POLITIK HUKUM KEKUASAAN PRESIDEN DI INDONESIA

BAB I

PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah melahirkan beberapa perubahan mendasar di bidang ketatanegaraan.[1] Perubahan mendasar terdapat pada bentuk kedaulatan yang semula dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), namun setelah perubahan terdapat perbedaan, yakni kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Yang cukup mendasar pula adalah dengan diperjelasnya bahwa Indonesia adalah meganut negara hukum. Dengan demikian maka telah meruntuhkan pandangan yang sengaja dibangun oleh Presiden Soeharto bahwa Undang-Undang Dasar 1945 bernilai “keramat”.[2] Yakni Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat di rubah oleh siapun dan dalam kondisi apapun.

Perubahan yang cukup signifikan terjadi pada bergesernya kekuasaan lembaga negara. Selain terdapat lembaga baru, juga terdapat lembaga negara yang dihapus dalam Undang-Undang Dasar 1945. Resstrukturisasi kelembagaan Negara merupakan agenda penting amandemen demi terciptanya pemerintahan yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Good Governant).

Pada aspek kelembagaan Negara dapat dilihat dalam konstitusi bahwa terdapat lembaga-lembaga seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daearah (DPD), Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY) serta lembaga-lembaga Negara lainnya seperti Bank Indonesia (BI) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kesemuanya itu merupakan pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal[3] dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan kedalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga Negara yang sederajat yang saling mengimbangi (check and balance).[4]

Pada aspek Hak Asasi Manusia dalam konstitusi adalah dicantumkannya pasal-pasal yang berkaitan dengan Hak-hak dasar manusia yang sebelumnya masih belum diatur secara spesifik dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen.[5] Hal ini berkaitan dengan pemenuhan hak-hak dasar manusia yang sebelumnya kurang mendapatkan perlindungan hukum oleh pemerintah, sehingga banyak sekali pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia yang tidak dan belum terselesaikan.[6] Dalam konteks itu akan menjadi sangat penting kepastian hukum tentang Hak Asasi Manusia, meskipun pada dasarnya Hak Asasi Manusia adalah hak yang telah melekat dalam setiap diri manusia sejak dia dilahirkan atau sejak berada dalam kandungan.

Yang tak kalah pentingnya adalah permasalahan otonomi daerah yang kian menjadi perhatian terutama hal yang berkaitan dengan pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah secara langsung yang sampai hari ini sudah dilaksanakan di beberapa Kabupaten/Kota yang ada di Indonesia.[7] Pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah secara langsung merupakan amanat Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang dalam hal ini tidak sama dengan amanat Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, yang mana tidak mensyaratkan adanya pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah secara langsung, akan tetapi mensyaratkan pemilihan Gubernur, Buapati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala daerah propinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.

Dari ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah yang terdapat perbedaan dalam penentuan redaksional mengenai sifat pemilihan umum khususnya tentang pemilihan Kepala/Wakil Kepala Daerah membuktikan bahwa sistem dan pengaturan hukum dalam rangka pemilihan umum di Indonesia belum mantap dan stabil.[8] Salah satu penyebabnya adalah ketentuan dalam pemilihan umum itu tidak diperinci dan tegas pengaturannya dalam Undang-Undang Dasar 1945, sehingga pengaturannya diserahkan dan sangat tergantung pada dinamika pertarungan antar kepentingan politik.[9]

Namun yang menarik untuk dikaji dan yang menjadi objek kajian dalam tulisan ini adalah tentang lembaga negara, terutama yang berkaitan dengan kekuasaan Presiden setelah amandemen. Perdebatan kekuasaan Presiden di Indonesia bukan hanya terjadi pada saat setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945, setelah Indonesia merdeka, masa orde lama, orde baru atau bahkan sekarangpun setelah Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kekuasaan Presiden masih menjadi perdebatan yang serius. Salah satunya dipengaruhi oleh atribut kekuasaan yang berupa hak perogratif Presiden.[10]

Beberapa pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menunjuk kepada kekuasaan Presiden sebenarnya tidak memberi hak kepadanya untuk melaksanakan dengan bebas.[11] Dalam menjalankan kekuasaannya, Presiden diberikan kekuasaan yang sangat besar oleh Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pelaksanaannya, ternyata kekuasaan tersebut telah banyak menimbulkan berbagai masalah yang sampai saat ini masih diwarnai pendapat pro dan kontra seputar penggunaannya, hal itu terjadi karena tidak dipertegas dengan ketentuan yang spesifik mengatur tentang tugas dan wewenang Presiden melalui suatu Undang-Undang (formell gezetz) [12] yang mengatur batasan-batasan yang secara tegas mengatur kekuasaan yang dimiliki Presiden, maka untuk itu kemudian tugas dan wewenang yang sudah diberikan konstitusi seringkali tidak sesuai dengan praktek ketatanegaraan yang ada atau malah inkonstitusional.

Undang-Undang Dasar 1945 perubahan pertama telah banyak memberikan perubahan terutama yang berkaitan dengan pasal-pasal kekuasaan Presiden. Agenda amandemen Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama sebenarnya dilakukan untuk lebih membatasi kekuasaan Presiden yang sebelumnya pada saat orde baru sangat begitu dominan dan tersentral, yang salah satunya merupakan akibat dari penafsiran konstitusi yang begitu luas oleh ekskutif pada waktu itu. Sehingga dipersepsikan oleh beberapa kalangan bahwa pemerintahan dibawah Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amanden (orde baru[13]) bersifat otoriter yakni karena hanya terpusat pada kekuasaan ekskutif (executive heavy). Untuk itu hampir keseluruhan dari agenda amandemen pertama Undang-Undang Dasar 1945 banyak berkaitan erat dengan pembatasan kekuasaan Presiden.

Undang-Undang Dasar 1945 memberikan kedudukan yang kuat kepada lembaga kepresidenan.[14] Presiden adalah penyelenggara pemerintahan. Selain menjalankan kekuasaan ekskutif, presiden juga menjalankan kekuasaan membentuk peraturan perundang-undangan, kekuasaan yang berkaitan dengan penegakan hukum (grasi, amnesti dan abolisi) dan lain sebagainya. Sehingga masyarakat selama ini memandang kekuasaan Presiden dalam Undang-Undang Dasar 1945 terlalu besar (executive heavy), dan lembaga negara yang lain terkesan berada ’di bawah bayang-bayang’ kekuasaan Presiden, sehingga kultur[15] kekuasaan menjadi tidak sehat.

Penguatan lembaga parlemen (legislative heavy) menjadi isu struktural dalam amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Alhasil penguatan lembaga parlemen mulai nampak pasca (setelah) amandemen Undang-Undang Dasar 1945, meskipun dapat dikatakan belum cukup signifikan, mengingat kekuasaan Presiden dalam prektek seringkali berada pada puncak kekuasaan lembaga negara yang katanya menganut sistem ”checks and balances”, yakni suatu sistem yang sudah tidak ada lagi kekuasaan lembaga negara yang bersifat piramid (tertinggi), akan tetapi semua lembaga negara bersifat sejajar dan horisontal. Sehingga arah yang dituju melalui perubahan Undang-Undang Dasar 1945 adalah terjadinya proporsionalitas kekuasaan antar lembaga-lembaga tinggi negara, dalam hal ini lembaga ekskutif dan legislatif.[16]

Dalam periode berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 di Indonesia, baik dalam Undang-Undang Dasar sebelum amandemen, Konstitusi Republik Indonesia Serikat Tahun 1949, Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 maupun Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen kekuasaan Presiden selalu dan kadangkala lebih dominan daripada lembaga negara lainnya.[17] Hal itu dapat dibuktikan bukan hanya pada saat masa pemerintahan Presiden Soekarno, Soeharto, B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, akan tetapi pada saat pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono pun kekuasaan Presiden justru lebih dominan dari kekuasaan lembaga negara yang lainnya.

Meskipun dalam agenda perubahan pertama muncul aspirasi politik yang menghendaki agar supaya dipakai sistem perimbangan kekuasaan (check and balance)[18] yang dapat di buktikan melalui agenda perubahan pertama yakni adanya gagasan mengenai perimbangan kekuasaan yang kemudian mendapat respons positif oleh MPR sehingga pada akhirnya menghasilkan perubahan pertama Undang-Undang Dasar 1945 terutama Pasal 5, Pasal 7, Pasal 9, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, Pasal 17, Pasal 20 dan Pasal 21, namun belum dapat menyurutkan kekuasaan Presiden jika dilihat dari kacamata praktek-praktek ketatanegaraan.

Intervensi Presiden kadang masih selalu kental dan mewarnai dalam pelaksanaan wewenang lembaga negara lainnya. Contoh yang paling gampang dan masih hangat di telinga kita adalah intervensi Presiden dalam penyelesaian sengketa antar lembaga negara, dalam hal ini adalah konflik antara Mahkamah Agung (MA) dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan konflik antara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dengan Mahkamah Agung (MA) yang justru pada akhirnya berakhir dengan jalur non hukum, yakni melalui jalur mediasi Presiden atas kapasitasnya sebagai kepala Negara.

Konflik antara Mahkamah Agung (MA) dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berawal dari dilaporkannya Mahkamah Agung (MA) sebagai lembaga peradilan tertinggi di Indonesia ke polisi.[19] Kontroversi yang menyebabkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus melaporkan MA ke polisi dengan delik tidak bersedia untuk diaudit[20], hal itu ternyata tidak terlepas dari pendekatan sudut pandang hukum yang dipakai oleh BPK sebagai pelapor, dan MA sebagai pihak yang dilaporkan.

Tepatnya 13 September 2007 lalu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan MA ke Mabes Polri karena lembaga yang dipimpin oleh Bagir Manan tersebut tidak bersedia diaudit. BPK melaporkan MA ke polisi berkaitan dengan keengganan MA untuk diaudit karena adanya perbedaan persepsi mengenai pungutan yang dilakukan MA. Pungutan yang dilakukan MA terhadap pihak-pihak yang berperkara di jajaran MA masuk pada Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP)[21], sehingga BPK bisa mengaudit. Tetapi, menurut MA, pungutan itu bukanlah Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), sehingga BPK tidak dapat mengauditnya.

Menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan dan Pengelolaan Keuangan Negara, institusi yang tidak bersedia memberikan data dapat dilaporkan oleh BPK ke aparat penegak hukum. ”Itulah alasannya BPK melaporkan MA ke Polisi. Namun Dasar hukum MA untuk menarik biaya perkara adalah hukum acara perdata (HIR)[22], sehingga jika ingin ada ketentuan bahwa harus ada besaran biaya perkara tertentu yang disetorkan ke negara, maka menurut MA HIR itu harus diubah dahulu guna memasukkan ketentuan tersebut. Di satu sisi MA mendasarkan penarikan biaya perkara pada hukum acara perdata (HIR), sedangkan BPK bersikeras ingin mengaudit pengelolaan biaya perkara karena kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang BPK dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang perbendaharaan negara.

Namun di tengah peliknya kasus hukum tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendamaikan konflik antara pimpinan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan pimpinan Mahkamah Agung (MA).[23] Inti kesepakatan tersebut adalah BPK boleh mengaudit pungutan biaya perkara di MA dan BPK mencabut laporan pidana yang diajukan ke polisi. Pro dan kontra mulai berdatangan baik dari pakar hukum tata negara maupun dari kalangan birokrasi pemerintahan. Mulai yang bernada sepakat maupun yang mengecam tindakan Presiden karena itu merupakan langkah mundur dari upaya penegakan hukum yang sedang dibangun di Indonesia, karena seringkali permasalahan hukum justru diselesaikan dengan konspirasi politik belaka. Sehingga tidak salah kalau kemudian kasus yang sama akan muncul dan mencuat kembali di kemudian hari.

Bukan hanya persoalan itu, ketidak jelasan penerapan prinsip pemisahan kekuasaan (saparation of power)[24] antara kekuasaan ekskutif, legislatif dan yudicial dalam Undang-Undang Dasar 1945 juga kadang menjadi sebab over lapping-nya kekuasaan Presiden di Indonesia. Presiden di satu sisi berfungsi sebagai lembaga ekskutif, akan tetapi juga di sisi yang lain dapat dikatakan sebagai lembaga legislatif dan yudicial jika dilihat dari segi kewenangan yang dimiliki lembaga Kepresidenan dalam Undang-Undang Dasar 1945 baik sebelum dan sesudah di amandemen.

Masalah pemisahan kekuasaan (saparation of power) adalah masalah yang selalu dihubungkan dengan ajaran Montesquieu yang terkenal dengan sebutan ”Trias Polica”.[25] Walaupun pada kenyataannya ajaran Montesquieu tersebut sulit dilaksanakan, namun ajarannya mengingatkan kepada kita, bahwa kekuasaan negara itu harus dicegah jangan sampai berada di dalam satu tangan, karena dengan demikian akan timbul kekuasaan yang sewenang-wenang. Oleh sebab itu, maka kekuasaan negara harus diatur secara jelas agar tidak menimbulkan kekuasaan yang begitu besar.[26]

Konsistensi Indonesia dalam melaksanakan teori pemisahan kekuasaan (saparation of power) belum pernah dilaksanakan secara sempurna, baik dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen maupun dalam Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen. Pasang surut Kekuasaan Presiden yang diatur dalam konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia dalam sejarah ketatanegaraan belum pernah menyisakan perubahan yang cukup signifikan, mengingat kekuasaan yang diberikan kepada Presiden sangat begitu besar yakni meliputi tiga fungsi kekuasaan sekaligus baik ekskutif, legislatif dan yudicial.

Berbicara masalah kekuasaan Presiden tentunya kurang menarik apabila tidak dihubungkan dengan sistem pemerintahan yang dianut oleh suatu negara, karena sangat erat sekali kaitan antara kekuasaan yang dimiliki Presiden dengan sistem pemerintahan yang dipakai dalam suatu negara. Karena kekuasaan Presiden merupakan kekuasaan ekskutif yang akan menetukan sistem pemerintahan yang dipakai dalam suatu negara. Pergeseran kekuasaan Presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar (konstitusi) yang pernah berlaku di Indonesia tentunya akan berpengaruh terhadap sistem pemerintahan yang dianut di Indonesia.[27] Karena untuk melihat sistem pemerintahan yang dipakai oleh suatu negara, maka yang harus dilihat terlebih dahulu adalah kekuasaan dan kekudukan Presiden.[28]

Pasang surut Kekuasaan Presiden di Indonesia berdasarkan konstitusi yang pernah berlaku tentunya juga telah memberikan perubahan pula bagi sejarah sistem pemerintahan yang pernah dipakai maupun yang sedang dipakai sekarang pasca Undang-Undang Dasar amandemen.[29] Implikasi sistem pemerintahan yang dipakai tentu sangat besar pengaruhnya bagi kekuasaan lembaga negara terutama yang berkaitan dengan kekuasaan ekskutif dan legislatif tak terkecuali didalamnya juga kekuasaan Presiden. Untuk itu kejelasan sistem pemerintahan yang akan dianut oleh suatu negara merupakan keharusan yang tak terelakkan.

Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia tidak pernah ditemukan konsistensi sistem pemerintahan yang dipakai dan dianut oleh Indonesia, sehingga tidak salah kalau kemudian seringkali terdapat pertentangan-pertentangan atau sengketa antar lembaga negara yang kemudian harus diselesaikan dengan jalur yang bukan pada rulenya (hukum), yakni seringkali kospirasi politik digunakan untuk menyelesaikan permasalahan hukum. Akibatnya tentu sangat fatal dan akut, yakni berdampak tidak selesainya secara tuntas permasalahan yang diselesaikan melalui jalur kospirasi tersebut, karena seringkali kasus-kasus tersebut justru akan mencuat dan muncul kembali kepermukaan di kemudian hari.

Kekuasaan negara yang tidak terkontrol di Indonesia sebagai akibat dari terpusatnya kekuasaan itu pada satu orang dan segala implikasi negatifnya, tampaknya mengharuskan bangsa ini untuk mengkaji ulang konsep kekuasaan Presiden yang sangat besar tesebut. Pandangan negara netral dan paham integralistik[30], yang biasanya melegitimasi konsep tersebut, sepertinya juga tidak dapat lagi dipergunakan untuk menjawab kenyataan-kenyataan empiris yang terjadi di negara ini. Seluruh hal tersebut, ditambah dengan adanya tuntutan demokratisasi[31] di segala bidang yang sudah tidak mungkin ditahan lagi, mengartikan bahwa sudah saatnya kekuasaan Presiden yang sangat besar harus dibatasi. Mengingat Negara identik dengan kekuasaan, sebagaimana dikemukakan oleh Lord Acton, cenderung untuk korup, dalam arti menyimpangi kekuasaanya (abuse of power).[32] Disamping itu juga akan selalu muncul tuntutan terhadap pemenuhan keadilan di bidang ekonomi.[33]

Berdasarkan uraian, pemaparan dan analisa diatas, maka sangat menarik untuk dikaji tentang kekuasaan Presiden baik setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 maupun berdasarkan Undang-Undang Dasar (konstitusi) yang pernah berlaku di Indonesia. Untuk itu saya tertarik untuk mengakaji sekaligus mengkritisi serta mencoba mencari jalan keluar tentang Kekuasaan Presiden setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dan perbandingannya dengan Undang-Undang Dasar (konstitusi) yang pernah berlaku di Indonesia tentunya jika dikaitkan dengan sistem pemerintahan yang pernah di pakai dan sedang di pakai oleh Indonesia.

  1. Rumusan Masalah

Untuk itu maka dalam makalah ini terdapat 2 (dua) rumusan masalah yang akan menjadi fokus kajian dan pembahasan, yakni :

  1. Bagaimana kekuasaan Presiden setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 jika dikaitkan dengan sistem pemerintahan yang dipakai Indonesia ?
  2. Bagaimana perbandingan antara Undang-Undang Dasar 1945 amandemen dengan Undang-Undang Dasar (konstitusi) yang pernah berlaku di Indonesia jika dikaitkan dengan sistem pemerintahan yang dipakai Indonesia ?
  1. Penjelasan Judul

Dalam makalah ini, saya mengambil judul ”KEKUASAAN PRESIDEN SETELAH AMANDEMEN UNDANG-UNDANG DASAR 1945”. Pemilihan judul ini dimaksudkan agar dapat memberikan pemahaman istilah, sehingga dapat tercipta persepsi dalam memahami pembahasan dan memberi ruang lingkup arah penulisan. Karena judul penelitian merupakan suatu refleksi daripada masalah yang akan diteliti.[34] Untuk itu sebagaimana judul tersebut diatas maka dapat dirinci menjadi 4 (empat) variabel, yakni : KEKUASAAN, PRESIDEN, AMANDEMEN dan UNDANG-UNDANG DASAR 1945.

