REFLEKSI PERKEMBANGAN DINAMIKA PERAN DAN FUNGSI KOMISI YUDISIAL MENUJU PERADILAN YANG BERSIH DAN BERWIBAWA

  

  1. PENDAHULUAN

Pemikiran tentang pemisahan kekuasaan dipengaruhi oleh teori John Locke (1632-1704) seorang filosof Inggris yang pada tahun 1690 menerbitkan buku “Two Treties on Civil Government”. Dalam bukunya itu John Locke mengemukakan adanya tiga macam kekuasaan di dalam Negara yang harus diserahkan kepada badan yang masing-masing berdiri sendiri, yaitu kekuasaan legislative (membuat Undang-Undang), kekuasaan eksekutif (melaksanakan Undang-Undang atau yang merupakan fungsi pemerintahan) dan kekuasaan federatif (keamanan dan hubungan luar negeri).[1]

Negara republik indonesia mengenal adanya lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif dalam UUD 1945 dengan melaksanakan pembagian kekuasaan (distribution of power) antara lembaga-lembaga negara. Kekuasaan lembaga-llembaga negara tidaklah di adakan pemisahan yang kaku dan tajam, tetapi ada koordinasi yang satu dengan yang lainnya.

Sebagai negara demokrasi, pemerintahan Indonesia menerapkan teori trias politika. Trias politika adalah pembagian kekuasaan pemerintahan menjadi tiga bidang yang memiliki kedudukan sejajar. Ketiga bidang tersebut yaitu :[2]

  1. Legislatif bertugas membuat undang undang. Bidang legislatif adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
  2. Eksekutif bertugas menerapkan atau melaksanakan undang-undang. Bidang eksekutif adalah presiden dan wakil presiden beserta menteri-menteri yang membantunya.
  3. Yudikatif bertugas mempertahankan pelaksanaan undang-undang. Adapun unsur yudikatif terdiri atas Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).

Mahkamah Agung memiliki perananan yang sangat vital di sistem peradilan Indonesia. Peranan tersebut ialah Mahkamah Agung memegang kekuasaan kehakiman bagi badan peradilan yang berada di bawahnya. Pada Undang Undang Dasar 1945 Amandemen ke – IV Pasal 24 memberikan kekuatan bagi Mahkamah Agung, bahwa sejatinya “ Mahkamah Agung adalah sebagai penguasa kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Konstitusi, bagi 4 Peradilan di Indonesia, Peradilan Umum, Peradilan Negara, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dijelaskan selanjutnya pada Pasal 24 A ayat (1) , Mahkamah Agung memiliki peranan mengadili pada tingkat kasasi ; menguji peraturan perundang-undangan terhadap undang-undang. Sedangkan pada pasal 14 ayat (1), Mahkamah Agung memberikan pertimbangan perihal grasi dan rehabilitasi yang diajukan oleh Presiden.

Kekuasaan kehakiman tidak lagi menjadi satu-satunya pelaku kekuasaan kehakiman (judicial power), karena di sampingnya ada Mahkamah Konstitusi yang juga berfungsi sebagai pelaku kekuasaan kehakiman. Ketiga, adanya lembaga baru yang bersifat mandiri dalam struktur kekuasaan kehakiman, yaitu Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Keempat, adanya wewenang kekuasaan kehakiman dalam hal ini dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi untuk melakukan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (UUD), memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemiliham umum (pemilu).

Dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 disebutkan bahwa “Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.” Dari pasal tersebut, dapatlah kita lihat kewenangan yang dimiliki oleh Komisi Yudisial yang merupakan konteks reformasi peradilan, yakni pertama, mengusulkan pengangkatan hakim agung, yang sebelumnya pengangkatan hakim agung tidak melalui mekanisme yang transparan dan melibatkan masyarakat serta cenderung sesuai dengan selera penguasa, kedua, wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, yang intinya adalah merupakan bagian dari proses pengawasan kekuasaan kehakiman agar mampu juga mempertanggungjawabkan kemandirian dan indepensi yang dimilikinya.

 

  1. KEDUDUKAN KOMISI YUDISIAL DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA

Komisi Yudisial  adalah lembaga Negara yang dibentuk dalam rumpun kekuasaan kehakiman yang ditetapkan oleh undang-undang dasar 1945 yang telah diamandemen yaitu  pada bab kekuasaan kehakiman yaitu pasal 24B UUD 1945. ide pembentukan  lembaga yang berfungsi mengawasi kekuasaan kehakiman sebenarnya sudah lama muncul. Berawal dari tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim (MPPH). Namun ide tersebut tidak berhasil dimasukkan dalam undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman. Baru pada tahun 1998 muncul kembali dan menjadi wacana yang semakin kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, yang tentunya memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-cita untuk mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan dan profesional dapat tercapai. Atas dasar itulah pada amandemen UUD 1945 yang ketiga munculah pasal yang menjelaskan komisi yudisial pada bab kekuasaan kehakiman.

Walaupun berada dalam satu rumpun kekuasaan kehakiman, komisi yudisial bukan lembaga pemegang kekuasaan kehakiman melainkan hanya sebagai lembaga yang menunjang tehadap pelaksanaan tugas kekuasaan kehakiman atau dapat disebut sebagai supporting institution.

Didalam UUD 1945 komisi yudisial terdapat dalam pasal 24B UUD 1945 yang mempunyai wewenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dalam masalah pengawasan hakim dilihat posisi KY yang terdapat pada pasal 24B UUD 1945 yang dipandang hanya terkait dengan ketentuan pasal 24A UUD 1945 yang jadi dapat dikatakan maksud pengawasan hakim disini ialah pengawasan terhadap hakim agung. Namun, didalam undang-undang nomor 22 tahun 2004 tentang komisi yudisial hakim konstitusi juga dimasukkan kedalamnya. Ketentuan ini mengakibatkan lumpuhnya kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam menghadapi kenyataan timbulnya persengketaan kewenangan konstitusional antara Mahkamah Agung dan KY. Oleh karena itu diadakanlah judicial review oleh MK yang menghasilkan putusan MK No. 005/PUU-IV/2006 yang memangkas kewenangan KY tersebut menyatakan perilaku hakim konstitusi tidak lagi menjadi objek pengawasan oleh komisi yudisial. Disamping itu, dipastikan pula bahwa komisi yudisial sebagai supporting institution. Pandangan MK dari putusan tersebut bahwa KY hanyalah supporting institution dapat diterima dalam kaitannya dengan kekuasaan kehakiman dalam artian KY bukanlah lembaga pemegang kekuasaan kehakiman seperti MA dan MK. Akan tetapi, dapatlah ditegaskan bahwa sebagai lembaga pengawas eksternal kedudukan KY bukan supporting melainkan dapat juga disebut sebagai main institution. Oleh sebab itu,sebagai lembaga Negara kedudukan KY tidaklah di bawah MA maupun MK,tetapi tugas dan wewenangnya tetaplah bersifat penunjang bagi kekuasaan kehakiman.

Pengawasan KY terhadap para hakim dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan,keluhuran dan martabat para hakim mempunyai peranan penting dalam membangun system peradilan yang baik. Menurut Prof. Jimly ashidiqie Demokrasi tidak mungkin dapat tumbuh dan berkembang tanpa diimbangi dan dikontrol oleh rule of law yang bertumpu pada system kekuasaan kehakiman yang dapat dipercaya, Untuk menjaga dan membangun kepercayaan atau confidence building itu maka diperlukan satu lembaga tersendiri yang menjalankan upaya luhur itu.

Peranan KY disini ialah sebagai lembaga pengawas kode etik hakim atau lembaga penegak kode etik hakim bukan sebagai lembaga pengawas peradilan atau lembaga kekuasaan kehakiman. Karena kekuasaan kehakiman itu bersifat bebas dan merdeka jadi KY tidak dapat mengawasi sampai ke ranah teknis yustisialnya hal ini sesuai dengan pasal 22 ayat (3)  UU No 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Jadi KY bertugas mengawasi para pelaksanaan kode etik dan perilaku menyimpang dari para hakim dari standart kode etik sebelum pelanggaran kode etik itu berkembang menjadi pelanggaran hukum sehingga terciptanya system peradilan yang baik tanpa adanya unsur judicial corruption.

Kita juga dapat melihat wewenang lain dari KY yaitu mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR. Dalam melaksanakan wewenang itu  KY menurut pasal 14 UU No 2 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial mempunyai tugas : a. melakukan pendaftaran calon hakim agung, b. melakukan seleksi terhadap calon hakim agung, c. menetapkan calon hakim agung, d. mengajukan calon hakim agung ke DPR. Dari tugas KY ini berpengaruh terhadap terciptanya system peradilan yang bersih apabila dalam seleksi pencalonan hakim agung tersebut berjalan benar-benar dengan baik.karena dengan hakim agung yang berkualitas tentu dapat peradilan dapat berjalan dengan baik, bersih, dan terpercaya.insya Allah.

Oleh karena kedudukan Komisi Yudisial sebagai lembaga Negara mempunyai peranan penting yang secara tidak langsung pasti akan berpengaruh terhadap upaya membangun system peradilan yang baik yang dapat dipercaya dan terbebas dari praktik KKN serta masalah-masalah mafia peradilan. Maka keberhasilan Komisi Yudisial dalam menjalankan tugasnya juga penting dalam memberantas mafia peradilan. Oleh karena itu dibutuhkan pimpinan dan anggota KY yang benar-benar terkualifikasi dan memliki integritas untuk menjalankan tugas Komisi Yudisial ini dengan baik. Maka dalam seleksi pimpinan Komisi Yudisial sebaiknya panitia seleksi (Pansel) dan DPR benar-benar serius dalam melakukan pemilihan calon pimpinan Komisi Yudisial,Calon pimpinan Komisi Yudisial harus benar-benar orang yang terseleksi karena kualitas dan integritasnya bukan karena ada kepentingan-kepentingan lain.

  • KOMISI YUDISIAL SEBAGAI BENTENG PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA

Negara Indonesia adalah negara hukum, demikian bunyi Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Konsekwensi pernyataan itu menunjukkan bahwa hakim sebagai pejabat negara dalam mengemban tugasnya haruslah juga didasarkan kepada aturan-aturan hukum yang berklaku. Dalam menyelesaikan perkara melalui pengadilan tentunya harus mempedomani ketentuan-ketentuan hukum acara yang berlaku di Pengadilan,  baik  itu yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Segala alur proses pemeriksaan harus pula sesuai dengan hukum. Hakim tidak boleh menyimpangi ketentuan-ketentuan hukum acara kecuali yang dibenarkan oleh hukum itu sendiri.

Setiap perkara yang diajukan oleh masyarakat ke pengadilan tidak ada alasan bagi hakim untuk menolaknya, disamping itu hakim diwajibkan pula untuk membantu masyarakat pencari keadilan agar proses pemeriksaan perkaranya dapat dilakukan dengan lancar, tanpa berpihak kepada salah satu pihak yang berperkara. Seperti membantu pembuatan dan penyusunan surat gugatan. Keberadaan peradilan bertujuan untuk menyelesaikan sengketa yang timbul di antara anggota masyarakat. Sengketa yang terjadi, berbagai ragam. Ada yang berkenaan dengan pengingkaran atau pemecahan perjanjian (breach of contract), perceraian, pailit, sengketa perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), sengketa hak milik (property right), penyalahgunaan wewenang oleh penguasa yang merugikan pihak-pihak tertentu. Semuanya ini mengharapkan suatu penyelesaian dari hakim agar dapat memberikan suatu putusan yang adil dan dapat diterima oleh semua pihak.

Untuk memberikan suatu putusan dalam suatu perkara tidak semudah membalikkan telapak tangan, sebelum pengambilan putusan hakim haruslah terlebih dahulu melakukan proses pemeriksaan perkara sesuai dengan ketentuan hukum acara, yang salah satunya adalah acara pembuktian. Proses pembuktian adalah sangat menentukan dalam hakim untuk sampai pada kesimpulannya dalam hal pengambilan suatu  putusan, mulai dari beban pembuktian sampai alat-alat bukti yang dikemukakan oleh para pihak adalah merupakan persoalan hukum, yang harus diperhatikan oleh hakim karena beban pembuktian itu merupakan persoalan yang tidak mudah, karena tidak ada satu pasal pun di dalam hukum acara yang mengatur secara tegas tentang pembagian beban pembuktian.

Dalam praktek, para hakim memerlukan ketelitian dan kebijaksanaan untuk menentukan pihak mana yang perlu diberi beban pembuktian lebih dahulu dan selanjutnya. Ada satu pasal yang mengatur beban pembuktian, yaitu pasal 163 HIR, 283 RBg. Tetapi ketentuan pasal ini tidak begitu jelas, karena itu sulit untuk diterapkan secara tegas, apakah beban pembuktian itu ada pada pihak penggugat atau pada pihak tergugat. Kesalahan dalam memberikan beban pembuktian adalah menjerumuskan pihak yang dibebani pembuktian  kejurang kekalahan, hal ini pasti keadilan tidak akan pernah tercapai, akibatnya putusan hakim menjadi putusan yang tidak adil.

Kesalahan-kesalahan hakim dalam pengambilan putusan dalam suatu perkara mengakibatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan sangat rendah. Banyak sekali putusan hakim yang sudah memiliki kekuatan pasti tidak dapat dilaksanakan eksekusinya, karena mendapat perlawanan dari masyarakat. Kridibilitas lembaga peradilan kita dalam pandang masyarakat memang sangat rendah dalam beberapa tahun belakang ini, ini disebabkan oleh beberapa paktor, antara lain yang sangat dominan adalah faktor perilaku penegak hukum itu sendir termasuk di dalamnya hakim itu sendiri disamping penegak hukum yang lainnya, baik hakim pada tingkat Pengadilan Negeri maupun ditingkat tertinggi sekali yaitu Mahkamah Agung.

