. Teori Tempat yg jamak (de leer van de meervoudige tijd).

Locus delicti sangat penting diketahui dalam hal  mengenai Kompetensi relatif suatu pengadilan  contoh : Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atau Pengadilan Negeri Bogor.[82]

Meervoudige  locus  delicti,  bahwa  hakim  diberi  kemerdekaan  memilih diantara  tiga  locus  delicti  ini  sesuai  dengan  Keputusan  Hoge  Raad 2/1/1923 w.Nr.1108.

Mengenai keberadaan pengadilan perikanan merupakan amanat Undang-Undang 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan pasal 71, utamanya untuk lebih mengefektifkan proses penanganan kasus-kasus perikanan. Penggunaan track  record  data  VMS  dapat  dijadikan  sebagai  penentu  pengadilan negeri mana yang berwenang untuk mengadili kasus illegal fishing yang terjadi di Indonesia.[83]

Berdasarkan Undang-Undang 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas  Undang-Undang  Nomor  31  tahun  2004  tentang  Perikanan,  yang mengatur penggunaan sarana pidana dalam undang-undang ini dilakukan dengan  terlebih  dahulu  membentuk  pengadilan  perikanan  pada  lima pengadilan negeri, yaitu Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung dan Tual.  Undang-Undang 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan telah memuat regulasi atau formulasi baik mengenai hukum acara pidana maupun tindak pidana perikanan.  Hukum  acara  dalam  penyidikan,  penuntutan  maupun persidangan  pada  pengadilan  perikanan  dilakukan  menurut  KUHAP kecuali telah ditentukan secara khusus dalam Undang-Undang 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang  Perikanan.[84]  Pembentukan  pengadilan  khusus  perikanan seharusnya dibentuk berdasarkan undang-undang yang khusus mengatur tentang pengadilan perikanan, bukan didasarkan pada Undang-Undang45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Hal ini didasarkan pada Pasal 24A Ayat 5 UUD 1945 yang berbunyi :  Susunan, kedudukan, keanggotaan, dan hukum acara  Mahkamah Agung  serta  badan  peradilan  dibawahnya  diatur dengan  undang-undang .  Dari  segi  teknik  perundang-undangan,  frasa diatur  dengan  undang-undang  berarti  harus  diatur  dengan  undang-undang tersendiri .

Akan  tetapi,  dalam  menentukan  kompetensi  relatif  bahwa pengadilan  perikanan  sesuai  dengan  pengadilan  negeri  yang bersangkutan yang diatur dalam Pasal 71 ayat (4) Undang-Undang 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan. Selama belum dibentuk pengadilan perikanan selain  pengadilan  perikanan  pada  Pengadilan  Negeri  Jakarta  Utara, Medan,  Pontianak,  Bitung  dan  Tual,  maka  perkara  tindak  pidana perikanan  yang  terjadi  di  luar  wilayah  hukum  pengadilan  perikanan tersebut tetap diperiksa, diadili, dan diputus oleh pengadilan negeri yang berwenang sebagaimana yang diatur dalam Pasal 106 Undang-Undang 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan.

BAB IV

PENUTUP

IV.1 Kesimpulan

Masyarakat memilki hak untuk mendapatkan perlindungan dibidang Perikanan, dan apabila hak-hak itu dilanggar oleh orang lain atau badan hukum, maka dapat mengajukannya ke Pengadilan Perikanan. Pengadilan Perikanan berwenang memeriksa semua orang yang terkait dengan persoalan perikanan. Namun selama ini pengadilan ini belum optimal memberikan perlindungan, mengingat terdapat factor-faktor yang menyebabkan itu semua.

IV.2 Saran

Diharapkan peradilan perikanan mampu memberikan kepatian tentang tegaknya kasus=kasus dibidang perikanan, sehingga hak-hak masyarakat dibidang masyarakat tidak terlanggar, baik oleh masyarakat, maupun oleh badan hukum

DAFTAR PUSTAKA

Adicondro, George Junus (2001), Cermin Retak Indonesia, diterbitkan Cermin Yogyakarta, Cetakan pertama, Februari.

