Prosedur Perkara Pidana Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali

Prosedur Perkara Pidana Banding

PROSEDUR PERKARA BANDING

  1. Meja 2 membuat :
  2. Akta permohonan pikir-pikir bagi terdakwa.
  3. Akta permintaan banding.
  4. Akta terlambat mengajukan permintaan banding.
  5. Akta pencabutan banding.
  6. Permintaan banding yang diajukan, dicatat dalam register induk perkara pidana dan register banding oleh masing-masing petugas register.
  7. Permintaan banding diajukan selambat-¬lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari sesudah putusan dijatuhkan, atau 7 (tujuh) hari setelah putusan diberitahukan kepada terdakwa yang tidak hadir dalam pengucapan putusan.
  8. Permintaan banding yang diajukan melampaui tenggang waktu tersebut di atas tetap dapat diterima dan dicatat dengan membuat Surat Keterangan Panitera bahwa permintaan banding telah lewat tenggang waktu dan harus dilampirkan dalam berkas perkara.
  9. Dalam hal pemohon tidak datang menghadap, hal ini harus dicatat oleh Panitera dengan disertai alasannya dan  catatan tersebut harus dilampirkan dalam berkas perkara.
  10. Panitera wajib memberitahukan permintaan banding dari pihak yang satu kepada pihak yang lain.
  11. Tanggal penerimaan memori dan kontra memori banding dicatat dalam register dan salinan memori serta kontra memori disampaikan kepada pihak yang lain, dengan relaas pemberitahuan.
  12. Dalam hal pemohon belum mengajukan memori banding sedangkan berkas perkara telah dikirimkan ke Pengadilan Tinggi, pemohon dapat mengajukannya langsung ke Pengadilan Tinggi, sedangkan salinannya disampaikan ke Pengadilan Negeri untuk disampaikan kepada pihak lain.
  13. Selama 7 (tujuh) hari sebelum pengiriman berkas perkara kepada Pengadilan Tinggi, pemohon wajib diberi kesempatan untuk mempelajari berkas perkara tersebut di Pengadilan Negeri.
  14. Jika kesempatan mempelajari berkas diminta oleh pemohon dilakukan di Pengadilan Tinggi, maka pemohon harus mengajukan secara tegas dan tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri.
  15. Berkas perkara banding berupa bundel “A” dan bundel “B” dalam waktu selambat-lambatnya 14 hari sejak permintaan banding diajukan sesuai dengan pasal 236 ayat 1 KUHAP, harus sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi.
  16. Selama perkara banding belum diputus oleh Pengadilan Tinggi, permohonan banding dapat dicabut sewaktu-waktu, untuk itu Panitera membuat Akta pencabutan banding yang ditandatangani oleh Panitera, pihak yang mencabut dan  diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri. Akta tersebut dikirim ke Pengadilan Tinggi.
  17. Salinan putusan Pengadilan Tinggi yang telah diterima oleh Pengadilan Negeri, harus diberitahukan kepada terdakwa dan penuntut umum dengan membuat Akta Pemberitahuan Putusan.
  18. Petugas register harus mencatat semua kegiatan yang berkenaan dengan perkara banding, dan pelaksanaan putusan ke dalam buku register terkait.
  19. Pelaksanaan tugas pada Meja Kedua, dilakukan oleh Panitera Muda Pidana dan berada langsung dibawah koordinasi Wakil Panitera.

Sumber:

–    Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta,  2008, hlm. 3-5.

Prosedur Perkara Pidana Kasasi

PERKARA KASASI

  1. Permohonan kasasi diajukan oleh pemohon kepada Panitera selambat-Iambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari sesudah putusan Pengadilan diberitahukan kepada terdakwa/ Penuntut Umum dan selanjutnya dibuatkan akta permohonan kasasi oleh Panitera.
  2. Permohonan kasasi yang melewati tenggang waktu tersebut, tidak dapat diterima, selanjutnya Panitera membuat Akta Terlambat Mengajukan Permohonan Kasasi yang diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri.
  3. Dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan kasasi diajukan, pemohon kasasi harus sudah menyerahkan memori kasasi dan tambahan memori kasasi (jika ada). Untuk itu petugas membuat Akta tanda terima memori/ tambahan memori.
  4. Dalam hal pemohon kasasi adalah terdakwa yang kurang memahami hukum, Panitera pada waktu menerima permohonan kasasi wajib menanyakan apakah alasan ia mengajukan permohonan tersebut dan untuk itu Panitera membuatkan memori kasasinya.
  5. Panitera memberitahukan tembusan memori kasasi/ kasasi kepada pihak lain, untuk itu petugas membuat tanda terima.
  6. Termohon Kasasi dapat mengajukan kontra memori kasasi, untuk itu Panitera memberikan Surat Tanda Terima.
  7. Dalam hal pemohon kasasi tidak menyerahkan memori kasasi dan atau terlambat menyerahkan memori kasasi, untuk itu Panitera membuat akta.
  8. Apabila pemohon tidak menyerahkan dan atau terlambat menyerahkan memori kasasi, berkas perkara tidak dikirim ke Mahkamah Agung, untuk itu Ketua Pengadilan Negeri mengeluarkan Surat Keterangan yang disampaikan kepada pemohon kasasi dan Mahkamah Agung (SEMA No.7 Tahun 2005).
  9. Terhadap perkara pidana yang diancam pidana paling lama 1 (satu) tahun dan/ atau denda, putusan praperadilan tidak dapat diajukan kasasi.
  10. Permohonan kasasi yang telah memenuhi syarat formal selambat-Iambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah tenggang waktu mengajukan memori kasasi berakhir, berkas perkara kasasi harus sudah dikirim ke Mahkamah Agung.
  11. Dalam hal permohonan kasasi diajukan sedangkan terdakwa masih dalam tahanan, Pengadilan Negeri paling lambat 3 (tiga) hari sejak diterimanya permohonan kasasi tersebut segera melaporkan kepada Mahkamah Agung melalui surat atau dengan sarana-sarana elektronik.
  12. Selama perkara kasasi belum diputus oleh Mahkamah Agung, permohonan kasasi dapat dicabut oleh pemohon. Dalam hal pencabutan dilakukan oleh kuasa hukum terdakwa, harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari terdakwa.
  13. Atas pencabutan tersebut, Panitera membuat akta pencabutan kasasi yang ditandatangani oleh Panitera, pihak yang mencabut dan diketahui oleh Ketua Pengadilan Negeri. Selanjutnya akta tersebut dikirim ke Mahkamah Agung.
  14. Untuk perkara kasasi yang terdakwanya ditahan, Panitera Pengadilan Negeri wajib melampirkan penetapan penahanan dimaksud dalam berkas perkara.
  15. Dalam hal perkara telah diputus oleh Mahkamah Agung, salinan putusan dikirim kepada Pengadilan Negeri untuk diberitahukan kepada terdakwa dan Penuntut Umum, yang untuk itu Panitera membuat akta pemberitahuan putusan. Fotocopy relaas pemberitahuan putusan Mahkamah Agung, segera dikirim ke Mahkamah Agung.
  16. Petugas buku register harus mencatat dengan cermat dalam register terkait semua kegiatan yang berkenaan dengan perkara kasasi dan pelaksanaan putusan.

Sumber: – Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, hlm. 5-8.

Prosedur Perkara Pidana Peninjauan Kembali

PENERIMAAN PERKARA PENINJAUAN KEMBALI

  1. Terhadap putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang merupakan putusan pemidanaan, terpidana. atau ahli warisnya dapat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali, dan dapat dikuasakan kepada Penasihat Hukumnya.
  2. Permohonan Peninjauan Kembali diajukan kepada Panitera Pengadilan yang telah memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya.
  3. Permohonan Peninjauan Kembali tidak dibatasi jangka waktu.
  4. Petugas menerima berkas perkara pidana permohonan Peninjauan Kembali, lengkap dengan surat-surat yang berhubungan dengan perkara tersebut, dan memberikan tanda terima.
  5. Permohonan Peninjauan Kembali dari terpidana atau ahli warisnya atau Penasihat Hukumnya beserta alasan¬-alasannya, diterima oleh Panitera dan ditulis dalam suatu surat keterangan yang ditandatangani oleh Panitera dan  pemohon.
  6. Dalam hal terpidana selaku pemohon Peninjauan Kembali kurang memahami hukum, Panitera wajib menanyakan dan  mencatat alasan-alasan secara jelas dengan membuatkan Surat Permohonan Peninjauan Kembali.
  7. Dalam hal Pengadilan Negeri menerima permohonan Peninjauan Kembali, wajib memberitahukan permintaan permohonan Peninjauan Kembali tersebut kepada Penuntut Umum.
  8. Dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan Peninjauan Kembali diterima Pengadilan Negeri, Ketua Pengadilan menunjuk Majelis Hakim yang tidak memeriksa perkara semula, untuk memeriksa dan memberikan pendapat apakah alasan permohonan Peninjauan Kembali telah sesuai dengan ketentuan Undang-undang.
  9. Dalam pemeriksaan tersebut, terpidana atau ahli warisnya dapat didampingi oleh Penasehat Hukum dan Jaksa yang dalam hal ini bukan dalam kapasitasnya sebagai Penuntut Umum ikut hadir dan dapat menyampaikan pendapatnya.
  10. Dalam hal permohonan Peninjauan Kembali diajukan oleh terpidana yang sedang menjalani pidananya, Hakim menerbitkan penetapan yang memerintahkan kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan dimana terpidana menjalani pidana untuk menghadirkan terpidana ke persidangan Pengadilan Negeri.
  11. Panitera wajib membuat Berita Acara Pemeriksaan Peninjauan Kembali yang ditandatangani oleh Hakim, Jaksa, pemohon dan Panitera. Berdasarkan berita acara pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pendapat yang ditandatangani oleh Majelis Hakim dan Panitera.
  12. Permohonan Peninjauan Kembali tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan putusan.
  13. Permohonan Peninjauan Kembali yang terpidananya berada di luar wilayah Pengadilan yang telah memutus dalam tingkat pertama:
  14. Diajukan kepada Pengadilan yang memutus dalam tingkat pertama;
  15. Hakim dari Pengadilan yang memutus dalam tingkat pertama dengan penetapan dapat meminta bantuan pemeriksaan, kepada Pengadilan Negeri tempat pemohon Peninjauan Kembali berada;
  16. Berita Acara pemeriksaan dikirim ke Pengadilan yang meminta bantuan pemeriksaan;
  17. Berita Acara Pendapat dibuat oleh Pengadilan yang telah memutus pada tingkat pertama;
  18. Dalam pemeriksaan persidangan dapat diajukan surat¬-surat dan saksi-saksi yang sebelumnya tidak pernah diajukan pada persidangan Pengadilan di tingkat pertama.
  19. Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari, setelah pemeriksaan persidangan selesai, Panitera harus segera mengirimkan berkas perkara tersebut ke Mahkamah Agung. Tembusan surat pengantarnya disampaikan kepada pemohon dan  Jaksa.
  20. Dalam hal suatu perkara yang dimintakan Peninjauan Kembali adalah putusan Pengadilan Banding, maka tembusan surat pengantar tersebut harus dilampiri tembusan Berita Acara Pemeriksaan serta Berita Acara pendapat dan  disampaikan kepada Pengadilan Banding yang bersangkutan.
  21. Fotocopy relaas pemberitahuan putusan Mahkamah Agung yang telah disahkan oleh Panitera dikirimkan ke Mahkamah Agung.
  22. Permohonan Peninjauan Kembali hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali saja (pasal 268 ayat 3 KUHAP).