Mafia peradilan tidak asing lagi bagi telinga masyarakat, kepercayaan terhadap keadilan yang diciptakan melalui badan peradilan yang dinamakan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung itu terasa sirna bila kita mendengar, melihat dan mebaca berita yang disuguhkan melalui masmedia. Mahkamah Agung sebagai tameng terakhir untuk mendapat keadilan tercemar oleh sekelompok pedagang keadilan yang tidak bertanggung jawab. Kesadaran hukum adalah suatu tuntutan dalam penegakan hukum, tidak hanya tuntutan ini ditujukan kepada masyarakat saja,  tetapi juga kepada penegak hukum itu sendiri. Kesadaran hukum masyarakat tidak ada gunanya bila tidak diimbangi dengan pengetahuan hukum itu sendiri, demikian pula sebaliknya pengetahuan hukum sudah cukup dan kesadaran hukum sudah tinggi tidak ada artinya kalau tidak dimbangi oleh perilaku yang tidak manis dari petugas hukum itu sendiri.

Kita menyadari bahwa kesadaran dan pengetahuan hukum masyarakat kita sangat rendah, terutama di daerah-daerah. Terlepas dari itu seyogianya setiap aparatur hukum yang terkait di dalam penegakan hukum haruslah memberikan penjelasan yang benar atas setiap persoalan hukum yang terjadi di dalam masyarakat yang awam akan mengerti serta memahami tentang hukum yang mengikat setiap tingkah laku mereka sehari-hari. Pekerjaan ini tidak mudah dan tidak pula murah.Tetapi  masyarakat harus diberikan penyuluhan terhadap hukum, agar rakyat tahu tentang hukum itu.

Dalam suatu lingkungan masyarakat tidak jarang para anggotanya memiliki berbagai kepentingan yang satu sama lain saling bertentangan, sehingga dalam mempertahankan kepentingannya itu mereka dapat terlibat dalam pertentangan-pertentangan yang dapat membahayakan ketertiban dan keamanan masyarakat. Dengan begitu eksistensi, dan pengetahuan hukum masyarakat  diperlukan untuk mencegah timbulnya bahaya-bahaya yang mampu meresahkan kehidupan masyarakat sehingga setiap anggota masyarakat merasa aman dan tentram karena memperoleh suatu perlindungan hukum.

Hukum yang baik belum tentu dapat dilaksanakan dengan baik apabila pelaksana hukumnya tidak menguasai hukum dengan baik, demikian juga jika pelaksana hukum memiliki penguasaan hukum yang sangat baik juga tidak akan menghasilkan keputusan hukum yang baik jika mental atau moral penegak hukumnya tidak baik. Akan sempurna jika penegak hukum menguasai materi hukum dengan baik dan memiliki moral yang baik, inilah hakim yang didambakan oleh masyarakat.

Kemampuan untuk menguasai hukum akan terpenuhi jika pelaksana hukum dalam kehidupan sehari-harinya selalu mentaati hukum. Ketidak taatan kepada hukum hanya akan menghasilkan penegak-penegak hukum yang otoriter, yang dengan kekuasaannya menekan anggota masyarakat untuk mentaati hukum menurut seleranya sendiri. Sikap yang demikian jelas bertentangan dengan hukum. Oleh karena itu untuk meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan ditanah air ini, penegak-penegak hukum haruslah orang-orang yang mengusai hukum sendiri, dan juga bermoral  dan beriman. Sehingga dalam penerapan hukum ia dapat berlaku adil jujur serta mau mengindahkan hukum yang berlaku.

Akan tetapi dalam kenyataannya, keinginan masyarakat untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan hukum sering merasa kecewa karena apa yang diharapkan melalui lembaga peradilan tidak mencerminkan lembaga peradilan, tetapi tidak lain dari lembaga jual beli hukum. Untuk memperbaiki citra badan peradilan ini tentu tidak mudah, harus dilakukan perbaikan-perbaikan dalam segala hal, seperti gaji, sarana dan prasarana penunjang dan terutama adalah sumber daya manusianya. Kesejahteraan adalah merupakan kambing hitam yang utama yang dijadikan alasan mengapa para penegak hukum menjadi tidak bermoral. Di samping itu tentu juga adalah pembenahan lembaga peradilan itu sendiri, agar menjadi lembaga yang mandiri terlepas dari pengaruh kekuasaan negara lainnya, yang mempengaruhi kemandirian hakim dalam melaksanakan tugasnya sebagai hakim.

Di dalam dunia peradilan, prinsip-prinsip dasar kekuasaan kehakiman yang mandiri yang harus dihormati oleh setiap negara yang melakukan rule of law, adalah  meliputi:[3]

  1. Judicial Indefendence, lembaga peradilan harus merupakan suatu lembaga yang memberikan manfaat sangat besar bagi setiap masyarakat, dimana setiap orang berhak untuk mendapatkan peradilan yang terbuka untuk umum yang dilaksnakan oleh pengadilan yang berwenang, adil dan tidak memihak. Peradilan yang mandiri merupakan syarat mutlak untuk melaksanakan hak tersebut yang mensyaratkan bahwa peradilan akan memeriksa perkara dengan adil dan menerapkan hukum yang baik.
  2. Objectieve of the judiciary, tujuan peradilan adalah :
  3. Menjamin setiap orang dapat hidup dengan aman di bawah the rule of law.
  4. Meningkatkan penghormatan dan pelaksanaan hak asasi manusia.
  5. Melaksanakan hukum secara adil dalam sengketa antara sesama warga masyarakat dan antar warga masyarakat dengan negara.
  6. Appoinment of judges. Para hakim harus diangkat berdasarkan kemampuannya yang nyata, integritas yang tinggi dan mandiri, dan harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga akan menjamin bahwa hanya yang terbaik yang dapat menduduki jabatan tersebut. Prosedur pengangkatannya harus transparan dan tanpa diskriminasi (suku, warna kulit, agama, gender, aliran politik, dan sebagainya).
  7. Tenure, yaitu bahwa masa jabatan hakim harus dijamin, baik melalui pemilihan kembali atau prosedur resmi lainnya. Tetapi diusulkan agar Hakim hanya akan pensiun/diberhentikan setelah mencapai usia tertentu dan ketentuan batas usia tersebut tidak boleh dirubah sehingga merugikan Hakim yang sedang melaksanakan tugasnya. Hakim hanya boleh diberhentikan  sebelum batas usia pensiun karena terbukti tidak mampu, dijatuhi pidana, atau mempunyai kelakuan yang tidak sesuai dengan kedudukannya sebagai Hakim, dan harus berdasarkan prosedur yang jelas.
  8. Judicial Condition, yaitu para hakim harus menerima penggajian yang memadai dan diberikan persyaratan kerja dan jaminan yang wajar.
  9. Jurisdiction, dimana kewenangan penyerahan perkara kepada hakim merupakan administrasi pengadilan dan pengawasan utama berada pada ketua pengadilan yang bersangkutan.
  10. Judicial Administration, yaitu bahwa administrasi pengadilan yang meliputi pengangkatan, pengawasan, dan penjatuhan disiplin kepada pejabat administrasi dan petugas pengadilan lainnya, serta anggaran pengadilan haruslah diberikan tanggung jawabnya kepada badan peradilan, atau oleh suatu badan di mana judiciary mempunyai peranan penting.
  11. Realitionship with the executive, yaitu bahwa kewenangan yang dimiliki oleh Eksekutif yang berdampak terhadap Hakim dalam melaksanakan tugasnya, gaji atau sumber pendapatannya, tidak boleh digunakan untuk mengancam atau menekan para Hakim, perlindungan Hakim dan keluarganya.
  12. Recources, yaitu bahwa agar para hakim dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, kepada mereka harus diberikan jaminan yang cukup.
  13. Emergency, bahwa dalam hal sedang terjadi kesulitan/krisis ekonomi di mana negara tidak memungkin memberi biaya yang memadai bagi Hakim, tetapi untuk tegaknya the rule of law dan perlindungan hak asasi manusi, pengadilan harus diberikan prioritas dalam pembiayaan.

 

  1. MENINGKATKAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT TERHADAP LEMBAGA PERADILAN.

Untuk memulihkan kembali kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan dan aparatur penegak hukum, tentu tidak mudah perlu pembenahan dan pembinaan, baik institusi, sumberdaya manusia serta sarana-sarana yang sangat diperlukan sebagai penunjang pelaksanaan penegakan hukum itu sendiri. Adapun langkah-langkah yang harus ditempuh atau dilakukan adalah sebagai berikut :

  1. Meningkatkan Mutu Putusan.

Menurut Bagir Manna Ketua Mahkamah Agung, orasi dalam pencalonan sebagai Hakim Agung, menyebutkan ada beberapa komponen yang mempengaruhi mutu putusan, Pertama telah menjadi wacana umum “putusan itu dapat dibeli”, tingkat integritas dan kejujuran Hakim (tentu tidak semua) sangat diragukan. Hal ini secara berangsur-angsur dapat diatasi dengan dua cara yaitu: tindakan represif dan preventif. Secara represif harus diadakan penyelidikan dan pemeriksaan umum untuk memperoleh fakta mengenai segala persangkaan tersebut. Untuk itu perlu dibentuk fact finding commission untuk dijadikan dasar penindakan baik terhadap hakim maupun karyawan. Bagi yang terbukti, maka diambil tindakan baik administrative dan atau penindakan secara hukum. Secara prepentif dilakukan dengan meningkatkan system pengawasan,  melakukan perobahan system kerja dan semangat kerja baru, melarang adanya kunjungan dari pihak-pihak yang berperkara, kecuali memang ada panggilan. Proses perkar harus lebih terbuka sehingga yang berkepentingan setiap saat dapat mengetahui perkaranya tanpa harus terpaksa berhubungan atau dikunjungi orang tertentu, dan tidak adanya pungutan langsung terhadap pihak yang berperkara yang menyangkut biaya perkara. Kedua, yang berkaitan dengan pengetahuan Hakim. Hal ini dilakukan dengan beberapa cara, antara lain memberikan keleluasaan pemikiran suatu putusan harus menjadi penilaian bagi promosi hakim, memberikan kesempatan bagi hakim untuk mengikuti program pendidikan ditingkat lanjut, dengan membantu segala fasilitasnya. Ketiga rekrutmen hakim baru haruslah melalui mekanisme yang jelas transparan, dengan melibatkan tim indefenden. Keempat promosi tidak hanya terpatok masalah masa kerja dan pangkat, tetapi juga didasarkan kepada kemampuan, kejujuran, moral tanpa melihat usia dari hakim itu sendiri. Sehingga menjadikan persaingan karier yang positif sesama hakim.

 

  • Penataan Administrasi Badan Peradilan

Dalam penataan administrasi peradilan ini perlu adanya pemisahan antara fungsi, jabatan dan organisasi administrasi umum dengan administrasi peradilan, dengan tidak menempatkan hakim sebagai pejabat administrasi, meningkatkan disiplin hakim dan pegawai administrasi. Dalam tugas peradilan hakim tidak dibenarkan memperlambat proses pelaksanaan penyelesaian perkara sesuai dengan asas hukum beracara di pengadilan itu biaya murah dan cepat.

  1. Melaksanakan Independensi Hakim

Kekuasaan kehakiman harus berdiri sendiri, tidak masuk dalam lembaga atau badan kekuasaan lainnya. Dalam wujud yang lebih mikro adalah kebebasan hakim. Hakim harus terjamin bebas dan tidak memihak dalam memutus perkara. Sebaliknya, hakim yang bebas diharuskan ada konsistensi dalam mengambil putusan. Dalam kenyataannya ada beberapa hal yang mempengaruhi indefendensi kebebasan hakim, yang antara lain tekanan dari cabang kekuasan lain, seperti apa yang diungkapkan oleh Hakim Pengadilan Negeri jambi Muchtar Agus Chalif dalam pembacaan putusan kasus water boom dengan tersangka Samawi Darahim, bahwa perkara sudah terkontaminasi dari tekanan pihak luar yaitu Kejati Jambi untuk tetap menghukum tersangka bersalah telah melakukan tindak pidana korupsi, kalau tidak Pengadilan Negeri dianggap telah menghambat program pemerintah untuk memberantas tindak pidana korupsi. Tekanan dari sesama hakim, yaitu hakim yang kedudukannya lebih tinggi terhadap hakim yang lebih rendah. Tekanan dari pihak-pihak yang berperkara itu sendiri, dengan menggunakan hubungan kekuasaan atau dengan menggunakan uang untuk membeli putusan. Tekanan publik yang mengerahkan massa yang berlebihan untuk memaksa hakim mengikuti kemauannya. Semua keadaan seperti yang diutarakan diatas haruslah diberantas habis, sehingga hakim dalam melaksanakan tugas peradilan terbebas dari tekanan-tekanan yang dapat mempengaruhi putusannya, serta memberikan perlindungan hukum bagi hakim dan keluarganya, dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

  • Perbaikan Fasilitas

Untuk terlaksananya tugas yang baik tentu harus pula didukung dengan pasilitas yang memadai termasuk didalamnya, aparat-aparat penegak hukum seperti Hakim. Kalau dilihat Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang kekuasaan Kehakiman, bahwa hakim itu adalah pejabat negara, sama kedudukannya dengan pejabat-pejabat negara diluar badan peradilan, seperti pejabat dilembaga birokrat, tetapi yang membedakan adalah pasilitas untuk pendukung pekerjaan dalam tugas jabatannya. Dalam jabatan birokrat pasilitasnya jauh lebih baik dan sempurna dari pejabat penegak hukum, kecuali ketua Pengadilan dan Mahkamah Agung. Fasilitas pada badan peradilan sangat minim, keadaan yang demikian itu tentu akan mempengaruhi produktivitas kerja dari lembaga itu. Untuk itu haruslah dilengkapi dengan pasilitas yang cukup, modern. Serta kesejahteraan pegawai dan hakim juga harus diperhatikan, hal ini sangat mempengaruhi dari produktivitas kerja lembaga. Produktivitas kerja lembaga peradilan tentu terukur dari minimnya penunggakan perkara yang akan diselesaikan di lembaga itu.. Sudah menjadi rahasia umum bahwa proses perkara`di pengadilan itu memakan waktu yang cukup lama, sehingga masyarakat enggan untuk menggunakan lembaga peradilan ini, di samping itu tentu menghabiskan biaya yang tidak sedikit.