Agar tercipta pemahaman yang lebih komprehensif, maka saya urai makna dan arti dari masing-masing variabel, diantaranya :

  1. Kekuasaan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua diantaranya :[35]
  • Kuasa (untuk mengurus, memerintah, dan sebagainya);
  • Kemampuan, kesanggupan;
  • Daerah (tempat dan sebagainya) yang dikuasai;
  • Kemampuan orang atau golongan untuk menguasaai orang atau golongan lain berdasarkan kewibawaan, wewenang, kharisma atau kekuatan fisik
  • Fungsi menciptakan dan menetapkan kedamaian (keadilan) serta mencegah dan menindak ketidak amanan atau ketidak adilan.

Pengertian kekuasaan sebagaimana dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat kalimat ”kuasa” dan ”wewenang”. Sebagian besar orang menyamakan begitu saja arti dari istilah kekuasaan, wewenang dan kewenangan. Padahal justru ketiganya memiliki makna dan arti yang sangat berbeda. Pembahasan lebih jelas tentang perbedaan ketiganya akan dibahas pada bab berikutnya. Kekuasaan dapat lahir dan diterapkan dengan tanpa suatu dasar hukum yang jelas, sehingga timbullah kesewenang-wenangan, sedangkan kewenangan merupakan kekuasaan yang berkaitan dengan hukum atau lahir karena terdapat dasar hukum yang diakui dan diapatuhi oleh masyarakat dan diperkuat oleh negara.[36] Sehingga dapat diartikan kekuasaan belum tentu kewenangan, tapi kewenangan sudah pasti kekuasaan.

Dalam pembahasan makalah ini akan dibahas kedua-duanya, yakni kewenangan yang merupakan wewenang yang melakat yang sudah ada pada Presiden yang telah diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945 dan kekuasaan yang sering dilakukan Presiden yang tentunya tidak mempunyai dasar hukum (penyimpangan kewenangan).

  1. Presiden merupakan lembaga tinggi negara yang dapat dikategorikan salah satu diantara organ lainnya sebagai organ utama atau primer (primary constitutional organs) yang memegang kekuasaan ekskutif atau penyelenggara pemerintahan dalam negara. Presiden merupakan kepala kekuasaan ekskutif dalam negara.[37] Istilah ekskutif ini kita jumpai dalam teori baik John Locke maupun Montesquieu dengan teorinya yang terkenal yakni trias politica. Peranan lembaga ekskutif ini dapat dilihat dalam tugas dan wewenangnya sebagai lembaga ekskutif. Peran lembaga ekskutif berdasar fungsinya menurut teori trias politica adalah sebagai penyelenggara urusan pemerintahan.
  2. Secara bahasa kata amandemen berasal dari bahasa Inggris, yaitu ”amendment” yang berarti perubahan atau to amend, to alter dan to revise.[38] Sedangkan berdasarkan Black’s Law Dictionary kata ”amendment” adalah a formal revision or addition proposed or made to a statute, constitution, or other instrument.[39] Dalam makalah tidak digunakan istilah perubahan, namun menggunakan istilah ”amandemen” selain alasan bahwa istilah amandemen lebih populer dan banyak digunakan di tengah-tengah masyarakat, penggunaan istilah ini secara konstitusi dan ketatanegaraan juga tidak salah sebab istilah amandemen memang juga berarti perubahan. Meskipun secara khusus apabila di kaji kembali pengertian ”perubahan” konstitusi dapat mencakup dua pegertian, yakni amandemen konstitusi dan pembaharuan konstitusi.
  3. Undang-Undang Dasar 1945 adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, sebagaimana yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, yang kemudian diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. dalam hal ini Undang-Undang Dasar 1945 dalam perjalanannya pernah berlaku selama dua periode, yakni periode proklamasi kemerdekaan dan periode setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
  1. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini diantaranya :

  1. Untuk mengetahui dan mengidentifikasi kekuasaan Presiden setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 jika dikaitkan dengan sistem pemerintahan yang dipakai Indonesia
  2. Untuk menganalisis perbandingan kekuasaan Presiden setelah amandemen dengan Undang-Undang Dasar (konstitusi) yang pernah berlaku di Indonesia jika dikaitkan dengan sistem pemerintahan yang dipakai Indonesia.
  1. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dalam penulisan makalah ini, diantaranya adalah :

  1. Secara teoritis dapat menambah dan memperdalam keilmuan dalam bidang Hukum Tata Negara yang berkaitan dengan Lembaga Negara terutama tentang lembaga Kepresidenan tentunya jika dihubungkan dengan sistem pemerintahan yang dipakai oleh Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar (konstitusi) yang pernah berlaku di Indonesia
  2. Manafat praktis adalah untuk membangun kesadaran dan pemahaman kepada publik akan kekuasaan Presiden baik setelah amandemen maupun berdasarkan Undang-Undang Dasar (konstitusi) yang pernah berlaku di Indonesia
  1. Metode
  1. Pendekatan Masalah

Adapun metode yang digunakan dalam makalah ini adalah metode penulisan hukum normatif, yaitu cara penulisan yang didasarkan pada analisis terhadap beberapa asas hukum dan teori hukum serta peraturan perundang-undangan yang sesuai dan berkaitan dengan permasalahan dalam makalah ini. Penelitian hukum normatif ini adalah suatu prosedur dan cara penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari segi normatifnya.[40]

Sedangkan pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah terdiri dari 3 (tiga) pendekatan yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep-konsep hukum (conceptual approach), dan pendekatan perbandingan hukum mikro (micro comparative approach).[41] Pendekatan perundang-undangan (statute approach) di gunakan untuk meneliti peraturan perundang-undangan yang dalam penormaannya masih terdapat kekurangan atau malah menyuburkan praktek penyimpangan kekuasaan oleh Presiden.

Pendekatan konseptual (conceptual approach) dipakai untuk memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan Kekuasaan Presiden dan Sistem Pemerintahan sehingga diharapkan penormaan dalam peraturan perundang-undangan tidak lagi memungkinkan adanya celah bagi Presiden atas dasar kekuasaannya justru bertindak sewenang-wenang dan inkonstitusional (tidak berdasar konstitusi) dan pendekatan perbandingan hukum mikro (micro comparative approach) di pakai untuk meneliti perbandingan Kekuasaan Presiden dan Sistem Pemerintahan yang bernah berlaku berdasarkan Undang-Undang Dasar (konstitusi) di Indonesia dengan Kekuasaan Presiden dan Sistem Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen, agar kemudian dapat di jadikan pemahaman bersama dan pada akhirnya dapat di temukan tentang konsepsi ideal kekuasaan dan sistem pemerintahan di Indonesia.

  1. Bahan Hukum

Bahan hukum merupakan bahan dasar yang akan dijadikan acuan atau pijakan dalam penulisan makalah ini. Adapun yang menjadi bahan hukum dalam penulisan makalah ini terdiri dari 3 (tiga) bagian, yakni bahan hukum primer, skunder dan tersier yang dapat diurai sebagai berikut :

  • Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.[42] Bahan-bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Dalam makalah ini di fokuskan pada bahan hukum yang berupa Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen dan Undang-Undang Dasar (konstitusi) yang pernah berlaku di Indonesia sebagai perbandingan, yang terdiri dari Undang-Undang Dasar sebelum amandemen, Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949, Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 maupun Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen terutama yang berkaitan dengan Kekuasaan Presiden dan Sistem Pemerintahan.

  • Bahan Hukum Skunder

Bahan hukum skunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.[43] Adapun bahan hukum skunder yang digunakan untuk memberikan penjelasan mengenai materi yang terdapat dalam bahan hukum primer berasal dari beberapa literatur, buku tesk, jurnal hukum, karangan ilmiah dan buku-buku lain yang berkaitan langsung dengan tema penulisan makalah ini.

  • Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder.[44] Bahan hukum ini sebagai alat bantu dalam penulisan makalah ini. Adapun bahan hukum tersier ini dapat berupa kamus-kamus hukum yang berkaitan langsung dengan makalah ini.

  1. Analisis Bahan Hukum

Dalam makalah ini di gunakan metode analisis deduktif,[45] yaitu metode analisa dengan melakukan analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan (rumusan masalah) yang terdapat dalam makalah ini untuk kemudian di korelasikan dengan beberapa asas dan teori yang menjadi landasan atau pisau analisa dalam penulisan makalah ini sebagai langkah untuk menemukan konklusi, jalan keluar maupun konsepsi ideal tentang hal-hal yang berhubungan dengan Kekuasaan Presiden dan Sistem Pemerintahan di Indonesia baik menurut Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen maupun berdasarkan Undang-Undang Dasar (konstitusi) yang pernah berlaku di Indonesia.


BAB II

LANDASAN TEORITIK KEKUASAAN PRESIDEN DI INDONESIA

  1. Teori Kekuasaan dan Kewenangan

Diskusi permasalahan hukum tentunya akan berkaitan erat dengan masalah kekuasaan dan wewenang. Hubungan hukum dengan kekuasaan dapat di rumuskan dengan slogan ”hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”.[46] Dalam artian bahwa dalam penerapan hukum, maka di perlukan kekuasaan sebagai pendukung, salah satu sebabnya adalah di karenakan hukum bersifat memaksa, karena tanpa adanya paksaan, maka pelaksanaan hukum akan mengalami hambatan. Namun semakin tertib masyarakatnya, maka semakin berkurang kekuasaan sebagai pendukungnya.

Karena begitu eratnya kaitan antara hukum dan kekuasaan, maka seakan tidak dapat memisahkan antara keduanya. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa hukum sendiri sebenarnya adalah kekuasaan.[47] Hukum merupakan salah satu sumber dari kekuasaan, namun juga merupakan pembatas bagi kekuasaan. Oleh karena itu tidak dapat dibenarkan apabila kekuasaan di gunakan sebagai alat untuk bertindak sewenang-wenang. Karena dalam tataran praktis dilapangan orang akan cenderung ingin memiliki kekuasaan yang melebihi dari apa yang telah di gariskan. Padahal hukum memang membutuhkan kekuasaan, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan kekuasaan itu untuk menunggangi hukum.[48]

Miriam Budiardjo memberikan arti kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah-laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.[49] Kekuasaan ini yang kemudian oleh sebagian besar di cari atau bahkan menjadi rebutan dalam setiap kehidupan masyarakat modern seperti sekarang ini. Hal itu di pengaruhi oleh adanya hasrat dan keinginan manusia yang bermacam-macam sehingga dirasa perlu untuk memaksakan kemauan dirinya atas orang lain.

Hal yang sama juga di katakan Mac Iver yang merumuskan kekuasaan sebagai berikut :

The capacity to control the behavior of other either directly by fiat or indirectly by the manipulation of available means, yang artinya kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan memberi perintah, maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia. [50]

Lebih lanjut Miriam Budiardjo bahwa kekuasaan dalam masyarakat selalu berbentuk piramida yang bersumber pada kekerasan fisik, kedudukan dan kepercayaan.[51] Agar kekuasaan dapat di jalankan maka di butuhkan penguasa atau organ sehingga negara itu di konsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu berdasarkan subjek-kewajiban.[52] Dengan demikian, lahirlah teori yang menyatakan bahwa negara merupakan subjek hukum buatan atau tidak asli atau yang di sebut teori organ atau organis.[53]

Asal atau sumber kekuasaan dalam suatu negara secara umum dapat di golongkan menjadi 2 (dua) bagian. Pertama, erat kaitannya dengan teori teokrasi, yang mana menyatakan bahwa asal mula kekuasaan berasal dari Tuhan. Teori ini berkembang pada zaman abad pertengahan yakni abad ke V sampai abad ke XV.[54] Sedang Kedua berhubungan dengan teori hukum alam yang secara umum memberikan pemahaman bahwa kekuasaan berasal dari rakyat. Kekuasaan dari rakyat tersebut yang kemudian di serahkan kepada seseorang (raja) untuk menyelenggarakan kebutuhan masyarakat.

Bila di hadapkan pada persoalan kekuasaan, maka orang berpendapat bahwa kekuasaan itu sering diartikan hanya dalam bidang politik saja.[55] Padahal kekuasaan dapat beraspek dua keilmuan, yakni berkaitan dengan hukum dan politik. Dalam hukum tata negara, wewenang (bevoegdheid) di demakalahkan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht), dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.[56] Kekuasaan mempunyai makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh tiga lembaga sekaligus, yakni lembaga legislatif, ekskutif dan yudikatif adalah kekuasaan formal.

Kekuasaan dalam hal ini dapat berasal dari dua bagian, pertama berasal dari peraturan perundang-undangan dan yang kedua berasal dari bukan peraturan perundang-undangan atau karena jabatan yang dimilikinya. Sedangkan kewenangan hanya berasal dari peraturan perundang-undangan yang sah dan diakui oleh suatu negara. Sehingga berdasarkan uraian diatas, maka kekuasaan memiliki dua aspek, yakni aspek politik dan aspek hukum. Sedangkan kewenangan hanya beraspek hukum saja. Dapat diartikan bahwa kekuasaan dapat bersumber pada peraturan perundang-undangan dan di luar peraturan perundang-undangan atas dasar jabatan yang dimilikinya, sedangkan kewenangan harus harus berdasarkan peraturan perundang-undangan yang sah yang dibentuk oleh negara.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kewenangan merupakan kekuasaan yang sah, yang bersumber pada peraturan perundang-undangan yang berlaku yang dibentuk oleh negara yang berdaulat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kekuasaan belum tentu kewenangan, akan tetapi kewenangan sudah tentu merupakan kekuasaan.

Kewenangan dan wewenang tentunya memiliki perbedaan yang mendasar. Dalam bahasa Belanda wewenang di sebut juga ”bevoegheid”. Menurut Philipus M. Hadjon, ada perbedaan antara kewenangan dengan wewenang, perbedaannya terletak pada karakter hukumnya. Istilah ”bevoegheid” digunakan baik dalam konsep hukum publik maupun dalam konsep hukum hukum privat. Dalam hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya di gunakan dalam konsep hukum publik.[57]

Dalam konsep hukum tata negara, “bevoegheid” (wewenang) di demakalahkan sebagai “rechtmacht” (kekuasaan hukum). Jadi dalam hukum publik wewenang berkaitan dengan kekuasaan.[58] Sedangkan dalam konsep hukum administrasi di Belanda, soal wewenang selalu menjadi bagian penting dan bagian awal dari hukum administrasi karena objek hukum administrasi adalah “bestuursbevoegdheid” (wewenang pemerintahan).[59]

Jadi perbedaan antara kewenangan dan wewenang adalah pertama kali harus membedakan antara (authority, gezag) dan wewenang (competence, bevoegdheid). Gezag adalah ciptaan orang-orang yang sebenarnya paling berkuasa.[60] Kewenangan yang disebut juga “kekuasaan formal” yang berasal kekuasaan yang di berikan oleh Undang-Undang atau legislatif dari kekuasaan ekskutif atau administratif yang bersifat utuh atau bulat. Sedangkan wewenang hanya mengenai suatu bagian tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheben).[61] Wewenang juga merupakan dalam ruang lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintahan (besluit), akan tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas serta distribusi wewenang utamanya di tetapkan dalam Undang-Undang Dasar.

Sedangkan kewenangan dapat diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi maupun mandat.[62] Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan, sedang delegasi adalah pemindahan/pengalihan suatu kewenangan yang ada.[63] Secara sederhana dapat diartikan atribusi merupakan kewenangan yang asli atas dasar konstitusi (Undang-Undang Dasar), sedang kewenangan delegasi pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain dan mandat pemberian wewenang untuk bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat.

Ada perbedaan khusus antara delegasi dan mandat. Delegasi merupakan pemberian, pelimpahan atau pengalihan kewenangan oleh suatu organ pemerintahan kepada pihak lainuntuk menganmbil keputusan atas tanggung jawab sendiri, sedangkan mandat bertanggung jawab atas nama atau tanggung jawabnya sendiri mengmbil kepuusan.[64] Akan tetapi sebenarnya dalam teori pendelegasian, apabila suatu kewenangan sudah di delegasikan, maka tidak dapat lagi di tarik kembali oleh lembaga pemberi delegasi.

  1. Teori Kedaulatan

Terdapat perbedaan antara makna kekuasaan dan makna kedaulatan, meskipun dalam lapangan sehari-hari khalayak banyak di kaburkan dengan pengertian keduanya. Kekuasaan merupakan bagian kecil dari kedaulatan, dengan kata lain dalam kedaulatan masih terdapat kekuasaan-kekuasaan yang di bagikan. Kedaulatan adalah terjemahan dari kata ”souvereiniteit” yang asal katanya superanur atau superanitas yang berarti kekuasaan yang terttinggi dalam suatu wilayah. Kata itu dalam masanya sering diartikan berlainan, misalnya : [65]

  1. Pada mulanya souvereiniteit berarti kekuasaan absolut tertinggi dan tidak dapat dibagi-bagi, seperti penggunaan pada istilah kedaulatan tuan tanah di wilayahnya masing-masing
  2. (Tetapi) setelah muncul raja-raja yang absolut maka kekuasaan itu menjadi terbagi, sehingga kedaulatan keluar di pegang oleh raja sedangkan kedaulatan kedalam di pegang oleh tuan tanah sendiri.

Perdebatan tentang pengertian kedaulatan terdapat perbedaan diantara para sarjana. Jean Bodin yang dikenal sebagai bapak teori kedaulatan merumuskan kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum dalam suatu negara, yang sifatnya : tunggal, asli, abadi, dan tidak dapat di bagi-bagi.[66] Namun menurut penulis perumusan yang di berikan Jean Bodin tidak dapat di laksanakan pada masa saat sekarang, karena kedaulatan pada waktu itu hanya diartikan pada hubungan antara masyarakat di dalam negara saja atau bersifat intern negara. Namun hal itu sangat di mengerti mengingat pada waktu itu hubungan antar negara belum seluas seperti sekarang yang terjadi yang hubungan kedaulatan sudah mencapai antar negara-negara atau sudah bersifat ekstern. Atas dasar itulah maka muncullah teori macam kedaulatan yang diantaranya : [67]

  1. Interne souvereiniteit (kedaulatan ke dalam)
  2. Externe souvereiniteit (kedaulatan ke luar)

Dalam negara yang sangat penuh dengan kompleksitas persoalannya justru berada dalam bingkai pertanyaan siapakah yang memiliki kekuasaan itu. Berdasar pada pertanyaan tersebut kemudian memunculkan teori-teori kedaulatan yang mencoba merumuskan siapa dan siapakah yang berdaulat dalam suatu negara : [68]

  1. Kedaulatan Tuhan
  2. Kedaulatan Raja
  3. Kedaulatan Rakyat
  4. Kedaulatan Negara
  5. Kedaulatan Hukum

Kalau di lihat lebih mendalam lagi, maka diantara kedaulatan yang ada hanya kedaulatan Negara dan kedaulatan Hukum saja yang tidak di pegang oleh person, sdangkan kedaulatan Tuhan, kedaulatan Raja dan kedaulatan Rakyat di pegang oleh orang (person).