Sumber: 
–    Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta,  2008, hlm. 8-11. 

Continue Reading

MENUJU SISTEM HUKUM NASIONAL PRO PENYANDANG DISABILITAS, PROSPEK DAN TANTANGAN

MENUJU SISTEM HUKUM NASIONAL

PRO PENYANDANG DISABILITAS,

PROSPEK DAN TANTANGAN[1]

  1. PENDAHULUAN

Hak asasi manusia adalah hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia bersifat universal dan langgeng, sehingga harus dilindungi, dihormati, dan dipertahankan. Negara Republik Indonesia adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan marta bat manusia, sehingga perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia terhadap kelompok rentan, khususnya penyandang disabilitas perlu ditingkatkan.

Tujuan pembangunan nasional Indonesia adalah untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang damai, demokratis, berkeadilan, berdaya saing, maju, dan sejahtera, dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang didukung oleh manusia Indonesia yang sehat, mandiri, beriman, bertakwa, berakhlak mulia, cinta tanah air, berkesadaran hukum dan lingkungan, menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi, serat memiliki etos kerja yang tinggi dan berdisiplin.

Hak-Hak asasi yang dimuat terbatas jumlahnya dan dirumuskan secara singkat. Hak-hak asasi manusia yang tercantum dalam UUD 1945 tidak termuat dalam suatu Piagam yang terpisah, tetapi tersebar dalam beberapa Pasal yaitu Pasal 28A sampai Pasal 28J Dr. Hatta[2] mengatakan bahwa walaupun yang dibentuk itu negara kekeluargaan, tetapi masih perlu ditetapkan beberapa hak dari warga negara, jangan sampai timbul negara kekuasaan ( machstaat = negara penindas ).[3] Setiap anggota masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang sama untuk turut serta dalam pembangunan. Sebagai Warga Negara Indonesia, penyandang cacat mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya.[4] Penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik dan/mental yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan dan hambatan untuk melakukan kegiatan secara layaknya.

Dalam upaya melindungi, menghormati, memajukan, dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas, Pemerintah Republik Indonesia telah membentuk berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan terhadap penyandang disabilitas. Salah satu bentuk komitmen Pemerintah Republik Indonesia dalam melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas adalah dengan menandatangani Convention on the Rights of Persons with Disabilities (Konvensi mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas) pada tanggal 30 Maret 2007 di New York. Kemudian, konvensi tersebut telah diratifikasi dengan UU No. 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas.

Dalam Konvensi tersebut, Penyandang Disabilitas yaitu orang yang memiliki keterbatasan fisik, mental, intelektual, atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dan sikap masyarakatnya dapat menemui hambatan yang menyulitkan untuk berpartisipasi penuh dan efektif berdasarkan kesamaan hak. Oleh karena itu, pengakuan bahwa diskriminasi berdasarkan disabilitas merupakan pelanggaran terhadap martabat dan nilai yang melekat pada setiap orang. Dengan demikian, yang harus dilakukan Negara adalah pemberdayaan penyandang disabilitas, perbaikan lingkungan penunjang termasuk infrastruktur dan mekanisme, serta peningkatan kepedulian dan sensitivitas masyarakat untuk menghilangkan stigma negatif menuju kesetaraan martabat.

  1. TINJAUAN UMUM TENTANG PENYANDANG CACAT

Cacat bukan halangan untuk menghambat seseorang untuk berkarya, demikian stastement yang sering kita dengarkan oleh para penyandang cacat, banyak penyandang cacat yang memiliki kemampuan dan mobilitas kerja yang tinggi, dengan semangat itulah mendorong para penyandang cacat untuk tetap disetarakan tanpa ada diskriminasi, dengan memberikan perhatian yang besar terhadap upaya peningkatkan kesejahteraan sosial bagi penyandang cacat.[5] Departemen Sosial c.q Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial[6] terus berupaya untuk mensosialisasikan para penyandang cacat agar dapat diterima baik diinstansi pemerintah maupun swasta yang lebih mengedepankan kredibilitas dan kemampuan dalam menjalankan pekerjaan tanpa memandang faktor fisik, mengingat jumlah penyandang cacat di Indonesia semakin meningkat, Data Pusdatin Depsos tahun 2008 jumlah penyandang cacat sebanyak 1.554.184 jiwa, faktor ini sangat menjadi perhatian cukup besar dari pemerintah.[7]

Direktorat Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Penyandang Cacat (RSPC) telah mengadakan evaluasi pelaksanaan penempatan tenaga kerja yang tujuannya untuk mengetahui hambatan dan tantangan dalam melaksanakan quota 1% untuk meningkatkan komitmen kerjasama dan koordinasi dengan instansi terkait baik dijajaran Pemerintah pusat, daerah maupun Swasta. Menurut Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial Dr. Makmur Sunusi, P.hD “ paradigma penanganan masalah kecacatan dan penyandang cacat telah bergeser dari pendekatan berdasarkan belas kasihan (Charity Based Approach), yakni pendekatan yang lebih mengedepankan pemenuhan hak-hak penyandang cacat (Right Based Apporoach), dengan adanya pendekatan ini sudah tentu perlu untuk dikembangkan untuk meningkatkan terobosan-terobosan yang berpihak pada penyandang cacat “.[8]

Sejalan dengan pergeseran paradigma dalam penanganan masalah kecacatan Dirjen mengatakan bahwa Indonesia telah memiliki perangkat hukum yang memadai dalam rangka melindungi hak-hak penyandang cacat seperti Undang-undang No.4 Tahun 2007 tentang penyandang cacat dan Peraturan pemerintah No.43 tahun 1998 tentang upaya peningkatan kesejahteraan sosial penyandang cacat, serta rencana Aksi Nasional sebgai tindak lanjut pemerintah Indonesia dalam melaksanakan komitmen Bangsa-bangsa di Kawasan Asia fasifik yang disebut Biwako Millineum Framework.[9]

Penyandang cacat terdiri dari tiga kelompok, yaitu :[10]

  1. Penyandang cacat fisik, meliputi :
  2. Penyandang cacat tubuh ( tuna daksa ).
  3. Penyandang cacat netra ( tunanetra ).
  4. Penyandang cacat tuna wicara/rungu.
  5. Penyandang cacat bekas penderita penyakit kronis (tuna daksa lara kronis).
  6. Penyandang cacat mental, meliputi :
  7. Penyandang cacat mental ( tuna grahita ).
  8. Penyandang cacat eks psikotik ( tuna laras ).
  9. Penyandang cacat fisik dan mental atau cacat ganda.

Jumlah penyandang cacat di seluruh Indonesia tahun 2000 sebanyak 1.548.005, dan pada tahun 2002 jumlah ini meningkat 6,97 % menjadi 1.655.912 jiwa, sedangkan pada tahun 2004 jumlah penyandang cacat meningkat menjadi 6.047.008.[11] Jaminan atas hak dan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan para penyandang cacat telah tercantuk dalam Pasal 5 UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat. Yang dimaksud dengan aspek kehidupan dan penghidupan penyandang cacat dalam pasal tersebut antara lain meliputi aspek agama, kesehatan, pendidikan, social, ketenagakerjaan, ekonomi, pelayanan umum, hukum, budaya, politik, petahanan keamanan, olah raga, rekreasi dan informasi.

Dalam membicarakan hak asasi, maka timbullah pertanyaan yaitu, apakah hak asasi akan ditempatkan dalam suatu Piagam yang terpisah dari UUD, atau ia dimasukkan dalam Pasal UUD, atau cukup dituangkan dalam Undang-Undang biasa saja ?[12]

Apabila HAM itu ditempatkan dalam suatu piagam, dan Piagam ini mendahului UUD seperti halnya dengan Declaration of Independence Amerika Serikat dan Declaration des droit de I’homme et du citoyen di Perancis, maka ia akan mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari UUD. Piagam tersebutakan bersifat subjektif yang harus dihormati oleh Negara, dan tidak akan terpengaruh dengan adanya perubahan terhadap UUD.[13] Seandainya hak-hak asasi itu ditempatkan dalam Pasal-pasal UUD, maka kemungkinan besar pasal-pasal tentang HAM itu akan berubah. Menempatkan HAM dalam Undang-Undang biasa, jelas tidak menjamin kepastian bahwa ia tidak akan berubah.

Kembali kepada masalah aksesibilitasi, aksesibilitasi merupakan hal penting dalam mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala sapek kehidupan dan penghidupan. Aksesibilitasi adalah kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam aspek kehidupan dan penghidupan.[14] Jaminan atas aksesibilitasi bagi penyandang cacat tercantum dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, antara lain ada dalam Pasal 41, 42, dan 54.

Pasal 41 :

  1. Setiap warga negara berhak atas jaminan social yang dibutuhkan untuk hidup layak serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh.
  2. Setiap penyandang cacat, orang yang berusia lanjut, wanita hamil, dan anak-anak, berhak memperoleh kemudahan dan perlakukan khusus.