 

  1. Adanya Kepastian Hukum

Setiap putusan hakim haruslah terhindar dari inkonsistensi substantif  dengan putusan-putusan hakim lainnya dalam tingkat peradilan yang sama, untuk itu perlu adanya langkah-langkah dari lembaga peradilan itu sendiri untuk:

  1. Melakukan inventarisasi perkara yang sama, dan diusahakan diperiksa oleh majelis hakim yang sama.
  2. Mewajibkan majelis hakim untuk memeriksa putusan terdahulu untuk mengetahui kalau-kalau pernah ada perkara yang serupa.
  • Apabila akan ada perbedaan, diwajibkan untuk diuraikan sebagai pertimbangan dalam putusan. Sepanjang tidak ada paktor pembeda yang substantif dan tidak melanggar rasa keadilan yang mendasar, pada dasarnya perkara yang serupa diputus dengan cara yang sama.

Hakim dalam memberikan putusan tidak perlu terpaku dengan hukum yang tertulis saja, jika putusannya kurang mempertimbangkan rasa keadilan dan hanya  sebagai mulut hukum positif saja, undang-undang dan doktrin memberikan peluang kepada hakim dalam melaksanakan tugasnya untuk menciptakan hukum, untuk mewujudkan rasa keadilan dalam masyarakat, seperti yang diamanatkan oleh pasal 29 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang kekuasaan kehakiman.

Jika Hakim dalam melaksanakan tugasnya sebgai pelaksana kekuasaan kehakiman yang steril dari pengaruh kekuasaan lain, baik dari eksekutif, legislative maupun dari interen lembaga peradilan itu sendiri, serta tekanan dari masyarakat Insya Allah Hakim akan terhindar dari perbuatan yang salah, melalui putusan yang benar dan adil masyarakat  merasa diayomi, tentu dengan sendirinya kepercayaan masyarakat terhadap badan-badan peradilan akan pulih kembali.

Untuk dapat menilai sejauh mana mutu layanan aparat penegak hukum yang diberikan, perlu ada kriteria yang menunjukkan apakah suatu pelayanan publik yang diberikan dapat dikatakan baik atau buruk.[4] Zethmel  mengemukakan tolok ukur kualitas pelayanan publik dapat dilihat dari sepuluh dimensi, antara lain meliputi :[5]

  1. Tangiable, terdiri atas fasilitas fisik, peralatan, personil, dan komunikasi;
  2. Reliable, terdiri dari kemampuan unit pelayanan dalam menciptakan layanan yang dijanjikan dengan tepat;
  3. Responsiveness, kemauan untuk membantu konsumen bertanggung jawab terhadap mutu layanan yang diberikan;
  4. Competence, tuntutan yang dimilikinya, pengetahuan, dan keterampilan yang baik oleh aparatur dalam memberikan layanan;
  5. Courtesey, Sikap atau perilaku ramah tamah, bersahabat, tanggap terhadap keinginan konsumen, serta mau melakukan kontak atau hubungan pribadi;
  6. Credibility, sikap jujur dalam setiap upaya untuk menarik kepercayaan masyarakat;
  7. Security, Jasa pelayanan yang diberikan harus dijamin bebas dari berbagai bahaya dan resiko;
  8. Access, terdapat kemudahan untuk mengadakan kontak dan pendekatan;
  9. Communication, kemauan pemberi layanan untuk mendengarkan suara, keinginan atau aspirasi pelanggan, sekaligus kesediaan untuk selalu menyampaikan informasi baru kepada masyarakat;
  10. Understanding The Customer, Melakukan segala usaha untuk mengetahui kebutuhan pelanggan;

Lembaga Administrasi Negara (1998) membuat beberapa kriteria pelayanan publik yang baik, antara lain meliputi, kesederhanaan, kejelasan dan kepastian, kemauan, keterbukaan, efisiensi, ekonomis, dan keadilan yang merata, ketepatan waktu, serta kriteria kuantitatif. Hatry lebih merinci mengenai prosedur untuk mengukur kualitas pelayanan. Walaupun diakui bahwa untuk melakukan pengukuran kualitas pelayanan banyak dihadapkan kepada banyak masalah dan hambatan (obstacle), terutama berkaitan dengan keyakinan bahwa kualitas pelayanan tidak dapat diukur secara tepat dan reliable.[6] Keyakinan ini tentu saja benar bahwa tidak semua aspek dari kualitas layanan dapat diukur secara lengkap untuk setiap program sebagaimana dapat diukur secara lengkap untuk setiap program sebagaimana apa yang dikemukakan oleh Hatry, “That not all aspects of service quality can be measured perfectly for any programme”,[7] namun demikian terdapat teknik untuk melakukan pengukuran kualitas dari setiap aspek program pelayanan pemerintah. Setidaknya terdapat tiga kunci untuk melakukan pengukuran, yaitu:[8]

  1. How to Measure service quality realibly at specific point in time;
  2. How to determine the extent to which the agency programme has caused the measured service quality (that is, would the result have accured without that agency programme?);
  3. How to assess whether the measured performance is good or bad. This inevitably requires comparison of actual performance with something else.

Dalam penegakan hukum terdapat pergeseran paradigm antara dahulu dan sekarang, yang digambarkan oleh Richard Suaskind dalam bukunya yang berjudul “The Shift in Legal Paradigm“, dengan penjelasan yang sangat rinci sebagai berikut :[9]

 

 

Today’s Legal Paradigm Tomorrow’s Legal Paradigm
No Legal Service No Legal Service
1 Advisory service 1 Information service
2 One to One 2 One to Many
3 Reactive Service 3 Proactive Service
4 Time-Based Billing 4 Commodity Pricing
5 Restrictive 5 Empowering
6 Defensive 6 Pragmatic
7 Legal Focus 7 Business Focus
No Legal Process No Legal Process
1 Legal Problem solving 1 Legal Risk Management
2 Dispute Resolution 2 Dispute Pre-Emotion
3 Publiocation of Law 3 Promulgation of Law
4 Dedicated LEGAL Profession 4 Legal Specialist & Info-Engineers
5 Print-Based 5 IT-Based Legal Systems
Diolah dari figure 8.1 “The Shift in Legal Paradigm
Karya Richard Susskind, 1996.

 

 

 

  1. PENUTUP

Dalam pembangunan hukum yang modern diharapkan mampu mengembangkan penegakan hukum terpadu yang modern yang berbasis pada teknologi informasi. Selain itu dibutuhkan professionalism dalam menjalankan sistem dan subsistem hukum, yakni dengan bekerja secara transparan, akuntabel efektif dan efisien. Peranan Komisi Yudisial dalam menjaga kekuasaan kehakiman meliputi pengusulan dan pengangkatan Hakim Agung, dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Peranan pengusulan dan pengangkatan Hakim Agung meliputi pendaftaran, penseleksian, penetapan dan pengajuan calon Hakim Agung ke Dewan Perwakilan Rakyat. Sedangkan peranan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim adalah pengawasan terhadap perilaku hakim dimana akan menghasilkan dua hal yang berbeda yaitu hal yang negatip berupa pengusulan penjatuhan sanksi, sebaliknya yang positip adalah pengusulan pemberian penghargaan terhadap hakim atas prestasi dan jasanya menegakkan kerhormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Mengingat begitu singkatnya waktu, besarnya beban, dan luasnya cakupan yang diberikan untuk melakukan perannya tersebut diatas diharapkan anggota Komisi Yudisal terdiri dari anggota yang potensial, berkualitas, energik dan berpengalaman. Sehingga anggota Komisi Yudisial dapat menjalankan perannya menjaga kekuasaan kehakiman seperti yang diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945 dan UU nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta, 2005

 

Aidul Fitriciada Azhari, Penafsiran Konstitusi Dan Implikasinya Terhadap Pembentukan Sistem Ketatanegaraan Demokrasi Atau Otokrasi (Studi Tentang Penafsiran UUD NRI 1945 dan Pergulatan Mewujudkan Demokrasi di Indonesia), Disertasi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2005.

 

Arend Lijhpart, Sistem Pemerintahan Parlementer dan Presidensial . Terjemahan oleh R. Ibrahim, dkk, PT. Raja Grafindo Persada, 1995.

 

Asep Warlan Yusuf, Memuliakan Hukum Yang Berkeadilan Dalam Alam Demokrasi Yang berkeadilan, Dalam Butir-Butir Pemikiran Dalam Hukum, memperingati 70 Tahun Prof Dr. Arief Sidharta, SH, PT.Refika Aditama,2008

 

Ateng Syafrudin, Catatan Kecil Tentang Pemerintahan, Pendidikan Dan Hukum, Dalam Butir-Butir Pemikiran Dalam Hukum, memperingati 70 Tahun Prof Dr. Arief Sidharta, SH, PT.Refika Aditama,2008

 

A.S. Hikam, Negara, Masyarakat Sipil dan Gerakan Keagamaan dalam Politik Indonesia, Prisma No 3 Tahun 1991

 

Bagir Manan , Teori dan Politik Konstitusi ,Yogyakarta: FH UII Press, 2003. Hal. 81

 

Bagir Manan, Peranan Pedoman Tingkah Laku Hakim Sebagai Penjaga Kekuasaan kehakiman Yang Merdeka, Disajikan Pada Acara Memperingati hari Jadi IKAHI, di Jakarta, 22 April 2009;

 

Bagir Manan, Sambutan Ketua Mahkamah Agung RI pada Peresmian Pengadilan Tinggi Agama Ternate, 18 April 2006, Dalam Kumpulan Naskah Pidato Ketua Mahkamah Agung RI, Mahkamah Agung RI,2007

 

Bagir Manan, Kedudukan Penegak Hukum Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, Varia Peradilan No. 243 Februari 2006.

 

 

Cornelis Lay, ― Sector Publik , Pelayanan Public dan Governance‖, dalam Terobosan dan Inovasi Manajemen Pelayanan Publik, Fisipol UGM, 2005.

Moh.Mahfud MD., Amandemen Konstitusi Menuju Reformasi Tata Negara Yogyakarta: UII Press,1999.

 

C.A.J.M. Kortman, Constitutioneel Recht, Deventer: Kluwer, 1990.

 

 

Departemen Hukum Tata Negara Universitas Airlangga, Dinamika Perkembangan Hukum Tata Negara dan Hukum Lingkungan, Airlangga University Press, Surabaya.

 

Duto Sosialismanto, Hegemoni Negara, Ekonomi Politik Penguasa Jawa, Lapera Pustaka Utama, Yogyakarta, 2001.

 

 

Djokosetono, Ilmu Negara, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UI, Jakarta , 1984

 

Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1986; Jimly Ashiddiqie, Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Kostitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia, Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta, 1994.

 

Jimly Asshiddiqie, “Struktur Ketatanegraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945”, Makalah disampaikan dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasioanal VIII dengan tema penegakan Hukum dalam Era Pembangunan Berkelanjutan, diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum NASIONAL Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Denpasar.

 

John Alder, Constitutional & Administrative Law, London: Macmillan Profes-sional Masters 1989.

 

J.C.T. Simorangkir, Penetapan UUD Dilihat Dari Segi Hukum Tata Negara Indonesia, Gunung Agung, Jakarta, 1984.

 

  1. Scheltema, De Rechtsstaat, dalam J.W.M. Engels (et.al), 1989, De Rechtsstaat Herdacht, Zwolle:TjeenWillink

 

  1. Tolchah Mansoer , Pembahasan beberapa Aspek Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif di Indonesia, Jakarta : Pradnya Paramita, 1983.

 

Ofer Raban, Modern Legal Theory and Judicial Impartiality, 2003

 

Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.

 

Pergulatan Tanpa Henti Menabur Benif Reformasi (Jakarta: Otoboigrafi , Aksara Karunia ,2004

 

Refly Harun ,dkk Menjaga Denyut Konstitusi: Refleksi Satu Tahun Mahkamah Konstitusi , Jakarta; Konstitusi Pers.

 

Romi Librayanto, 2008, Trias Politica Dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia, PuKAP-Indonesia, Makassar.

 

Richard Susskind, The future of law, facing the challenges of information technology. New Russel.

 

Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD NRI 1945, Cetakan VI, Bandung: Citra Aditya Bakti,1989.

 

Syahran Basah, Fungsi Hukum Dalam Kehidupan Masyarakat, Dalam Tiga Tulisan Tentang Hukum, Amrico, 1986

 

Satjito Raharjo, Membedah Hukum Progresif, Alumni, Bandung, 2008

T.M. Luthfi Yazid, “ Komisi-komisi Nasional dalam Konteks Cita-cita Negara Hukum”, Makalah disampaikan dalam Diskusi Terbatas dengan tema: „Eksistensi Sistem Kelembagaan Negara Pasca Amandemen UUD NRI 1945, diselenggarakan oleh Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, di Hotel Aryaduta, Jakarta, 9 September 2004.