  1. Kedaulatan Tuhan

Pada dasarnya teori ini mendasarkan kekuasaan Negara yang tertinggi berasal dari Tuhan, sehingga banyak yang didasarkan pada agama. Tuhan dikatakan memiliki kekuasaan tertinggi (berdaulat) karena dialah yang menciptakan segala sesuatu dan berkuasa atas segala yang ada di dunia.[69] Pada teori ini dalam setiap kehidupan kenegaraan selalu didasarkan atas nilai-nilai agama yang mempercayai bahwa Tuhan sebagai pencipta alam dan segala isinya adalah pemilik kedaulatan negara. Sehingga tidak salah kalau kemudian dalam pemerintahan penganut teori ini sering bertindak atas nama Tuhan dan tak bisa diganggu gugat. Negara yang menempatkan pangkal kedaulatan pada Tuhan ini di sebut negara Teokrasi, yakni mengutamakan kekuasaan Tuhan sebagai dasar pijakan kekuasaan.[70]

Dalam teori ini salah satu atau beberapa orang dianggap sebagai perantara atau wakil Tuhan yang ada di muka bumi, untuk itu segala apa yang segala ia perintahkan merupakan salah satu penjewantahan Tuhan. Sehingga apapun yang menjadi kriteria baik dan buruk menurtnya, maka harus di penuhi karena dianggap dia sebagai media yang dapat berkomunikasi dengan Tuhan. Sifat pesan biasanya dapat berupa perintah yang harus di patuhi dan di jalankan oleh penduduk warga Negara.

Dalam Negara Teokrasi sebagian besar pemuka agama yang menjadi motor penggerak pemerintahan dan menduduki posisi penting dalam kenegaraan, seperti Ulama, Pendeta, Biksu dan pemuka agama lainnya. Suara pemuka agama merupakan suara yang harus diikuti sebagai wakil Tuhan di bumi. Teori ini hampir dimiliki oleh beberapa Negara pada umunya, cantoh Paus Gregorius VII yang selain sebagai pemimpin tertinggi agama Khatolik juga sebagai kepala dari Civitas Dei atau Negara Tuhan.[71] Sehingga Paus dalam menjalankan agama (Khatolik) dapat memberikan hukuman (gereja) di samakan dengan hukuman duniawi.[72]

Dalam teori ini terdapat kelemahan yakni seringkali pemuka agama yang mengatasnamakan wakil Tuhan di muka bumi sehingga melaksanakan kekuasaannya menyimpang dari kodrat Tuhan yang sebenarnya.[73] Tidak adanya pembuktian yang dapat dipertanggung jawabkan seseorang mendapat mandat dari Tuhan merupakan bagian dari kelemahan dari teori ini, sehingga kemungkinannya seseorang akan saling berebut pengakuan bahwa dirinya telah mendapat mandat langsung dari Tuhan.[74] Sehingga penguasa dalam melaksanakan kekuasaannya seringkali mengatasnamakan wakil Tuhan yang ada di bumi.

  1. Kedaulatan Raja

Raja dalam teori ini merupakan satu-satunya sumber dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam Negara. Seluruh aktivitas pemerintahan, dinamika sosial, ekonomi dan politik dianggap benar dan salah apabila telah melalui penilaian dari seorang raja.[75] Otoritas raja dalam melaksanakan kekuasaannya tidak dapat di batasi dengan apapun, sehingga dalam teori kedaulatan raja ini sering terjadi penyalahgunaan kekuasaan akibat dari dominannya kekuasaan raja dalam setiap bidang apapun. Teori kedaulatan raja yang tertinggi dapat digabungkan dengan teori pembenaran Negara yang menimbulkan kekuasaan mutlak pada raja/satu penguasa.[76]

Aliran ini di kemukakan oleh Thomas Hobbes yang mengatakan bahwa kekuasaan raja adalah absolut, raja dapat melaksanakan apa saja bahkan di perbolehkan untuk membunuh sekalipun.[77] Dalam perjanjian masyarakat yang menyerahkan hak-hak dari individu-individu kepada masing-masing masyarakat, raja berada posisi tidak turut campur dalam perjanjian yang dilakukan asyarakat, untuk itu kekuasaan raja tetap absolut karena raja tidak terikat dengan janji-janji apalagi terikat oleh perjanjian.

Dalam teori ini tentunya juga terdapat kelemahan. Kelemahan yang paling mendasar adalah tersentralnya kekuasaan hanya pada raja, sehingga tidak ada ukuran baik buruk dan benar salahnya suatu kebijakan yang diambil oleh raja. Kekuasaan raja yang absolut juga akan menimbulkan kesewenang-wenangan raja karena tidak diimbangi dengan mekanisme kontrol dari lembaga lain atau masyarakat, untuk itu teori ini sebenarnya merupakan dasar lahirnya teori kedaulatan rakyat.

  1. Kedaulatan Rakyat

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa teori kedaulatan rakyat ini lahir atas dasar reaksi kedaulatan raja yang super absolut. Atas dasar itulah maka rakyat melakukan perjanjian kemasrakatan (contrac social)[78]. Masyarakat melakukan perjanjian dengan penguasa dan memberikan kekuasaan kepada pemerintah, namun tetap dalam kerangka kesepakatan-kesepakatan yang telah di lalui antara rakyat dan penguasa. Kekuasaan tetap berasal dari rakyat sehingga dalam melaksanakan tugasnya pemerintah harus berpijak pada keinginan rakyat (demos = rakyat, krator = pemerintah).[79]

Jean Jacques Rousseau yang sekaligus sebagai pencetus teori kontrak sosial mengemukakan demokrasi sebagai hasil perjanjian masyarakat yang akan berkonsekwensi bahwa jika dalam menjalankan tugasnya pemerintah itu bertindak tidak sesuai dengan keinginan rakyat, maka pemerintah dapat dijatuhkan oleh rakyatnya. Untuk itu posisi rakyat disini memiliki posisi yang absolut dan strategis karena memiliki otoritas untuk mengatur jalannya pemerintahan Negara.[80]

Teori ini dalam sejarah yang di sebut sebagai inspirasi Revolusi Perancis yang juga kemudian menjadi inspirasi banyak Negara termasuk Amerika Serikat dan Indonesia atau bahkan dapat di golongkan pada teori yang menjadi trend pada abad ke-20.[81] Namun pelaksanaan teori ini pada masa sekarang terdapat pergeseran seiring dengan luas cakupan suatu Negara, yang sebelumnya rakyat begitu saja melakukan perjanjian dengan penguasa namun pada waktu sekarang berubah dengan mekanisme perwakilan.

Teori ini banyak dipergunakan pada masa sekarang, namun pada kenyataannya wakil rakyat yang merupakan representasi wakil dari rakyat seringkali dalam setiap kebijakannya tidak sesuai dengan keinginan rakyat, dan anehnya tidak terdapat mekanisme kontrol yang dapat dilakukan oleh rakyat sesuai dengan teori yang sebenarnya.

  1. Kedaulatan Negara

Teori kedaulatan Negara ini juga sebagai reaksi dari teori kedaulatan rakyat. Namun apabila dikaji lagi, maka sebenarnya teori ini melanggengkan teori kedaulatan raja dalam suasana kedaulatan rakyat.[82] Teori ini memandang bahwa Negara berdaulat karena ada Negara, jadi sumber kedaulatan adalah Negara itu sendiri. Untuk itu Negara dianggap mempunyai hak yang tidak terbatas terhadap warganya. Ajaran ini berkembang di Jerman untuk mempertahankan kedudukan raja yang mendapat dukungan dari 3 (tiga) golongan yang besar pengaruhnya, yaitu (1) golongan bangsawan, (2) golongan angkatan perang atau militer (3) golongan birokrasi.[83]

Kedaulatan ini tidak diperoleh dari siapapun kecuali di peroleh karena ada Negara. Untuk itu Negara cukup mewadahi aspirasi masyarakat sehingga dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakab atas dasar kekuasaan Negara. Sehingga pada umumnya Negara pada teori ini berusaha untuk mendapatkan simpati masyarakat yang pada tujuannya agar mendapat dukungan masyarakat sehingga Negara menjadi tambah kuat.

Teori ini juga terdapat kekurangan, yakni otoritas Negara yang super kuat menyebabkan kekuasaan raja/Negara tidak terbatas, sehingga kesewenang-wenangan Negara terjadi di berbagai tempat. Untuk itu Negara dalam teori kedaulatan Negara ini dianggap sebagai penghalang tegaknya demokrasi yang tidak jauh beda dengan teori kedaulatan raja sebagimana telah di gambarkan pada bab sebelumnya.

  1. Kedaulatan Hukum

Pada teori ini di ketengahkan bahwa kekuasaan itu bersumber dari aturan hukum (supremasi hukum). Teori ini menempatkan hukum sebagai panglima tertinggi, sehingga baik buruknya sesuatu dapat dilihat dalam hukum. Teori ini lahir atas penyangkalan terhadap teori kedaulatan negara. Kedaulatan negara yang tidak terbatas, maka dapat dibatasi dengan hukum.[84]

Penganut teori ini adalah Krabbe.[85] Menurut Krabbe yang menjadi sumber hukum adalah rasa hukum yang terdapat di masyarakat. Rasa hukum ini dalam bentuknya yang masih sederhana atau primitif dan dalam bentuknya yang telah maju disebut kesadaran hukum.[86] Namun Krabbe tidak ingin mengatakan bahwa rasa hukum dan kesadaran hukum itu sama, hanya saja kesadarn hukumtidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum.

Dalam teori ini juga terdapat beberapa kekurangan, diantaranya adalah bahwa hukum di bentuk oleh manusia, namun seringkali manusia pembentuk hukum justru tidak manusiawi. Lain lagi dengan adanya intervensi kepentingan dari pihak yang berkepentingan langsung maupun tidak langsung. Di tambah lagi hukum dalam tataran penegakannya justru tumpul dan tidak mempan melawan orang-orang tertentu yang dianggap memiliki kekuasaan dan kekuatan.[87]

  1. Teori Konstitusi

Unsur pokok yang di pelajari dalam Hukum Tata Negara adalah konstitusi. Konstitusi sendiri berasal dari bahasa Perancis “constituir” yang berarti membentuk.[88] Dengan demikian secara sederhana konstitusi dapat diartikan sebagai peraturan dasar mengenai pembentukan Negara. Terdapat perbedaan tentang penunjukan peristilahan dan pengertian konstitusi di berbagai Negara. Di Indonesia istilah konstitusi juga dikenal dengan sebutan Undang-Undang Dasar, begitu juga di Belanda disamping dikenal istilah “groundwet” (undang-undang dasar) juga dikenal pula dengan istilah “constitutie”.

L.J Van Apeldoorn membedakan pengertian antara Undang-Undang Dasar “groundwet” dengan konstitusi “constitutie”. [89] Undang-Undang Dasar “groundwet” adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan konstitusi “constitutie” berisi peraturan tertulis maupun tidak tertulis. Jadi berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa suatu Undang-Undang Dasar “groundwet” adalah pengertian terkecil dari konstitusi karena mancakup peraturan tertulis saja, sedang konstitusi “constitutie” adalah pengertian yang lebih luas dari undang-undang dasar, yakni mencakup hukum tertulis dan tidak tertulis, untuk itu pengertian konstitusi lebih luas daripada Undang-Undang Dasar.

Adapun penyamaan (yang menyamakan) pengertian antara konstitusi dan undang-undang dasar pernah dikemukakan oleh Sri Soemantri dalam disertasinya.[90] Namun sebelum itu ada pula yang menyamakan pengertian antara konstitusi dan Undang-Undang Dasar yakni dimulai sejak Oliver Cromwell yang menamakan Undang-Undang Dasar itu sebagai instrument of government. Artinya adalah Undang-Undang Dasar di buat sebagai pegangan untuk memerintah, dari situlah timbul identifikasi dari pengertian konstitusi dan Undang-Undang Dasar.[91]

Para sarjana ilmu politik dan tata negara cukup berbeda-beda mendefinisikan tentang arti atau makna konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Adapun pengertian konstitusi menurut para penulis terkemuka baik yang ada di Indonesia maupun luar negeri adalah sebagai berikut :

  1. C.F. Strong

Konstitusi dapat dikatakan sebagai kumpulan prinsip-prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintahan, hak-hak pihakyang di perintah (rakyat), dan hubungan diantara keduanya.[92]

  1. K.C. Wheare

Konstitusi adalah keseluruhan system ketatanegaraan dari suatu Negara berupa kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah dalam pemerintahan suatu Negara.[93]

  1. A.V. Dicey

Hukum konstitusi terdiri dari (sebagaimana lazimnya) atas sejumlah aturan yang ditegakkan atau di akui oleh Negara yang merupakan dasar bagi terbentuknya hukum di bawahnya.[94]

  1. Hans Kelsens

Konstitusi adalah urutan tertinggi dalam tata hukum nasional yang merupakan rujukan bagi terbentuknya aturan yang berada di bawahnya.[95]

  1. Herman Helller

Konstitusi mencakup tiga pengertian yakni mencerminkan kehidupan politik dalam masyarakat, kesatuan kaidah yang hidup dalam masyarakat dan merupakan naskah sebagai undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu Negara.[96]

  1. F. Lasalle
  1. Lasalle membagi 2 (dua) pengertian tentang konstitusi yakni pengertian sosiologis dan pengertian yuridis. Pengertian konstitusi secara sosiologis merupakan sintesis dari faktor-faktor kkekuatan yang nyata (dreele machtsfactorn) dalam masyarakat, sedang pengertian yuridis adalah suatu naskah yang memuat semua bangunan Negara dan sendi-sendi pemerintahan.[97]
  1. J.H.P. Bellefroid

Pengertian konstitusi menurut J.H.P. Bellefroid mencakup pengertian materiil dan formil. Secara materiil adalah suatu aturan ketatanegaraan, secara formil adalah akte ketatanegaraan yang menetukan dasar-dasar ketatanegaraan.[98]

  1. Sri Soemantri Martosoewignyo

Undang-Undang Dasar adalah sebagai pembatasan kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin-pemimpin rakyat yang mempunyai kecendrungan untuk disalahgunakan.[99]

Berdasar pada pendapat tentang pengertian konstitusi atau Undang-Undang Dasar diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian konstitusi dan Undang-Undang Dasar terdapat perbedaan. Pengertian konstitusi lebih luas daripada Undang-Undang Dasar. Karena konstitusi meliputi konstitusi tertulis dan tidak tertulis (dua bagian), sedang Undang-Undang Dasar merupakan konstitusi tertulis saja (satu bagian).

Konstitusi juga dapat diklasifikasikan dalam beberapa bagian. K.C. Wheare mengklasifikasikan konstitusi menjadi 5 (lima) bagian, diantaranya :[100]

  1. Konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis
  2. Konstitusi fleksibel dan rigid
  3. Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi non derajat tinggi
  4. Konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan
  5. Konstitusi sistem pemerintahan presidensiil dan parlementer

Yang dikatakan konstitusi tertulis adalah konstitusi yang dituangkan dalam sebuah dokumen atau beberapa dokumen formal. Sedangkan konstitusi tidak tertulis adalah merupakan suatu konstitusi yang tidak dituangkan dalam dokumen formal yang hanya berbentuk kebiasaan-kebiasaan atau konfensi ketatanegaraan ataupun juga dapat berbentuk konstitusi adat.[101]

Kriteria tentang fleksibel dan rigidnya suatu konstitusi maka dapat dilihat dari prosedur perubahannya. Kalau prosedur perubahan konstitusi bersifat gampang maka dapat dikategorikan sebagai kaonstitusi fleksibel, namun apabila prosedur perubahan konstitusinya sulit atau tidak gampang, maka dapat dikategorikan sebagai konstitusi yang rigid.[102]

Tentang Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi non derajat tinggi dapat di bedakan dari kedudukan konstitusi dalam suatu Negara. Apabila konstitusi dalam suatu negara memiliki kedudukan tertinggi dan supreme terhadap parlemen maka dapat dikategorikan sebagai konstitusi derajat tinggi, sedangkan konstitusi non derajat tinggi merupakan kebalikannya, yakni konstitusi tersebut tidak memiliki kedudukan tertinggi dalam Negara dan konstitusi tersebut berada dibawah supremasi parlemen.[103]

Pembagian konstitusi serikat ataupun kesatuan didasarkan pada pencantuman pembagian kekuasaan antara pemerintah negara serikat dengan pemerintah Negara bagian. Apabila terdapat pembagian kekuasaan antara pemerintah negara serikat dengan pemerintah Negara bagian, maka dapat dikategorikan sebagai konstitusi Negara serikat, namun apabila tidak terdapat pembagian kekuasaan antara pemerintah negara serikat dengan pemerintah Negara bagian, maka digolongkan sebagai konstitusi Negara kesatuan.

Konstitusi juga dapat dikategorikan sebagai Konstitusi sistem pemerintahan presidensiil dan sistem pemerintahan parlementer.[104] Dikatakan presidensiil dikarenakan presiden berkedudukan sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan. Sedang parlementer kabinet yang dipilih oleh perdana menteri dibentuk berdasarkan kekuatan-kekuatan yang menguasai parlemen.

Mengenai materi muatan konstitusi K.C. Wheare berpendapat bahwa konstitusi harus sesingkat mungkin, dan yang singkat itu menjadi peraturan-peraturan hukum yang paling esensial.[105] Artinya K.C. Wheare ingin mengatakan bahwa konstitusi hanya berisi hal-hal yang esensial yang dianggap dibutuhkan saja. Untuk ketentuan yang mengatur lebih lanjut dapat diatur dalam ketentuan hukum berikutnya.

Sedang A.A.H. Struycken menyatakan bahwa isi konstitusi tertulis berupa dokumen formal yang berisi :[106]

  1. Hasil perjuangan politik bangsa diwaktu lampau
  2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa
  3. Pandangan tokoh bangsa yang hendak diwujudkan
  4. Suatu keinginan dengan mana perkembangan ketatanegaraan bangsa.

Apabila dikaji lebih mendalam maka dapat dikatakan selain konstitusi merupakan dokumen hukum juga dapat dikatakan dokumen politik bangsa. Dikatakan dokumen hukum dikarenakan mengikat bagi seluruh masyarakat bangsa, juga dapat dikatakan sebagai dokumen politik dikarenakan merupakan hasil dari perjuangan politik baik dikarenakan revolusi (proklamasi) maupun perubahan Undang-Undang Dasar.