Al Gore (1994), Bumi dalam Keseimbangan; Ekologi dan Semangat Manusia, diterjemahkan Hira Jhamtani, diterbitkan Yayasan Obor Indonesia.

Aliadi, Arif dkk (1994), Peran Serta Masyarakat dalam Pelestarian Hutan, studi di Ujung Kulon Jawa Barat, Tenganan Bali, Krui lampung, diterbitkan Walhi, cetakan pertama.

Balai Taman Nasional Bunaken (tanpa tahun), Brosur Taman Nasional Bunaken: Zonasi Pengelolaan TN Bunaken SK Dirjen PHPA nomor 147/Kptd/DJ-VI/1997.

Bappenas, Dephut, USAID (tanpa tahun), Brosur Proyek Pengelolaan Sumber Daya Alam. Diterbitkan ARD/USAID, Jakarta.

Breton, Denise dan Christopher Largent (2003), Cinta, Jiwa & Kebebasan di Jalan Sufi, diterjemahkan Rachmani Astuti, diterbitkan Pustaka Hidayah, cetakan pertama, Januari.

Buchari, Abdi W (2001), Otonomi Daerah dan Pembangunan Ekonomi Sulawesi Utara, penerbit Progress Press.

Calne, Donald B (2004), Batas Nalar: Rasionalitas & Perilaku Manusia, KPG, cetakan pertama.

Compton, Boy R (1993), Kemelut Demokrasi Liberal: surat-surat rahasia, diterbitkan LP3ES, cetakan pertama Agustus, diterjemahkan Hamid Basyaib.

Departemen Kehutanan dan Pertanian (1990), Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Departemen Kehutanan (1997), Surat Keputusan Dirjen PHPA Nomor 147/Kpts/DJ-VI/1997 tentang Penunjukan Zonasi pada Taman Nasional Bunaken.

Dewan Pengelolaan TN Bunaken (2002), Laporan dan Evaluasi Kinerja Dewan Pengelolaan TN Bunaken Tahun Pertama, Periode Maret 2001 – Maret 2002.

Dietz, Ton (1996), Pengakuan Hak atas Sumberdaya Alam. Diterjemahkan Roem Topatimasang, Kata Pengantar Mansour Fakih. Penerbit kerjasama Pustaka Pelajar, INSIST Press dan REMDEC, cetakan pertama.

Dim, Herry (2004), Catatan Kebudayaan “Sebuah Jalan Bernama Babakan Ciparay,” di Majalah Horison XXXVIII, edisi Februari 2004.

Dominggus (1999), Materi Pengelolaan Sumberdaya Alam, Kawasan Taman Nasional Bunaken. Makalah disampaikan dalam lokakarya program pengelolaan sumberdaya alam di Hotel Novotel Manado, tanggal 29

Kanwil Departemen Pertambangan dan Energi Sulawesi Utara (2000), Laporan Perkembangan Pertambangan dan Energi di Provinsi Sulawesi Utara, April.

Kelleher, Graeme and Richard Kenchington (1991), Guide Lines for Establishing Marine Protected Area (Penetapan Kawasan Perlindungan Laut), penerbit The World Conservation Union (IUCN) bekerjasama dengan Great Barrier Reef Marine Park Authority, diterjemahkan Arief Wicaksono.

Madjowa, Verrianto (1992), “Kerancuan Penanganan Kawasan Konservasi Laut”, Manado Post, 12 September.

————- (1993), “Pemda dan Rencana Pengelolaan Bunaken,” Manado Post, Senin 1 Maret.

————- (1993), “Suku Bajo Pelaut yang Mencari Pangeran Popo,” Republika, Minggu 28 November.

————- Priciellia Kussoy dan Ais Kai (1993), “Etnis Bajo Menyusur Pantai Mencari Kima,” dan “Ada Sumut yang Dianggap Keramat,” Manado Post, Sabtu 13 November.
Makaminan, Aries J.T (2003), Keputusan Bupati nomor 65 tahun 2003 tentang Penetapan Kebijakan Pengelolaan/Penangkapan Ikan di Wilayah Laut Pulau Sanggaluhang.