Pasal 42 :

“ Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atau biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. “

Pasal 54 :

“ Setiap anak yang cacat fisik dan atau mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atau biaya negara, untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. “

Dalam Pasal-Pasal diatas disebutkan bahwa anak yang cacat fisik atau mental berhak mendapatkan biaya negara untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai HAM. Dalam perkembangannya, campur tangan negara dalam bidang ekonomi, social untuk meningkatkan taraf hidup rakyatnya kembali diterima. Dari kedua konsep negara hukum ( Eropa Kontinental dan Anglo Saxon ), dapat disepakati prinsip negara hukum, yaitu :[15] Pengakuan dan perlindungan HAM.

  1. Peradilan yang bebas dari pengaruh sesuatu kekuasaan atau kekuatan lain dan tidak memihak.
  2. Legalitas dalam arti hukum dalam segala bentuknya.

Jaminan utama terhadap dianutnya negara hukum tersebut diletakkan dalan suatu Konstitusi atau UUD yang fungsi utamanya membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang.[16] Dengan demikian, hak-hak warga negara terlindungi.

Konstitusi atau UUD tersebut mengatur jaminan terhadap hak-hak rakyat ( termasuk didalamnya partisipasi rakyat dalam pemerintahan ) dan pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah agar kekuasaan yang dipegangnya tidak disalahgunakan. Pengaturan tersebut sering disebut sebagai pembatasan atau pembagian kekuasaan dan perumusan hak – hak asasi rakyat menghubungkan konsep negara hukum dan konsep demokrasi.[17]

Maka dari itu, Negara wajib melindungi HAM warga negaranya dan melegalkannya melalui instrument-instrumen hukum mulai dari yang tertinggi ( UUD ) hingga yang paling rendah ( Peraturan Desa ). Termasuk negara wajib melindungi HAM anak-anak cacat untuk dapat hidup layak seperti warganegara lainnya.

Pasal 71 UU Nomor 39 Tahun 1999, mengatakan :

“ Pemerintah wajib dan bertanggungjwab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM. “

Pemerintah harus menghormati berarti tidak melanggar HAM. Melindungi berarti menjaga agar HAM tidak dilanggar orang. Menegakkan berarti melakukan penghukuman atas orang-orang yang melakukan pelanggaran HAM, dengan mengadili pelakunya dan penjatuhan hukuman sesuai UU yang berlaku. Memajukan berarti melakukan upaya atau tindakan agar penghormatan HAM semakin baik.[18]

Kewajiban dan tanggungjawab pemerintah ( Pasal 72 UU No 39/2009 ), meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, social, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.

  1. PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENYANDANG CACAT DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

Negara Indonesia adalah negara hukum[19] Penegasan negara hukum dalam UUD 1945 ini menjelaskan bahwa negara Indonesia bukanlah negara kekuasaan yang orientasinya sekedar politik. Negara harus menjamin hukum sebagai kekuatan yang suprematif demi terwujudnya keadilan sosial. Hukum harus dapat mengatur keterjaminan perlindungan (to protect),  penghormatan (to respect) dan pemenuhan (to fullfil) hak-hak setiap warganegara tanpa diskriminatif. Hukum sangat fundamental karena pada diri hukum terkonstruksi kepatuhan sosial, kesahihan otoritas dan sanksi bagi yang melanggarnya.

Strategisnya posisi hukum sebagai pengendali dan mengarahkan kehidupan sosial, keberadaannya menjadi tumpuan suksesnya satu pembangunan yang diterapkan dalam satu negara. Apalagi negara seperti Indonesia yang tergolong sebagai negara berkembang dan menghadapi kekuatan raksasa industrialisme yang tidak sedikit melahirkan korban, baik karena merupakan pekerja industri dan atau dampak keberadaan industri yang seringkali menyingkirkan penduduk asli dan atau dampak rusaknya sumber daya alam.[20]

Karl Marx mengatakan bahwa keberadaan kelas pekerja awalnya lahir dari sistem kapitalisme yang sangat terbatas di era Dunia Kuno, kemudian berlanjut dengan sistem feodalisme di zaman pertengahan, kemudian berlajut lagi dengan era Industrialisme yang diawali revolusi borjuis sekitar akhir abad 18. Industrialisme disebut beberapa pengamat sosial sebagai puncak kapitalisme kontemporer. Dimana strata sosial akan terbangun menjadi dua kutub yaitu kelas borjuis dan kelas proletariat. Kelas borjuis dengan kekuatan produksi, jaringan dan akumulasi modal yang dimilikinya akan mempermudah perampasan hak-hak milik rakyat termasuk hak yang fundamentalnya yaitu tanah. Pada akhirnya rakyat akan tergantung pada satu satu sumber penghidupan yaitu menjadi pekerja di dunia industri.[21]

Dalam teori pembangunan, era industrialisme acapkali sering diposisikan sebagai era transisional menuju negara kesejahteraan (welfare state). Erman Rajagukguk mengatakan pembangunan suatu bangsa sedikitnya akan melalui tiga tingkatan, yaitu tingkat mencapai persatuan dan kesatuan nasional (unifikasi), tingkat industrialisasi yang ditandai dengan akumulasi modal dan pembentukan manajer-manajer untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, dan tingkat ketiga ialah negara kesejahteraan, dimana pekerjaan utama pemerintah ialah melindungi mereka yang menderita akibat berkembangnya industrialisasi.[22]

Pemikiran di atas menjelaskan bahwa dalam industrialisme menyimpan banyak benih-benih persoalan, sekaligus terdapat harapan bahwa dunia industri akan mensejahterakan para pekerja bahkan masyarakat pada umumnya. Situasi dan kondisi tersebut salah satu harapannya terletak pada eksistensi hukum yang semestinya mengendalikan terhadap dunia industri sekaligus menjamin terhadap perlindungan dan pemenuhan hak-hak pekerja dan  masyarakat umum yang lemah. Maka hukum semestinya berada dalam dunia yang responsif, progresif dan menjamin akses para kelompok rentan, utamanya para pekerja terhadap keadian (acces to justice). Paradigma pembangunan hukum yang berbasis akses terhadap keadilan (acces to justice) menjadi satu yang sangat fundamental.

Upaya untuk memberikan perlindungan hukum terhadap kedudukan, hak, kewajiban, dan peran para penyandang cacat, di samping dengan Undang – Undang tentang Penyandang Cacat, juga telah dilakukan melalui berbagai peraturan perundang – undangan, antara lain oleh Peraturan masalah :[23]

  1. Ketenagakerjaan.
  2. Pendidikan Nasional.
  3. Kesehatan.
  4. Kesejahteraan Sosial.
  5. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
  6. Perkeretaapian.
  7. Pelayaran.
  8. Penerbangan.
  9. Kepabenan.

Permbaharuan hukum dan penegakan HAM ini dalam rangka mewujudkan civil society atau masyarakat madani.[24] Tentu saja untuk menggambarkan adanya reformasi penegakan HAM di Era Globalisasi ini diperlukan adanya perangkat hukum yang memadai, baik dari sisi peraturan perundang-undangan yang ada maupun aparat penegak hukumnya sendiri.[25]

Berbagai peraturan perundang-undangan yang memberikan jaminan aksesibilitasi bagi penyandang cacat , sebagai berikut :

  1. Amandemen IV UUD 1945, Pasal 28 D ayat (1) :

“ Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. “

  1. UU No 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial, Pasal 1 :

“ Setiap warganegara berhak atas taraf kesejahteraan social yang sebaik-baiknya dan berkewajiban untuk sebanyak mungkin ikut serta dalam usaha kesejahteraan social. “

  1. UU No 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian, Pasal 35 (1) :

“ Penderita cacat dan/ orang sakit berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam bidang angkutan kereta api. “

  1. UU No 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 49 (1) :

“ Penderita cacat berhak memperoleh pelayanan berupa perlakuan khusus dalam bidang lalu lintas dan angkutan jalan.

  1. UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 42 :

“ Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bemasyarakat, berbangsa, dan bernegara.”

Keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga negara dan sebagai dasarnya perlu diajarkan rasa susila kepada setiap manusia.[26]

Kriteria Negara Hukum menurut para ahli hukum internasional dalam konferensinya di Bangkok 1965, yaitu :[27]

  1. Perlindungan constitutional terhadap HAM.
  2. Badan Kehakiman yang bebas dan tidak memihak.
  3. Pemilihan umum yang bebas.
  4. Kebebasan untuk menyatakan pendapat.
  5. Kebebasan berserikat/berorganisasi dan berposisi, dan
  6. Pendidikan Kewarganegaraan.
  1. AKSESIBILITASI BAGI PENYANDANG CACAT DI INDONESIA PADA KENYATAANNYA

Pemberian aksesibilitasi terhadap penyandang cacat di Indonesia belum sepenuhnya dapat terwujud. Sebagaimana dikemukakan dalam penjelasan Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat, bahwa upaya perlindungan belum memadai, apalagi ada prediksi terjadinya peningkatan jumlah penyandang cacat di masa mendatang.[28] Berdasarkan hasil pendataan atau survey jumlah penyandang cacat Tahun 2010 pada 9 provinsi sebanyak 299.203 jiwa.[29]

Pada kenyataannya, betapa sulit seorang penyandang cacat untuk mendapatkan hak akses fasilitas – fasilitas public, peran politik, akses ketenagakerjaan, perlindungan hukum, akses pendidikan, akses informasi dan komunikasi, serta layanan kesehatan. Fasilitas lalu lintas jalan dan alat transportasi umum di Indonesia tidak mudah di akses oleh penyandang cacat dan orang-orang berkebutuhan khusus lainnya ( wanita hamil dan lansia ). Seorang penyandang cacat tubuh sulit menyeberang jalan dengan menggunakan fasilitas penyeberang jalan dengan undakan tangga yang terlalu sempit. Seorang penyandang cacat netra akan merasa kesulitan untuk menyimak marka-marka jalan dan papan informasi umum.[30]

Aksesibilitas di bidang pendidikan bagi para penyandang cacat di Indonesia masih sangat kurang. Kemampuan pemerintah dalam menyediakan fasilitas untuk menjangkau semua anak cacat minim, karena 80 % tempat pendidikan dikelola swasta sementara pemerintah hanya 20 %. Dari 1,3 juta anak penyandang cacat usia sekolah di Indonesia, baru 3,7 % atau sebanyak 48.022 anak yang bisa menikmati bangku pendidikan. Sementara yang 96,3 % masuk dalam pendidikan non-formal, tetapi jumlahnya tidak lebih dari 2 %. Saat ini terdapat 1.338 sekolah luar biasa ( SLB ) untuk berbagai jenis dan jenjang ketunaan. Sementara jumlah siswa yang terdaftar di Direktorat Pendidikan Luar Biasa sebanyak 12.408 anak. Kesulitan dalam mendapatkan akses pendidikan dan pelatihan, mengakibatkan akses untuk memperoleh pendidikan juga tidak mudah. Selanjutnya hak itu berimplikasi pada penghasilan dan berantai pada gizi dan kesehatan generasi penerusnya.[31]

Diskriminasi bagi para penyandang cacat, salah satunya terjadi pada pelayanan perbankan. Seorang tunanetra tidak dapat secara mandiri melakukan transaksi. Tunanetra tidak dapat melakukan transaksi perbankan, karena dianggap tidak cakap hukum. Oleh karenanya, harus menguasakannya kepada orang lain (yang bukan tunanetra) dan pemberian kuasa tersebut harus disahkan notaris.[32]

Masih terjadi pengabaian hak politik penyandang cacat dalam pemilu, antara lain :

  1. Hak untuk didaftar guna memberikan suara.
  2. Hak atas akses ke TPS.
  3. Hak atas pemberian suara yang rahasia.
  4. Hak untuk dipilih menjadi anggota legislative.
  5. Hak atas informasi termasuk informasi tentang pemilu.
  6. Hak untuk ikut menjadi pelaksana dalam pemilu, dsb.