C.F. Strong juga mengemukakan tentang 3 (tiga) materi pokok yang diatur dalam konstitusi, diantyaranya:[107]

  1. Kekuasaan Pemerintahan.;
  2. Hak-hak yang diperintah (hak-hak asasi); dan
  3. Hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah.

Berdasarkan pendapat C.F. Strong diatas, maka konstitusi merupakan hal yang mengatur kekuasaan dalam Negara. Pembatasan kekuasaan yang tercantum dalam konstitusi pada umunya menyangkut 2 (dua) hal, yaitu pembatasan kekuasaan yang berkaitan dengan isinya dan pembatasan kekuasaan yang berkaitan dengan waktu.[108]

Lebih lanjut Miriam Budiardjo memberikan ketentuan mengenai batasan isi dari konstitusi diantaranya mengatur mengenai :[109]

  1. Organisasi Negara
  2. Hak-hak asasi manusia
  3. Prosedur mengubah Undang-Undang dasar
  4. Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD.

Sehubungan dengan itu pula Sri Soemantri berpendapat bahwa maeri muatan konstitusi pada umumnya adalah :[110]

Pertama   : jaminan hak asasi manusia warga negaranya,

Kedua     : susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental, dan

Ketiga    : pembagian dan pembatasan kekuasaan yang fundamental

Apabila dicermati maka sebenarnya tidak jauh berbeda dengan bebarapa pendapat yang lainnya, hanya saja berbeda dalam ruang lingkup bahasa yang digunakan saja, untuk itu berdasarkan beberapa pemaparan tentang materi konstitusi diantaranya:[111]

  1. Tentang bentuk dan kedaulatan negara
  2. Tentang lembaga-lembaga Negara
  3. Tentang pembatasan kekuasaan lembaga Negara
  4. Tentang hubungan penguasa dengan rakyatnya
  5. Tentang perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia
  6. Ketentuan tentang prosedur perubahan konstitusi
  7. Tentang hal-hal lain yang bersifat lokal kenegaraan yang dianggap penting untuk diatur dalam konstitusi.
  1. Teori Tentang Lembaga Ekskutif

Gagasan tentang lembaga ekskutif muncul berdasarkan teori pemisahan kekuasaan (saparation of power) yang sempat dipopulerkan John Lock pada tahun 1690 yang kemudian dikembangkan oleh Montesquieu pada pertengahan abad XVIII. Latar belakang munculnya teori ini dikarenakan kekuasaan penguasa yang tidak terbatas dan cendrung bersifat sewenang-wenang, untuk itu perlu diadakan pemisahan kekuasaan (saparation of power) ke dalam berbagai organ agar tidak terpusat pada satu tangan atau sering disebut seorang monarkhi (raja absolut). Teori mengenai pemisahan kekuasaan Negara menjadi sangat penting artinya untuk melihat bagaimana posisi atau keberadaan kekuasaan dalam struktur kekuasaan Negara.[112]

John Lock dalam karyanya yang berjudul ”Two Treaties of Government” mengusulkan agar kekuasaan dalam suatu Negara di bagi-bagi kepada organ yang berbeda. Salah satu tujuannya agar kekuasaan tidak menumpuk pada seorang raja sehingga akan terjadi kekuasaan yang absolute pada raja. Dalam hal itu John Lock mengusulkan agar kekuasaan dibagi menjadi 3 (tiga) bagian, diantaranya :[113]

  1. Legislatif (membuat Undang-Undang)
  2. Ekskutif (melaksanakan Undang-Undang)
  3. Federatif (melakukan hubungan diplomatik dengan Negara-negara lain)

Berbeda dengan pendapat yang pernah dikemukakan oleh Montesquieu dalam bukunya “L’esprit des Lois” yang mengatakan bahwa untuk tegaknya Negara demokrasi perlu diadakan pemisahan kekuasaan kedalam 3 (tiga) poros kekuasaan, diantaranya :[114]

  1. Legislatif (pembuat Undang-Undang)
  2. Ekskutif (pelaksana Undang-Undang)
  3. Yudikatif (peradilan/kehakiman, untuk menegakkan perundang-undangan)

Menurut Montesquieu ketiga poros tersebut masing-masing harus terpisah satu sama lain, baik mengenai pemegang kekuasaannya maupun fungsi yang menjadi tugas dan kewajibannya. Ajaran pemisahan kekuasaan kedalam tiga pusat kekuasaan dari Montesquieu kemudian oleh Immanuel Kant diberi nama Trias Politica (Tri = tiga, AS = poros/pusat, dan Politica = kekuasaan)[115]

Perbandingan antara kedua pendapat di atas menurut Locke adalah kekuasaan ekskutif merupakan kekuasaan yang mencakup yudikatif, karena mengadili itu berarti melaksanakan undang-undang dan kekuasaan federatif (hubungan luar negeri) merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri. Sedangkan menurut Montesquieu, kekuasaan ekskutif mencakup kekuasaan federatif karena melakukan hubungan luar negeri termasuk kekuasaan ekskutif dan kekuasaan yudikatif harus berdiri sendiri.

Dalam kedua teori yang pernah dikemukakan 2 (dua) ilmuan diatas, kekuasaan ekskutif pada dasarnya merupakan kekuasaan melaksanakan Undang-Undang.[116] Sedangkan kekuasaan legislatif adalah kekuasaan membuat Undang-Undang. Jadi inti dari teori diatas adalah kekuasaan membentuk Undang-Undang harus diserahkan pada lembaga tersendiri yakni lembaga legislatif, begitu juga dengan pelaksanaan Undang-Undang harus diserahkan pada lembaga tersendiri yakni ekskutif, diperlengkap lagi dengan lembaga peradilan/kehakiman atau untuk menegakkan perundang-undangan yakni diserahkan kepada lembaga yudikatif.

Selain itu sarjana Belanda, C. Van Vollenhoven sedikit berbeda dengan pandangan kedua sarjana diatas. Fungsi-fungsi kekuasaan Negara menurutnya terdiri dari 4 (empat) cabang, yakni:[117]

  1. Fungsi regeling (pengaturan)
  2. Fungsi bestuur (penyelenggaraan pemerintahan)
  3. Fungsi rechtsspraak (peradilan)
  4. Fungsi politie (ketertiban dan keamanan)

Sedangkan Goodnow mengembangkan ajaran yang biasa diistilahkan dengan praja, yaitu : [118]

  1. Policy making function (fungsi pembuatan kebijaksanaan)
  2. Policy executing function (fungsi pelaksanaan kebijaksanaan)

Namun pandangan yang paling banyak berpengaruh yang ada di dunia, dan banyak dijadikan rujukan adalah teori yang yang dikembangkan Montesquieu, yakni 3 (tiga) cabang kekuasaan adalah legislatif, ekskutif dan yudisial. Namun dalam pembahasan ini akan dibahas tentang lembaga ekskutif.

Lembaga ekskutif merupakan bagian dari Trias Politika. Lembaga ekskutif atau lembaga pemerintah (dalam arti sempit) adalah lembaga yang melaksanakan fungsi pemerintahan berdasarkan Undang-Undang. Istilah ekskutif seringkali digunakan secara sedikit lebih luas.[119]

Terkadang istilah ini hanya digunakan untuk menyebut kepala menteri (misalnya Presiden Amerika Serikat), terkadang mencakup seluruh lembaga pejabat Negara, pemerintahan dan militer. Penggunaan kata ekskutif berarti kepala pemerintahan berikut menteri-menterinya, atau dengan kata lain badan Negara yang diberi wewenang oleh konstitusi untuk melaksanakan undang-undangyang telah disetujui lembaga legislatif.[120]

Dalam pengertian ekskutif dapat diartikan secara luas dan sempit. Dalam artian yang lebih sempit adalah Presiden dan para menterinya. Sedangkan dalam arti luas meliputi ekskutif dalam artian sempit dan seluruh lembaga yang berada dibawah presiden dan menteri termasuk ekskutif disetiap daerah-daerah otonom dalam hal ini Gubernur, Walikota, Bupati beserta satuan organisasi yang ada di bawahnya.

Menurut Harold J. Laski lembaga ekskutif adalah adalah lembaga yang melaksanakan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh badan pembuat Undang-Undang dan bekerja di bawah pengawasan badan pembuat Undang-Undang.[121] Apabila diteliti, maka pendapat Harold J. Laski lebih tertuju pada Negara yang menganut sistem parlementer, yakni segala kegiatan ekskutif harus diawasi dan harus bertanggungjawab pada legislatif.

Berbeda dengan pendapat Hans Kelsen[122] bahwa fungi ekskutif dan yudikatif saling berkaitan erat, yakni sama-sama sebagai pelaksana dari norma-norma umum, konstitusi dan hukum-hukum yang dibuat oleh legislatif. Dalam hal ini fungsi keduanya adalah sama, yakni melaksanakan norma-norma hukum yang bersifat umum. Bedanya hanyalah bahwa fungsi yang satu dilaksanakan di pengadilan sedangkan yang lain dilaksanakan di tataran ekskutif atau administaratif.

Slanjutnya Hans Kelsen membedakan fungsi ekskutif menjadi 2 (dua) bagian, yakni fungsi politik dan fungsi administratif.[123] Fungsi politik biasanya menunjuk kepada tindakan-tindakan tertentu yang bertujuan memberi arahan bagi pelaksanaan dengan demikian bermakna politik. Tindakan itu dilaksanakan oleh organ administratif tertinggi. Tindakan ini melekat karena diatasdasarkan pada kedudukan dan jabatannya sebagai organ Negara tertinggi.

Dalam Negara modern kekuasaan dan wewenang kekuasaan ekskutif dapat mencakup beberapa bidang kekuasaan yakni ekskutif, legislatif dan yudikatif, diantaranya :[124]

  1. Diplomatik adalah menyelenggarakan hubungan diplomatik dengan Negara-negara lain;
  2. Administratif adalah melaksanakan undang-undang serta peraturan-peraturan lain yang menyelenggarakan administrasi Negara;
  3. Militer adalah mengatur angkatan bersenjata, menyelenggarakan perang serta keamanan dan keamanan Negara;
  4. Yudikatif adalah memberi grasi, amnesti dan sebaginya;
  5. Legislatif adalah merencanakan rancangan undang-undang dan membimbingnya dalam badan perwakilan rakyat sampai menjadi undang-undang.

Dari berbagai pemaparan diatas, maka sebenarnya kekuasaan ekskutif adalah sebagai pelaksana undang-undang yang telah diproduksi oleh legislatif, kekuasaan yang bersifat legislatif dan yudikatif sebenarnya tidak perlu mendominasi, sehingga tidak ada penumpukan kekuasaan di tangan seseorang, untuk itu harus terdapat pengaturan yang jelas tentang kekuasaan ekskutif yang masuk dalam ruang lingkup kekuasaan legislatif dan ekskutif.

  1. Teori Sistem Pemerintahan

Secara bahasa “sistem pemerintahan” terdiri dari dua kata yakni “sistem” dan “pemerintahan”. Beberapa sarjana mendefinisikan sistem ke dalam beberapa pengertian yang berbeda-beda, tetapi pada dasarnya definisi tersebut bersifat saling mengisi dan melengkapi. Secara semantik istilah sistem diadopsi dari bahasa Yunani, yakni systema yang dapat diartikan sebagai keseluruhan yang terdiri dari macam-macam bagian[125]

Dilihat dari segi etimologi, sistem adalah sekelompok bagian-bagian (alat dan sebaginya) yang bekerja bersama-sama untuk melakukan sesuatu.[126] Secara sederhana Dasril Rajab juga memberikan contoh system diantaranya:[127]

  1. Sistem urat syaraf dalam tubuh kita, sistem pemerintahan.
  2. Sekelompok pendapat, peristiwa, kepercayaan dan sebaginya.
  3. Cara (metode) yang diatur untuk melakukan sesuatu, misalnya pengajaran bahasa.

Dari uraian beberapa pengertian tentang sistem, maka dapat disimpulkan bahwa sistem dapat diartikan sebagai satu kesatuan yang utuh dan saling menunjang antar satu dan yang lainnya serta tidak dapat dipisahkan, sehingga apabila terdapat satu sistem yang tidak berfungsi dengan baik, maka tentunya akan berpengaruh terhadap sistem yang lainnya, karena saling mempengaruhi diantara keseluruhannya.

Sedang kata “pemerintahan” menurut Jimly Asshiddiqie[128] dapat diartikan secara luas dan sempit. Dalam konteks arti pemerintahan secara luas adalah mencakup fungsi yang dijalankan oleh lembaga ekskutif, legislatif dan yudikatif yang menjalankan kekuasaannya secara berkesinambungan.

Dalam arti sempit pemerintahan hanya menyangkut fungsi yang berkaitan dengan ekskutif saja. Lebih lanjut Philipus M. Hadjon[129] memberikan pengertian pemerintahan dalam rangka hukum administrasi digunakan dalam arti “pemerintahan umum” atau “pemerintahan Negara”, pemerintahan dapat dipahami melalui dua pengertian : disatu pihak dalam arti “fungsi pemerintahan” (kegiatan memerintah), dilain pihak dalam arti “organisasi pemerintahan” (kumpulan dari kesatuan-kesatuan pemerintahan).

Pemerintahan dalam arti luas adalah segala urusan yang dilakukan oleh Negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan rakyatnya dan kepentingan yang tidak hanya menjalankan tugas ekskutif saja, melainkan juga meliputi tugas-tugas lainnya, termasuk legislatif dan yudikatif.[130] Solly Lubis menambahkan bahwa pemerintahan mencakup pengertian-pengertian tentang struktur kekuasaan dalam suatu negara, sedang pemerintah lebih menggambarkan organ pemerintahan.[131]

Berdasar pada 2 (dua) pengertian antara “system” dan “pemerintahan” diatas, maka dapat diartikan menurut 2 (dua) bagian, yakni secara sempit dan secara luas. Secara luas sistem pemerintahan dapat diartikan sebagai cara (metode) bekerjanya dan hubungan antara ketiga kekuasaan baik ekskutif, legislatif dan yudikatif. Sedang secara sempit bekerjanya satu lembaga Negara dalam suatu Negara.

Pada umumnya sistem pemerintahan itu dikenal dua macam, yaitu sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensiil. Namun menurut Moh. Mahfud MD[132] sistem pemerintahan dalam studi ilmu Negara dan ilmu politik dikenal adanya tiga sistem pemerintahan Negara, yaitu Presidensiil, Parlementer dan Referendum. Namun pada garis besarnya sistem pemerintahan yang digunakan pada Negara-negara demokrasi modern adalah menganut sistem pemerintahan parlementer dan sistem pemerintahan presidensiil.

Hendarmin Ranadireksa[133] memberikan cara untuk secara mudah mnengenali salah satu sistem pemerintahan apakah termasuk dalam sistem pemerintahan presidensiil maupun parlementer adalah dengan memperhatikan dimana letak objek utama yang diperebutkan. Sesuai dengan namanya apabila suatu Negara menganut sistem pemerintahan presidensiil, maka lembaga yang diperebutkan adalah Presiden. Begitu pula dengan sistem pemerintahan parlementer, maka lembaga yang diperebutkan adalah parlemen.

Hemat Saya pendapat diatas merupakan salah satu dari beberapa ciri-ciri untuk mengetahui sistem pemerintahan yang dianut oleh suatu Negara, sehingga tidak cukup hanya memperhatikan dimana letak objek utama yang diperebutkan untuk mengetahui sistem yang dipakai oleh suatu Negara. Untuk itu diperlukan pengetahuan yang lebih mendalam tentang unsur-unsur lain tentang sistem pemerintahan.

Secara sederhana Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim[134] memberikan pemahaman tentang sistem pemerintahan. Pada tipe sistem pemerintahan parlementer hubungan antara ekskutif dan badan perwakilan sangat erat, dengan kata lain bahwa kebijaksanaan pemerintah tidak boleh menyimpang dari apa yang dikehendaki oleh parlemen, hal itu disebabkan oleh adanya pertanggung jawaban para menteri terhadap parlemen. Pada sistem pemerintahan presidensiil kedudukan ekskutif tidak tergantung kepada badan perwakilan rakyat, hal itu dikarenakan Presiden tidak bertanggung jawab kepada Parlemen, akan tetapi kepada rakyat.

Lebih lanjut Moh. Mahfud MD memberikan catatan penting tentang prinsip-prinsip yang terkandung dalam sistem pemerintahan presidensiil, diantaranya: [135]

  1. Kepala Negara menjadi kepala pemerintahan
  2. Pemerintah tidak bertanggung jawab kepada Parlemen (DPR), Pemerintah dan Parlemen adalah sejajar
  3. Menteri-menteri diangkat dan bertangung jawab kepada Presiden
  4. Ekskutif dan Legislatif sama-sama kuat

Sedangkan dalam sistem pemerintahan parlementer prinsip-prinsip yang dianut adalah :[136]

  1. Kepala Negara tidak berkedudukan sebagai kepala pemerintahan karena ia hanya bersifat simbol nasional (pemersatu bangsa)
  2. Pemerintah dilakukan oleh sebuah Kabinet yang dipimpin oleh seorang Perdana Menteri
  3. Kabinet bertangung jawab kepada dan dapat dijatuhkan oleh parlemen melalui mosi
  4. (karena itu) kedudukan ekskutif (kabinet) lebih rendah dari (dan tergantung pada) parlemen

Pendapat lain tentang ciri-ciri dari sistem pemerintahan presidential diantaranya :[137]

  1. Disamping mempunyai kekuatan “nominal” sebagai Kepala Negara, Presiden juga berkedudukan sebagai Kepala Pemerintahan (yang belakang ini dominan)
  2. Presiden tidak dipilih oleh pemegang kekuasaan legislative, akan tetapi dipilih langsung oleh rakyat atau dewan pemilih seperti Amerika Serikat
  3. Presiden tidak termasuk pemegang kekuiasaan legislatif
  4. Presiden tidak dapat membubarkan pemegang kekuasaan legislatif dan tidak dapat memerintahkan diadakan pemilihan

Adapun sistem pemerintahan parlementer mempunyai cirri sebagai berikut:[138]

  1. Kabinet yang dipilih oleh perdana menteri dibentuk atau berdasarkan kekuatan-kekuatan yang menguasasi parlemen
  2. Para anggota cabinet mungkin seluruhnya, mungkin sebagian adalah anggota parlemen
  3. Perdana Menteri bersama cabinet bertanggung jawab kepada Parlemen
  4. Kepala Negara dengan saran atau nasihat perdana menteri dapat membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakannya pemilihan umum

Uraian tentang cirri-ciri sistem pemerintahan parlementer yang secara utuh dan jelas disimpulkan Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dalam bukunya Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, diantaranya:[139]

  1. Raja/ratu atau Presiden adalah sebagai kepala Negara. Kepala Negara tidak bertangung jawab atas segala kebijaksanaan yang diambil oleh kabinet
  2. Ekskutif bertanggung jawab kepada legislatif. Dan yang disebut ekskutif disini adalah Kabinet. Kabinet harus meletakkan atau mengembalikan mandatnya kepada kepala Negara, manakala parlemen mengeluarkan pernyataan mosi tidak percaya kepada menteri tertentu atau seluruh menteri
  3. Dalam sistem dua partai, yang ditunjuk sebagai pembentuk kabinet dan sekaligus sebagai Perdana Menteri adalah ketua partai politik yang memenangkan pemilihan umum. Sedangkan partai politikyang kalah akan berlaku sebagai pihak oposisi
  4. Dalam sistem banyak partai, formatur kabinet harus membentuk kabinet secara koalisi, karena kabinet harus mendapat dukungan kepercayaan dari parlemen
  5. Apabila terjadi perselisihan antara kabinet dengan parlemen, dan kepala Negara beranggapan kabinet berada dalam pihak yang benar, maka kepala Negara akan membubarkan parlemen. Dan adalah menjadi tanggung jawab kabinet untuk melaksanakan pemilihan umum dalam tempo 30 hari setelah pembubaran itu. Sebagai akibatnya, apabila partai politik yang menguasai parlemen menang dalam pemilihan umum tersebut, maka kabinet akan terus memerintah. Sebaliknya apabila partai oposisi yang memenangkan pemilihan umum, maka dengan sendirinya kabinet mengembalikan mandatnya, dan partai politik yang menang akan membentuk kabinet baru.