Mantjoro, Eddy dan Tomoya Akimichi (1992), Sistem Pemilikan Tradisional terhadap Sumberdaya Perikana di Pulau Para dan Kahakitang, Jurnal Fakultas Perikanan Unsrat, Volume II no. 1.

Merrill, Reed (2000), Sambutan NRM/EPIQ pada lokakarya pengelolaan bersama para pihak di TN Bunaken: Sebagai Alternatif solusi pengelolaan taman nasional di era otonomi daerah, 18 Oktober di Manado.

————- (2001), Menyiapkan Strategi Baru Untuk Pengelolaan Kawasan Lindung Kelautan, NRM News, Vol. III/No.1. Mei.

Posko (2003), Ratusan Warga Desa Raprap Demo NRMP. Kamis 31 Juli.

Ratu Langie, G.S.S.J (1982), Indonesia di Pasifik: Analisa masalah-masalah pokok Asia-Pasifik, diterbitkan Penerbit Sinar Harapan, Jakarta. Judul asli Indonesia in den Pacific – Kers problemen van den Azia tischen Pacific, Batavia, 1937, penerjemah SI Poeradisastra.

Ricklefs, M. C (1995), Sejarah Indonesia Modern, diterbitkan Gadjah Mada University Press,Yogyakarta.

Rompas, Rizald Max (1998), Kimia Lingkungan I, penerbit Tarsito, Bandung.

———— dan James Paulus (1998), Ancaman Polutan Logam Berat di Kawasan Perairan Pantai Sulut.

Roque, Celso (1994), “Menciptakan Kondisi dan Insentif bagi Pelestarian Keanekaragaman Hayati Lokal,” dalam buku Strategi Keanekaragaman Hayati Global, WRI, IUCN dan UNEP, diterjemahkan Walhi dan diterbitkan Gramedia Pustaka Utama.

Rumi, Jalaluddin (2003), Masnawi: Kitab Suci dari Persia, diterbitkan Belukar Budaya, Yogyakarta, cetakan 1, Juni, diterjemahkan Haris Ibn Sholihin.

Salm, V Rodney and Graham Usher (1984), Zoning Plan for Bunaken Islands Marine Park. IUCN/WWF. Bogor, Februry.

Sangkoyo, Hendro (2001), Pembaruan Agraria & Pemenuhan Syarat-syarat Sosial & Ekologis Pengurusan Daerah. Diterbitkan atas kerjasama KPA dengan The Ford

Zakaria, R. Yando (1997),”Hak Kelola Rakyat atas Sumberdaya Alam,” dalam laporan Lokakarya Advokasi Kebijakan Sumberdaya Alam untuk Rakyat, Serpong, 29-30 Maret. Kerjasama tim kecil Kebijakan Sumberdaya Alam untuk Rakyat dan LATIN, Bogor.

———— (2004), Gerakan Masyarakat Adat: Menguat dalam Wacana dan Aksi, Melemah dalam Konstitusi, Sebuah catatan berdasarkan personal memory untuk memperingati berakhirnya Indigenous People Dekade 1993-2003, dan peringatan hari Masyarakat Adat Nusantara 17 Maret 2004.

Kadin Batam 2004.  Ekonomi Lintas Batas.  Kadin Batam. 2004.

Mukhtar, A. 2008.  Laut yang Ditaburi Sekumpulan Pulau.  Artikel Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 09/09/2008

Pet, J. and Mous, P.J. 2002.  Kawasan Konservasi Laut dan Manfaatnya bagi Perikanan. The Nature Conservancy Southeast Asia Center for Marine Protected Areas, Sanur, Bali, Indonesia

Sukristijono, S 2002.  Integrated Coastal Zone Management (ICZM) in Indonesia: A View from a Mangrove Ecologist.  Southeast Asian Studies, Vol. 40 No. 2, September 2002.