Sistim pemilu yang dianut sejak tahun  1971 sampai sekarang adalah system proposional ( suara berimbang ) dan stelsel daftar dikombinasikan atau mengandung unsure-unsur system distrik dengan memperhatikan faktor geografis dan demografis antara Jawa dan luar Jawa. Sistem proposional yaitu suatu system pemilihan dimana wilayah dari negara yang menggunakan system ini terbagi atas “daerah-daerah pemilihan” dan kepada daerah-daerah pemilihan ini dibagikan sejumlah kursi yang diambil dari kursi yang tersedia di Parlemen untuk diperebutkan dalam suatu Pemilihan Umum di daerah tersebut, pembagian kursi ini biasanya didasarkan pada faktor imbangan penduduk.[33]

Dalam hukum internasional kelompok rentan meliputi, refugees, internally displaced persons (IDPS), national minorities,  migrant workers,  indigenous peoples,  children, dan  women[34] Sedangkan dalam Pasal 5 ayat 3  UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM, dalam penjelasannya disebutkan bahwa yang  dimaksud kelompok rentan antara lain orang lanjut usia, anak-anak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang cacat. Perbedaannya, dalam hukum internasional jelas penyebutan kelompok rentannya, sedangkan di instrumen Undang-Undang tentang HAM menyebut kata “diantaranya” yang berarti adanya kelompok rentan yang lainnya selain yang tercantum.

Situasi dan kondisi kelompok rentan di Indonesia sangatlah memperihatinkan, utamanya para fakir miskin, masyarakat adat serta buruh dan pekerja imigran. Data BPS tahun 2006 menyatakan bahwa penduduk miskin pada tahun 2005 meningkat dari 36, 80 juta menjadi 39. 30 juta tahun 2006, dan pada pada tahun 2007 menjadi 37, 17 juta. Bank Dunia mengungkapkan bahwa 110 juta penduduk tergolong miskin. Dalam laporan PBB tentang pembangunan manusia (HDR) tahun 2006, negara Indonesia berada di peringkat 110 dari 177 negara atau paling buruk di Asia Tenggara setelah Kamboja. Data BPS juga menyatakan bahwa jumlah penduduk rentan rawan pangan meningkat dari 5, 105 tahun 2005  menjadi 10, 40 juta pada tahun 2006. Demikiran juga data LIPI yang mengatakan bahwa jumlah orang miskin pada tahun 2010 akan terus bertambah. Orang-orang miskin akan membengkak dari 32,5 juta jiwa pada 2009 akan membesar menjadi 32,7 juta jiwa pada 2010. Pada tahun 2011, data BPS  menyatakan bahwa jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran per kapita per bulan di bawah Garis Kemiskinan) pada September 2011 mencapai 29,89 juta orang.[35] Sedangkan pada tahun 2012 sebagaimana diungkap Kepala Badan Pusat Statistik jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2012 mencapai 29,13 juta orang.[36]

Kondisi menyakitkan juga dialami oleh masyarakat adat. Rikardo Simarmata mengungkapkan bahwa dampak dari sentralisme hukum dan pengakuan yang tidak jelas terhadap masyarakat adat merupakan kondisi yang mendorong marginalisasi hak-hak masyarakat adat. Dampak yang paling tragis ialah cepatnya segelintir pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) menguasai dan memanfaatkan kawasan-kawasan hutan. Sementara kawasan-kawasan deposit tambang diserahkan kepada pemegang kuasa pertambangan dan kontrak karya. Proses penggusuran terhadap hak-hak masyarakat adat dibantu oleh satu ketentuan yang mengatakan bahwa penguasaan masyarakat hukum adat atas kawasan hutan (hak ulayat) dapat dibekukan. Peraturan lain menyebutkan bahwa setiap orang menyerahkan tanahnya bila ada kandungan bahan tambang di dalamnya.

Jika masyarakat adat melakukan penolakan terhadap kebijakan tersebut maka yang biasa terjadi pada mereka ialah penyiksaan (torture), pemerkosaan (rape), pembunuhan tanpa proses pengadilan (extra judicial killing), militerisasi dan perampasan tanah (extensive land alienation), bahkan diantara mereka harus diusir dan menjadi pengungsi di negaranya sendiri. Dalam kondisi pembuangan, masyarakat adat kemudian dibuatkan program oleh Departemen Sosial yang berupa Program Pemukiman Kembali (resettlement) yang kemudian dikenal dengan program Pembinaan Kesejahteraan Sosial Masyarakat Terasing (PKSMT). Lewat program ini masyarakat adat dianggap terasing dan berdiam di berbagai kawasan hutan yang merupakan tempat-tempat baru.[37]

Demikian juga, nasib yang dialami para buruh dalam negeri dan buruh migran. Data BPS tahun 2006 menyatakan bahwa tingkat pengangguran terbuka meningkat dari 10,9 juta (10, 3%) pada tahun 2005 menjadi 11,1 juta (10,4%) pada Pebruari 2006. Laporan studi ILO tahun 2009 juga menyatakan bahwa biaya peluang dari pekerja yang tereksploitasi mencapai lebih dari 20 milyar dolar pertahun. Selain itu, terlihat adanya peningkatan praktik-praktik penipuan dan kriminal yang mengarahkan orang ke dalam situasi kerja paksa. Studi ini menemukan bahwa kerja paksa umumnya masih ditemukan di negara-negara berkembang, salah satunya Indonesia. Kerapkali terjadi di ekonomi informal dan wilayah-wilayah terpencil dengan kondisi infrastruktur, pengawasan ketenagakerjaan dan penegakan hukum yang buruk.[38] Demikian juga perlindungan terhadap PRT di Indonesia yang masih sangat buruk, bahkan jauh di bawah negara Kenya. Pekerja  domestik di negara miskin di kawasan Afrika itu masih lebih dilindungi hukum dan mendapatkan upah yang layak. Pembantu rumah tangga di Indonesia sebagaimana diungkap Koordinator ILO Jatim Mochamad Noer, tidak memiliki jam kerja dan standar gaji, bahkan ada yang mengalami penundaan gaji.

Kondisi serupa dialami PRT asal Indonesia yang bekerja di luar negeri. Penyebabnya tidak adanya Undang-Undang yang mengatur secara tegas tentang perlindungan buruh migran, terutama PRT. ILO mencatat sejak tahun 2005 sampai saat ini terdapat 12,3 juta orang di seluruh dunia mengalami kerja paksa. Di Asia Pacifik rata-rata mencapai 9,5 juta orang yang mengalami kerja paksa dan tereksploitasi secara ekonomi. Eksploitasi seksual pada perempuan muda dan dewasa 98% dan anak-anak 40% hingga 50%. Buruh Migran rata-rata merupakan perempuan dan bekerja di sektor domestik yang miskin perlindungan.  Para buruh migran itu 60% dikirim ke luar negari secara illegal sehingga menghadapi situasi kondisi kerja buruk, kerja paksa, diperbudak dan seringkali mendapat ancaman deportasi. Mereka juga rentan terhadap kematian, kekerasan fisik dan seksual, serta ancaman hukuman mati yang terus berulang.

Kondisi serupa juga dialami oleh perempuan, anak-anak dan para penyandang cacat (disability). Perempuan dan anak seringkali menjadi korban karena eksistensi mereka sangat ditentukan oleh faktor-faktor ekonomi yang bermasalah dan berdampak juga terhadap persoalan pendidikan. Depdiknas tahun 2002 merilis laporan kondisi pendidikan di Indonesia yang menyebutkan bahwa 4,2 juta anak umur 7-15 tahun belum pernah sekolah, 7% penduduk usia 15 tahun ke atas buta huruf, angka putus sekolah SD mencapai 2, 66% (1. 267. 700), sedangkan SMP mencapai 3,5% (638. 056, dan 67,7% fasilitas pendidikan rusak.[39] Situasi tersebut juga ditambah dengan intensitas penggusuran yang kemudian berdampak terhadap akses pekerjaan, akses pendidikan anak dan dampak ikutan lainnya. Sedangkan penyandang cacat secara umum terdiskriminasi baik dalam pendidikan, jalan umum, kesehatan dan lainnya.

Secara umum, persoalan yang dihadapi kelompok marjinal ialah tidak terpenuhinya hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Sedangkan pelanggaran yang berdimensi sipil dan politik lebih sebagai ikutan setelah jaminan-jaminan sosial dan ekonomi mengalami kebuntuan dan tertutup aksesnya. Sri Palupi mencatat setidaknya terdapat empat masalah pokok problem akses terhadap hak ekonomi, sosial dan budaya, yaitu :[40]

  1. Berkembangnya pandangan yang menyatakan bahwa hak ekonomi, sosial dan budaya merupakan hak yang tidak justiciable (tidak bisa dituntut secara hukum di pengadilan). Secara instrumentalis jaminan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya juga mempunyai kelemahan mendasar yang menganggap bahwa hak tersebut pemenuhannya dilakukan secara bertahap (progresif realisation).
  2. Tingginya kekuatan korporasi dan lembaga-lembaga internasional seperti IMF dan World Bank. Peran pemerintah menjadi mengecil dan rentan terhadap tekanan-tekanan korporasi dan internasional.
  3. Penanggulangan kemiskinan dan realisasi hak-hak ekonomi, sosial dan budaya belum menjadi kebijakan dasar oleh pemerintah.
  4. Tingginya praktek KKN di tubuh pemerintahan yang nota bene sebagai badan publik.