 

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Cet. VI, Penerbit Dian Rakyat, Jakarta, 1989.

 

Yusril Ihza Mahendra, Politik dan Perubahan Tafsir atas Konstitusi, Pidato Pengukuhan Guru Besar Madya Hukum Tata Negara pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, Sabtu 25 April 1998.

 

Laporan Tahunan Mahkamah Agung R.I. periode Tahun 2009.

 

Undang-Undang Dasar 1945 (amandemen);

 

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;

 

Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung R.I. dan Komisi Komisi Yudisial R.I. Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan Nomor : 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang   Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim;

 

Laporan Tahunan Mahkamah Agung R.I. periode Tahun 2009

 

[1] C.A.J.M. Kortman, Constitutioneel Recht, Deventer: Kluwer, 1990. Hal. 51

 

[2] M. Tolchah Mansoer , Pembahasan beberapa Aspek Kekuasaan Eksekutif dan Legislatif di Indonesia, Jakarta : Pradnya Paramita, 1983. Hal. 83

[3] M. Scheltema, De Rechtsstaat, dalam J.W.M. Engels (et.al), 1989, De Rechtsstaat Herdacht, Zwolle:TjeenWillink, Hal.15-17)

[4] AV Dicey, Introduction to the Study of The Law of The Constitution, McMillan and CO, Limited St. Martin Street, London, 1952, Hal. 223

 

[5] Friedrich, Carl Joachim, The Philosopy of Law in Historical Perspective, The University Chicago Press, 1969, Hal 27

[6] Mustamin DG. Matutu. dkk, Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2004, Hal. 47

 

[7] William David Thomas, What is Constitution, Gareth Stevent Publishing, USA, 2008, Hal. 291

[8] Jimly Asshiddiqie, Agenda Pembangunan Hukum di Abad Globalisasi, Balai Pustaka, Jakarta, 1997. Hal 74

 

[9] Richard Suaskind, The Shift in Legal Paradigm, 1997

Continue Reading

MEWUJUDKAN ETIKA PANCASILA

Etika dalam Penyelenggaraan Negara menjadi sangat penting mengingat kondisi bangsa saat ini. Lemahnya Etika Penyelenggara Negara menjadi pintu masuk terhadap penyelenggaraan pemerintahan koruptif yang jauh dari prinsip good governance dan clean governance. Guna membendung perilaku yang demikian, maka diperlukan pola pikir dan cara pandang yang professional serta kesadaran untuk merubah menuju pengembangan praktik governance yang baik yang dilandasi oleh kesadaran akan nilai-nilai moral dan etika birokrasi yang berorientasi pada kepentingan publik.

 

Untuk mewujudkan Etika Penyelenggara Negara yang berintegritas selain melalui pembangunan mental manusianya juga dapat dibangun melalui sistem penegakan etika penyelenggara Negara, untuk itu diperlukan penajaman kembali terhadap beberapa perdebatan baik yang berkenaan dengan makna dan ruang lingkup cakupan pengertian penyelenggara Negara, lembaga yang memiliki otoritas menegakkan kode etik, serta harmonisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur etika penyelenggara Negara lintas sektoral.

 

Selain itu perlu memberikan pemahaman terhadap segenap Penyelenggara Negara bahwa dalam penyelenggaran pemerintahan selain harus berdasar pada the Rule of Law, tidak kalah pentingnya juga memperhatikan the Rule of Ethics.  Dalam konsepsi The Rule of Law tercakup pengertian tentang kode hukum (code of law) atau kitab Undang-Undang (book of law) yang menjadi landasan dalam penyelenggaraan birokrasi pemerintahan, sedangkan dalam konsepsi The Rule of Ethics tercakup pengertian kode etik (code of ethics) atau kode perilaku (code of conduct) yang juga harus sejalan dengan pemahaman the Rule of Law.

 

Untuk itu sangat penting sekali bagi Pemegang Jabatan dalam Pemerintahan untuk merefleksikan kembali semangat ‘the rule of law and ethics, not of man’, yakni hukum dan etika sebagai suatu sistem, bukan orang per orang (jabatan atau penjabat) yang mengaturnya. Sehingga apabila hukum dan etika dijadikan ukuran dan pijakan dalam setiap pelaksanaan kewenangan dalam Pemerintahan, maka akan sangat kecil kemungkinan terjadinya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam penyelenggaran Pemerintahan.

 

Dalam perspektif Negara hukum Pancasila, maka harus dipahami pula bahwa pancasila bukan hanya merupakan sumber hukum (source of law), akan tetapi Pancasila juga sebagai sumber etika (source of ethics).  Kedua perspektif hukum dan etika ini harus dijadikan sumber referensi normative dan operasional dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

 

Sehingga Pancasila yang mengandung nilai-nilai universal inklusif tersebut dapat mempersatukan kita semua sebagai bangsa dalam satu kesatuan system ideologi, falsafah, kehidupan berbangsa dan bernegara dalam usaha membangun demokrasi yang ditopang oleh semangat the rule of law and rule of ethics secara berkesinambungan.

 

Dengan adanya kesadaran akan norma hukum dan norma etika penyelenggara Negara yang tercermin melalui sikap, perilaku, tindakan dan ucapan yang etis, maka akan menghasilkan penyelenggara negara yang amanah, disiplin, teladan dan berakhlak mulia sesuai dengan cita-cita Bangsa.

Continue Reading

IRONI JUAL BELI WTP

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada hari Jumat 26 Mei 2017 terhadap Pejabat Eselon I BPK Rochmadi Saptogiri dan Auditor BPK Ali Sadli, serta terhadap Irjen Kemendes Sugito dan pejabat eselon III Kemendes Jarot Budi Prabowo. Keempat orang tersebut kemudian ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan dengan dugaan tindak pidana suap terkait pemberian predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) kepada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).

 

Kejadian tersebut tentu sangat memilukan, mengingat apabila melihat falsafah dan tujuan dari pemberian Opini oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah merupakan bagian dari pengimplementasian prinsip Good Governance dan Clean Governance dalam pelaporan keuangan baik oleh Lembaga Pemerintahan baik yang di Pusat maupun di Daerah sebagaimana diamanatkan dalam Paket Undang-Undang tentang Pengelolaan Keuangan Negara serta Undang-Undang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi dan Nepotisme. Sehingga tidak salah apabila Presiden Jokowi dalam beberapa kesempatan yang lalu menegur serta mengingatkan terhadap beberapa Kementerian atau Lembaga yang masih mendapat Opini Disclaimer dan Wajar Dengan Pengecualian (WDP), agar supaya pada laporan keuangan selanjutnya harus memperoleh status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK.

 

Eksistensi WPT

 

Dalam praktek di lapangan, tidak jarang Kementerian atau Lembaga baik yang ada di Pusat ataupun didaerah berlomba-lomba guna mendapatkan status Laporan Keuangan dengan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK. Hal itu tentu bukan tanpa sebab, mengingat dengan status laporan Keuangan yang WTP tersebut setidaknya akan berpengaruh terhadap eksistensi Kementerian atau Lembaga baik dari perspektif politik, hukum atau bahkan ekonomi.

 

Dalam perspektif Politik misalnya, predikat Laporan Keuangan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) akan berpengaruh terhadap pencitraan Kementerian atau Lembaga dalam usaha menjalankan wewenang dan tanggung jawabnya. Selain itu dengan diperolehnya status Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) maka Kementerian atau Lembaga tertentu tersebut seakan-akan telah menjalankan prinsip pengendalian dan pelaporan keuangan yang sesuai dengan standart kewajaran dan tata kelola akuntansi yang baik. Dengan predikat itulah Pejabat tersebut akan menggunakan penilaian WTP sebagai dasar atas keberhasilannya dalam menjalankan roda pemerintahan, sehingga pada akhirnya diharapkan publik atau atasannya akan tetap memberikan kepercayaan kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan.

 

Kemudian dalam perspektif hukum, tidak jarang predikat Laporan Keuangan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dijadikan dasar oleh Kementerian atau Lembaga sebagai bagian dari pelaksanaan penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) pada institusi yang dipimpinnya. Meskipun bukan merupakan dasar utama dari kementerian atau Lembaga yang mendapatkan opini WTP, akan tetapi hal tersebut tetap saja dapat digunakan sebagai acuan utamanya bagi Kementerian atau Lembaga untuk menyatakan kepada publik bahwa seakan-akan lembaga yang dipimpinnya telah menjalankan prinsip Good Governance dan Clean Governance. Sehingga bukan tanpa sebab apabila status WTP berpeluang hanya dijadikan kedok atau topeng guna menutupi kebobrokan birokrasi dalam menjalankan lembaga yang dipimpinnya.

 

Selain perspektif politik dan hukum seperti yang telah diurai diatas, juga terdapat keuntungan secara ekonomi bagi Lembaga yang mendapat predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) Wajar Tanpa Pengecualian (WTP). Hal itu seperti yang dijanjikan oleh Pemerintah melalui Kementerian Keuangan, terhadap Pemerintah daerah yang telah memenuhi kriteria utama dan memiliki kinerja baik akan mendapatkan dana insentif daerah pada tahun 2017 yang dialokasikan sebesar Rp7,5 triliun. Adapun yang dimaksud Kriteria utama itu adalah pemerintah daerah tersebut telah mendapatkan opini WTP atau WDP dari BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) dan telah menetapkan Perda APBD dengan tepat waktu. Untuk itulah predikat Laporan Keuangan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) menjadi semakin seksi dan semakin diperebutkan oleh Kementerian dan Lembaga baik yang berada di Pusat maupun didaerah.

 

Perbaikan Sistem

 

Terhadap urgenitas predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) bagi Kementerian atau Lembaga baik dalam perspektif politik, hukum atau bahkan ekonomi seperti yang telah diurai diatas, maka perlu kiranya adanya perbaikan sistem secara keseluruhan dalam upaya mengurangi potensi koruptif oleh oknum BPK dalam upaya pemberian opini penilaian laporan keuangan oleh BPK. Terhadap upaya pencegahan itulah setidaknya menurut penulis terdapat 3 (tiga) hal yang harus diperhatikan, diantaranya:

 

Pertama, membumikan kembali pengawasan melekat (Waskat), yakni pengawasan yang dilakukan oleh setiap pimpinan terhadap bawahan dalam lingkungan satuan kerja yang dipimpinnya. Hal ini menjadi sangat penting mengingat salah satu kegiatan pengawasan merupakan tugas dan tanggung jawab setiap pimpinan dalam struktur organisasi Kementerian atau Lembaga. Pimpinan dalam pelaksanaan pengawasan melekat diharapkan sebagai pendidik terhadap anak buahnya, sehingga fungsi pengawasan melekat pimpinan pada bawahan atau yang dipimpinnya memiliki unsur pendidikan pula, yaitu dalam bentuk pembinaan kepala suatu unit organisasi terhadap anak buahnya.

 

Kedua, mengutamakan prinsip-prinsip etika dalam penyelenggaraan fungsi dan kewenangan Penyelenggara Negara. Etika penyelenggara negara merupakan salah satu wujud kontrol terhadap Pejabat Publik dalam melaksanakan apa yang menjadi tugas pokok, fungsi dan kewenangannya. Jika Penyelenggara negara menginginkan sikap, tindakan dan prilakunya dikatakan baik, maka dalam menjalankan tugas pokok, fungsi, dan kewenangannya harus menyandarkan pada etika Penyelenggara Negara. Etika Penyelenggara Negara disamping digunakan sebagai pedoman, acuan, dan referensi Pejabat Publik dapat pula digunakan sebagai standar untuk menilai apakah sikap, prilaku, dan kebijakannya dapat dikatakan baik atau buruk beserta sanksi terhadap pelanggaran etika dalam menjalan fungsi dan kewenangannya.

 

Ketiga, perlu penyamaan tentang standart baku dalam penyelenggaraan fungsi dan kewenangan Penyelengara Negara. Standart baku merupakan salah satu bagian terpenting dalam upaya mencapai tujuan organisasi, baik organisasi swasta, maupun pemerintahan. Dengan adanya standart baku yang berkualitas, maka dipastikan seluruh kegiatan akan kecil kemungkinan terjadi kesalahan ataupun kekeliruan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya apapun dan siapapun orangnya. Dengan adanya standart yang jelas maka proses penyelenggaraan pemerintah menjadi lebih efektif dan efisien serta mengurangi terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi yang diembannya.

 

Tiga cara dalam upaya mengurangi potensi koruptif dalam pemberian opini penilaian laporan keuangan oleh BPK sebagai diurai diatas, merupakan satu kesatuan dan tidak dapat terpisahkan satu sama lainnya. Namun tentunya cara-cara tersebut bukan merupakan sebuah jaminan dalam upaya mengurangi atau mencegah terjadinya koruptif dalam pemberian predikat Laporan Keuangan Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) oleh BPK. Pada akhirnya tentu akan tetap bergantung pada integritas, kemauan dan kesungguhan pejabat yang memiliki wewenang memeriksa dan menerbitkan opini laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan.

 

Namun yang pasti semoga kedepan koruptif dalam hal penilaian laporan keuangan oleh BPK dapat benar-benar terhindarkan. Sehingga opini yang diberikan oleh Badan Pemeriksa Keuangan benar-benar dapat menyajikan laporan keuangan dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai profesionalisme dan prinsip-prinsip kewajaran sesuai dengan  standar akuntansi pemerintahan. Sehingga peristiwa jual beli WTP seperti yang terjadi pada masa sebelumnya benar-benar merupakan peristiwa terakhir dan tidak terulang kembali dilain kesempatan.