Venema S.C. 1996 (ed.). Report on the Indonesia/FAO/DANIDA Workshop on the assessment of the potential of the marine fishery resources of Indonesia.GCP/INT/575/DEN. FAO fisheries Technical paper 338. Food and Agricultural Organization of theUnited Nations, Rome).

YPMI 2004. Membangun Daya Maritim Indonesia. Yayasan Pendidikan Maritim Indonesia. 2004.

[1] Pet, J. and Mous, P.J. 2002.  Kawasan Konservasi Laut dan Manfaatnya bagi Perikanan. The Nature Conservancy Southeast Asia Center for Marine Protected Areas, Sanur, Bali, Indonesia

[2] Venema S.C. 1996 (ed.). Report on the Indonesia/FAO/DANIDA Workshop on the assessment of the potential of the marine fishery resources of Indonesia.GCP/INT/575/DEN. FAO fisheries Technical paper 338. Food and Agricultural Organization of theUnited Nations, Rome).

[3] YPMI 2004. Membangun Daya Maritim Indonesia. Yayasan Pendidikan Maritim Indonesia. 2004.

[4] Zakaria, R. Yando (1997),”Hak Kelola Rakyat atas Sumberdaya Alam,” dalam laporan Lokakarya Advokasi Kebijakan Sumberdaya Alam untuk Rakyat, Serpong, 29-30 Maret. Kerjasama tim kecil Kebijakan Sumberdaya Alam untuk Rakyat dan LATIN, Bogor.

[5] Toengkagi, Arief (2002), Sistem Pengamanan Kawasan Taman Nasional Bunaken. Dalam Lestari, yang diterbitkan atas kerjasama Manado Post dan Program NRM/EPIQ, edisi Rabu 30 Oktober 2002.

[6] TEMPO (2000), “CIA di Indonesia: Runtuhnya Sebuah Mimpi,” Rubrik IQRA, 26 November, hlm 66-91. TEMPO mengulas tentang buku Feet to the Fire: Cia Covert Operations in Indonesia, 1957-1958, karya Kenneth Conboy dan James Morrison, yang mengungkap keterlibatan CIA dalam pemberontakan PRRI/Permesta.

[7] Sondakh, A.J (2000), Dewan Pengelolaan Taman Nasional Bunaken Sulawesi Utara Sebagai Model Pengelolaan Para Pihak Kawasan Pelestarian Alam di Indonesia. September.

[8] Scott, Peter-Dale (1999),”Perananan CIA dalam penggulingan Soekarno,” dalam buku Gestapu, Matinya Para Jenderal dan Peran CIA, diterbitkan CERMIN, September, cetakan pertama.

[9] Siegfried, Berhimpon (2003), Pokok-pokok Pikiran Pembangunan Perikanan dan Kelautan Provinsi Sulawesi Utara, disampaikan dalam seminar nasional membangun sektor perikanan, kelautan dan wilayah pesisir untuk menunjang agroindustri dan pariwisata Sulawesi Utara. Seminar yang diselenggarakan Keluarga Mahasiswa Pasca Sarjana (KMPS) Sulawesi Utara di Yogyakarta ini berlangsung tanggal 12 Juli 2003 di Hotel Sahid Kawanua.

[10] Ohoitimur, Yong (2004), Kemajemukan Agama: Kontribusi dan Beban Bagi Demokrasi, disampaikan pada seminar “Pluralisme, Otonomi Daerah, dan Pemilu,” diselenggarakan Yayasan Pelita Kasih Abadi (Peka) Manado dan Institut Dian/Interfidei Yogyakarta, tanggal 18 Februari di Manado.

[11] Mantjoro, Eddy dan Tomoya Akimichi (1992), Sistem Pemilikan Tradisional terhadap Sumberdaya Perikana di Pulau Para dan Kahakitang, Jurnal Fakultas Perikanan Unsrat, Volume II no. 1.

[12] Madjowa, Verrianto (1992), “Kerancuan Penanganan Kawasan Konservasi Laut”, Manado Post, 12 September.