Analisis  Sri Palupi mempertegas perihal lemahnya tanggungjawab negara terhadap perlindungan dan pemenuhan hak-hak warga negaranya, serta hilangnya independesni negara karena tunduk terhadap kekuatan korporasi dan lembaga-lembaga keuangan internasional. Jaminan terhadap hak-hak yang semestinya dinikmati oleh masyarakat sebagaimana dalam konstitusi dan beberapa Undang-Undang akhirnya harus kandas, baik karena praktek eksploitasi korporasi dan atau karena korupsi. Tragisnya, ditengah jaminan hukum terhadap perlindungan, penghormatan dan perlindungan HAM pasca reformasi, ternyata disana-sini terjadi tumpang tindih pemberlakuan hukum. Tercatat selama periode 2000 s/d 2006 justru berbagai peraturan perundang-undangan berpotensi menjustifikasi terjadinya pengabaian hak-hak.[41]

Situasi dan kondisi di atas menjadi tanda betapa pemerintah masih belum berkomitmen terhadap penanggulangan para kelompok rentan di Indonesia. Konfilik-konflik yang terjadi memperlihatkan bahwa masyarakat kelompok rentan memang sangat lemah. Akses perlindugan, penghormatan dan pemenuhan hak-hak mereka terganjal dari beberapa instrumen dan penegakan hukum yang memaksa mereka harus tunduk pada penindasan dan kekerasan. Negara tidak tampil mengangkat derajat hak-hak kelompok marjinal, dalam banyak hal negara menjadi insitusi yang koruptif ditengah ketundukannya kepada pemodal.

  1. MEWUJUDKAN KESAMAAN HAK DAN KESEMPATAN BAGI PENYANDANG CACAT

Pembangunan hukum berbasis akses terhadap keadilan (acces to justice) menghendaki pemenuhan akses terhadap keadilan bagi kelompok miskin dan kelompok rentan lainnya sebagai affirmative action.[42] Keberadaan affirmatif action bertujuan  bukan untuk melakukan diskriminasi pemberlakuan, melainkan sebagai bantuan sementara bagi masyarakat miskin dan kelompok rentan lainnya sampai mereka berada dalam posisi mampu untuk memperoleh akses terhadap keadilan.[43] Kelompok rentan merupakan kelompok masyarakat yang lemah dan tidak dalam posisi sederajat dengan warganegara yang telah mempunyai akses sekian lama dalam struktur dan kultur masyarakat.  Sehingga pengakuan atas kesetaraan dimuka hukum dan akses keadilan dapat terlaksana dengan baik.[44]

Dalam proses pemenuhan akses terhadap keadilan bagi kelompok rentan erdapat berbagai faktor yang saling berhubungan. Interaksi berbagai faktor tersebut dapat dijelaskan melalui kerangka konseptual yang disarikan dari berbagai temuan dan tulisan para ahli di bidang akses terhadap keadilan serta dokumen organisasi internasional,[45] yaitu :

  1. Kerangka normatif. Kerangka normatif merujuk pada terbentuknya payung hukum yang merumuskan hak dan kewajiban, merefleksikan kebiasaan dan menerima prilaku sosial. Hal ini mencakup hukum negara dan hukum yang hidup dalam masyarakat, meliputi substansi peraturan, proses penyusunan dan mikanisme perubahan, serta pelaku dan lembaga yang terlibat dalam proses tersebut.
  2. Kesadaran hukum yang berarti terkait peraturan, hak, kewajiban dan cara mengakses berbagai alternatif penyelesaian
  3. Akses terhadap lembaga sebagaimana kelompok miskin dan terpinggirkan menerjemahkan kesadara hukumnya.
  4. Administrasi hukum yang efektif baik melalui lembaga formal dan non formal. Elemen yang sangat penting dalam akses terhadap keadilan ialah keberadaan lembaga hukum formal dimana lembaga ini semestinya dipercaya oleh masyarakat sebagai lembaga yang efisien, netral dan profesional. Kepuasan dan kepercayaan publik terhadap lembaga formal sangatlah penting.
  5. Pemulihan hak yang memuaskan yang mensyaratkan imparsialitas, tepat waktu, konsistensi norma, bebas korupsi dan intervensi politik, serta adanya standar kesesuaian dengan norma dan standar hak asasi manusia nasional dan internasional
  6. Permasalah mengenai kelompok miskin dan terpinggirkan merupakan permasalahan yang terdapat pada bagian akses terhadap keadilan yang lain
  7. Monitoring dan pengawasan yang mendukung transpransi dan akuntabilitas pada keenam permasalahan di atas.

Berdasarkan berbagai indikator tersebut maka yang perlu dilakukan ialah perombakan secara paradigmatik terhadap sistem hukum di Indonesia dan diorentasikan pada pemenuhan hak-hak warga negara kelompok yang mendapatkan hak affirmatif action. Mereka harus dijamin baik dalam segi kerangka  normatifnya, akses terhadap pengetahuan hukumnya, sarana-prasarana keadilan, pelayanan hukum ketika terjadi konflik, bantuan hukumnya serta adanya jaminan sistem pemulihan yang memadai. Akses keadilan terhadap kelompok rentan tersebut sangat penting ditengah posisi mereka yang seringkal dilemahkan dalam sistem hukum, prilaku sosial dan kebijakan industrial.

Maka untuk mewujudkan pembangunan hukum yang berbasis akses terhadap keadilan, pertama-tama yang dilakukan ialah mengubah paradigma pembangunan hukum yang berlaku di Indonesia. Paradigma sistem hukum yang masih positivis harus diubah menjadi tipe yang responsif dan progresif. John Henry Merryman mengatakan terdapat tiga model tradisi hukum yang utama yaitu tradisi hukum kontinental (civil law), tradisi hukum adat (common law) dan tradisi hukum  sosial (sosialis law).[46] Secara historis keberadaan tradisi hukum tersebut dapat dibagi menjadi dua yaitu tipe pembangunan hukum yang ortodoks dan tradisi hukum yang responsif.  Tipe hukum kontinental dan sosial merupakan model pembangunan hukum yang ortodoks karena mempunyai ciri-ciri peranan yang sangat dominan dari lembaga-lembaga negara (pemerintah dan parlemen) dalam menentukan arah hukum dalam suatu masyarakat. Hukum akhirnya bersifat positivis-instrumentalis. Hukum menjadi alat yang ampuh bagi pelaksanaan ideologi dan program negara.[47] Bahkan, atas nama program pembangunan negara, pemerintah juga akan sering melakukan pemberangusan kritik yang muncul di masyarakat.

Kondisi terbalik terjadi pada tipe pembangunan hukum dengan model hukum adat (common law) yang responsif. Ciri-ciri dari tradisi model common law ialah adanya peranan besar dari lembaga-lembaga peradilan dan partisipasi yang luas kelompok-kelompok sosial atau individu-individu di masyarakat dalam menentukan arah pembangunan hukum. Keberadaan pemerintah dan parlemen menjadi lebih relatif, dan adanya tekanan yang timbul dari partisipasi masyarakat luas dan kedudukannya yang relatif bebas mendorong lembaga peradilan lebih kreatif dalam menghadapi masalah yang timbul di masyarakat. Peradilan mempunyai peranan substansial dalam pembangunan hukum.[48]

Artidjo Alkostar salah seorang hakim agung Indonesia mengatakan bahwa pembagunan hukum tidak mungkin hanya dipercayakan dan tergantung kepada penguasa saja, karena eksistensi hukum tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial. Perubahan paradigma hukum merupakan sesuatu asasi sehingga tidak tertinggal dari perkembangan sosial dan teknologi. Menurut Artidjo, hukum Indonesia terbelenggu oleh kapsul positivisme hukum Eropa Kontinental abad 18. Positivisme hukum tidak peduli dengan keadilan, karena keadilan bukan urusan hukum positif. Aliran positivisme hukum menekankan kepastian hukum yang kemudian berakibat pada pertumbuhan hukum Indonesia yang berjalan tanpa visi. Watak hukum Eropa Kontinental bertradisi tanpa paradigma sosiologi, karena memakai metode berfikir deduktif seperti kebiasan hukum Romawi. Karakter hukum Anglo Amerika lebih realistis karena memberi perhatian kepada yang berkembang dalam dinamikas sosial.[49]

Mendesaknya perubahan paradigma hukum di Indonesia juga diungkap oleh I Nyoman Nurjaya yang menegaskan bahwa fenomena konflik yang terjadi secara meluas di Indonesia sampai hari  merupakan akibat dari konflik nilai (conflict of values), konflik norma (conflict of norms), dan atau konflik kepentingan (conflict of interest) dari komunitas-komunitas etnik, agama maupun golongan dalam masyarakat.  Dilihat dari perspektif hukum dan kebijakan, fenomena konflik di berbagai daerah itu bersumber dari persoalan diskriminasi pengaturan dan perlakuan pemerintah terhadap kehidupan masyarakat di daerah yang cenderung mengabaikan, menggusur, dan bahkan mematisurikan nilai-nilai, norma-norma hukum rakyat (customary law/adat law), termasuk religi dan tradisi-tradisi serta kearifan masyarakat daerah melalui dominasi pemberlakuan dan penegakan hukum negara (state law) yang bercorak sentralisme hukum (legal centralism). Paradigma pembangunan hukum (legal development paradigm) yang dikembangkan oleh pemerintah saat ini harus diganti dengan paradigma yang bercorak pluralisme hukum (legal pluralisme).[50]

Berangkat dari pengubahan paradigma hukum dari tipe positivistik menjadi responsif dan progresif  di atas maka konstruksi pembangunan hukum berbasis akses terhadap keadilan mensyaratkan terhadap beberapa hal, yaitu :

Pertama, pembuatan norma-norma hukum harus responsif dan partisipatif. Proses ini mensyaratkan minimal dua hal,[51] pertama, legislatif harus meletakkan dirinya sebagai kekuatan politik formal masyarakat, dan tidak memerankan diri sebagai konseptor undang-undang, apalagi memonopoli proses lahir hingga evaluasi produk perudang-undangan. Pengambilan keputusan politik bukan hanya aparat negara dan wakil rakyat, melainkan juga seluruh warganegara berpartisipasi dalam wacana bersama. Kedua, organisasi masyarakat sipil untuk menjadi kekuatan intelektual yang mengkaji dan merumuskan kebutuhan hukum masyarakat. Perpaduan legislatif yang sejatinya adalah representasi rakyat dengan organisasi masyarakat sipil diharapkan mampu merumuskan substansi hukum yang memiliki kekuatan perlindungan (to protect), penghormatan (to respect) dan pemenuhan (to fullfil) terhadap hak-hak kelompok rentan.