Link : IRONI JUAL BELI WTP

Continue Reading

PROSPEK PEMBUBARAN ORMAS

Kementerian Hukum dan HAM telah mencabut badan hukum Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai salah satu bentuk implementasi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pertimbangannya, selama ini (UU) Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan belum mengatur secara komprehensif ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45, sehingga terjadi kekosongan hukum dalam penerapan sanksi.

Apabila dikaji secara saksama, perbedaan fundamental antara UU No 17 Tahun 2013 dan Perppu No 2 Tahun 2017 setidaknya terdapat tiga hal. Pertama berkaitan dengan penjatuhan sanksi administratif dan/atau pidana kepada ormas pelangar. Melalui Perppu No 2 Tahun 2017, pemerintah mengubah secara mendasar sanksi ormas. Sebelumnya, menurut UU No 17 Tahun 2013, sanksi administratif hanya dapat dilakukan setelah upaya-upaya persuasif.

Akan tetapi, melalui Perppu No 2 Tahun 2017, pemerintah dapat memilih berdasarkan pertimbangan objektif diberi sanksi administratif atau pidana ataupun kedua-duanya kepada ormas pelanggar. Kedua, berhubungan dengan maksud dan penjabaran sanksi administratif. Dalam UU No 17 Tahun 2013 sanksi administratif terdiri atas peringatan tertulis, penghentian bantuan dan/atau hibah. Kemudian, penghentian sementara kegiatan dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.

Adapun dalam Perppu No 2 Tahun 2017 sanksi administratif hanya peringatan tertulis, penghentian kegiatan dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum. Dalam mekanismenya pun Perppu No 2 Tahun 2017 tidak terlalu rumit dan berjenjang seperti UU No 17 Tahun 2013. Contoh dalam Perppu No 2 Tahun 2017 peringatan tertulis hanya satu kali dalam waktu tujuh hari sejak tanggal diterbitkan.

Sementara itu, dalam UU No 17 Tahun 2013 peringatan tertulis terdiri sampai tiga kali. Selain itu, dalam UU No 17 tahun 2013 sebelum dicabut surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum masih dilakukan upaya-upaya berupa penghentian bantuan dan penghentian sementara kegiatan. Itu pun masih harus minta pertimbangan hukum Mahkamah Agung.

Perbedaan ketiga, sekaligus merupakan bagian yang sangat penting berkaitan dengan pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum ormas. UU No 17 Tahun 2013 mengatur berjenjang mekanisme dan tata cara pembubaran ormas, antaranya didahului peringatan tertulis kesatu, kedua, dan ketiga. Kemudian, penghentian bantuan, penghentian sementara kegiatan, baru dimohonkan pembubaran ke pengadilan negeri oleh kejaksaan atas permintaan tertulis menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan bidang hukum dan hak asasi manusia. Metode ini sering dikenal dengan istilah court decision system.

Ini sangat jauh berbeda dengan pengaturan pembubaran ormas dalam Perppu No 2 Tahun 2017, di antaranya tanpa pertimbangan Mahkamah Agung, juga tanpa didului permohonan pembubaran ormas ke pengadilan. Setelah menjatuhkan sanksi penghentian kegiatan ormas menteri hukum dapat langsung mencabut surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum ormas bersangkutan (executive decision system).

Pembubaran ormas baik melalui metode pertama atau kedua sama-sama dapat dibenarkan. Court decision system bagian dari konsep pemisahan kekuasaan yang dimungkinkan adanya pengawasan kekuasaan lainnya sehingga saling mengimbangi dalam kesetaraan dan kesederajatan, sedangkan metode Executive decision system bagian pelaksanaan fungsi evaluatif keputusan jika kelak ditemukan kesalahan atau bahkan terdapat perubahan-perubahan yang mengakibatkan tidak terpenuhinya syarat mutlak yang wajib dipenuhi suatu ormas.

Dalam hukum administrasi negara istilah yang demikian sering dikenal dengan spontane vernietiging atau pembatalan spontan. Untuk itu, penerbit keputusan atau menteri hukum dapat membatalkan atau mencabut keputusan yang telah dikeluarkannya atas inisiatif sendiri dengan atau tanpa putusan pengadilan, apabila telah dianggap cacat formal maupun materiil.

Tantangan

Seberapa rigid dan ketatnya pengaturan mekanisme dan tata cara pembuaran ormas sebagaimana telah tertuang dalam Perppu No 2 Tahun 2017, tentu pemerintah harus memperhatikan beberapa aspek guna menghindari tuntutan hukum.

Ralph W Jackson dkk, dalam analisisnya “The Dissolution of Ethical Decision-Making in Organizations” menentukan kriteria etis pembubaran ormas (A Comprehensive Review and Model There are three major sets of factors that are related to the dissolution of ethics in an organization. They are: Individual Factors, Organizational Factors, and Contextual Factors).

Tiga faktor tersebut merupakan satu kesatuan tak terpisahkan. Ini sejauh mana, baik tindakan, program, haluan, maupun kegiatan ormas tersebut bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 sehingga dapat dibubarkan.

Selain itu, yang tak kalah pentingnya berkaitan dengan peluang adanya gugatan. Pemerintah harus secara cermat menyusun argumentasi beserta bukti-bukti kuat terhadap dugaan adanya ormas yang tindakan, program, haluan dan kegiatannya bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45. Sehingga Hakim dapat secara leluasa memperkuat dasar dan pertimbangan Pemerintah.

Tantangan lainnya berkaitan dengan kemungkinan tidak disetujuinya Perppu No 2 Tahun 2017 oleh DPR. Apabila tidak disetujui, Perppu harus dicabut dan secara otomatis tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Selain itu perlu diantisipasi kemungkinan judicial review ke Mahkamah Konstitusi.

Semoga dengan adanya upaya rigid dan kontekstual pemerintah dalam upaya mengatur dan membendung ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45 semoga ormas yang berpotensi atau telah mengajarkan ateisme, komunisme/marxisme-leninisme, atau paham lain untuk mengubah Pancasila dan UUD 45 serta mengancam kedaulatan dan eksistensi NKRI dapat diantisipasi. Ini tentunya tidak hanya melalui pembubaran ormas, akan tetapi juga melalui upaya-upaya preventif, di antaranya penguatan kesadaran berbangsa dan bernegara seutuhnya sesuai dengan prinsip dan nilai Pancasila serta UUD 45.

Link : PROSPEK PEMBUBARAN ORMAS

Continue Reading

AKUNTABILITAS DANA BANTUAN PARPOL

Pembahasan mengenai kenaikan dana bantuan bagi Partai Politik kembali mengemuka. Melalui Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan dana bantuan parpol diusahakan agar dinaikkan dan segera dibahas dalam RAPBN 2017. Tjahjo beralasan bahwa selama ini dana bantuan untuk partai politik tidak mengalami kenaikan selama 10 tahun terakhir.

 

Apabila kita lihat pada masa 2 kali periode Pemilu baik pada tahun 2009 maupun tahun 2014, pemberian dana bantuan kepada Parpol mengacu kepada Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 212 Tahun 2010 tentang Pemberian Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik adalah ditetapkan bahwa setiap partai politik mendapatkan bantuan negara sebesar Rp 108,- untuk setiap suara.

 

Sehingga dalam periode pemilu pada tahun 2014 jumlah bantuan keuangan untuk partai politik yang bersumber dari APBN berdasarkan perolehan suara DPR-RI pada Pemilu 2014 adalah mencapai Rp. 12.258.155.844, dengan rincian PDI-P Rp. 2.557.598.868, Golkar Rp. 1.990.689.696, Gerindra Rp. 1.594.120.068, Demokrat Rp. 1.375.802.604, PKB Rp. 1.220.071.356, PAN Rp. 1.024.015.068, Nasdem Rp. 907.503.696, PPP Rp. 881.008.704 dan Hanura Rp. 707.345.784,-. Sedangkan untuk DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota juga diberikan bantuan keuangan yang bersumber dari APBD sesuai jumlah perolehan suara sah pada tiap Provinsi dan Kabupaten Kota.

 

Terhadap besaran bantuan dana parpol tersebut, muncul berbagai tanggapan publik, ada yang menyatakan masih terlalu kecil, cukup atau bahkan sangat terlalu besar. Namun menurut pandangan penulis terhadap besaran dana bantuan parpol dari Negara sebagaimana ditetapkan sebesar Rp 108,- untuk setiap suara adalah masih sangat terlalu kecil, hal itu mengingat dari perspektif infrastruktur dan suprastruktur politik yang harus dipersiapkan dan dikeluarkan oleh Parpol sangat begitu besar guna menjalankan fungsinya baik sebagai sarana komunikasi politik, sosialisasi politik, rekruitmen politik dan pengatur konflik di masyarakat.

 

Partai politik sebagai bagian dari pilar utama demokratisasi, sejatinya dapat dengan optimal menjalankan fungsinya dengan atau tanpa terlalu dibebani berkaitan dengan cost politik. Hal itu menjadi penting agar proses politik dapat berjalan dengan fairness yang pada akhirnya dapat menjaring wakil-wakil berkualitas yang secara infrastruktur dan suprastruktur politik belum atau tidak memadai. Sehingga dengan demikian wacana kenaikan dana bantuan parpol menjadi sebesar Rp. 1000,- untuk setiap suara bukanlah sesuatu yang perlu dipersoalkan, asal dapat menjamin peningkatan kualitas demokratisasi baik di pusat maupun di daerah.

 

Independensi Parpol

 

Dalam beberapa Negara yang menganut sistem demokrasi modern, pemberian bantuan dana bagi parpol bukanlah sesuatu yang dinggap sakral. Di Inggris, Italia, dan Australia misalnya, Pemerintah rela memberikan 30% dana bantuan dari pengeluaran bagi partai politik. Sedangkan di Perancis, Denmark, dan Jepang Pemerintah memberikan 50% bantuan pendanaan Parpol dari pengeluaran negara. Jauh daripada itu Meksiko malah memberikan 70% dana bantuan dari seluruh pengeluaran partai. Bahkan di Uzbekistan 100% pengeluaran partai seluruhnya ditanggung pemerintah.

 

Apapun yang menjadi tujuan pemberian bantuan dana dari Negara bagi parpol salah satunya untuk menjamin terselenggaranya proses demokratisasi yang transparan dan akuntabel sehingga kualitas demokratisasi dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Bantuan dana parpol dari negara kepada partai politik akan lebih mudah dimintai pertanggungjawabannya. Hal itu mengingat dalam setiap Negara-negara modern maupun Negara-negara yang berkembang saat ini sepenuhnya menyadari akan adanya pengendalian dan pembatasan pemberian sumbangan dari individu maupun korporasi untuk menghindari adanya conflict of interests (konflik kepentingan) yang mungkin akan terjadi pada saat menjabat dalam suatu jabatan tertentu dengan berbagai macam alasan utamanya berkaitan dengan balas jasa/budi yang dapat mengurangi independensi lembaga yang dipimpinnya.

 

Sangat disadari dewasa ini korporasi memiliki peranan yang sangat penting terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara. Bahkan, dalam beberapa aspek peranan korporasi melebihi peran dan pengaruh suatu Negara. Dalam tataran praktek misalnya, korporasi sebagai bagian dari subjek hukum seringkali turut andil dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan. Hal itu dapat terlihat dari aspek kebijakan-kebijakan Pemerintah yang kadangkala memberikan ruang yang cukup luas dan menguntungkan bagi kalangan tertentu bagi korporasi yang sangat dekat dengan Pemerintahan.

 

Kejadian yang demikian lebih banyak disebabkan oleh adanya sumbangan yang bersifat tidak mengikat kepada oknum Pejabat Publik maupun bagi Parpol pada saat sebelum atau akan proses rekrutment serta pemilihan dalam jabatan Pemerintahan, sehingga pada saat terpilih sebagai pejabat yang memegang kendali tugas, wewenang serta kebijakan-kebijakan yang strategis, maka dengan sendirinya dapat dikendalikan oleh kalangan swasta atau korporasi.

 

Dalam era persaingan globalisasi yang semakin pesat, peran korporasi semakin tidak terelakkan, sehingga jangkauan korporasi tidak hanya masyarakat sebagai objek dari pencari keuntungan dari korporasi, akan tetapi juga sudah menjalar kepada tingkatan Negara dan pemerintahan untuk dapat menguasai pasar serta kebijakan-kebijakan strategis yang menguntungkan pribadi dan golongan.  Kondisi yang demikian tentu akan berdampak negatif bagi perkembangan bernegara. Mengingat indepedensi terhadap produk-produk kebijakan yang dihasilkan cenderung akan memihak sehingga tidak berdasarkan pada tujuan yang benar, melainkan tujuannya untuk menguntungkan segelintir oknum yang merupakan bagian dari korporasi.

 

Guna menekan angka yang demikian maka indepensi parpol sangat penting sekali, salah satunya adalah dengan pemberian bantuan dana yang signifikan dari pemerintah, sehingga parpol sebagai ujung tombak demokratisasi dalam menjalankan pemerintahan dapat secara independen, akuntabel dan dapat diandalkan, bukan malah merupakan bagian dari wakil para investor-investor swasta (korporasi) yang mendanai parpol yang bersangkutan.