Uraian yang cukup lengkap pula tentang sistem pemerintahan presidential dikemukakan Jimly Asshiddiqie, yakni :[140]

  1. Presiden dan Wakil Presiden merupakan satu institusi penyelenggara kekuasaan ekskutif Negara tertinggi di bawah Undang-Undang Dasar
  2. Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh rakyat secara langsung
  3. Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dimintakan pertangung jawabannya secara hukum apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum dan konstitusi
  4. Dalam hal terjadi kekosongan dalam jabatanPresiden dan Wakil Presiden pengisiannya dapat dilakukan melalui pemilihan dalam siding Majelis Permusyawaratan Rakyat
  5. Para Menteri adalah Pembantu Presiden dan Wakil Presiden
  6. Untuk membatasi kekuasaan Presiden, maka ditentukan masa jabatan Presiden.

Selanjutnya mengenai sistem referendum yang belum sama sekali disebut sebenarnya seperti pernah disebutkan sebelunya karena dalam sistem demokrasi modern jarang digunakan. Di dalam sistem referendum badan ekskutif merupakan bagian dari badan legislatif.[141] Jadi menurut sistem ini badan legislatif membentuk sub badan di dalamnya sebagai pelaksana tugas pemerintah. Sehingga lembaga kontrol terhadap badan legislatif dalam sistem referendum dilakukan langsung oleh rakyat melalui lembaga referendum.

Dalam pembuatan Undang-Undang dalam sistem referendum ini diputuskan langsung oleh seluruh rakyat melalui:[142]

  1. Refendum Obligator, yakni referendum untuk menentukan disetui atau tidaknya oleh rakyat berlakunyasatu peraturan atau Undang-Undang yang baru. Referendum ini disebut referendum wajib
  2. Referendum fakultatif, yakni referendum untuk menentukan apakah suatu peraturan atau Undang-Undang yang sudah ada dapat terus diberlakukan ataukah harus dicabut. Referendum ini merupakan referendum tidak wajib.

Dalam setiap sistem tentunya pasti terdapat kelebihan dan kekuarangan, adapun tentang kelebihan dan kekuarangan dari masing-masing sistem dapat disimpulkan seperti akan terurai dalam pembahasan dibawah ini.

Kelebihan dari sistem pemerintahan Parlementer adalah:[143]

  1. Menteri-menteri yang diangkat merupakan kehendak dari suara terbanyak di parlemen sehingga secara tidak langsung merupakan kehendak rakyat
  2. Menteri-menteri akan lebih hati-hati dalam menjalankan tugasnya karena setiap saat dapat dijatuhkan oleh parlemen
  3. Mudah mencapai kesesuaian pendapat antara badan ekskuitf dengan legislatif

Sedangkan kelemahan sistem pemerintahan Parlementer adalah:[144]

  1. Sering terjadi pergantian kabinet sehingga kondisi politik menjadi labil
  2. Kedudukan badan ekskutif tidak stabil karena setiap saat dapat diberhentikan leh parlemen melalui mosi tidak percaya
  3. Karena adanya pergantian ekskutif secara mendadak, seringkali ekskutif belum menyelesaikan program kerjanya secara tuntas

Kelebihan dari sistem pemerintahan Presidentiil adalah:[145]

  1. Kedudukan pemerintahan lebih stabil karena tidak dapat dijatuhkan parlemen dalam masa jabatannya
  2. Penyusunan program kerja mudah disesuaikan dengan masa jabatan yang dipegang ekskutif
  3. Pemerintah mempunyai waktuyang cukup untuk melaksanakan programnya tanpa tergangu oleh krisis kabinet
  4. Dapat mencegah terjadinya pemusatan kekuasaan pada satu tangan

Sedangkan kelemahan sistem pemerintahan Presidentiil adalah:[146]

  1. Seringkali muncul keputusan yang tidak tegas karena hampir setiap keputusan merupakan hasil tawar menawarantara legislatif dan ekskutif
  2. Pengambilan keputusan membutuhkan waktu yang cukup lama

 

BAB III

KEKUASAAN PRESIDEN DAN SISTEM PEMERINTAHAN

DI INDONESIA

  1. Kekuasaan Presiden Setelah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah merubah struktur dan bangunan kelembagaan Negara. Tidak terkecuali hal-hal yang berkaitan dengan kekuasaan Presiden. Penguatan lembaga legislatif (legislative power) menjadi issue yang sangat fundamental, sehingga harapan agar tidak terjadi seperti pada saat orde baru yang memposisikan kekuasaan Presiden begitu besar (ekskutive power) akan tercapai.[147] Itulah salah satu yang menjadi salah satu sebab perubahan (amandemen) Undang-Undang Dasar 1945.[148]

Adapun kekuasaan Presiden dalam Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen meliputi :

  1. Kekuasaan Administratif

Kekuasaan Presiden yang merupakan bagian dari kekuasaan Administratif dalam Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen adalah diantaranya :

  • Presiden mengangkat duta dan konsul (pasal 13 ayat (1))
  • Presiden memberi gelar, tanda jasa,dan lain-lain tanda kehormatan (Pasal 15)
  • Presiden membentuk satu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden (Pasal 16)
  • Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri (Pasal 17 ayat (2))
  • Meresmikan anggota Badan Pemeriksa Kekuangan (BPK) (Pasal 23F ayat (1))
  • Menetapkan hakim agung yang sebelumnya diusulkan Komisi Yudisial (KY) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (Pasal 24A Ayat (3))
  • Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial (Pasal 24B Ayat (3))
  • Menetapkan 9 (sembilan) hakim Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C Ayat (3))
  • Mengajukan 3 (tiga) orang calon hakim Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C Ayat (3))

Kekuasaan Presiden yang berhubungan dengan kekuasaan administratif setelah amandemen Undang-Undang Dasar 1945 relatif lebih banyak apabila dibandingkan dengan kekuasaan Presiden sebelum amandemen,[149] hal itu mengingat setelah Undang-Undang Dasar 1945 diamandemen bermunculan lembaga-lembaga negara yang baru yang sebelumnya masih belum terdapat dalam Undang-Undang Dasar sebelum amandemen. Hal itu dimaksudkan agar terdapat mekanisme check and Balance antara lembaga yang satu dengan yang lainnya.[150]

Ada terdapat permasalahan sebenarnya kekuasaan Presiden yang bersifat administratif ini sebenarnya, salah satunya yang berkaitan dengan kekuasaan Presiden dalam hal mengajukan 3 (tiga) orang calon hakim Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C Ayat (3), sebagian pakar hukum tata negara dan pengamat ketatanegaraan berpendapat bahwa hal itu dapat menimbulkan ketidak independenan Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, karena memang terdiri dari lembaga seperti DPR, Presiden dan Mahkamah Agung.[151]

Perdebatan yang masih baru juga adalah permasalahan pembentukan satu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden (Pasal 16), hal itu mengundang polemik sampai sekarang, dikarenakan sampai sekarang belum terealisasi, yang ada hanyalah penasihat Presiden yang hanya bersifat pribadi yang dipilih dan hampir diposisikan seperti dewan pertimbangan Presiden.[152]

Pemberhentian menteri-menteri juga menjadi perdebatan yang menarik, mengingat sekarang Undang-Undang Kementerian negara belum tuntas, sehingga patokan dalam mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri hanyalah bersifat pembagian distribusi politik bagi partai politik. Sehingga yang digunakan adalah kalkulasi politik bukan analisa yang sesuai dengan hukum. Sehingga jabatan menteri negara menjadi jabatan politis yang tergantung dari partai politik yang memperoleh suara dominan di parlemen. Untuk itu sudah sewajarnya apabila menghasilkan pemerintahan yang konservatif.[153]

Secara sederhana apabila dilihat memang kekuasaan Presiden dalam bidang administratif relatif masih minim, namun apabila di teliti kembali, maka kekuasaan Presiden yang bersifat administratif juga bersifat dan terdapat relevansinya dengan kekuasaan yudikatif, dan legislatif. Yang sangat berkaitan erat adalah pada saat penetapan anggota Mahkamah Konstitusi, komisi Yudisial, Badan Pemeriksa Keuangan, dan lain sebagainya.[154]

  1. Kekuasaan Legislatif

          Mengenai kekuasaan Presiden dalam bidang legislatif menurut Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen dapat diurai sebagai berikut :

  • Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (Pasal 5 ayat (1))
  • Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 ayat (2))
  • Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (2))
  • Presiden mengesahkan rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang (Pasal 20 (ayat (4))
  • Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Perpu) (pasal 22 ayat (1))
  • Mengajukan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah (Pasal 23 ayat (2))

Ternyata kekuasaan Presiden apabila dipahami secara mendalam tidak hanya bersifat kekuasaan yang bersifat ekskutif dan administratif saja.[155] Setelah Undang-Udnang Dasar 1945 di amandemen ternyata kekuasaan Presiden yang berkaitan dengan kekuasaan legislatif masih dijumpai dalam beberapa pasal. Salah satunya adalah Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (Pasal 5 ayat (1), Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang, Presiden mengesahkan rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang, Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Perpu) (pasal 22 ayat (1), dan mengajukan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah (Pasal 23 ayat (2).

Implementasi dalam pembentukan Undang-Udnang misalnya, masih terdapat kekusaan Presiden untuk mengajukan rancangan Undang-Undang, padahal kekuasaan membentuk Undang-Undang berada ditangan Dewan Perwakilan Rakyat. Anehnya dalam sejarahnya legislatif jarang sekali menggunanakan haknya untuk mengajukan rancangan Undang-Undang,[156] paling rancangan undang-undang yang berkaitan dengan hal-hal yang berhubungan dengan pemilu, Pilkada, dan lain sebagainya.

Dalam hal mengeluarkan Perpu, belum terdapat kriteria yang jelas dalam mekanisme pembentukan Perpu, hanya saja itu merupakan hak perogratif subjektif Presiden untuk memberikan penilaian apakah terjadi keadaan yang memaksa sehingga diperlukan adanya Perpu.[157] Untuk itu Presiden sebenarnya menjadi power utama untuk menilai dan menyatakan apakah sesuatu hal perlu dikelurkan perpu atau tidak.

  1. Kekuasaan Yudikatif

          Sedangkan kekuasaan Presiden yang berkaitan dengan kekuasaan Yudikatif adalah :

  1. Presiden memberikan grasi[158] dan rehabilitasi[159] dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (Pasal 14 ayat (1))
  2. Presiden memberi amnesti[160] dan abolisi[161] dengan memperhatikan pertimbangan Dewan perwakilan Rakyat (Pasal 14 ayat (2))

Mengenai kekuasaan Presiden yang masuk dalam wilayah kekuasaan Yudikatif ini tidak mengalami perubahan dari naskah yang sebelumnya. Yakni tertuang dalam pasal 14 ayat (1) dan pasal 14 ayat (2). Grasi sendiri adalah pengampunan yang diberikan oleh Presiden dalam kedudukannya sebagai Kepala Negara, sebagai salah satu dari hak perogrative, hak khusus Presiden.

Sedang amnesti merupakan peniadaan sifat pidana atas perbuatan seseorang atau kelompok orang. Meskipun pda umunya amnesti diberikan kepada kelompok yang melakukan tindak pidana dalam hubungan dengan kegiatan politik, namun tidak tertutup kemungkinan amnesti juga dapat diberikan kepada perorangan (person).[162] Sedangkan abolisi lebih kepada peniadaan penuntutan atas suatu tindak pidana. Mengenai rehabilitasi merupakan adalah penegmbalian nama baik, kehormatan, harkat dan martabat seseorang dengan berdasarkan pertimbangan yang dilakukan oleh Presiden.

  1. Kekuasaan Militer

Kekuasaan militer Presiden tertuang dalam Undang_undang-undang Dasar 1945 amandemen adalah:

  • Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara (Pasal 10)
  • Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan rakyat menyatakan perang, membuat perjanjian dengan negara lain (pasal 11)

Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara (Pasal 10), pasal ini tidak terdapat berubahan sama sekali. Namun (pasal 11) yang berbunyi Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan rakyat menyatakan perang, membuat perjanjian dengan negara lain mengalami perubahan yakni dalam hal menyatakan perang, membuat perjanjian dengan negara lain Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan rakyat.[163] Untuk itu Presiden tidak dapat secaara langsung bebas melakukan hal itu tanpa persetujuan Dewan Perwakilan rakyat.

  1. Kekuasaan Diplomatik

Dalam Kekuasaannya Presiden memiliki kekuasaan diplomatik yang tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945 amandemen adalah :

  • Presiden dalam membuat perjanjian internasioanal lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat terkait dengan beban kekuangan negara dan atau mengharuskan perubahan dan pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat (Pasal 11 ayat (2))

Hampir sama dengan sebelumnya bahwa pasal ini sudah ada pada pasal sebelumnya, namun mengalami perubahan yakni harus mendapat persetujuan dari dewan perwakilan rakyat. Untuk itu tidak dapat secara langsung bebas melakukan hal itu tanpa persetujuan Dewan Perwakilan rakyat.

  1. Kekuasaan Darurat

          Kekuasaan darurat Presiden diatur dalam pasal 12 Undang-Undang Dasar 1945 amandemen yang berbunyi :

  • Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-Undang (Pasal 12)

Mengenai kekuasaan Presiden untuk menyatakan keadaan bahaya sangat erat kaitannya dengan kekuasaan Presiden dalam mengeluarkan Perpu yang sudah dijelaskan pada bab diatas. Hal itu sangat berkaitan erat dengan hak perogratif Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan yang belum jelas tentang unsur-unsurnya dan patokan tentang keadaan darurat sehingga Presiden dapat mengeluarkan Perpu.

Namun dalam hal unsur-unsur yang ada dalam keadaan negara darurat diantaranya:[164]

  1. Adanya bahaya negara yang patut dihadapi dengan uapaya luar biasa
  2. Upaya biasa, pranata yang umum dan lazim tidak memadai untuk digunakan menanggapi dan menangulangi bahaya yang ada
  3. Kewenangan luar biasa yang diberikan dengan hukum kepada pemerintah untuk secepatnyamengakhiri bahaya darurat tersebut, kembali ke dalam kehidupan normal
  4. Wewenang luar biasa itu dan HTN Darurat itu adalah untuk sementara waktu saja, sampai keadaan darurat itu dipandang tidak membahayakan lagi

Untuk itu keadaan darurat ini dapat dikatakan sebagai hak perogratif yang utama selain hak-hak lain yang melekat pada Presiden.

Mengenai sistem pemerintahan yang dianut berdasarkan kekuasaan Presiden yang telah diurai diatas adalah mendekatai Presidensial, meskipun kalau dicerna lagi maka sebenarnya adalah sistem quasi parlementer dan presidential, mengingat meskipun Presiden adalah kepala negara dan kepala pemerintahan[165], Presiden dan wakil dipilih secara langsung, Presiden dapat memberhentikan menteri-menteri dan jabatannya dibatasi selama 5 (lima) tahun namun dalam Undang-Undang Dasar masih terdapat mekanisme penjatuhan Presiden melalui metode impeachment oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), untuk itu meskipun dapat dikatakn lebih dekat kedalam sistem presidential, namun dengan adanya itu Indonesia belum murni dapat dikatakan menganut sistem Presidential, akan tetapi sistem Quasi presidential dan parlementer. Untuk itu masih terdapat pihak-pihak yang masih menginginkan untuk diadakannya amandemen kelima UUD 1945 terutama berkaitan dengan kekuasaan lembaga kepresidenan.[166]

  1. Kekuasaan Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945

Prokalamasi kemerdekaan Indonesia yang dibacakan Soekarno memberikan perubahan yang sangat besar bagi perkembangan ketatanegaraan di Indonesia. Nilai-nilai yang terkandung dalan naskah proklamasi ini yang harus dijadikan sumber inspirasi, sumber rujukan, dan sekaligus sebagai norma kritik oleh pemerintah maupun legislatif dalam pembuatan peraturan peraturan perundang-undangan dan kebijakan.[167] Untuk itu setelah proklamasi dibacakan Indonesia untuk menyempurnakan negara pada tanggal 18 agustus 1945 Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia berhasil menetapkan dan mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945.[168]

Adapun kekuasaan Presiden dalam Undang-Undang Dasar 1945 meliputi :

  1. Kekuasaan Administratif

Kekuasaan Presiden yang merupakan bagian dari kekuasaan Administratif dalam Undang-Undang Dasar 1945 adalah diantaranya :

  • Presiden mengangkat duta dan konsul (pasal 13 ayat (1))
  • Presiden memberi gelar, tanda jasa,dan lain-lain tanda kehormatan (Pasal 15)
  • Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri (Pasal 17 ayat (2))

Dalam wilayah kekuasaan administrasi karena di Indonesia berbeda dengan yang ada di Amerika, yang mana Presiden hanya memiliki kekuasaan ekskutif saja, akan tetapi di Indonesia dapat mengangkat dan memberhentikan beberapa lembaga negara menurut Undang-Undang Dasar 1945.[169] Kekuasaan administratif juga termasuk kekuasaan untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat-pejabat tinggi negara.