[13] Lowe, Celia (2003), “Sustainability and the Question of ‘Enforcement’ in Integrated Coastal Management: the case of Nain Island, Bunaken National Park,” Jurnal Pesisir dan Kelautan Bogor, Institute Pertanian Bogor, Special Edition I:49-63, diterjemahkan Rahman Dako.

[14] Koran TEMPO (2002), Kerjasama Bitung-Amerika Membangun Pelabuhan: Kajian Awal Pembangunan Dilaksanakan Selama Setahun, Senin 9 September

[15] FPK Sulut dan BSP-Kemala (1998), Laporan Kegiatan Forum Kemala 2, dengan tema Kedaulatan Rakyat atas Sumberdaya Alam dari Perspektif Krisis yang Melanda Negeri, Hotel Sahid Manado, 28 – 31 Oktober.

[16] Fauzi, Noer dan R. Yando Zakaria (2000), Men-Siasat-I Otonomi Daerah: Panduan Fasilitasi Pengakuan dan Pemulihan Hak-Hak Rakyat, diterbitkan Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria, bekerjasama dengan INSIST Press, cetakan pertama,Desember.

[17] Fakih, Mansour (2003), Bebas dari Neoliberalisme, diterbitkan INSIST PRESS, November.

[18] Dietz, Ton (1996), Pengakuan Hak atas Sumberdaya Alam. Diterjemahkan Roem Topatimasang, Kata Pengantar Mansour Fakih. Penerbit kerjasama Pustaka Pelajar, INSIST Press dan REMDEC, cetakan pertama.

[19] D&R (1997), Menghalangi Matahari Masuk Laut. Majalah D&R, 31 Mei 1997.

[20] Kanwil Departemen Pertambangan dan Energi Sulawesi Utara (2000), Laporan Perkembangan Pertambangan dan Energi di Provinsi Sulawesi Utara, April.

[21] Kelleher, Graeme and Richard Kenchington (1991), Guide Lines for Establishing Marine Protected Area (Penetapan Kawasan Perlindungan Laut), penerbit The World Conservation Union (IUCN) bekerjasama dengan Great Barrier Reef Marine Park Authority, diterjemahkan Arief Wicaksono.

[22] Kaloh, J (2002), Mencari Bentuk Otonomi Daerah; suatu solusi dalam menjawab kebutuhan lokal dan tantangan global, Diterbitkan PT Rineka Cipta, Jakarta, Desember.

[23] Jatam (2000), Proseding Workshop Advokasi Tambang, Lokakarya Re-Posisi Jatam, dilaksanakan tanggal 22 – 29 November 1999, di Kawanua Cottage Tomohon.

[24] Korah, Lucky H (1997), Pengembangan dan Pembangunan Wilayah Pantai “Wjud Manado Sebagai Water Front City” disampaikan pada seminar strategi pengembangan dan teknik pembangunan wilayah pantai di Sulut, Manado 28-29 November.

[25] Lestari (2002), Diterbitkan atas kerjasama Manado Post dan Program NRM/EPIQ, edisi Rabu 30 Oktober 2002

[26] Makaminan, Aries J.T (2003), Keputusan Bupati nomor 65 tahun 2003 tentang Penetapan Kebijakan Pengelolaan/Penangkapan Ikan di Wilayah Laut Pulau Sanggaluhang.

[27] Momberg, Frank (1994), Pelatihan untuk staf TN Bunaken: Metoda Pengkajian dan Perencanaan Partisipatif untuk Pengelolaan Kawasan Konservasi Bersama Masyarakat. NRMP/USAID.

[28] Muhammad, Fadel (2003), Sulawesi Summit dan Agenda Pengembangan Bisnis Kawasan, disampaikan dalam Musyawarah Sulawesi tanggal 5 dan 6 Desember di Manado.

[29] Ninan, A. George (2002),”Dari penyadaran ke Refleksi,” dalam buku Gerakan Rakyat, Merambat karena Dihambat, enam puluh tahun Indera Nababan, diterbitkan URM-Indonesia, Hetty Siregar dkk (ed), cetakan pertama.