 

Pertanggungjawaban

 

Kenaikan pemberian bantuan dana parpol dari pemerintah tentu bukan hanya mempertimbangkan aspek independensi parpol, akan tetapi juga harus mempertimbangkan aspek pertangungjawaban keuangan yang transparan dan akuntabel yang tidak hanya dapat diaudit lembaga internal akan tetapi juga dapat dilakukan auditor atau lembaga resmi ekternal dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan, selain itu Parpol juga harus mengumumkan secara resmi dan berkala berkaitan laporan keuangan yang telah terima beserta penggunaannya, sehingga publik benar-benar dapat mengetahui dan mengawasi realisasi bantuan dana parpol yang telah disalurkan oleh Negara.

 

Apabila melihat dengan seksama, saat ini laporan keuangan parpol masih sangat tertutup, padahal baik UU Parpol maupun Permendagri Nomor 77 tahun 2014 beserta perubahannya Permendagri Nomor 6 Tahun 2017, telah mewajibkan partai politik untuk membuat laporan keuangan dengan rincian laporan realisasi anggaran politik, laporan neraca, dan laporan arus kas beserta realisasinya. Namun dalam prakteknya laporan keuangan tersebut hanya dibuat oleh akuntan yang ditunjuk sendiri oleh partai politik. Masyarakat hanya bisa mendapatkan rangkuman audit tanpa mengetahu secara pasti kebenaran laporan yang dibuat oleh Parpol yang bersangkutan.

 

Untuk itu selain diperlukan peningkatan bantuan dana parpol dari pemerintah guna mengoptimalisasikan peran dan fungsi parpol di masyarakat, juga diperlukan peningkatan akuntabilitas laporan keuangan dana Parpol, yang tidak hanya diaudit oleh lembaga internal yang ditunjuk oleh parpol yang bersangkutan akan tetapi juga dapat dilakukan audit oleh lembaga eksternal dalam hal ini BPK, selain itu juga perlu diumumkan kepada publik, sehingga publik dapat mengakses secara transparan berkenaan dengan penggunaan dana parpol sesuai dengan rencana kerja dan platform partai yang telah ditetapkan.

 

Link : AKUNTABILITAS DANA BANTUAN PARPOL

Continue Reading

IRONI PERSEKUSI

SEJALAN dengan kemajuan teknologi dan perkembangan zaman, persekusi tak hanya dapat dilakukan di dunia nyata. Perbuatan itu kini bisa dilakukan kapanpun dan oleh siapapun di dunia maya melalui media sosial. Karena itu tindakan persekusi telah terjadi dimana-mana. Meski begitu, dilihat dari perspektif hukum perbuatan itu belum memadai untuk ditindak.

Apalagi, tindakan persekusi banyak yang tidak dilaporkan kepada kepolisian. Hal itu dikarenakan belum banyak yang memahami tentang pasal-pasal dalam perundangan yang dapat menjerat seseorang pelaku persekusi. Persekusi berasal dari bahasa Inggris, persecution yang berarti penganiayaan.

Namun dalam perkembangannya, persekusi mengalami perkembangan signifikan, dimana makna dan cakupannya tak terbatas lagi pada makna dan arti penganiayaan yang dapat menimbulkan kelukaan secara nyata.

Dalam Statuta Roma Mahkamah Pidana Internasional pergeseran makna persekusi diartikan sebagai salah satu jenis kejahatan kemanusiaan yang dilakukan secara sewenang-wenang yang dapat menimbulkan penderitaan, menimbulkan pelecehan, terjadi penahanan, serta menimbulkan ketakutan bagi seseorang yang dijadikan target persekusi.

Dalam KUHP kita, banyak dipahami masyarakat awam bahwa tindak pidana penganiayaan hanya terbatas pada perbuatan yang sengaja dan menyebabkan perasaan tidak enak (penderitaan), rasa sakit yang disebabkan luka fisik sebagaimana diatur dalam pasal 352 (penganiayaan ringan) dan pasal 354 KUHP(penganiayaan berat).

Namun perlu dipahami, terhadap perbuatan atau tindakan berupa ancaman, pemerasan atau bahkan pengeroyokan yang tergolong tindakan persekusi tentu dapat dikenakan seperti bunyi KUHP pasal 368, yakni pengancaman, pasal 351 penganiayaan dan pasal 170 pengeroyokan.

Dengan demikian tidak hanya tindakan penganiayaan saja yang dapat diancam pidana, tapi juga terhadap tindakan dan perbuatan persekusi.

Tindakan persekusi banyak terjadi akibat kesewenang-wenangan dengan menggunakan atas nama kekuatan dan kekuasaan dengan cara main hakim sendiri baik oleh seseorang maupun sekelompok orang maupun sebuah organisasi kemasyarakatan.

Tindakan semacam ini tentu meresahkan masyarakat, dimana pada akhirnya masyarakat berpikir bahwa institusi hukum sudah tidak berdaya lagi atas kekuatan dan kekuasaan orang per orang maupun organisasi tertentu yang secara kewenangan tidak sah dan secara hukum dilarang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.

Persekusi bukan hanya melanggar hukum, tetapi juga telah menafikan tegaknya HAM yang secara konstitusional telah menjamin, menghormati, menjunjung tinggi dan melindungi HAM. Tidak hanya bagi orang perorang ataupun kelompok tertentu, akan tetapi bagi segenap rakyat Indonesia berhak atas perlindungan hukum yang sama.

Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh Franklin D Roosevolt (1941) dalam The Four of Freedom, di antaranya setiap manusia memiliki kebebasan berbicara (the freedom of speech), kebebasan beragama (the freedom of religion), kebebasan dari kemiskinan (the freedom from want), dan kebebasan dari rasa takut (the freedom of fear).

Ketegasan Polri

Oleh karena itu diperlukan ketegasan Polri agar lebih responsif untuk dapat mengusut dengan tuntas dan tegas terhadap keseluruhan sikap dan perbuatan yang mengarah kepada tindakan persekusi.

Bagi pihak-pihak yang merasakan adanya tindakan yang mengarah kepada tindakan bersifat persekusi untuk tidak segan melaporkan kepada kepolisian setempat.

Adanya sinergitas antara aparat penegak hukum dengan pihak-pihak yang dirugikan tindakan persekusi, diharapkan makin membudayakan masyarakat sadar hukum, sehingga segala apapun seharusnya dapat diselesaikan melalui jalur hukum yang ada, tidak dengan main hakim sendiri.

Selain itu juga diharapkan ada sosialisasi dan pencegahan terhadap segala kemungkinan berkembangnya gejala persekusi di Indonesia.

Untuk itu tidak hanya penindakan, melainkan juga upaya-upaya preventif juga perlu digalakkan. Tidak hanya oleh pemerintah, tapi oleh semua kalangan untuk bersama-sama melawan tindakan persekusi yang mengancam tegaknya negara hukum dan keutuhan NKRI.

 

Link : IRONI PERSEKUSI

Continue Reading

POLEMIK AMBANG BATAS SUARA DALAM SENGKETA PILKADA

JAKARTA, GRESNEWS.COM — Sejumlah pihak mempersoalkan ketentuan ambang batas suara dalam pengajuan sengketa pemilihan kepala daerah (Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi. Sebab adanya ketentuan itu gugatan perkara Penyelesaian Hasil Pilkada (PHP) di MK kerap digugurkan dari persoalan yang tak substantif dan hanya secara prosedural.

“Penting bagi MK untuk mempertimbangkan keadilan substantif, bukan semata keadilan prosedural,” kata kandidat doktor Hukum Tata Negara UI, Saiful Anam kepada gresnews.com, Selasa (21/2).

Saiful mengungkapkan, di dalam putusan PHP terdahulu, MK selalu mempertimbangkan keadilan substantif. Namun hal tersebut tidak lagi berlaku pada putusan PHP yang dikeluarkan MK pada tahun 2015 lalu. Alasannya, kata Saiful, MK menilai persoalan Pilkada tidak sama dengan Pemilu. Dalam sengketa hasil Pemilu, MK bisa memeriksa hasil suara jika disinyalir ada kecurangan yang dilakukan secara Terstruktur, Sistematis, dan Massif (TSM). Sementara dalam konteks sengketa Pilkada, ada aturan ketat bahwa MK baru bisa memeriksa dan memutus perkara yang dimohonkan jika selisih suara hasil Pilkada tersebut sesuai ambang batas. Saiful pun menilai hal tersebut sebagai suatu kemunduran.

“Sudah tidak ada lagi pertimbangan mengenai kecurangan yang dilakukan secara TSM. Jelas itu merupakan kemunduran. Jika bukan ke MK, ke mana lagi orang-orang yang dirugikan oleh hasil Pilkada akan mencari keadilan?” papar Saiful.

Saiful pun menyayangkan bahwa dalam beberapa perkara, ada sejumlah kasus yang sudah dinyatakan terjadi pelanggaran oleh DKPP, tapi saat perkara tersebut dibawa ke MK, MK menolak. “Ini ngeri. Keadilan prosedural lebih diutamakan ketimbang keadilan substansif,” pungkasnya.

Senada dengan Saiful, beberapa waktu lalu, Ketua DKPP sekaligus Mantan Hakim konstitusi Jimly Assiddiqie juga menyampaikan kekecewaannya terkait ketentuan ambang batas suara. Menurut Jimly, persoalan ambang batas suara sebaiknya ditiadakan. Alasannya, kedatangan orang-orang ke lembaga peradilan—dalam hal ini ke MK—haruslah dilihat sebagai upaya kanalisasi mencari penyaluran atas kekecewaan dan ketidakpuasan mereka terhadap hasil Pilkada.

“Jadi jangan ditutup oleh pembatasan itu. Biar nanti ada proses pembuktian sehingga jika ada pihak yang tidak bisa membuktikan bagaimana dia menang, ya harus dikalahkan (oleh MK-red). Begitu juga sebaliknya. Jika dia bisa membuktikan bahwa dia menang, ya dimenangkan,” kata Jimly.

Jimly menambahkan, aturan soal ambang batas suara memang dibuat dengan landasan bahwa pembuktian menang-kalahnya calon pasangan tertentu akan lebih mudah dilakukan jika selisih suaranya tidak terpaut begitu jauh. Namun demikian, kata Jimly, biarlah persoalan kalah-menang itu dibuktikan lebih lanjut di persidangan. Bagaimanapun, MK harus mampu menampung kekecewaan publik.

“Orang-orang itu kan ingin mengeluhkan keluh kesahnya. Ada yang berlebihan. Ada yang tidak punya bukti dan hanya ingin marah saja. Daripada dibiarkan meledak-ledak sehingga membakar kantor KPUD seperti di Intan Jaya, lebih baik ditangani. Sehingga tidak perlu ada pembatasan begini” papar Jimly.

Untuk diketahui, sepanjang MK menggelar sidang PHP dengan agenda mendengar keterangan termohon, nyaris seluruh termohon menyasar legal standing para pemohon agar MK menolak permohonan mereka. Dan hal yang kerap jadi sasaran empuk atas hal tersebut adalah ketentuan ambang batas suara.

“Selisih kami 12,3%. Dengan jumlah penduduk 100.993 jiwa, pasangan calon kepala daerah Kabupaten Mappi sebetulnya hanya bisa mengajukan permohonan dengan selisih suara sebesar 2%,” papar Efrem Fangohoy, Kuasa Hukum pasangan calon kepala daerah kabupaten Mappi, Papua Barat, Jumame-Yermogoin, kepada gresnews.com, Senin (20/3) lalu.

Efrem menyebut bahwa pihaknya sengaja datang ke MK demi memperjuangkan keadilan. Pun, di saat bersamaan pihaknya sadar bahwa secara prosedural perkara yang dimohonkan ke MK tidak memenuhi ketentuan ambang batas.

“Itu bukan soal bagi kami. Yang penting, kami sampaikan dulu ke MK bahwa ada pelanggaran TSM di Mappi. Siapa pun tidak akan menang kalau belum apa-apa sudah dicurangi,” sambungnya.

Terlepas dari soal kerugian-kerugian yang didapat peserta Pilkada lantaran ketentuan ambang batas, Jimly juga menyebut bahwa terkait hal tersebut MK tidak bisa sepenuhnya disalahkan. Alasannya, aturan mengenai hal tersebut sudah lebih dulu diatur di dalam Pasal 158 UU Pilkada.

“Ketentuannya memang sudah dimulai oleh Undang-undang. Meskipun oleh MK lebih dibatasi lagi,” katanya. Karena itulah Jimly berharap, UU Pilkada segera kembali direvisi. Menurutnya, hal itu penting dilakukan agar MK bisa menyesuaikan diri dengan proses demokrasi yang terus berkembang, juga dengan persoalan faktual negeri ini.

“Nanti kalimat di UU tinggal diubah saja. Diganti. Karena, kalau Pilkada bukan Pemilu, berarti penyelenggaranya juga bukan KPU. Harus bikin lembaga baru lagi. Dan itu gak efisien,” pungkasnya.

Hal demikian juga disampaikan juru bicara MK Fajar Nugroho. Terlepas dari putusan hakim nanti, menurutnya, jika saat ini ada pihak-pihak yang mengharapkan MK tidak terlalu berpaku pada ketentuan ambang batas suara, maka hal yang harus dilakukan lebih dulu adalah merevisi UU Pilkada.

“Jangan MK diminta untuk melanggar konstitusi. Ibarat sebuah pertandingan, aturannya sudah disepakati lalu MK diminta jadi wasit. Nah, setelah pertandingannya digelar, ini malah wasitnya yang diminta melanggar aturan,” katanya.

Terlepas dari proses persidangan perkara yang kini tengah berlangsung di MK, untuk diketahui, berdasar hasil penelitian yang disampaikan lembaga Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif awal Maret lalu, dilihat dari ketentuan ambang batas suara, dari 50 perkara sengketa Pilkada yang masuk ke MK hanya 7 perkara yang kemungkinan besar bakal berlanjut ke tahapan pleno.