  1. Kekuasaan Legislatif

          Mengenai kekuasaan Presiden dalam bidang legislatif menurut Undang-Undang Dasar 1945 dapat diurai sebagai berikut :

  • Presiden republik Indonesia memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (Pasal 5 ayat (1))
  • Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 ayat (2))
  • Presiden mengesahkan rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang (Pasal 21 (ayat (2))
  • Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Perpu) (pasal 22 ayat (1))

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 kekuasaan Presiden lebih dominan dari pada kekuasaan legislatif.[170] Kekuasaan Presiden tidak hanya terbatas pada kekuasaannya sendiri, namun juga kekuasaan yang dipegang bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Kekuasaan yang sangat kuat dapat dilihat dalam hal DPR tidak menyetujui anggaran yang diajukan Pemerintah maka Pemerintah dapat menjalankan anggaran tahun yang lalu. Hal yang sama dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Perpu), ditambah lagi Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.[171]

  1. Kekuasaan Yudikatif

          Sedangkan kekuasaan Presiden yang berkaitan dengan kekuasaan Yudikatif adalah :

  • Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi (Pasal 14)

Presiden dapat memberikan grasi terhadap orang yang dihukum, baik dapat berupa pengurangan hukuman maupun penghapusan hukuman, hal itu dapat dilakukan dengan adanya grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi yang merupakan kekuasaan Presiden dalam bidang yudikatif.

  1. Kekuasaan Militer

Kekuasaan militer Presiden tertuang dalam Undang_undang-undang Dasar 1945 adalah:

  • Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara (Pasal 10)

Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan perang, tetapi Undang-Undang Dasar menyatakan diatur dengan Undang-Undang.

  1. Kekuasaan Diplomatik

Dalam Kekuasaannya Presiden memiliki kekuasaan diplomatik yang tertuang dalam Undang_undang-undang Dasar 1945 adalah :

  • Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan rakyat menyatakan perang, membuat perjanjian dengan negara lain (pasal 11)

Kekuasaan diplomatik adalah kekuasaan yang beritan dengan hubungan luar negeri, terutama yang berkaitan dengan menyetujui perjanjian-perjanjian luar negeri dan menyatakan perang, namun sebelumnya harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan rakyat.

  1. Kekuasaan Darurat

          Kekuasaan darurat Presiden diatur dalam pasal 12 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi :

  • Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-Undang (Pasal 12)

Mengenai kekuasaan dalam keadaan darurat Presiden dapat menyatakan keadaan bahaya, akan tetapi masih diatur dalam Undang-Undang.

Berdasarkan kekuasaan yang dimiliki Presiden diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sistem pemerintahan yang digunakan Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah sistem quasi anatara parlementer dan presidential, mengingat dengan pertimbangan bahwa Presiden dipilih dan diangkat dan diberhentikan oleh MPR, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, Presiden adalah mandataris MPR dan Presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR.

  1. Kekuasaan Presiden Menurut Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949

     Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 agustus 1945 yang mendapat sambutan apresiatif dari masyarakat. Ditengah-tengah itulah ternyata Tentara Pendudukan Jepang tidak mau menyerahkan kekuasaan kepada rakyat Indonesia. Untuk itu Jepang masih terus berusaha agara Indonesia masih tetap dijajah. Dilain pihak Belanda juga tidak ingi serta-merta memberikan kemerdekaan bagi Indonesia dan ingin tetap berkuasa di Hindia-Belanda.

Untuk itulah Belanda berkenginan untuk membentuk Indonesia sebagai negara Serikat, salah satunya agar kepentinagan-kepentingan negara federal dapat terjamin, untuk itulah kemudian didirikanlah Indonesia serikat pada tanggal 27 desember 1949 berkat konferensi meja Bundar. Dalam hal itulah kemudian Undang-Undang Dasar juga diganti menjadi Konstitusi Republik Indonesia Serikat.[172]

Adapun kekuasaan Presiden dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 meliputi :

  1. Kekuasaan Administratif

Kekuasaan Presiden yang merupakan bagian dari kekuasaan Administratif dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 adalah diantaranya :

  • Presiden mempunyai kekuasaan untuk mengangkat Perdana Menteri dan menteri-menteri (pasal 74 ayat (2))
  • Presiden mengangkat ketua Senat dari anjuran yang diajukan oleh senat dan memuat sekurang-kurangnya dua orang, baik dari dari antara sendiri maupun tidak (pasal 85 (ayat (1)))
  • Untuk pertama kali dan selama Undang-Undang federal belum menetapkan lain, ketua, wakil ketua, dan anggota-anggota mahkamah Agung diangkat oleh Presiden setelah mendengar senat (Pasal 114 ayat (1))
  • Untuk pertama kali dan selama Undang-Undang federal belum menetapkan lain, ketua, wakil ketua, dan anggota-anggota dewan pengawas keuangan diangkat oleh Presiden setelah mendengarkan senat (pasal 116 ayat (1))
  • Dewan perwakilan rakyat memilih dari antaranya seorang ketua dan seorang atau beberapa orang wakil ketua. Pemilihan-pemilihan ini membutuhkan pengesahan Presiden. (Pasal 103 (ayat (1))

Kekuasaan Presiden dalam bidang administratif menurut Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 relatif banyak, salah satunya adalah Presiden mempunyai kekuasaan untuk mengangkat Perdana Menteri dan menteri-menteri, mengangkat ketua Senat dari anjuran yang diajukan oleh senat dan memuat sekurang-kurangnya dua orang, baik dari dari antara sendiri maupun tidak, menetapkan lain, ketua, wakil ketua, dan anggota-anggota mahkamah Agung diangkat oleh Presiden setelah mendengar senat, menetapkan lain, ketua, wakil ketua, dan anggota-anggota dewan pengawas keuangan dan mengesahkan Ketua dan Wakil Ketua Dewan Perwakilan rakyat.

  1. Kekuasaan Legislatif

          Mengenai kekuasaan Presiden dalam bidang legislatif menurut Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 dapat diurai sebagai berikut :

  • Peraturan-peraturan menjalankan undang-undang ditetapkan oleh pemerintah, namanya peraturan pemerintah (Pasal 141)
  • Undang-Undang federal dan peraturan pemerintah dapat memerintahkan kepada alat-alat perlengkapan lain dalam Republik Indonesia Serikat mengatur selanjutnya pokok yang tertentu yang diterangkan dalam ketentuan-ketentuan undang-undang dan peraturan itu (pasal 142 ayat (2))

Untuk kekuasaan Presiden yang berkaitan dengan legisatif adalah menjalankan undang-undang ditetapkan oleh pemerintah.

  1. Kekuasaan Yudikatif

          Sedangkan kekuasaan Presiden yang berkaitan dengan kekuasaan Yudikatif adalah :

  • Presiden mempunyai hak memberi ampun dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman.
  • Jika hukuman mati dijatuhakn, maka keputusan kehakiman itu tidak dapat dijalankan, melainkan sesudah Presiden menurut aturan-aturan yang diterapkan dengan Undang-Undang Federal diberikan kesempatan untuk memberi ampun (pasal 160 ayat (2))

Kekuasaan Yudikatif Presiden menurut Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 adalah memberi ampun dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman dan Presiden menurut aturan-aturan yang diterapkan dengan Undang-Undang Federal diberikan kesempatan untuk memberi ampun kepada seseorang yang melakukan tindak pidana.

  1. Kekuasaan Militer

Kekuasaan militer Presiden tertuang dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 adalah:

  • Presiden ialah panglima tertinggi tentara republik indonesia serikat (pasal 182 (ayat (1))

Dalam bidang militer ini Presiden sebagai panglima tertinggi tentara Republik Indonesia Serikat.

  1. Kekuasaan Diplomatik

Dalam Kekuasaannya Presiden memiliki kekuasaan diplomatik yang tertuang dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1950 adalah :

  • Presiden mengadakan dan mengesahkan segala perjanjian (traktat) dan persetujuan lain dengan negara-negara lain (pasal 175 ayat (1))
  • Presiden menerima wakil-wakil negara lain pada republik Indonesia serikat dan mengangkat wakil dari yang terakhir ini pada negara-negara lain (pasal 178)

Mengenai kekuasaan Presiden yang berhubungan dengan kekuasaan diplomatik adalah Presiden mengadakan dan mengesahkan segala perjanjian (traktat) dan persetujuan lain dengan negara-negara lain dan menerima wakil-wakil negara lain pada republik Indonesia serikat dan mengangkat wakil dari yang terakhir ini pada negara-negara lain.

Adapun sistem pemerintahan berdasarkan kekuasaan Presiden berdasarkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat adalah sistem parlementer, yang mana kabinet atau menteri bertanggung jawab kepada parlemen (DPR), namun sistem parlementer yang dianut tidak murni parlementer, akan tetapi masih terdapat unsur-unsur presidensial dikarenakan Presiden tidak dipilih oleh rakyat secar langsung akan tetapi dipilih oleh parlemen.

  1. Kekuasaan Presiden Menurut Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950

Seperti halnya dengan Undang-Undang Dasar yang sebelumnya, maka Undang Undang Dasar Sementara Tahun 1950 adalah dimaksudkan untuk bersifat sementara. Sifat kesementaraannya dari Undang-Undang Dasar ini ditunjukkan dari nama resminya dimana dipergunakan istilah ”sementara”. Dalam hal ini berbeda dengan Undang-Undang Dasar yang sebelumnya, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 dan Konstitusi Republik Indonesia Serikat ternyata tidak dipergunakan istilah ”sementara”. Di lain pihak sifat kesementaraannya itu juga tertuang dalam pasal 134 Undang Undang Dasar Sementara Tahun 1950 yang pada pokoknya berisi bahwa Konsitusiante bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950.

Adapun kekuasaan Presiden dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950 meliputi :

  1. Kekuasaan Administratif

Kekuasaan Presiden yang merupakan bagian dari kekuasaan Administratif dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950 adalah diantaranya :

  • Presiden mengangkat wakil Presiden dari anjuran yang dimajukan oleh dewan perwakilan rakyat (pasal 45 (ayat (4))
  • Presiden membentuk kementerian-kementerian (pasal 50)
  • Mengesahkan ketua dan wakil ketua Dewan Perwakilan rakyat (Pasal 62 (ayat (1))
  • Presiden mengangkat wakil-wakil RI pada negara lain dan menerima wakil negara lain (Pasal 123)

Dalam kekuasaan Presiden yang bersifat administratif cukup banyak yang diantaranya mengangkat wakil Presiden dari anjuran yang dimajukan oleh dewan perwakilan rakyat, membentuk kementerian-kementerian, Mengesahkan ketua dan wakil ketua Dewan Perwakilan rakyat dan mengangkat wakil-wakil RI pada negara lain dan menerima wakil negara lain.

  1. Kekuasaan Legislatif

          Mengenai kekuasaan Presiden dalam bidang legislatif menurut Undang-Undang Dasar Sementara 1950 dapat diurai sebagai berikut :

  • Presiden berhak membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 84)
  • Pemerintah berhak mengusulkan tentang Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (pasa 90 (ayat (1))
  • Menerima penolakan undang-undang yang diajukan kepada Dewan Perwakilan rakyat (pasal 92 (ayat (2))
  • Presiden mengesah kan undang-undang (pasal 93 )

Kekuasaan Presiden yang terkait dengan kekuasaan legislatif menurut Undang-Undang Dasar Sementara 1950 adalah Presiden berhak membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat, berhak mengusulkan tentang Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Menerima penolakan undang-undang yang diajukan kepada Dewan Perwakilan rakyat dan mengesah kan undang-undang.

  1. Kekuasaan Yudikatif

          Sedangkan kekuasaan Presiden yang berkaitan dengan kekuasaan Yudikatif adalah :

  • Presiden mempunyai hak memberi grasi dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan pengadilan (pasal 107 (ayat (1))

Hampir sama dengan kekuasaan yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar yang lainnya yakni Presiden mempunyai hak memberi grasi dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan pengadilan.

  1. Kekuasaan Militer

Kekuasaan militer Presiden tertuang dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950 adalah:

  • Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas angkatan perang republik indonesia (Pasal 127)

Pasal ini sama dengan bunyi pasal-pasal yang sebelumnya yakni Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas angkatan perang republik indonesia.

  1. Kekuasaan Diplomatik

Dalam Kekuasaannya Presiden memiliki kekuasaan diplomatik yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950 adalah :

  • Presiden mengadakan dan mengesahkan perjanjian (traktat) dan persetujuan lain dengan negara-negara lain (pasal 120 ayat (1))

Jadi kekuasaan Presiden menurut Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berkaitan dengan kekuasaan diplomatik adalah Presiden mengadakan dan mengesahkan perjanjian (traktat) dan persetujuan lain dengan negara-negara lain.

  1. Kekuasaan Darurat

          Kekuasaan darurat Presiden diatur dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950 yang berbunyi :

  • Presiden menyatakan keadaan bahaya sebagian atau keseluruhan di luar dan didalam negeri (pasal 129)

Kekuasaan darurat dalam Undang-Undang Dasar Sementara 1950 ini sama dengan pembahasan sebelumnya, yakni Presiden menyatakan keadaan bahaya sebagian atau keseluruhan di luar dan didalam negeri.

Berdasarkan ulasan singkat diatas, maka sebenarnya sistem pemerintahan dalam Undang-Undang Dasar Sementara adalah lebih dekat kepada sistem pemerintahan Parlementer mengingat Presiden hanyalah merupakan Kepala Negara dan bukan kepala pemerintahan dan para menteri bertanggung jawab kepada parlemen. Namun tidak murni sistem pemerintahan Parlementer yang digunakan dikarenakan Presiden tidak dipilih secara langsung oleh rakyat.

  1. Kekuasaan Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Dekrit Presiden 5 Juli 1959

Undang-Undang Dasar 1945 pernah berlaku selama dua kurun waktu. Waktu pertama berlaku Undang-Undang Dasar 1945 sebagimana diundangkan dalam Berita Republik Indonesia tahun II No. 7, sedangkan waktu kedua Undang-Undang Dasar 1945 berlaku kembali dikarenakan gagalnya Konstitusiante menetapkan Undang-Undang Dasar yang baru untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Sementara 1950. Perbedaannya adalah bahwa Undang-Undang Dasar 1945 dengan Undang-Undang Dasar 1945 dekrit Presiden 5 Juli 1959 yakni Undang-Undang Dasar 1945 tidak terdapat penjelasannya, sedangkan Undang-Undang Dasar 1945 dekrit Presiden 5 Juli 1959 terdapat penjelasannya. Sedangkan isinya sama diantara keduanya. Kekuasaan Presiden pada saat berlakunya Undang-Undang Dasar ini lembaga kepresidenan mempunyai posisi primus inter pares,[173] yakni posisi yang menguntungkan dibandingkan dengan lembaga-lembaga yang lain. Hal itu dikarenakan Presiden dapat menafsirkan secara bebas dan luas terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Adapun kekuasaan Presiden dalam Undang-Undang Dasar 1945 Dekrit Presiden 5 Juli 1959 meliputi :

  1. Kekuasaan Administratif

Kekuasaan Presiden yang merupakan bagian dari kekuasaan Administratif dalam Undang-Undang Dasar 1945 Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah diantaranya :

  • Presiden mengangkat duta dan konsul (pasal 13 ayat (1))
  • Presiden memberi gelar, tanda jasa,dan lain-lain tanda kehormatan (Pasal 15)
  • Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri (Pasal 17 ayat (2))

Dalam wilayah kekuasaan administrasi karena di Indonesia berbeda dengan yang ada di Amerika, yang mana Presiden hanya memiliki kekuasaan ekskutif saja, akan tetapi di Indonesia dapat mengangkat dan memberhentikan beberapa lembaga negara menurut Undang-Undang Dasar 1945. Kekuasaan administratif juga termasuk kekuasaan untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat-pejabat tinggi negara.

  1. Kekuasaan Legislatif

          Mengenai kekuasaan Presiden dalam bidang legislatif menurut Undang-Undang Dasar 1945 Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dapat diurai sebagai berikut :

  • Presiden republik Indonesia memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (Pasal 5 ayat (1))
  • Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 ayat (2))
  • Presiden mengesahkan rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang (Pasal 21 (ayat (2))
  • Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Perpu) (pasal 22 ayat (1))

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 dekrit 5 juli 1959 kekuasaan Presiden lebih dominan dari pada kekuasaan legislatif. Kekuasaan Presiden tidak hanya terbatas pada kekuasaannya sendiri, namun juga kekuasaan yang dipegang bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Kekuasaan yang sangat kuat dapat dilihat dalam hal DPR tidak menyetujui anggaran yang diajukan Pemerintah maka Pemerintah dapat menjalankan anggaran tahun yang lalu. Hal yang sama dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Perpu), ditambah lagi Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya

  1. Kekuasaan Yudikatif

          Sedangkan kekuasaan Presiden yang berkaitan dengan kekuasaan Yudikatif adalah :

  • Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi (Pasal 14)

Presiden dapat memberikan grasi terhadap orang yang dihukum, baik dapat berupa pengurangan hukuman maupun penghapusan hukuman, hal itu dapat dilakukan dengan adanya grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi yang merupakan kekuasaan Presiden dalam bidang yudikatif.

  1. Kekuasaan Militer

Kekuasaan militer Presiden tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah:

  • Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara (Pasal 10)

Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas angkatan perang, tetapi Undang-Undang Dasar menyatakan diatur dengan Undang-Undang.

  1. Kekuasaan Diplomatik

Dalam Kekuasaannya Presiden memiliki kekuasaan diplomatik yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 Dekrit Presiden 5 Juli 1959 adalah :

  • Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan rakyat menyatakan perang, membuat perjanjian dengan negara lain (pasal 11)

Kekuasaan diplomatik adalah kekuasaan yang beritan dengan hubungan luar negeri yang berkaitan dengan menyetujui perjanjian luar negeri dan menyatakan perang, namun harus mendapat persetujuan DPR.

  1. Kekuasaan Darurat

          Kekuasaan darurat Presiden diatur dalam pasal 12 Undang-Undang Dasar 1945 Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang berbunyi :

  • Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-Undang (Pasal 12)

Mengenai kekuasaan dalam keadaan darurat Presiden dapat menyatakan keadaan bahaya, akan tetapi masih diatur dalam Undang-Undang.

Mengenai sistem pemerintahan yang dipergunakan adalah sama seperti halnya Undang-Undang Dasar 1945 yakni sistem pemerintahan yang digunakan Indonesia menurut Undang-Undang Dasar 1945 adalah sistem quasi anatara parlementer dan presidential, mengingat dengan pertimbangan bahwa Presiden dipilih dan diangkat dan diberhentikan oleh MPR, MPR adalah pemegang kekuasaan tertinggi, Presiden adalah mandataris MPR dan Presiden tunduk dan bertanggung jawab kepada MPR.