[30] NRMP (1993), Staregi Pemanfaatan Sumberdaya Laut oleh Masyarakat di Taman Nasional Bunaken. Laporan nomor 14 ini hasil terjemahan Arief Wicaksono yang merupakan hasil studi konsultan NRMP/USAID Jill Belsky, 1992.

[31] Ointoe, Reiner Emyot (2003), Ekofasis: Sebuah Esai Keprihatinan, tabloid Ba’Kawang, edisi 08/September.

[32] Ricklefs, M. C (1995), Sejarah Indonesia Modern, diterbitkan Gadjah Mada University Press,Yogyakarta.

[33] Rumi, Jalaluddin (2003), Masnawi: Kitab Suci dari Persia, diterbitkan Belukar Budaya, Yogyakarta, cetakan 1, Juni, diterjemahkan Haris Ibn Sholihin.

[34] Roque, Celso (1994), “Menciptakan Kondisi dan Insentif bagi Pelestarian Keanekaragaman Hayati Lokal,” dalam buku Strategi Keanekaragaman Hayati Global, WRI, IUCN dan UNEP, diterjemahkan Walhi dan diterbitkan Gramedia Pustaka Utama.

[35] Salm, V Rodney and Graham Usher (1984), Zoning Plan for Bunaken Islands Marine Park. IUCN/WWF. Bogor, Februry.

[36] Salm, V Rodney and Graham Usher (1984), Zoning Plan for Bunaken Islands Marine Park. IUCN/WWF. Bogor, Februry.

[37] Sangkoyo, Hendro (2001), Pembaruan Agraria & Pemenuhan Syarat-syarat Sosial & Ekologis Pengurusan Daerah. Diterbitkan atas kerjasama KPA dengan The Ford Foundation.

[38] Schimmel, Annemarie (2005), Akulah Angin Engkaulah Api: Hidup dan Karya Jalaluddin Rummi, penerbit PT Mizan Pustaka, Februari.

[39] Sembiring, Sulaiman N, dkk (1999), Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi di Indonesia; Menuju pengembangan desentralisasi dan peningkatan peran serta masyarakat, ICEL/NRM2-USAID.

[40] Sigarlaki, A dkk (1978), Sejarah Daerah Sulawesi Utara, diterbitkan Depdikbud, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya, Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah.

[41] Studio Driya Media untuk Konsorsium Pengembangan Dataran Tinggi Nusa Tenggara (tanpa tahun), Berbuat Bersama Berperan Setara; Pengkajian dan Perencanaan bersama Masyarakat.

[42] TEMPO (1999), Dari Skandal ke Skandal, kumpulan tulisan investigasi Majalah Berita Mingguan TEMPO, diterbitkan Pusat Data dan Analisa TEMPO, PT Arsa Perdana.

[43] Toengkagi, Arief (2002), Sistem Pengamanan Kawasan Taman Nasional Bunaken. Dalam Lestari, yang diterbitkan atas kerjasama Manado Post dan Program NRM/EPIQ, edisi Rabu 30 Oktober 2002.
[44] Wahyono, dkk (1991), Bebalang: Memudarnya Fungsi Seke, PMB-LIPI.

[45] Manoppo-Watupongoh, Geraldine (1983), Bahasa Melayu Surat Kabar di Minahasa pada Abad ke-19, Disertasi gelar doctor di Universitas Indonesia 5 November 1983.

[46] Kadin Batam 2004.  Ekonomi Lintas Batas.  Kadin Batam. 2004.

[47] Mukhtar, A. 2008.  Laut yang Ditaburi Sekumpulan Pulau.  Artikel Departemen Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia. 09/09/2008

[48] Pet, J. and Mous, P.J. 2002.  Kawasan Konservasi Laut dan Manfaatnya bagi Perikanan. The Nature Conservancy Southeast Asia Center for Marine Protected Areas, Sanur, Bali, Indonesia

[49] Sukristijono, S 2002.  Integrated Coastal Zone Management (ICZM) in Indonesia: A View from a Mangrove Ecologist.  Southeast Asian Studies, Vol. 40 No. 2, September 2002.