Kebijakan perumusan norma-norma hukum juga harus mensyaratkan, pertama, kewajiban negara untuk mempublikasikan perencanaan produk peraturan perundang-undangan yang akan dibuat, dan memberikan kesempatan kepada kelompok strategis berpartisipasi. Kedua, tersedianya sistem informasi dan dokumentasi yang sistematis, bebas, dan mudah diakses. Ketiga, adanya jaminan prosedur dan forum yang terbuka dan efektif bagi masyarakat untuk terlibat secara efektif. Keempat, tersedianya prosedur yang menjamin publik untuk mengajukan inisiatif pembuatan RUU. Kelima, adanya pengaturan yang jelas mengenai dokumen yang wajib tersedia dan bebas diakses oleh publik, seperti naskah RUU, notulensi pembahasan dan catatan-catatan.[52]

Kedua, adanya lembaga pelayanan hukum, pengaduan dan sengketa yang  progresif. Pelayanan hukum dalam konteks ini ialah pelayanan atau penegakan hukum yang submisif terhadap sistem yang ada, tetapi lebih afirmatif (affirmatif law enforcement). Afirmatif berarti keberanian untuk melakukan pembebasan dari praktek konvensional dan menegaskan penggunaaan satu cara yang lain, yang menerobos terhadap pakem-pakem praktek hukum yang telah lama berlangsung.  Aparatur penegak hukum harus bersikap realistis dan tidak bermukim di menara gading. Mereka harus mengasah intuisi dengan dengan turun ke bawa menyerap aspirasi yang berkembang di masyarakat. Mereka harus keluar dari tafsir monolitik karena teks undang-undang hanya memberi ruang penafsiran yang terbatas. Penegakan hukum progresif lebih mengedepankan konteks ketimbang teks-teks aturan semata.[53] Maka dalam konteks pelayanan penyelesaian hukum tidak semata lewat mekanisme pengadilan formal tetapi juga bisa lewat penyelesaian informal. Penyelesaian hukum tidak lagi dimaknai sebagai satu yang formal, sentralistik tetapi juga mengakomodasi penyelesaian hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat (living law).

Ketiga, adanya lembaga-lembaga hukum yang melangsungkan pelatihan dan pendidikan hukum bagi kelompok rentan. Pelatihan dan pendidikan hukum merupakan prasyarat untuk lahirnya kesadaran hukum dan hak-hak masyarakat dari kelompok rentan. Maka salah satu program yang harus dilangsungkan oleh pemerintah ialah berkoordinasi dan bekerjasama dengan lembaga-lembaga yang  memiliki konsentrasi terhadap pendidikan dan pelatihan hukum. Lembaga-lembaga tersebut hendaknya difungsikan untuk melakukan pendidikan dan pelatihan bagi kelompok rentan sehingga mereka dapat sadar dengan hak-hak hukum dan mendapatkan keadilannya.

Keempat, adanya sarana prasarana yang memadai bagi terwujudnya akses terhadap keadilan. Sarana prasarana bisa meliputi keberadaan gedung pengadilan yang bisa dijangkau, para penegak hukum yang responsif dan progresif, adanya media yang informatif baik berbentuk online atau cetak, serta pelayanan administrasi yang cepat, komunikatif, efektif dan biaya murah.

Kelima, adanya lembaga komplain dan pengawasan terhadap perlindungan, penghormatan dan pemenuhan kelompok-kelompok rentan yang kuat. Keberadaan lembaga-lembaga ini sangat penting untuk menampung segala keluhan-keluhan kelompok marginal terkait pelayanan yang diberikan oleh pemerintah dan atau industri. Lembaga komplain juga diharapkan mempunyai mekanisme hukum yang dapat merekomendasikan dan memutuskan terhadap penyelesaian kasus yang menimpa kelompok marginal. Selain untuk menampung terhadap permasalahan komplain, lembaga ini juga dibentuk untuk mengawasi secara eksternal terhadap kinerja yang dilakukan oleh aparatur lembaga-lembaga publik. Lembaga komplain dan pengawasan merupakan lembaga yang fundamental sehingga aparatur yang terlibat di dalamnya haruslah berparadigma responsif-progresif, dan kewenangan kelembagaannya harus diperkuat.

Secara keseluruhan pembangunan hukum berbasis keadilan di atas merupakan sarana perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak-hak kelompok rentan yang sangat lemah ketika menghadapi problematika baik akibat kebijakan pembangunan pemerintah dan atau kesewenang-wenangan dunia industri. Di samping itu, kebijakan berbasis akses terhadap keadilan merupakan sarana untuk menyadarkan dan memberdayakan kelompok rentan sehingga mereka tidak sekedar menjadi korban pembangunan pemerintah dan kekuatan industri, tetapi juga dapat merasakan kesejahteraan (welfare) dan dampak positif dari kebijakan pembangunan yang berlangsung.

Dalam konteks itu, pembangunan hukum yang berbasis akses terhadap keadilan akan mendorong terhadap indikator-indikator keberhasilan pembangunan pada dimensi ekonomi dan sosial lainnya, meliputi :[54]

Pertama, kekayaaaan rata-rata. Pembangunan mula-mula dipakai dalam arti pembangunan ekonomi. Sebuah masyarakat dinilai berhasil melaksanakan pembangunan bila pertumbuhan ekonomi masyarakatnya cukup tinggi. Ukuran keberhasilannya ialah pada produktifitas masyarakat atau produktifitas negara tersebut setiap tahunnya. Bahasa teknis ekonominya ialah produktifitas diukur oleh Produk Nasional Bruto (PNB)/ Gross National Product (GNP) dan Produk Domestik Bruto (PDB)/Gross Domestic Product (GDP). Keberhasilan pembangunan diukur dengan jumlah kekayaan keseluruhan sebuah negara.

Kedua, pemerataan. Kekayaan yang dimiliki atau diproduksikan oleh satu negara tidak berarti bahwa kekayaaan tersebut merata dan dimiliki oleh semua penduduknya. Sangat mungkin terjadi, hanya sebagian kecil orang dan kelompok saja yang memiliki kekayaan, sedangkan mayoritas warganegaranya berada dalam garis kemiskinan. Oleh karena itu, pembangunan semestinya tidak hanya diukur dengan tingginya PNB/kapita dan atau PDB/kapitanya, tetapi juga dinilai dari indikator atau aspek pemerataan harta kekayaan di satu negara. Karena itu, pembangunan dianggap berhasil jika tinggi produktifitasnya, penduduknya makmur dan sejahtera secara merata.

Ketiga, kualitas kehidupan. Salah satu alat untuk mengukur kesejahteraan penduduk sebuah negara ialah dengan menggunakan tolak ukur PQLI (Physical Quality of Life Index).  Alat ukur ini diperkenalkan oleh Moris yang mengukur tiga indikator, yaitu, pertama, rata-rata harapan hidup sesudah umur satu tahun. Kedua, rata-rata jumlah kematian bayi. Ketiga, rata prosentase buta dan melek huruf. Dengan pendekatan alat analisa ini, maka prestasi PQLI akan tidak selalu sama dengan prestasi PNB/kapita atau PDB/kapita. Alat PQLI akan menjelaskan perihal kompleksitas dari keberhasilan satu pembangunan yang tidak setara.  Walaupun, alat ukur PQLI masih perlu diperbaiki karena masih banyak indikator keberhasilan pembangunan yang belum dimasukkan.

Keempat, kerusakan lingkungan. Satu negara yang produktifitasnya tinggi dan merata penduduknya, sangat mungkin penduduknya berada dalam proses menjadi miskin. Produktifitas tinggi  yang biasanya digerakkan oleh korporasi bersar dan tidak memperhatikan dampak-dampak eksploitatifnya maka yang terjadi ialah kerusakan lingkungan, sumber alamnya terkuras, hilangnya sumber pendapatan warga dan bencana alam. Oleh karena itu, pembangunan wajib juga mengatur perihal daya kelestarian alam dan lingkungan yang memadai.

Kelima, keadilan sosial dan kesinambungan. Pembangunan dianggap berhasil jika mensyaratkan kebijakan pembangunan dengan unsur keadilan sosial dan berdampak berkesinambungan. Keadilan sosial mensyaratkan adanya pemerataan pendapatan warga negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sedangkan dampak kesinambungan mensyaratkan bahwa pengelolaan produksi haruslah menjaga terhadap kelestarian lingkungan dan  keaslian sosial.

Cita-cita keberhasilan pembangunan yang mampu mengantarkan pada tingkat kesejahteraan (welfare) dan keadilan sosial (social justice) di atas, keberadaan hukum berbasis akses terhadap keadilan menjadi salah kuncinya yang tentu membutuhkan komitmen, kemauan (political will) dan watak kenegarawanan para pemimpin negara. Tanpa itu, kelompok rentan akan terus menjadi korban yang tertindas, dan sumber daya alam akan mengalami kerusakan yang fatal.