  1. Tabel Perbandingan Kekuasaan Presiden Setelah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dengan Undang-Undang Dasar (konstitusi) yang pernah berlaku di Indonesia
  1. Kekuasaan Presiden Setelah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen
No. Kekuasaan Bidang Uraian / Pasal
1 Administratif §  Presiden mengangkat duta dan konsul (pasal 13 ayat (1))

§  Presiden memberi gelar, tanda jasa,dan lain-lain tanda kehormatan (Pasal 15)

§  Presiden membentuk satu dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada Presiden (Pasal 16)

§  Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri (Pasal 17 ayat (2))

§  Meresmikan anggota Badan Pemeriksa Kekuangan (BPK) (Pasal 23F ayat (1))

§  Menetapkan hakim agung yang sebelumnya diusulkan Komisi Yudisial (KY) kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (Pasal 24A Ayat (3))

§  Dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden mengangkat dan memberhentikan anggota Komisi Yudisial (Pasal 24B Ayat (3))

§  Menetapkan 9 (sembilan) hakim Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C Ayat (3))

§  Mengajukan 3 (tiga) orang calon hakim Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C Ayat (3))

2 Kekuasan Legislatif §  Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (Pasal 5 ayat (1))

§  Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 ayat (2))

§  Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama (Pasal 20 ayat (2))

§  Presiden mengesahkan rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang (Pasal 20 (ayat (4))

§  Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Perpu) (pasal 22 ayat (1))

§  Mengajukan rancangan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dengan pertimbangan Dewan Perwakilan Daerah (Pasal 23 ayat (2))

3 Kekuasaan Yudikatif §  Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (Pasal 14 ayat (1))

§  Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan perwakilan Rakyat (Pasal 14 ayat (2))

4 Kekuasaan Militer §  Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara (Pasal 10)

§  Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan rakyat menyatakan perang, membuat perjanjian dengan negara lain (pasal 11)

5 Kekuasaan Diplomatik §  Presiden dalam membuat perjanjian internasioanal lainnya yang menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat terkait dengan beban kekuangan negara dan atau mengharuskan perubahan dan pembentukan Undang-Undang harus dengan persetujuan dewan perwakilan rakyat (Pasal 11 ayat (2))
6 Kekuasaan Darurat §  Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-Undang (Pasal 12)
  1. Kekuasaan Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945
No. Kekuasaan Bidang Uraian / Pasal
1 Administratif §  Presiden mengangkat duta dan konsul (pasal 13 ayat (1))

§  Presiden memberi gelar, tanda jasa,dan lain-lain tanda kehormatan (Pasal 15)

§  Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri (Pasal 17 ayat (2))

2 Kekuasan Legislatif §  Presiden republik Indonesia memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (Pasal 5 ayat (1))

§  Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 ayat (2))

§  Presiden mengesahkan rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang (Pasal 21 (ayat (2))

§  Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Perpu) (pasal 22 ayat (1))

3 Kekuasaan Yudikatif §  Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi (Pasal 14)
4 Kekuasaan Militer §  Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara (Pasal 10)
5 Kekuasaan Diplomatik §  Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan rakyat menyatakan perang, membuat perjanjian dengan negara lain (pasal 11)
6 Kekuasaan Darurat §  Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-Undang (Pasal 12)
  1. Kekuasaan Presiden Menurut konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949
No. Kekuasaan Bidang Uraian / Pasal
1 Administratif §  Presiden mempunyai kekuasaan untuk mengangkat Perdana Menteri dan menteri-menteri (pasal 74 ayat (2))

§  Presiden mengangkat ketua Senat dari anjuran yang diajukan oleh senat dan memuat sekurang-kurangnya dua orang, baik dari dari antara sendiri maupun tidak (pasal 85 (ayat (1)))

§  Untuk pertama kali dan selama Undang-Undang federal belum menetapkan lain, ketua, wakil ketua, dan anggota-anggota mahkamah Agung diangkat oleh Presiden setelah mendengar senat (Pasal 114 ayat (1))

§  Untuk pertama kali dan selama Undang-Undang federal belum menetapkan lain, ketua, wakil ketua, dan anggota-anggota dewan pengawas keuangan diangkat oleh Presiden setelah mendengarkan senat (pasal 116 ayat (1))

§  Dewan perwakilan rakyat memilih dari antaranya seorang ketua dan seorang atau beberapa orang wakil ketua. Pemilihan-pemilihan ini membutuhkan pengesahan Presiden. (Pasal 103 (ayat (1))

2 Kekuasan Legislatif §  Peraturan-peraturan menjalankan undang-undang ditetapkan oleh pemerintah, namanya peraturan pemerintah (Pasal 141)

§  Undang-Undang federal dan peraturan pemerintah dapat memerintahkan kepada alat-alat perlengkapan lain dalam Republik Indonesia Serikat mengatur selanjutnya pokok yang tertentu yang diterangkan dalam ketentuan-ketentuan undang-undang dan peraturan itu (pasal 142 ayat (2))

3 Kekuasaan Yudikatif §  Presiden mempunyai hak memberi ampun dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan kehakiman.

§  Jika hukuman mati dijatuhakn, maka keputusan kehakiman itu tidak dapat dijalankan, melainkan sesudah Presiden menurut aturan-aturan yang diterapkan dengan Undang-Undang Federal diberikan kesempatan untuk memberi ampun (pasal 160 ayat (2))

4 Kekuasaan Militer §  Presiden ialah panglima tertinggi tentara republik indonesia serikat (pasal 182 (ayat (1))
5 Kekuasaan Diplomatik §  Presiden mengadakan dan mengesahkan segala perjanjian (traktat) dan persetujuan lain dengan negara-negara lain (pasal 175 ayat (1))

§  Presiden menerima wakil-wakil negara lain pada republik Indonesia serikat dan mengangkat wakil dari yang terakhir ini pada negara-negara lain (pasal 178)

  1. Kekuasaan Presiden Menurut Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950
No. Kekuasaan Bidang Uraian / Pasal
1 Administratif §  Presiden mengangkat wakil Presiden dari anjuran yang dimajukan oleh dewan perwakilan rakyat (pasal 45 (ayat (4))

§  Presiden membentuk kementerian-kementerian (pasal 50)

§  Mengesahkan ketua dan wakil ketua Dewan Perwakilan rakyat (Pasal 62 (ayat (1))

§  Presiden mengangkat wakil-wakil RI pada negara lain dan menerima wakil negara lain (Pasal 123)

2 Kekuasan Legislatif §  Presiden berhak membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 84)

§  Pemerintah berhak mengusulkan tentang Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat (pasal 90 (ayat (1))

§  Menerima penolakan undang-undang yang diajukan kepada Dewan Perwakilan rakyat (pasal 92 (ayat (2))

§  Presiden mengesah kan undang-undang (pasal 93 )

3 Kekuasaan Yudikatif §  Presiden mempunyai hak memberi grasi dari hukuman-hukuman yang dijatuhkan oleh keputusan pengadilan (pasal 107 (ayat (1))
4 Kekuasaan Militer §  Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas angkatan perang republik indonesia (Pasal 127)
5 Kekuasaan Diplomatik §  Presiden mengadakan dan mengesahkan perjanjian (traktat) dan persetujuan lain dengan negara-negara lain (pasal 120 ayat (1))
6 Kekuasaan Darurat §  Presiden menyatakan keadaan bahaya sebagian atau keseluruhan di luar dan didalam negeri (pasal 129)
  1. Kekuasaan Presiden Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Dekrit Presiden 5 Juli 1959
No. Kekuasaan Bidang Uraian / Pasal
1 Administratif §  Presiden mengangkat duta dan konsul (pasal 13 ayat (1))

§  Presiden memberi gelar, tanda jasa,dan lain-lain tanda kehormatan (Pasal 15)

§  Mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri (Pasal 17 ayat (2))

2 Kekuasan Legislatif §  Presiden republik Indonesia memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (Pasal 5 ayat (1))

§  Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 ayat (2))

§  Presiden mengesahkan rancangan Undang-Undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi Undang-Undang (Pasal 21 (ayat (2))

§  Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang (Perpu) (pasal 22 ayat (1))

3 Kekuasaan Yudikatif §  Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi (Pasal 14)
4 Kekuasaan Militer §  Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas angkatan darat, angkatan laut dan angkatan udara (Pasal 10)
5 Kekuasaan Diplomatik §  Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan rakyat menyatakan perang, membuat perjanjian dengan negara lain (pasal 11)
6 Kekuasaan Darurat §  Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan Undang-Undang (Pasal 12)


BAB IV

PENUTUP

  1. Kesimpulan
  1. Kekuasaan Presiden menurut Undang-Undang Dasar 1945 amandemen mencakup kekuasaan yang berhubungan dengan kekuasaan administartif, kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif, kekuasaan militer, kekuasaan diplomatik dan kekuasaan darurat, sedangkan sistem pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar 1945 amandemen adalah lebih dekat kepada sistem Presidensial, namun apabila dikaji lebih lanjut maka sebenarnya sistem pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar 1945 amandemen adalah quasi presidensial dan parlementer apbila dilihat dari mekanisme impeacment yang pada akhirnya diputuskan oleh Majelis Perwakilan Rakyat.
  2. Kekuasaan Presiden menurut menurut Undang-Undang Dasar 1945 terdiri dari kekuasaan administratif, kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif, kekuasaan militer, kekuasaan diplomatik dan kekuasaan darurat, sedangkan sistem pemerintahannya adalah quasi presidensial dan parlementer. Kekuasaan Presiden menurut Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949 terdiri dari kekuasaan administratif, kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif, kekuasaan militer dan kekuasaan diplomatik, sedangkan sistem pemerintahannya adalah sistem parlementer, akan tetapi masih terdapat unsur-unsusr presidensial mengingat Presiden tidak dipilih langsung oleh rakyat. Kekuasaan Presiden menurut Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 terdiri dari kekuasaan administratif, kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif, kekuasaan militer, kekuasaan diplomatik dan kekuasaan darurat, sedangkan sistem pemerintahannya adalah sistem parlementer, namun belum juga dapat dikatakan sebagai sistem parlemeter murni, mengingat Presiden tidak dipilih langsung oleh rakyat. Kekuasaan Presiden menurut Undang-Undang Dasar hasil Dekrit Presiden 5 juli 1959 terdiri dari kekuasaan administratif, kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif, kekuasaan militer, kekuasaan diplomatik dan kekuasaan darurat, sedangkan sistem pemerintahannya adalah quasi presidensial dan parlementer.
  1. Saran
  1. Perlu diadakannya amandemen kembali terutama hal-hal yang berkaitan dengan kekuasaan Presiden dalam Undang-Undang Dasar 1945 amandemen, terutama kekuasaan-kekuasaan yang bersifat perogratif perlu diatur lebih lanjut dengan bentuk Undang-Undang agar terdapat patokan dalam setiap hak perogratif yang akan dilaksanakan, sehingga patokannya justru bukan bersifat politis, akan tetapi terdapat dasar hukum yang mengaturnya. Mengenai sistem pemerintahan juga perlu diadakan perubahan yakni harus konsisten dengan teori-teori sistem pemerintahan yakni apakah sistem presidensial ataukah sistem parlementer.
  2. Agar kekuasaan Presiden dan sistem pemerintahan berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 (konsitusi) yang pernah berlaku di Indonesia yakni Undang-Undang Dasar 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949, Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 dan Undang-Undang Dasar hasil Dekrit Presiden 5 juli 1959 dapat dijadikan bahan acuan sejarah dalam amandemen Undang-Undang Dasar berikutnya, tentunya dengan mengambil hal-hal yang baik dan tidak perlu dimasukkan hal-hal yang tidak baik.

 

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988

Abdul Hamid Saleh Attamimi, UUD 1945-Tap MPR-Undang-Undang, dalam Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985

 

Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005

Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum (Civil Law, Common Law, Hukum Islam), Rajawali Pers, Jakarta, 2004

Abdul Mukti Fajar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, 2006

Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006

Arinanto, Satya, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, PSHTNFHUI, Jakarta, 2008

————-, Hukum dan Demokrasi, PSHTNFHUI, Jakarta

————-,Politik Hukum 1, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, Edisi Pertama

————-,Politik Hukum 2, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, Edisi Pertama

————-,Politik Hukum 3, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, Edisi Pertama

Afan Gafar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Jakarta, 2004

A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Terjemahan Murhadi dan Nurainun Mangunsong, Nusamedia, Bandung, 2007

Azed, Abdul Bari, Hukum Tata Negara Indonesia (Kumpulan tulisan), PSHTNFHUI, Jakarta

Bagir Manan, Perkembangan dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, YHDS, Bandung, 2006

—————-, Lembaga Kepresidenan, Gama Media, Yogyakarta, 1999

Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII Press, 2005

—————–, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Upaya Membangun Kesadaran dan Pemahaman Kepada Publik akan Hak-hak Konstitusionalnya yang dapat diperjuangkan dan dipertahankan Melalui Mahkamah Konstitusi), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006

Bintan Regen Siragih, Perubahan, Penggantian dan Penetapan Undang-Undang Dasar di Indonesia, CV. Utomo, Bandung, 2006

Budiman N.D.P Sinaga, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, UII Press, Yogyakarta, 2005

C.F. Strong, Modern Political Constitutions : An Introduction to the Comparative Study and Existing Form, Terjemahan SPA Teamwork, Nusamedia, Bandung, 2004

Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004

Dasril Rajab, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2005

Diamond, Larry, Revolusi Demokrasi Perjuangan Untuk Kebebasan Dan Pluralisme Di Negara Sedang Berkembang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994

Djokosoetono, Ilmu Negara, In Hill Co, Jakarta, 2006

El-Mahtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, Pustaka Kencana, Jakarta, 2005

Erni Setyowati, Panduan Praktis Pemantauan Proses Legislasi, PSHK, Jakarta, 2005

Eidelberg, Paul, The Philosopy Of The American Constitution, Toronto: Collier-Macmillan Canada, 1968

De Tocqueville, Alexis, Democracy In America, New York: Washington Square Press, 1965

Fadjar, Abdul Muktie, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Konpress, Jakarta, 2006

  1. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Dwiwantara, Bandung, 1964

Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokusmedia, Bandung, 2007

Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, Bumi aksara, Jakarta, 2006

Hans Kelsen, Pure Theory Of Law, Berkely: Unibersity California Press 1978

—————, General Theory Of Law And State, Terjemahan Somardi, Bee Media Indonesia, Jakarta, 2007

Hart, HLA, Konsep Hukum, Nusamedia, bandung, 2010

Hariadi, Didit Estiko, Amandemen UUD 1945 Dan Implikasinya Terhadap Pembangunan Sistem Hukum, Jakarta: Tim Hukum Pusat Pengkajian Dan Pelayanan Informasi Sekretaris Jendral, 2001

Hendro Nurtjahjo, Ilmu Negara, Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005

Herman Sihombing, Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1996

Ikhsan Rosyada Parluhutan Duhulay, Mahkamah Konstitusi (memahami keberadaannya dalam system ketatanegaraan republik Indonesia), PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2006

Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Ekskutif, Aksara Baru, Jakarta, 1981

Isra,Saldi, Pergeseran Fungsi Legislasi (Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidential Indonesia), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010

Jazim Hamidi, Revolusi Hukum Indonesia (Makna, Kedudukan, dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus dalam Sistem Ketatanegaraan RI), Konpress, Jakarta, 2006

Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005

———————-, Hukum Tata Negara Darurat, PT. Rajawali Pers, Jakarta, 2010

———————-, Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Buana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta, 2007

———————-, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, 2006

———————-, Konstitusi & Konstitusialisme Indonesia, Konpress, Jakarta, 2006

———————-, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konpress, Jakarta, 2006

———————-, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Konpress, Jakarta, 2006

———————-, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Konpress, 2006

———————-, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, UI Press, Jakarta, 1996

John M. Ehols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1987

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2006

J.J.H. Bruggink, Rechts Refflectie, Grondbegrippen Uit De Rechtstheory, Alih Bahasa B. Arief Sidharta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999

J.J. Von Schmidd, Ahli-ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum, Pustaka Sardjana, Jakarta, 1980

Jean Jacques Rousseau, The Social Contract, (terjemahan), Erlangga, Jakarta, 1947

Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bumi Aksara, 2001

Kranenburg dan Tk. B. Sabaroedin, Ilmu Negara Umum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1986

K.C. Wheare, Modern Constitutions, London Oxford University Press, 1975

Laski, Harold. A Grammmar Of Politics, London: George Allen & Unwin LTD, 1938

Lily Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung 2003

Lily Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004

L.J Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1989

Manan, Munafrizal, Gerakan Melawan Elite, Resist Book, Yokyakarta, 2009

Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan (Dasardaar dan Pembentukannya), Kanisius, Yogyakarta, 1998

Marzuki, H.M. Laica, Berjalan-jalan di Ranah Hukum, Buku kesatu, Sekjend dan Kepaniteraan MK, Jakarta, 2006

  1. Solly Lubis, Dasar Kepemimpinan Nasional Presiden Menurut UUD 1945, dalam Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984

Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2006

———————-, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, 2001

———————-, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia (Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan), PT. Rineka Cipta, Jakarta,, 2003

———————-, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2007

Moh. Kusnardi dan Bintan Siragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, PT. Gramedia, Jakarta, 1978

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002

Moh. Kusnardi dan Bintan Siragih, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN Fakultas Hukum UI, Jakarta, 1988

Moh. Tolchah Mansoer, Demokrasi Sepanjang konstitusi, Nurcahya, Yogyakarta, 1981

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Alumni, Bandung, 2004

Mustamin DG. Matutu. dkk, Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2004

  1. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-Undangan, CV. Mandar Maju, Bandung, 1995

Muhammad Alim, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Madinah dan UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2004

Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia, Kajian Terhadap Dinamika Peubahan UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2003

Nurtjahjo, Hendra, Perwakilan Golongan Di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara UI, 2002

Otje Salman dan F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005

Padmo Wahjono, Ilmu Negara, Ind Hill Co, Jakarta, 1996

Paul Scholten, De Struktuur Der Rechtswetenschap, Alih Bahasa B. Arief Sidharta, P.T Alumni, Bandung, 2005

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005

Philipus M. Hadjon. dkk, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Gajah Mada University Press, 2002

———————-, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000

Simanjuntak, Marsilam, Pandangan Negara Integralistik (Sumber, Unsur dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945), Pustaka Grafitti, Jakarta, 1994

Siragih, Bintan Regen, Politik Hukum, PT. Utomo, Jakarta, 2008

Sjachran Basah, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996

Slamet Effendy yusuf dan Umar Basalim, Reformasi Konstitusi Indonesia, Perubahan Pertama UUD 1945, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2000

Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000

————–, Hukum Tata Negara (Teknik Perundang-Undangan), Liberty, Yogyakarta, 2005

————–, Hukum Tata Negara (Sumber-Sumber Hukum Tata Negara Indonesia), Liberty, Yogyakarta, 1985

Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2006

Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001

Soetikno, Filsafat Hukum Bagian 2, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2003

Soetomo, Ilmu Negara, Usaha Nasional, Surabaya, 1993

Solly Lubis, Asas-asas Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1982

Susilo Suharto, kekuasaan Presiden Republik Indonesia Dalam Periode berlakunya Undang-Undang Dasar 1945, Graha Ilmu, Jakarta, 2006

Sri Soemantri, Sistem Pemerintahan Negara-Negara ASEAN, Tarsito, Bandung, 1976

—————–, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut Undang-Undang Dasar 1945,   Alumni, Bandung, 1986

—————–, Konstitusi Serta Artinya Untuk Negara, Bina Aksara, Jakarta, 1985

—————–, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1987

—————–, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 2002

Sumali, Reduksi Kekuasaan Ekskutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu), UMM Press, 2003

Tim Kajian Amandemen FH UNIBRAW, Amandemen UUD 1945, Antara Teks dan Konteks Dalam Negara yang Sedang Berubah, Sinar Grafika, Jakarta, 2000

Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1976

Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1977

Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta, 1996

Makalah dan Jurnal Ilmiah

Arinanto, Satya, Politik Hukum Nasional dalam Era Pasc Reformasi, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap fakultas Hukum Universitas Indonesia, Salemba 18 Maret 2006

Hardjono, Lembaga Negara Dalam UUD 1945, Makalah, 2007

Indrawati, Menguji Peraturan Daerah Yang Diskriminatif (Suatu Tinjauan terhadap Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 8 Seri E Tahun 2008 dan Peraturan Daerah Kota Batam No. 6 Tahun 2002), YURIDIKA, Surabaya, 2006

Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah Univ. Airlangga, Tanpa Tahun

Rudasi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, Makalah Pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, tanpa tahun

Suny, Ismail, Implikasi Amandemen UUD 1945 Terhadap Sistem Hukum Nasional, disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, BPHN dan DEPKEH HAM RI, Bali, Juli, 2003

Kamus-Kamus

Henry Champbel Black, Black’s Law Dictionary, Seven Edition, Bryan A. Garner Editor, St. Paul. Minn, Wes Publishing, 1999

Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Jakarta, 1983

Internet

www.republika.co.ir, tanggal 26 Oktober 2007

www.bpk.co.id, tanggal 26 oktober 2007

      [1] Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia, Kajian Terhadap Dinamika Peubahan UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2003, hal. 67.