Berikut ketujuh perkara tersebut

1. Kabupaten Takalar, selisih perolehan suara pasangan calon Burhanuddin B-Natsir Ibrahim dari pesaingnya, Syamsari-Achmad Dg Se’re, sebesar 1,16 persen.

2. Kabupaten Gayo Lues, selisih perolehan suara pasangan calon Abdul Rasad-Rajab Marwan dari pasangan calon Muhammad Amru-Said Sani, sebesar 1,43 persen.

3. Kota Salatiga, selisih perolehan suara pasangan calon Agus Rudianto-Dance Ishak dari pesaingnya, Yuliyanto-Muhammad Haris, sebesar 0,94 persen.

4. Kabupaten Bombana, selisih perolehan suara pasangan calon Kasra Jaru-Man Arfah dari pesaingnya, Tafdil-Johan Salim sebesar 1,56 persen.

5. Kota Yogyakarta, selisih perolehan suara pasangan calon Imam Priyono-Achmad Fadli dari pesaingnya, Haryadi Suyut-Heroe Poerwadi, sebesar 0,59 persen.

6. Kabupaten Maybrat, selisih perolehan suara pasangan calon Karel Murafer-Yance Way dari pesaingnya, Bernard Sagrim-Paskalis Kocu, sebesar 0,33 persen.

7. Provinsi Sulawesi Barat, selisih perolehan suara pasangan calon Suhardi Duka-Kalima Katta dari pasangan calon Ali Baal-Enny Anggraeny Anwar, sebesar 0,75 persen.

Rencananya, setelah agenda sidang pemeriksaan pendahuluan selesai, MK akan menggelar sidang dengan agenda pengucapan putusan sela pada 30 Maret-5 April 2017 mendatang. Perkara-perkara yang terbukti tidak memenuhi persyaratan peraturan perundang-undangan akan langsung diputus.

“Sehingga akan diketahui perkara-perkara mana yang akan masuk ke tahap pemeriksaan selanjutnya,” kata Ketua MK Arief Hidayat, akhir Februari lalu. (Zulkifli Songyanan).

Continue Reading

PEREBUTAN PUCUK PIMPINAN DPD

PEREBUTAN PUCUK PIMPINAN DPD

Dalam sidang paripurna dengan agenda pemilihan pimpinan DPD yang digelar sejak Senin 3 April 2017 sempat ricuh terkait dengan perbedaan tafsir tentang putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 20 P/HUM/2017. Hingga pada akhirnya pada dini hari tanggal 4 April 2017 terpilihlah Ketua DPD Oesman Sapta Odang, sedangkan Nono Sampono dan Darmayanti Lubis masing-masing sebagai Wakil Ketua DPD.

Sebagaimana idealnya sebuah jabatan mestinya tidak untuk diperebutkan, karena jabatan datangnya dari Sang Pencipta, bukan dari manusia. Namun hal itu tidak berlaku bagi anggota DPD yang dalam beberapa terakhir ini saling memperebutkan kursi jabatan Pimpinan baik Ketua maupun Wakil Ketua DPD-RI.

Perdebatan mengenai Pembatasan Periodeisasi Pimpinan DPD bermula dengan disahkannya Peraturan DPD nomor 1 tahun 2017 tentang Tata Tertib (Tatib) DPD khususnya mengenai ketentuan yang mengatur pemotongan masa jabatan pimpinan DPD dari 5 tahun menjadi 2,5 tahun.

Hingar bingar mengenai periodeisasi masa jabatan Pimpinan DPD tidak hanya berujung dengan adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 20 P/HUM/2017, akan tetapi berawal dengan adanya beberapa anggota DPD diantaranya Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Djasarmen Purba, Anang Prihantoro dan Marhany Victor Poly Pua mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi salah satunya berkaitan dengan uji konstitusionalitas periodeisasi masa jabatan Pimpinan DPD, namun telah diputus melalui Putusan MK Nomor 109/PUU-XIV/2016 yang pada intinya menyatakan Permohonan para Pemohon tidak dapat diterima .

Merasa putusan Mahkamah Konstitusi belum memberikan keadilan terkait periodeisasi masa jabatan Pimpinan DPD, kemudian beberapa anggota DPD diantaranya Anang Prihantoro, Marhany Victor Poly Pua, Djasarmen Purba, Sofwat Hadi, Denty Eka Widi Pratiwi dan Anna Latuconsina mengajukan hak uji materiil atas Peraturan DPD nomor 1 tahun 2017 tentang Tata Tertib (Tatib) DPD khususnya mengenai pengaturan masa jabatan pimpinan DPD yang hanya selama 2,5 tahun.

Terhadap putusan tersebut, Mahkamah Agung melalui Putusannya Nomor 20 P/HUM/2017 tertanggal 29 Maret 2017 menyatakan mengabulkan Permohonan keberatan hak uji materiil oleh Pemohon, artinya Peraturan DPD nomor 1 tahun 2017 tentang Tata Tertib (Tatib) DPD tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Problem dan Perdebatan

Atas adanya Putusan Mahkamah Agung Nomor 20 P/HUM/2017 memunculkan perdebatan baik para anggota DPD, masyarakat maupun kalangan Praktisi dan Akademisi. Ada yang menyatakan Putusan MA tidak harus dilaksanakan, sehingga Pemilihan Pimpinan DPD tetap harus dilaksanakan, hal itu dikarenakan Putusan MA cacat hukum dan mengandung unsur kejanggalan-kejanggalan, namun disisi yang lain juga ada yang menyatakan DPD harus tunduk dan patuh terhadap Putusan MA, sehingga dengan demikian tidak melanjutkan Pemilihan Unsur Pimpinan DPD.

Terhadap adanya beberapa perdebatan mengenai posisi dan kedudukan hukum Peraturan DPD nomor 1 tahun 2017 tentang Tata Tertib (Tatib) DPD pasca Putusan Mahakamh Agung Nomor 20 P/HUM/2017, setidaknya penulis memiliki beberarapa pandangan.

Pertama, Putusan Mahkamah Agung Nomor 20 P/HUM/2017 tentang uji materi terhadap Peraturan DPD nomor 1 tahun 2017 tentang Tata Tertib (Tatib) DPD harus dipandang sebagai Putusan yang Konstitusional, hal itu mengingat menurut Pasal 24A ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Sedangkan Peraturan DPD merupakan bagian dari jenis peraturan perundang-undangan yang posisinya berada dibawah Undang-Undang sesuai dengan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Sehingga dengan demikian Putusan MA Nomor 20 P/HUM/2017 sah menurut hukum.

Kedua, Putusan Hak Uji Materiil oleh Mahkamah Agung bersifat final dan mengikat (final and binding), artinya putusan langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan. Akibat hukumnya secara umum, tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh terhadap putusan tersebut. Sedangkan arti putusan mengikat dalam Putusan MA tentang Hak Uji Materiil yaitu putusan tidak hanya berlaku bagi para pihak tetapi bagi seluruh masyarakat Indonesia. Hal itu sesuai dengan Pasal 9 Perma Nomor 01 tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil.

Ketiga, Sesuai dengan Pasal 7 ayat (2) huruf L, Pejabat Pemerintahan berkewajiban untuk mematuhi putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Sehingga pengabaian terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor 20 P/HUM/2017 merupakan bagian dari pengabaian terhadap perintah Undang-Undang.

Keempat, sesuai sumpah/janji jabatan anggota DPD wajib menjalankan kewajiban sesuai dengan Peraturan Perundang-Undangan dan berpedoman pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, serta lebih mngutamakan kepentingan bangsa diatas kepentingan pribadi, seseorang dan golongan. Untuk itu sudah selayaknyalah seluruh anggota DPD patuh dan tunduk terhadap Undang-Undang salah satunya adalah dengan menjalan Putusan Mahkamah Agung Nomor 20 P/HUM/2017.

Kelima, Putusan Hak Uji Materiil Mahkamah Agung bersifat Erga Omnes, yakni putusan tersebut merupakan Putusan Publik, yang berarti putusan tersebut juga berlaku juga bagi pihak-pihak yang berada diluar sengketa, dalam hal ini juga berlaku bagi seluruh anggota DPD dan seluruh rakyat Indonesia. Sehingga Putusan MA tersebut wajib dipatuhi sebagai salah satu bentuk Yudicial Control dalam upaya corrective, disiplinery, dan remedial (perbaikan) terhadap Peraturan dibawah UU yang bertentangan dengan UU.

Keenam, Putusan Hak Uji Materiil oleh Mahkamah Agung berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar). Menurut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya berjudul Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, bahwa Putusan Pengadilan berlaku asas res judicata pro veritate habetur, yang berarti apa yang diputus hakim harus dianggap benar dan harus dilaksanakan.

Ketujuh, Putusan Mahkamah Agung Nomor 20 P/HUM/2017 harus dilaksanakan secara otomatis, yakni pada dasarnya eksekusi Putusan Hak Uji Matriil MA menekankan pada Asas Self Respect dan kesadaran hukum dari pejabat Pemerintahan terhadap isi putusan hakim. Yakni dengan secara sukarela tanpa adanya upaya pemaksaan oleh pihak pengadilan terhadap pejabat yang bersangkutan.

Kedelapan, terhadap adanya salah ketik dalam berkas putusan yang diunggah pada laman direktori putusan MA (soft copy), hal itu bisa jadi berbeda dengan putusan yang sebenarnya (hard copy). Salah ketik tidak berarti merubah substansi isi putusan Mahkamah Agung, meskipun hemat penulis seharusnya MA tidak mengulangi kembali terhadap adanya salah ketik putusan yang seringkali terjadi. Kalaupun terjadi salah ketik, Pasal 67 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan memperbolehkan perubahan terhadap kesalahan redaksional dalam Keputusan.

Kesembilan, terhadap adanya perintah kepada Pimpinan DPD untuk mencabut Peraturan DPD nomor 1 tahun 2017 berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 20 P/HUM/2017, hal itu merupakan problem tersendiri, mengingat seharusnya apabila mengacu kepada Peraturan dalam arti Regeling yang mengikat secara umum, maka Pimpinan DPD tidak dapat bertindak atas nama institusi, sehingga pimpinan DPD tidak dapat membatalkan Peraturan yang telah disepakati secara bersama-sama dengan sepihak atau atas nama jabatan. Akan tetapi apabila menyangkut Keputusan Beschiking yang bersifat individual, final dan konkrit Pimpinan DPD dapat bertindak untuk dan atas nama institusi dengan berdasar pada jabatan yang disandangnya.

Keabsahan

Terkait dengan keabsahan Pimpinan DPD terpilih sesuai dengan hasil paripurna tanggal 4 April 2017, menurut pandangan dan analisa penulis terhadap hasil pemilihan Ketua DPD dan Wakil Ketua DPD tersebut masih terdapat problem berkaitan dengan keabsahannya, dan masih dapat dipersoalkan secara hukum, hal itu mengingat dasar hukum keabsahan untuk melakukan pemilihan dalam hal ini Peraturan DPD nomor 1 tahun 2017 telah dibatalkan oleh MA, terlepas dari perdebatan dan problem atas putusan MA sebagaimana tersebut diatas, namun bagi pihak-pihak yang berkepentingan yang merasa dirugikan atas terpilihnya Pimpinan DPD pada tanggal 4 April 2017 dapat melakukan gugatan kepada Pegadilan Tata Usaha Negara.

Selain itu yang perlu diingat oleh seluruh anggota DPD, yang berhak dan berwenang melakukan penyumpahan terhadap pimpinan DPD terpilih adalah Ketua Mahkamah Agung sesuai dengan Pasal 260 ayat (6) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD. Sehingga hemat penulis Ketua MA dalam hal ini juga berhati-hati dalam hal akan mengambil sumpah jabatan pimpinan DPD terpilih.

Namun yang pasti perebutan pucuk pimpinan DPD bukanlah isu yang menggembirakan. Hal tersebut akan menimbulkan kesan atau persepsi publik bahwa DPD sedang mempertontonkan ketidak berpihakannya kepada daerah yang sedang ingin merasakan kemanfaatan atas posisi dan keberadaannya. Semoga DPD segera menyudahi perdebatan mengenai perebutan pucuk pimpinannya, dan lebih mengutamakan perjuangan terhadap penguatan peran dan fungsi DPD dimasa mendatang.

 

Link : Perebutan Pucuk Pimpinan DPD

Continue Reading

PENGATURAN TAKSI ONLINE

PENGATURAN TAKSI ONLINE

 

Ribut-ribut antara taksi online dengan taksi konvensional hampir terjadi di berbagai daerah. Bahkan, tidak jarang juga banyak yang berujung pada bentrok dan aksi kekerasan antar kedua belah pihak. Untuk mengantipasi agar kejadian tidak meluas Kementerian Perhubungan menggelar pertemuan dengan perwakilan Uber, Grab Car, dan Organda Angkutan Darat di kantor Kementerian Perhubungan. Dari hasil pertemuan tersebut kemudian diadakan rapat koordinasi yang dihadiri Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan, Menkominfo Rudiantara, dan Menhub Budi Karya Sumadi, serta dihadiri beberapa perwakilan, di antaranya Organda dan tiga penyedia aplikasi online, yaitu: PT Grab Taxi Indonesia, PT Gojek Indonesia, dan PT Uber Indonesia Technology.