Setiap perundang – undangan tertulis di dalamnya terkandung suatu misi atau tujuan tertentu yang hendak dicapai. Lahirnya suatu perundang – undangan tertulis baru merupakan suatu titik awal untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Otto Kirchheimer, ahli konstitusi dari Jerman, yang mempunyai pendapat menarik tentang kedudukan konstitusi. Dia hubungkan konstitusi dengan suksesnya suatu revolusi atau perubahan masyarakat. Pada saat dia uraikan tentang pembaruan UUD dan demokrasi social, Kirchheimer menyatakan revolusi adalah bukan ciptaan konstitusi , tetapi konstitusi kebanyakan menjadi monument keberhasilan revolusi.[55]

Pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, dan memajukan HAM, salah satunya dalah hak-hak para penyandang cacat. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan social penyandang cacat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan bagi penyandang cacat.[56]

Pasal 28i ayat (4) UUD 1945 :

“ Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. “

Pasal 42 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM :

“ Setiap warga negara yang berusia lanjut, cacat fisik dan atau cacat mental berhak memperoleh perawatan, pendidikan, pelatihan, dan bantuan khusus atas biaya negara, untuk menjamin kehidupan yang layak sesuai dengan martabat kemanusiaannya, meningkatkan rasa percaya diri, dan kemampuan berpartisipasi dalam kehidupan bemasyarakat, berbangsa, dan bernegara. “

Kewajiban pemerintah dalam hal ini, tidak hanya berhenti pada kebijakan formulatif ( pembuatan peraturan perundang-undangan ) saja, namun juga pada kebijakan aplikatif serta kebijakan eksekutif. Aspek substansi hukum yang menjamin aksesibilitasi bagi penyandang cacat dari sejumlah peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah cukup memadai. Namun, perumusannya lebih banyak yang bersifat negative, yaitu memberikan hak-hak bagi para penyandang cacat.

Perumusan Negatif, diantaranya jaminan hak penyandang cacat di bidang kesejahteraan social, perkeretaapian, lalu lintas jalan, penerbangan, pelayaran, kesehatan, dan pendidikan. Perumusan positif, yaitu kewajiban untuk memberikan aksesibilitas bagi penyandang cacat antara lain ada pada ketentuan tentang perlindungan anak, bangunan gedung, dan ketenagakerjaan. Pelanggaran atas kewajiban tersebut diancam dengan sanksi, baik sanksi pidana maupun sanksi administrasi.

Norma-norma yang ada pada UUD harus mengalir dalam perundang-undangan di bawahnya, apakah berupa norma jabaran atau lebih kongkret. Maka, norma HAM yang terkandung dalam UUD, mempunyai dua posisi yaitu sebagai norma pengarah atau pemandu bagi hukum positif untuk mencapai cita-cita perlindungan HAM, dan sebagai norma penguji UU atau hukum positif apakah selaras dengan semangat HAM. Dengan kata lain, meminjam kerangka pemikiran Gustav Radbruch, seorang ahli filsafat hukum dari mahzab Beden, bahwa norma HAM yang terkandung dalam UUD berfungsi regulative maupun konstitutif. Fungsi regulative menempatkan norma HAM dalam UUD sebagai tolok ukur untuk menguji, apakah UU atau hukum positif telah selaras dengan cita-cita HAM. Sebagai fungsi konstitutif menentukan tanpa semangat HAM dalam UUD, UU atau hukum positif akan kehilangan makna sebagai hukum yang bermanfaat untuk masyarakat.

Namun, dilihat dari aspek struktur dan budaya hukum, belum sepenuhnya menunjang bagi perwujudan kemandirian dan kesejahteraan para penyandang cacat, sehingga banyak ketentuan yang ada dalam peraturan perundang-undangan belum dapat dilaksanakan. Untuk itu perlu dilakukan Alternative Action.[57]

Alternative Action untuk mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan bagi penyandang cacat. Penyandang cacat berhak mendapatkan perlakuan khusus. Aksi ini mengarah pada penyadaran public akan hak-hak penyandang cacat dan kewajiban mereka untuk berperan aktif dalam berinteraksi social yang sehat dan wajar. Aksi tersebut membutuhkan strategi sosialisasi yang efektif, menyangkut :

  1. Pola penyadaran integral antar pemerintah, penyandang cacat dan masyarakat pada umumnya sehingga memunculkan suatu sinergi. Pola tersebut meliputu :

ü  Peningkatan pengetahuan penyandang cacat akan hak-haknya.

ü  Implementasi perundang-undangan dari tingkat pusat hingga daerah.

ü  Melakukan advokasi hukum penyandang cacat dalam memperjuangkan hak-haknya.

  1. Pola pembudayaan dari sosialisasi sinergis di atas.

Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya yang disadari oleh prinsip pemihakan kepada mereka yang lemah dan di lemahkan, agar mereka mempunyai posisi tawar sehingga mampu memecahkan masalah dan mengubah kondisi dan posisinya. Pemberdayaan dalam pengertian ini meliputi langkah perbaikan kualitas hidup rakyat, yang tidak hanya diukur dari peningkatan kesejahteraan yang bersifat ekonomis, tetapi juga kuasa dalam mengambil keputusan.[58]

Negara hukum merupakan suatu dimensi dari negara demokratis dan memuat substansi HAM, bila tidak dikuatirkan akan kehilangan esensinya dan cenderung sebagai alat penguasa untuk melakukan penindasan terhadap rakyat, juga sebagai instrument untuk melakukan justifikasi terhadap kebijakan pemerintah yang sebenarnya melanggar HAM.

Salah satu aspek kemanusiaan yang sangat mendasar dan asasi adalah hak untuk hidup dan hak untuk melangsungkan kehidupan, karena hak tersebut diberikan langsung oleh Tuhan kepada setiap manusia. Reformasi pada dasarnya merupakan usaha yang rasional dan sistematis untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dasar (core values) demokasi yang terdiri dari : konsistensi untuk selalu transparan dalam pengambilan keputusan publik, perlindungan dan penegakan terhadap pelanggaran HAM, peradilan bebas dan tidak memihak, penciptaan norma hukum yang aspiratif.

  1. PENUTUP

Perundang-undangan HAM dapat berlaku efektif, untuk itu diperlukan cara upaya-upaya pencanangan perundang-undangan HAM dengan baik, pelaksana dalam menunaikan tugasnya searah dan senafas sesuai dengan bunyi serta penafsiran yang telah disepakati, penegak HAM harus menuntut para pelanggarnya. Sederetan Undang – Undang yang menyangkut penyandang cacat dia atas baru merupakan titik awal dalam rangka mencapai kesamaan kesempatan dalam aspek kehidupan dan penghidupan masyarakat penyandang cacat, guna mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat. Upaya mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan merupakan tanggungjawab bersama pemerintah, masyarakat, keluarga, dan penyandang cacat sendiri. Hal ini tidak akan terwujud tanpa ada suatu struktur sosial yang mendukung.

Pemerintah mempunyai kewajiban dan tanggung jawab untuk menghormati, melindungi, dan memajukan HAM, salah satunya dalah hak-hak para penyandang cacat. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan social penyandang cacat berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 adalah untuk mewujudkan kemandirian dan kesejahteraan bagi penyandang cacat.

Pasal 28i ayat (4) UUD 1945 :

“ Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan Hak Asasi Manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. “

Jaminan utama terhadap dianutnya negara hukum tersebut diletakkan dalan suatu Konstitusi atau UUD yang fungsi utamanya membatasi kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan kekuasaan tidak bersifat sewenang-wenang. Dengan demikian, hak-hak warga negara terlindungi.

Konstitusi atau UUD tersebut mengatur jaminan terhadap hak-hak rakyat ( termasuk didalamnya partisipasi rakyat dalam pemerintahan ) dan pembatasan terhadap kekuasaan pemerintah agar kekuasaan yang dipegangnya tidak disalahgunakan. Pengaturan tersebut sering disebut sebagai pembatasan atau pembagian kekuasaan dan perumusan hak – hak asasi rakyat menghubungkan konsep negara hukum dan konsep demokrasi.

Maka dari itu, Negara wajib melindungi HAM warga negaranya dan melegalkannya melalui instrument-instrumen hukum mulai dari yang tertinggi ( UUD ) hingga yang paling rendah ( Peraturan Desa ). Termasuk negara wajib melindungi HAM anak-anak cacat untuk dapat hidup layak seperti warganegara lainnya.

Pasal 71 UU Nomor 39 Tahun 1999, mengatakan :

“ Pemerintah wajib dan bertanggungjwab menghormati, melindungi, menegakkan dan memajukan HAM. “

Pemerintah harus menghormati berarti tidak melanggar HAM. Melindungi berarti menjaga agar HAM tidak dilanggar orang. Menegakkan berarti melakukan penghukuman atas orang-orang yang melakukan pelanggaran HAM, dengan mengadili pelakunya dan penjatuhan hukuman sesuai UU yang berlaku. Memajukan berarti melakukan upaya atau tindakan agar penghormatan HAM semakin baik.

Kewajiban dan tanggungjawab pemerintah ( Pasal 72 UU No 39/2009 ), meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, social, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain.

DAFTAR PUSTAKA

Artidjo Alkostar, Pembangunan Hukum dan Keadilan, dalam  Moh. Mahfud MD, dkk (Ed)

Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1988

Bagir Manan, S.H., M.CL. Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum. 1996. Jakarta : Gaya Media Pratama.

Data menurut Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tahun 2004

Darwan Prinst, S.H. Sosialisasi & Diseminasi Penegakan HAM. 2001. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

Djohanjah, Akses Pada Keadilan, Makalah pada Pelatihan HAM bagi Jejaing Komisi Yudisial, Bandung, 3 Juli 2010

Erman Rajagukguk, Agenda Pembaharuan Hukum Ekonomi Indonesia, dalam Moh. Mahfud MD, dkk, Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, UII Press, Yogyakarta, 1997

Makmur Sunusi, Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial

Nico Schulte Nordholt. Menyongkong Civil Society dalam Era Kegelisahan, dalam Sindhunata ( Editor ), Mengenang Y.B. Mangunwijaya, Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan, Kanisius, Yogyakarta, 1999

Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan telah mengadakan ekspos data penyandang cacat klasifikasi ICF bekerjasama dengan PT. Surveyor Indonesia (Persero).

Muladi. Hak Asasi Manusia ( Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam Prespektif Hukum dan Masyarakat ). Bandung : PT. Refika Aditama.

  1. Boedisoetya, Hak-Hak Asasi sehubungan dengan ketatanegaraan Republik Indonesia, karangan untuk Panitia ad hoc IV MPRS. Oktober 1966.

Uning Pratimaratri. Jaminan Aksesibilitasi Bagi Penyandang Cacat ( Sebagai Perwujudan Perlindungan Hak Asasi Manusia ).

  1. Syahbuddin Latief. 1999. Jalan Kemanusiaan, Panduan untuk Memperkuat HAM. Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama.

GG.Howards dan Rummers dalam tulisan Hassa Suryono “ Implementasi dan Sinkronisasi HAM Internasional dan Nasional “ dalam buku Prof. Muladi “ HAM ( Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Prespektif Hukum dan Masyarakat ). 2005. Bandung : PT. Refika Aditama.