[50] Venema S.C. 1996 (ed.). Report on the Indonesia/FAO/DANIDA Workshop on the assessment of the potential of the marine fishery resources of Indonesia.GCP/INT/575/DEN. FAO fisheries Technical paper 338. Food and Agricultural Organization of theUnited Nations, Rome).

[51] Gerakan Masyarakat Adat: Menguat dalam Wacana dan Aksi, Melemah dalam Konstitusi, Sebuah catatan berdasarkan personal memory untuk memperingati berakhirnya Indigenous People Dekade 1993-2003, dan peringatan hari Masyarakat Adat Nusantara 17 Maret 2004.

[52] Wijardjo, Boedhi, dkk (2001), Konflik, Bahaya atau Peluang? Panduan Latihan Menghadapi dan Menangani Konflik Sumberdaya Alam, diterbitkan sebagai bagian kerjasama Badan Pelaksana BP-KPA dengan BSP-Kemala, April, cetekan pertama.

[53] -Undang Otonomi Daerah, penerbit Cipta Umbara Bandung.

[54] TEMPO (2001), Pin Anti-“Teror Bom,” Majalah TEMPO, 11 November.

[55] TEMPO (2000), “CIA di Indonesia: Runtuhnya Sebuah Mimpi,” Rubrik IQRA, 26 November, hlm 66-91. TEMPO mengulas tentang buku Feet to the Fire: Cia Covert Operations in Indonesia, 1957-1958, karya Kenneth Conboy dan James Morrison, yang mengungkap keterlibatan CIA dalam pemberontakan PRRI/Permesta.

[56] Rompas, Rizald Max (1998), Kimia Lingkungan I, penerbit Tarsito, Bandung.

[57] Ratu Langie, G.S.S.J (1982), Indonesia di Pasifik: Analisa masalah-masalah pokok Asia-Pasifik, diterbitkan Penerbit Sinar Harapan, Jakarta. Judul asli Indonesia in den Pacific – Kers problemen van den Azia tischen Pacific, Batavia, 1937, penerjemah SI Poeradisastra.

[58] Monintja, Daniel R dan Zulkarnain (1995), Analisis Dampak Pengoperasian Rumpon Philippine di Perairan ZEE terhadap Perikanan Cakalang di Peairan territorial Utara Sulawesi, Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor.

[59] Korah, Lucky H (1997), Strategi Pembangunan Kota Manado sebagai Kota Pantai “Nyiur Melambai” Abad 21 Menyongsong Era Persaingan Bebas, disampaikan pada diskusi panel di Hotel Sahid Manado, 10 Oktober.

[60] Kleden, Ignas (2004), Esai: Godaan Subyektivitas, Majalah Horison, Januari 2004.

[61] Heydemans, Paulus (1992), Sedikit tentang Bunaken, Bappenas dan Lembaga Donor Amerika, Manado Post, Senin 9 Maret.

[62] Heroepoetri, Arimbi (2001), Tak Ada Tempat bagi Rakyat, diterbitkan atas kerjasama YLBHI, E-Law Indonesia, RACA Institute dan Penerbit Kreasi Wacana Yogyakarta.

[63] Harvey, Barbara Sillars (1989), Permesta: Pemberontakan Setengah Hati, penerbit PT Pustaka Utama Grafiti, cetakan kedua.

[64] Dominggus (1999), Materi Pengelolaan Sumberdaya Alam, Kawasan Taman Nasional Bunaken. Makalah disampaikan dalam lokakarya program pengelolaan sumberdaya alam di Hotel Novotel Manado, tanggal 29 September. Dalam prosiding NRM2.

[65] Erdmann, V Mark (2001), Harapan yang menjadi kenyataan: Pengelolaan Partisipatif Taman Nasional Laut Bunaken oleh Multipihak. NRM News Vol. III/No.1. Mei.