Hasil dari rapat koordinasi tersebut Pemerintah berencana merevisi Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 32 Tahun 2016 tentang Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek (Payung Hukum Taksi Online). Ada 11 point penting dalam revisi PM 32 Tahun 2016.  Adapun 11 pokok pembahasan dalam revisi PM 32 Tahun 2016 ini, meliputi : 1) jenis angkutan sewa; 2) kapasitas silinder mesin kendaraan; 3) Batas Tarif Angkutan Sewa Khusus; 4) kuota jumlah angkutan sewa khusus; 5) kewajiban STNK berbadan hukum; 6) pengujian berkala/KIR; 7) Pool; 8) Bengkel; 9) Pajak; 10) Akses Digital Dashboard; dan 11) Sanksi.

Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi gencar melakukan sosialisasi revisi PM 32 Tahun 2016 yang rencananya akan mulai berlaku pada 1 April 2017 mendatang. Adapun sosialisasi telah mulai dilakukan kepada 6 (enam) Pemerintah Daerah yaitu, DKI Jakarta, jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi Selatan. Ada dua hal hal penting menurut Menteri Perhubungan tentang revisi PM 32 Tahun 2016, diantaranya Pertama, guna memberikan kepastian hukum bagi angkutan berbasis transportasi online yang beroperasi di Indonesia. Kedua, memberikan kesempatan kepada angkutan konvensional, untuk bisa berkompetisi secara sehat.

Dari rencana revisi PM 32 Tahun 2016 tersebut, masih ada beberapa poin yang masih ditunda penerapannya, yakni penetapan tarif batas bawah dan batas atas serta kuota angkutan yang boleh beroperasi. Kementerian Perhubungan memastikan bahwa akan memberikan waktu hingga 3 bulan untuk membahas lebih lanjut poin-poin tersebut dengan pihak-pihak terkait. Dalam waktu 3 bulan tersebut, Menhub memastikan tidak akan ada penindakan hukum terhadap pelanggaran dari aturan tersebut, baik oleh pihak kepolisian maupun Dinas Perhubungan. Namun, setelah 3 bulan masa transisi, Menhub menegaskan akan ada sanksi, khususnya bagi pengemudi angkutan online maupun provider yang tidak memenuhi aturan.

Perdebatan

Atas rencana revisi PM 32 Tahun 2016 tersebut, muncul beberapa respon publik yang bermacam-macam, ada yang merasa senang ataupun menolak atas rencana revisi PM 32 Tahun 2016 yang akan mulai diberlakukan 1 April 2017 mendatang. Respon tersebut muncul baik yang berasal dari pengemudi taksi online, pengemudi taksi konvensional, penyedia layanan taksi online maupun dari Pemerintah Daerah. Meskipun demikian Menhub berharap semua pihak dapat menyetujui dan melaksanakan revisi PM 32 Tahun 2016 tersebut.

Adapun beberapa hal pengaturan revisi PM 32 Tahun 2016 yang dianggap merugikan atau memberatkan dari kalangan pengemudi taksi online setidaknya terdapat dua hal, Pertama adalah pengaturan mengenai Kuota jumlah angkutan sewa khusus yang berkaitan dengan Penetapan kebutuhan jumlah kendaraan sesuai dengan analisa dan pengaturan oleh Gubernur sesuai domisili perusahaan masing-masing penyedia taksi online apabila berada pada wilayah selain Jabodetabek, sedangkan untuk wilayah JABODETABEK berdasarkan analisa dan pengaturan oleh Kepala BPTJ. Pengaturan jumlah kuota ini tentu akan membatasi pengemudi taksi online yang berkeinginan untuk bekerja sebagai pengemudi sedangkan batas kuota sangat terbatas/dibatasi.

Kedua, pengaturan berkaitan dengan Kewajiban STNK Berbadan Hukum, jika sebelumnya ketentuan STNK atas nama perusahaan, maka sesuai revisi PM 32 Tahun 2016 diubah  menjadi STNK atas nama badan hukum, namun atas STNK yg masih atas nama perorangan dianggap masih tetap berlaku sampai dengan habis masa berlakunya. Pengaturan ini tentu pada akhirnya memaksa pengemudi taksi online untuk bergabung dengan Perusahaan yang berbadan hukum, serta tidak dapat dengan mudah mengaktualisasikan keinginannya untuk bekerja sebagai pengemudi taksi online meskipun telah memiliki armada/mobil yang siap untuk dioperasikan secara mandiri.

Sedangkan pengaturan yang dianggap merugikan bagi pengemudi taksi konvensional adalah berkaitan dengan Jenis Angkutan Sewa yang masih mengakomodir Kendaraan Bermotor Umum yang memiliki Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) warna hitam. Pengaturan ini tentu masih membawa problem tersendiri utamanya terhadap persaingan untuk mendapatkan penumpang dilapangan, meskipun tentu menurut hemat penulis hak-hak yang akan didapat akan sangat berbeda antara pengemudi dengan taksi berplat hitam dengan yang berplat kuning. Taksi dengan berplat kuning akan dengan mudah mendapatkan dan mengantarkan penumpang dengan atau tanpa dikenakan aturan mengenai ganjil genap seperti halnya yang berlaku di Jakarta misalnya.

Kemudian pengaturan yang menambah beban kerja atau mewajibkan bagi Pemerintah Daerah untuk membentuk lebih lanjut aturan perihal Batas Tarif Angkutan Sewa Khusus dan Kuota jumlah angkutan sewa khusus serta sanksi penindakan di lapangan. Penentuan Batas Tarif Angkutan Sewa Khusus dan Kuota jumlah angkutan sewa khusus oleh Pemerintah Daerah bukanlah perkara mudah, mengingat keduanya membutuhkan analisa komprehensif yang melibatkan beberapa institusi sekaligus, sehingga kemudian akan menciptakan keadilan bagi pengemudi taksi online, pengemudi taksi konvensional dan penyedia layanan taksi online maupun konvensional.

Selain itu juga kebijakan penentuan batas tarif bawah berpotensi terhadap mahalnya tarif jasa angkutan taksi online maupun taksi konvensional, sehingga akan berdampak kepada masyarakat/konumen pengguna layanan baik taksi online maupun taksi konvensional. Juga penetapan batas tarif bawah akan menghambat inovasi yang akan juga menimbulkan inflasi keuangan di masyarakat.

Namun yang pasti disini baik Pemerintah maupun Pemerintah Daerah berkewajiban memberikan kepastian hukum bagi seluruh kalangan masyarakat, bukan hanya bagi pengemudi taksi online maupun pengemudi taksi konvensional, akan tetapi juga bagi penumpang berkaitan dengan standart keamanan dan kenyamanan yang disediakan baik oleh Pengemudi Taksi Online maupun Konsvensional.

Terakhir harapan masyarakat pada umumnya semoga dengan adanya pengaturan lebih lanjut berkaitan dengan revisi PM 32 Tahun 2016 yang akan mulai diberlakukan pada tanggal 1 April 2017 mendatang, semoga kericuhan, keributan dan kesembrawutan pengaturan antara taksi online dengan taksi konvensional dapat terhindarkan.

Link : Pengaturan Taksi Online

Continue Reading

PENYELESAIAN SENGKETA PILKADA DI MK

PENYELESAIAN SENGKETA PILKADA DI MK

Sebanyak 101 daerah yang terdiri dari 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten telah menggelar Pemilihan Kepala Daerah serentak gelombang kedua pada Rabu, 15 Februari 2017. Pilkada serentak tahun ini merupakan yang kedua kalinya setelah gelombang pertama dilaksanakan pada 9 Desember 2015 oleh Komisi Pemilihan Umum.

Komisi Pemilihan Umum telah menjadwalkan mengumumkan rekapitulasi, penetapan, dan pengumuman hasil penghitungan pilkada serentak tahun 2017 tingkat kabupaten/kota untuk pemilihan bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota adalah pada 22 Februari hingga 24 Februari 2017. Sementara rekapitulasi, penetapan, dan pengumuman hasil penghitungan suara tingkat provinsi untuk pemilihan gubernur dan wakil gubernur dilaksanakan pada 25 Februari hingga 27 Februari 2017.

Atas pelaksanaan pilkada serentak tersebut, pasti terdapat pihak-pihak yang merasa tidak puas terhadap hasil yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum. Ketidakpuasan tersebut tentu dilandasi oleh berbagai macam kecurangan, seperti politik uang, jual beli suara, intimidasi, pengerahan massa, serta manipulasi suara dan hasil suara, baik yang terjadi sebelum pemilihan, pada saat pemilihan, maupun setelah pemilihan berlangsung.

Terhadap pihak-pihak yang merasa tidak puas atas rekapitulasi, penetapan, dan pengumuman hasil penghitungan suara, baik pada tingkat kabupaten/kota maupun tingkat provinsi, terdapat sarana yang dapat ditempuh, yakni melalui permohonan perselisihan hasil pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota kepada Mahkamah Konstitusi terhitung paling lama 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan, baik oleh KPU provinsi maupun KPU kabupaten/kota.

Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga telah menyusun jadwal pengajuan permohonan sengketa pilkada untuk pasangan calon bupati dan wakil bupati atau wali kota dan wakil wali kota adalah pada 22 Februari hingga 28 Februari 2017, sedangkan untuk pasangan calon gubernur dan wakil gubernur pada 27 Februari 2017 hingga 1 Maret 2017.

Tantangan

Selain syarat formal sebagaimana tersebut di atas, yakni pengajuan gugatan paling lama 3 x 24 jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan oleh KPU setempat, juga ada syarat selisih perolehan suara antara pemohon dan pasangan lainnya paling banyak 0,5 persen sampai 2 persen sebagaimana diatur dalam Pasal 158 Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Pasal 158 UU No 8/2015 menjadi tantangan sendiri bagi pemohon yang akan memilih jalur sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi, mengingat dengan berdasar pada permohonan gugatan perselisihan hasil pemilihan pilkada pada tahun 2015, Mahkamah Konstitusi hanya menerima tujuh dari 147 permohonan sengketa pilkada dengan pertimbangan konsisten menerapkan Pasal 158 UU No 8/2015 dalam memeriksa dan mengadili syarat formal pengajuan sengketa hasil pilkada ke Mahkamah Konstitusi.

Adapun alasan Mahkamah Konstitusi konsisten menggunakan Pasal 158 UU No 8/2015 sebagai dasar pijakan di antaranya sebagai berikut. Pertama, pilkada berdasarkan UU Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota bukan merupakan rezim pemilu. Perbedaan tersebut bukan hanya dari segi istilah, melainkan juga meliputi perbedaan konsepsi yang menimbulkan perbedaan konsekuensi hukum.

Ketika pilkada sebagai rezim pemilu, Mahkamah Konstitusi memiliki keleluasaan melaksanakan kewenangan konstitusinya, yakni tunduk pada ketentuan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Atas dasar itulah, putusan Mahkamah Konstitusi pada masa lalu dalam perkara perselisihan hasil pilkada tidak hanya meliputi perselisihan hasil, tetapi juga mencakup pelanggaran dalam proses pemilihan untuk mencapai hasil yang dikenal dengan pelanggaran bersifat terstruktur, sistematis, dan masif.

Kedua, telah terdapat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XIII/2015 berkaitan dengan tafsir konstitusional atas Pasal 158 UU No 8/2015. Melalui putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi menyatakan konstitusional dan menolak permohonan uji materi terhadap Pasal 158 UU No 8/2015 disebabkan merupakan kebijakan hukum terbuka oleh pembentuk undang-undang (open legal policy) sehingga Mahkamah Konstitusi menganggap tidak bertentangan dengan UUD 1945.

Ketiga, demi kepastian hukum, Mahkamah Konstitusi harus tunduk pada ketentuan yang secara expressis verbis digariskan dalam Undang-Undang Pilkada. Dengan melaksanakan Pasal 158 UU Pilkada dan aturan turunannya secara konsisten, Mahkamah Konstitusi turut ambil bagian dalam upaya mendorong agar lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses pilkada berperan dan berfungsi secara optimal sesuai dengan proporsi kewenangan di tiap-tiap tingkatan.

Peluang

Apabila melihat perbedaan selisih hasil yang diperoleh pasangan calon dengan pasangan calon lainnya, baik di media cetak maupun media elektronik, menurut penulis, banyak pilkada yang tidak akan berlanjut pada gugatan di Mahkamah Konstitusi mengingat persentase selisih suara yang sangat jauh di atas 2 persen.

Hal ini tentu akan mengakibatkan adanya penurunan jumlah gugatan sengketa hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi.

Namun, yang pasti, terhadap pasangan calon yang persentase selisih perolehan suaranya sesuai dengan Pasal 158 UU No 8/2015, bukan tidak mungkin mereka berpeluang untuk memenangi sengketa atau Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan perselisihan hasil pilkada yang diajukan oleh pasangan calon.

Hal itu tentunya jika didukung oleh argumentasi dan bukti-bukti yang memadai berkaitan dengan kedudukan hukum, obyek permohonan, dan pokok permohonan yang dimohonkan.

Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi juga diharapkan tidak mengabaikan tuntutan keadilan substantif, yakni dengan tetap memeriksa secara menyeluruh perkara yang telah memenuhi persyaratan tenggang waktu, kedudukan hukum, obyek permohonan, dan jumlah persentase selisih perolehan suara antara pemohon, termohon, dan pihak terkait lainnya.

Dengan adanya sarana hukum yang baik dalam hal ini melalui permohonan perselisihan hasil pilkada kepada Mahkamah Konstitusi, diharapkan pelaksanaan demokrasi di daerah menjadi semakin kondusif dan jauh dari segala bentuk kerusuhan dan main hakim sendiri. Semoga.

Link : Penyelesaian Sengketa Pilkada di MK

Continue Reading