      [2] Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hal. 12-13

[3] Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi (Menguatnya Model Legislasi Parlementer Dalam Sistem Presidential Indonesia), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hal. 78

      [4] Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005, hal. 35.

      [5] El-Mahtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, Pustaka Kencana, Jakarta, 2005, hal 15

[6] Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, PSHTNFHUI, Jakarta, 2008, Hal. 285

[7] Abdul Muktie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Konpress, Jakarta, 2006, Hal. 102

[8] Abdul Bari Azed, Hukum Tata Negara Indonesia (Kumpulan tulisan), PSHTNFHUI, Jakarta, Hal. 8

      [9] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Buana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, Jakarta, 2007, hal.781

      [10] M. Solly Lubis, Dasar Kepemimpinan Nasional Presiden Menurut UUD 1945, dalam Padmo Wahjono, Masalah Ketatanegaraan Dewasa Ini, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hal. 208

      [11] Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Ekskutif, Aksara Baru, Jakarta, 1981, hal. 91-92

      [12] Budiman N.D.P Sinaga, Ilmu Pengetahuan Perundang-Undangan, UII Press, Yogyakarta, 2005, hal.21

[13] Marsilam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik (Sumber, Unsur dan Riwayatnya dalam Persiapan UUD 1945), Pustaka Grafitti, Jakarta, 1994, Hal. 39

      [14]   Ni’matul Huda, op cit, hal. 86

[15] Satya Arinanto, Hukum dan Demokrasi, PSHTNFHUI, Jakarta, 91, Hal. 1

      [16] Slamet Effendy yusuf dan Umar Basalim, Reformasi Konstitusi Indonesia, Perubahan Pertama UUD 1945, Pustaka Indonesia Satu, Jakarta, 2000, hal. 224

[17] Ibid

[18] Check and balance adalah kekuasaan yag sederajat saling mengendalikan satu sama lain, Baca Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Konpress, Jakarta, hal. 36

      [19] Hasan Ahsani, “Pertarungan MA dan BPK” Republika, tanggal 26 Oktober 2007

[20] Audit adalah Suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan dan kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditetapkan, serta penyampaian haisl-hasilnya kepada pemakai yang berkepentingan. Baca Mulyadi, Pemeriksaan Keuangan, STIE YKPN, Yogyakarta, 1990, Hal. 4

[21] Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) adalah seluruh penerimaan Pemerintah Pusat yang tidak berasal dari penerimaan perpajakan (Pasal 1 angka 1 UU No. 20 Tahun 1997)

[22] Herziene Indonesisch Reglement

      [23] www.bpk.co.id, tanggal 26 oktober 2007

[24] Satya Arinanto, Politik Hukum 1, Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, Edisi Pertama, Hal. 48

      [25] Baca Satya Arinanto, Ibid, Hal. 19-21, bandingkan Moh. Kusnardi dan Bintan Siragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem Undang-Undang Dasar 1945, PT. Gramedia, Jakarta, 1978, hal. 30

[26] HLA Hart, Konsep Hukum, Nusamedia, bandung, 2010, hal. 56

[27] Bintan Regen Siragih, Politik Hukum, PT. Utomo, Jakarta, 2008, Hal 59

      [28] Sri Soemantri, Sistem Pemerintahan Negara-Negara ASEAN, Tarsito, Bandung, 1976, hal. 5-9

[29] Bintan Regen Siragih, Opcit. Hal 95

[30] Marsilam Simanjuntak, Op Cit, Hal 82

[31] Munafrizal Manan, Gerakan Melawan Elite, Resist Book, Yokyakarta, 2009, Hal 38

[32] Satya Arinanto, Hukum dan Demokrasi, Opcit, Hal, 12

[33] Satya Arinanto, Politik Hukum Nasional dalam Era Pasc Reformasi, Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap fakultas Hukum Universitas Indonesia, Salemba 18 Maret 2006, hal. 11

      [34] Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2006, hal. 96

      [35] Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Jakarta, 1983, hal. 156-157

      [36] Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 207-208

      [37] Sri Soemantri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut Undang-Undang Dasar 1945,   Alumni, Bandung, 1986, hal. 126

      [38] John M. Ehols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Gramedia, Jakarta, 1987, hal. 26

      [39] Henry Champbel Black, Black’s Law Dictionary, Seven Edition, Bryan A. Garner Editor, St. Paul. Minn, Wes Publishing, 1999, hal. 81

      [40] Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2006, hal.57

      [41] Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001, hal. 14

      [42] Peter Mahmud Marzuki, Op cit, hal. 141

      [43]   Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Op cit, hal.13

      [44]   Soerjono Soekanto, Op cit, Hal. 52

      [45] Sjachran Basah, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 60

      [46] Mochtar Kusumaatmadja, Op cit, hal. 75

      [47] Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1976, hal. 68

      [48] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal. 146

      [49] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, hal.35

      [50] Mac Iver, The Web of Government, dalam Moh. Kusnardi dan Bintan Siragih, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, hal 116

      [51] Miriam Budiardjo, Op cit, Hal. 36

      [52] Rudasi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, Makalah Pada Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hal. 37-38

      [53] F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Dwiwantara, Bandung, 1964, hal. 127-129

      [54] Soetomo, Ilmu Negara, Usaha Nasional, Surabaya, 1993, hal. 51-69

      [55] Moh. Kusnardi dan Bintan Siragih, Op cit, hal. 116

      [56] Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah Univ. Airlangga, hal.1

      [57] Ibid, hal. 1

      [58] Ibid, hal. 1

      [59] Ibid, hal. 1

      [60]   Kranenburg dan Tk. B. Sabaroedin, Ilmu Negara Umum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, hal. 20

      [61]   Abdul Rasyid Thalib, Op Cit, hal. 211

      [62] Mustamin DG. Matutu, et. al., Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2004, hal. 109-159

      [63] Philipus M. Hadjon, et. al. , Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Gajah Mada University Press, 2002, hal. 130

      [64] Jimly Ashiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, 2006, hal. 378

      [65] Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, 2001, hal. 67-68

      [66] Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000, hal. 151

      [67] Ibid, Hal. 151

      [68] Padmo Wahjono, Ilmu Negara, Ind Hill Co, Jakarta, 1996, hal. 153

      [69] Hendro Nurtjahjo, Ilmu Negara, Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal.50

      [70] Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokusmedia, Bandung, 2007, hal. 34

      [71] Soetomo, Op cit, hal. 55-57

      [72] J.J. Von Schmidd, Ahli-ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum, Pustaka Sardjana, Jakarta, 1980, hal. 70

[73] Djokosoetono, Ilmu Negara, In Hill Co, Jakarta, 2006, Hal. 51

[74] Ibid

[75] Ibid

      [76] Soetikno, Filsafat Hukum Bagian 2, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2003, hal.59

      [77] Soehino, Op Cit, hal. 101

      [78] Jean Jacques Rousseau, The Social Contract, (terjemahan), Erlangga, Jakarta, 1947, hal. 3

      [79] Moh. Mahfud MD, Op cit, Hal. 66-67

[80] Soetomo, Opcit, Hal. 23

[81] Djokosoetono, Opcit, Hal 34

      [82] Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, Bumi aksara, Jakarta, 2006, hal.36

      [83] Ibid, hal. 36

[84] Djokosoetono, Opcit, Hal 34

[85] Soetomo, Opcit, Hal. 23

      [86] Soehino, Op cit, Hal. 156-157

[87] Soetomo, Opcit, Hal. 23

      [88] Mengenai hal itu dapat dilihat dalam Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1977, hal. 10. Bandingkan dengan Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal. 7

      [89] L.J Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1989, hal.118

      [90] Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 2002, hal.1

      [91] Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Op Cit, hal.8

      [92] C.F. Strong, Modern Political Constitutions : An Introduction to the Comparative Study and Existing Form, Terjemahan SPA Teamwork, Nusamedia, Bandung, 2004, hal.15

      [93] K.C. Wheare, Modern Constitutions, London Oxford University Press, 1975, hal.1

      [94] A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Terjemahan Murhadi dan Nurainun Mangunsong, Nusamedia, Bandung, 2007, hal.449

      [95] Hans Kelsens, Op cit, hal. 156

      [96] Dalam Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN Fakultas Hukum UI, Jakarta, 1988, hal.65

      [97] Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, hal. 71

      [98] Moh. Tolchah Mansoer, Demokrasi Sepanjang konstitusi, Nurcahya, Yogyakarta, 1981, hal. 5-6

      [99] Sri Soemantri Martosoewignyo, Konstitusi Serta Artinya Untuk Negara, dalam Padmo Wahjono, Op Cit, hal. 8

      [100] K.C. Wheare, Op cit, Hal. 23-50

[101] Hendra Nurtjahjo, Perwakilan Golongan Di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara UI, 2002, Hal 37

[102] Harold Laski. A Grammmar Of Politics, London: George Allen & Unwin LTD, 1938, Hal 28

[103] Didit Estiko Hariadi, Amandemen UUD 1945 Dan Implikasinya Terhadap Pembangunan Sistem Hukum, Jakarta: Tim Hukum Pusat Pengkajian Dan Pelayanan Informasi Sekretaris Jendral, 2001, Hal. 97

[104] Eidelberg, Paul, The Philosopy Of The American Constitution, Toronto: Collier-Macmillan Canada, 1968, Hal 46

      [105] K.C. Wheare, Op cit, hal. 49

      [106] Sri Soemantri Martosoewignyo, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1987, HAL.2

      [107] C.F. Strong, Op cit, hal.5

      [108] Ibid, hal.5

      [109] Miriam Budiardjo, Op cit, hal. 101

      [110] Sri Soemantri Martosoewignyo, Op cit, hal. 51

[111] De Tocqueville, Alexis, Democracy In America, New York: Washington Square Press, 1965, Hal 94

      [112] Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia, UII Press, 2005, hal. 17

      [113] Sumali, Reduksi Kekuasaan Ekskutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu), UMM Press, 2003, hal. 9

      [114] Miriam Budiarjo, Op cit, hal. 152

      [115] Moh. Mahfud, Op cit, hal. 82-83

[116] Larry Diamond, Revolusi Demokrasi Perjuangan Untuk Kebebasan Dan Pluralisme Di Negara Sedang Berkembang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994. Hal. 76

      [117] Jimly Asshiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Konpress, 2006, hal.34

      [118] Moh Kusnardi dan Bintan Siragih, Op cit, hal.223

      [119] C.F. Strong, Op cit, hal. 12

      [120] Ibid, hal. 12

      [121] Hendarmin Ranadireksa, Op cit, hal. 215

      [122] Hans Kelsen, Op cit, hal. 312-313

      [123] Ibid, hal. 313

      [124] C.F. Strong, Op cit, hal.233-234 bandingkan Miriam Budiardjo, Op cit, hal. 209

      [125] Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum (Civil Law, Common Law, Hukum Islam), Rajawali Pers, Jakarta: hal.4

      [126] Dasril Rajab, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hal.64

      [127] Ibid, hal. 64

      [128] Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah, Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, UI Press, Jakarta, 1996, hal. 59

      [129] Philipus M. Hadjon, Op cit, hal. 6

      [130] Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op cit, hal. 171

      [131] Solly Lubis, Asas-asas Hukum Tata Negara, Alumni, Bandung, 1982, hal. 104

      [132] Moh. Mahfud MD, Opcit, hal. 74 Bandingkan Soehino, Op cit, hal. 248-254

      [133] Hendarmin Ranadireksa, Op cit, hal.106

      [134] Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Op cit, hal. 172-176

      [135] Moh. Mahfud MD, Op cit, hal. 74

      [136] Ibid, hal. 74

      [137] Dahlan Thaib, Jazim Hamidi dan Ni’matul Huda, Op cit, hal.27-28

      [138] Ibid, hal.27-28

      [139] Moh Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, , Op cit, hal. 175

      [140] Jimly Asshiddiqie, Op cit, hal. 75-77

      [141] Moh. Mahfud MD, Op cit, hal. 75

      [142] Ibid, hal. 75

      [143] Parlindungan Siahaan, Tata Negara, Mediatama, Surakarta, 2003, hal.23

      [144] Ibid, Hal. 23

      [145] Ibid, Hal. 23

      [146] Ibid, Hal. 23

[147] Al Rasyid, Harun, Pengisian Jabatan Presiden, Grafiti, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1993

      [148] Mengenai sebab-sebab Undang-Undang Dasar 1945 di amandemen dapat dilihat dalam Tim Kajian Amandemen FH UNIBRAW, Amandemen UUD 1945, Antara Teks dan Konteks Dalam Negara yang Sedang Berubah, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hal. 1-2

[149] Ismail Suny, Implikasi Amandemen UUD 1945 Terhadap Sistem Hukum Nasional, disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, BPHN dan DEPKEH HAM RI, Bali, Juli, 2003, h.4

[150] Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia (Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan), PT. Rineka Cipta, Jakarta,, 2003, hal. 147

[151] Ikhsan Rosyada Parluhutan Duhulay, Mahkamah Konstitusi (memahami keberadaannya dalam system ketatanegaraan republik Indonesia), Pt. Rineka Cipta, Jakarta, 2006, hal. 21, baca juaga Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (Upaya Membangun Kesadaran dan Pemahaman Kepada Publik akan Hak-hak Konstitusionalnya yang dapat diperjuangkan dan dipertahankan Melalui Mahkamah Konstitusi), PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006, hal. 19

[152] Hardjono, Lembaga Negara Dalam UUD 1945, Makalah, 2007. Hal 5

[153] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 2006, hal. 15

[154] H.M. Laica Marzuki, Berjalan-jalan di Ranah Hukum, Buku kesatu, Sekjend dan Kepaniteraan MK, Jakarta, 2006.

[155] Mustmin Dg Matutu et.al., Mandat, Delegasi, Atribusi, dan Implementasinya di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, hal 87

[156] Erni Setyowati, Panduan Praktis Pemantauan Proses Legislasi, PSHK, Jakarta, 2005, hal. 47

[157] Herman Sihombing, Hukum Tata Negara Darurat di Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1996, hal. 25

      [158] Grasi adalah pengampunan dengan meniadakan atau mengubah atau mengurangipidana bagi seorangyang dijatuhi pidana yang telah berkekuatan hukum tetap Lihat Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Gama Media, Yogyakarta, 1999, hal. 164

      [159]   Rehabilitasi adalah pengembalian nama baik, kehormatan, harkatdan martabat seseorang Lihat Muhammad Alim, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Madinah dan UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, hal.144

      [160] Amnesti adalah kewenangan Presiden meniadakan sifat pidana atas perbuatan seorang atau kelompok orang, Lihat Bagir Manan, Opcit, hal. 165

      [161] Abolisi adalah peniadaan penuntutan atas suatu tindak pidana, Lihat Muhammad Alim, Op cit, hal.113

[162] Muhammad Alim, Op cit, hal 111

[163] Jimly Asshiddiqy, Hukum Tata Negara Darurat, PT. Rajawali Pers, Jakarta, 2010, Hal 35

[164] Herman Sihombing, Op cit, Hal. 1

[165] Susilo Suharto, kekuasaan Presiden Republik Indonesia Dalam Periode berlakunya Undang-Undang Dasar 1945, Graha Ilmu, Jakarta, 2006, hal. 119

[166] Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, LP3ES, Jakarta, 2007, hal. 140

[167] Jazim Hamidi, Revolusi Hukum Indonesia (Makna, Kedudukan, dan Implikasi Hukum Naskah Proklamasi 17 Agustus dalam Sistem Ketatanegaraan RI), Konpress, Jakarta, 2006 hal. 244

[168] Mengenai sejarah Pembentukan Undang-Undang Dasar 1945 dapat dilihat dalam Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Bumi Aksara, 2001, hal. 17-21

[169] Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Ekskutif, Aksara Baru, Jakarta, 1981, hal. 44

[170] Indrawati, Menguji Peraturan Daerah Yang Diskriminatif (Suatu Tinjauan terhadap Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 8 Seri E Tahun 2008 dan Peraturan Daerah Kota Batam No. 6 Tahun 2002), YURIDIKA, Surabaya, 2006. Hal 38

[171] Jimly Asshiddiqy, Hukum Tata Negara Darurat, Opcit, Hal 74

[172] Untuk lebih lanjut baca Joeniarto, Op cit, hal. 62-65

[173] Afan Gafar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Jakarta, 2004, hal. 119

Continue Reading