[66] Al Gore (1994), Bumi dalam Keseimbangan; Ekologi dan Semangat Manusia, diterjemahkan Hira Jhamtani, diterbitkan Yayasan Obor Indonesia.

[67] Aliadi, Arif dkk (1994), Peran Serta Masyarakat dalam Pelestarian Hutan, studi di Ujung Kulon Jawa Barat, Tenganan Bali, Krui lampung, diterbitkan Walhi, cetakan pertama.

[68]
Balai Taman Nasional Bunaken (tanpa tahun), Brosur Taman Nasional Bunaken: Zonasi Pengelolaan TN Bunaken SK Dirjen PHPA nomor 147/Kptd/DJ-VI/1997.

[69] Bappenas, Dephut, USAID (tanpa tahun), Brosur Proyek Pengelolaan Sumber Daya Alam. Diterbitkan ARD/USAID, Jakarta.

[70]
Breton, Denise dan Christopher Largent (2003), Cinta, Jiwa & Kebebasan di Jalan Sufi, diterjemahkan Rachmani Astuti, diterbitkan Pustaka Hidayah, cetakan pertama, Januari.

[71] Departemen Kehutanan dan Pertanian (1990), Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

[72] Dewan Pengelolaan TN Bunaken (2002), Laporan dan Evaluasi Kinerja Dewan Pengelolaan TN Bunaken Tahun Pertama, Periode Maret 2001 – Maret 2002.

[73] Departemen Kehutanan (1997), Surat Keputusan Dirjen PHPA Nomor 147/Kpts/DJ-VI/1997 tentang Penunjukan Zonasi pada Taman Nasional Bunaken.

[74] Dim, Herry (2004), Catatan Kebudayaan “Sebuah Jalan Bernama Babakan Ciparay,” di Majalah Horison XXXVIII, edisi Februari 2004.

[75] Adicondro, George Junus (2001), Cermin Retak Indonesia, diterbitkan Cermin Yogyakarta, Cetakan pertama, Februari.

[76] Compton, Boy R (1993), Kemelut Demokrasi Liberal: surat-surat rahasia, diterbitkan LP3ES, cetakan pertama Agustus, diterjemahkan Hamid Basyaib.

[77] Calne, Donald B (2004), Batas Nalar: Rasionalitas & Perilaku Manusia, KPG, cetakan pertama.

[78] Fahmi, Erwin dan R. Yando Zakaria (2004), Multi-Stakeholder Processes dan Good Governance: Minus Malum dalam Wacana Neoliberal (Draft).

[79] Fakih, Mansour (2002), Jalan Lain; Manifesto Intelektual Organik, diterbitkan Pustaka Pelajar bekerjasama dengan INSIST PRESS, September.

[80] Moosa, M Kasim dan Shigeki Wada (tanpa tahun), Mari Kita Lindungi si Raja Laut. LIPI/JICA.

[81] Soeroto, Bambang (1997), Perubahan dan Penyelamatan Lingkungan dan Ekosistem Teluk Manado dalam Pembangunan Reklamasi Teluk Manado, disampaikan dalam seminar sehari Teluk Manado, tanggal 18 Desember

[82]
Swasono, Sri Edi (2001), “Evaluasi Kebijakan-Kebijakan Makro Ekonomi Rezim Orde baru dan Kemungkinan Perubahan di Masa Depan, dalam prosiding Rekonstruksi Kebangkrutan Ekonomi Indonesia, Golden Ball Room, Hilton Indonesia, Rabu 7 Maret, Forum Kajian Reformasi Total.

[83] Titian dan Sempadan (1994), Persepsi Masyarakat di Pulau Bunaken terhadap Pengembangan Pariwisata di Taman Nasional Bunaken. NRMP/USAID, Juni

[84] Ulaen, Alex J (2003), Nusa Utara dari Lintasan Niaga ke Daerah Perbatasan, diterbitkan Pustaka Sinar Harapan.

Continue Reading