Slamet Marta Wardaya. Hakekat, Konsepsi dan Rencana Aksi Nasional HAM.

Suwandi. Instrumen dan Penegakan HAM di Indonesia. 2005. Bandung : PT. Refika Aditama.

Mahfud M.D., Moh. 2001. Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.

Miriam Budiardjo. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Paper Lembaga Pembela Hak – Hak Asasi Manusia, 28 Maret 1968, hlm 2. Lihat juga Muh.Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945 ( Jakarta : Yayasan Prapanca, 1959 ), Jilid 1

Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. Hukum Tata Negara Indonesia. 1988. Jakarta : CV. Sinar Bakti.

  1. Boedisoetya, Hak-Hak Asasi sehubungan dengan ketatanegaraan Republik Indonesia, karangan untuk Panitia ad hoc IV MPRS. Oktober 1966.

Drs. H. Andi Mustari Pide, S.H. Ketatanegaraan Indoenesia dalam Konteks Demokrasi Pancasila.

Jimly Asshiddiqie, S.H. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. 2010. Jakarta : Sinar Grafika.

Albert Hasibuan. Masalah Hubungan Antar Lembaga Tinggi Negara dan HAM berdasarkan UUD 1945.

Joeniarto, S.H. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara. 1990. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Hlm.11.

Harold J. Laski : “ The State in theory and practice “, cetakan V, The Vail-Ballou-Press U.S.A

Woro Winandi. Reformasi Penegakan Hak Asasi Manusia di Era Globalisasi, dalam Hak Asasi Manusia ( Editor : Prof. Dr. H. Muladi, S.H.) Bandung : PT. Refika Aditama. Hal. 58

Kiteria Negara Hukum oleh para ahli hukum internasional ( International Commision of Jurists ) dalam konferensi di Bangkok tahun 1965.

Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan telah mengadakan ekspos data penyandang cacat klasifikasi ICF bekerjasama dengan PT. Surveyor Indonesia (Persero).

  1. Syahbuddin Latief. 1999. Jalan Kemanusiaan, Panduan untuk Memperkuat HAM. Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama.

Joko Setiyono. Kebijakan Legislatif Indonesia ( Tentang Kejahatan Terhadap Kemanusiaan sebagai Salah Satu Bentuk Pelanggaran HAM yang Berat ).

Kelompok Kerja Akses Terhadap keadilan, Strategi Nasional Akses Terhadap Keadilan, BAPPENAS Derektorat Hukum dan HAM, Jakarta, 2009

Willem van Genugten J.M (ed), Human Rights Reference, Netherlands ministry of foreignAffairs, The Hague,  1994,

Sri Palupi, Problem dan Tantangan dalam Akses Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dalam Prasetyohadi dan Savitri Wisnuwardhani (Ed), Penegakan Hak Asasi Manusia dalam 10 Tahun Reformasi, Komnas HAM, Jakarta, 2008,

Stephan Golub, Beyond Rule of Law Orthodocy : The Legal Empowerment Alternative, “Rule of Law series, Democracy and Rule of Law Project, Number 41

Suparman Marzuki, Tragedi Politik Hukum HAM, Pusham UII-Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, hlm 431-432

Rival G Ahmad, dkk, Dari Parlemen ke Ruang Publik : Menggagas Proses Pembentukan Peraturan Partisipatif, Jentera, Edisi 2, Tahun 2003

I Nyoman Nurjaya, Pluralisme Hukum Sebagai Instrumen Integrasi Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, dalam Donny Donardono (Ed), Wacana Pembaharuan

Arif Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000

Mauro Cappelletti dan Bryant Garth (Eds), Acces To Justice : Book I, Supra note 1

Willem van Genugten J.M (ed), Human Rights Reference, Netherlands ministry of foreignAffairs, The Hague,  1994

Ricardo Simartana, Pluralisme Hukum, Mengapa Perlu?, dalam Donny Donardono (Ed), Wacana Pembaharuan Hukum di Indonesia, HuMa, 2007

Stephan Golub, Beyond Rule of Law Orthodocy : The Legal Empowerment Alternative, “Rule of Law series, Democracy and Rule of Law Project, Number 41, 2003

Lihat International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Pasal 2, 3 dan 26 sebagaimana telah diratifikasi dan menjadi UU No. 12 tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik

Willem van Genugten J.M (ed), Human Rights Reference, Netherlands ministry of foreignAffairs, The Hague,  1994,

                [1] Tulisan ini disampaikan dalam kegiatan Seminar Pengarusutamaan Hak-hak Penyandang Disabilitas dengan tema Akses Terhadap Keadilan : Menuju Sistem Hukum Nasional Pro Penyandang Disabilitas yang diselenggarakan oleh Jimly School Of Law And Governmant bekerjasama dengan The Australia Indonesia Partnership For Justlice (AIPJ)  bertempat di Hotel JS Luwansa, Jl. Rasuna Said Jakarta.

[2] Muladi. Hak Asasi Manusia ( Hakekat, Konsep, dan Implikasinya dalam Prespektif Hukum dan Masyarakat ). Bandung : PT. Refika Aditama. Hlm.254.

[3] R. Boedisoetya, Hak-Hak Asasi sehubungan dengan ketatanegaraan Republik Indonesia, karangan untuk Panitia ad hoc IV MPRS. Oktober 1966.

[4] Bagir Manan, S.H., M.CL. Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum. 1996. Jakarta : Gaya Media Pratama. Hlm 198.

[5] Uning Pratimaratri. Jaminan Aksesibilitasi Bagi Penyandang Cacat ( Sebagai Perwujudan Perlindungan Hak Asasi Manusia ). Hlm 255.

[6] Data diolah daril Departemen Sosial c.q Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial www.depsos.go.id

[7] Ibid

[8] Makmur Sunusi, Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial

[9] Nico Schulte Nordholt. Menyongkong Civil Society dalam Era Kegelisahan, dalam Sindhunata ( Editor ), Mengenang Y.B. Mangunwijaya, Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan, Kanisius, Yogyakarta, 1999, hlm.93.

[10] Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan telah mengadakan ekspos data penyandang cacat klasifikasi ICF bekerjasama dengan PT. Surveyor Indonesia (Persero).

[11] Data menurut Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) Tahun 2004

[12] M. Syahbuddin Latief. 1999. Jalan Kemanusiaan, Panduan untuk Memperkuat HAM. Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama. Hlm 197.

[13] Pendapat GG.Howards dan Rummers dalam tulisan Hassa Suryono “ Implementasi dan Sinkronisasi HAM Internasional dan Nasional “ dalam buku Prof. Muladi “ HAM ( Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Prespektif Hukum dan Masyarakat ). 2005. Bandung : PT. Refika Aditama. Hal. 54

[14] Slamet Marta Wardaya. Hakekat, Konsepsi dan Rencana Aksi Nasional HAM. Hal. 6

[15] Suwandi. Instrumen dan Penegakan HAM di Indonesia. 2005. Bandung : PT. Refika Aditama.hlm.39

[16] Mahfud M.D., Moh. 2001. Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta. Hal. 61

[17] Miriam Budiardjo. Dasar – Dasar Ilmu Politik. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. Hlm 127.

[18] Paper Lembaga Pembela Hak – Hak Asasi Manusia, 28 Maret 1968, hlm 2. Lihat juga Muh.Yamin, Naskah Persiapan UUD 1945 ( Jakarta : Yayasan Prapanca, 1959 ), Jilid 1, hlm. 287-289 dan 299-300.

[19] Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim. Hukum Tata Negara Indonesia. 1988. Jakarta : CV. Sinar Bakti. Hlm 321

[20] R. Boedisoetya, Hak-Hak Asasi sehubungan dengan ketatanegaraan Republik Indonesia, karangan untuk Panitia ad hoc IV MPRS. Oktober 1966. Hal. 121

[21] Drs. H. Andi Mustari Pide, S.H. Ketatanegaraan Indoenesia dalam Konteks Demokrasi Pancasila. Hal. 31

[22] Jimly Asshiddiqie, S.H. Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi. 2010. Jakarta : Sinar Grafika. Hlm vii.

[23] Bagir Manan, S.H., M.CL. Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum. 1996. Jakarta : Gaya Media Pratama. Hlm 196.

[24] Albert Hasibuan. Masalah Hubungan Antar Lembaga Tinggi Negara dan HAM berdasarkan UUD 1945. Hal. 62

[25] Joeniarto, S.H. Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara. 1990. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Hlm.11.

[26] Harold J. Laski : “ The State in theory and practice “, cetakan V, The Vail-Ballou-Press U.S.A., hlm 8.

[27] Woro Winandi. Reformasi Penegakan Hak Asasi Manusia di Era Globalisasi, dalam Hak Asasi Manusia ( Editor : Prof. Dr. H. Muladi, S.H.) Bandung : PT. Refika Aditama. Hal. 58

[28] Kiteria Negara Hukum oleh para ahli hukum internasional ( International Commision of Jurists ) dalam konferensi di Bangkok tahun 1965.

[29] Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan telah mengadakan ekspos data penyandang cacat klasifikasi ICF bekerjasama dengan PT. Surveyor Indonesia (Persero).

[30] M. Syahbuddin Latief. 1999. Jalan Kemanusiaan, Panduan untuk Memperkuat HAM. Yogyakarta : Lapera Pustaka Utama. Hlm 197.

[31] Joko Setiyono. Kebijakan Legislatif Indonesia ( Tentang Kejahatan Terhadap Kemanusiaan sebagai Salah Satu Bentuk Pelanggaran HAM yang Berat ).

[32] Darwan Prinst, S.H. Sosialisasi & Diseminasi Penegakan HAM. 2001. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.

[33] Djohanjah, Akses Pada Keadilan, Makalah pada Pelatihan HAM bagi Jejaing Komisi Yudisial, Bandung, 3 Juli 2010

[34] Ibid

[35] Sumber BPS di update tanggal 28 Mei 2013

[36] Sumber BPS di update tanggal 28 Mei 2013

[37] Kelompok Kerja Akses Terhadap keadilan, Strategi Nasional Akses Terhadap Keadilan, BAPPENAS Derektorat Hukum dan HAM, Jakarta, 2009, hlm 5-6

[38] Willem van Genugten J.M (ed), Human Rights Reference, Netherlands ministry of foreignAffairs, The Hague,  1994, hlm. 73

[39] Sumber BPS di update tanggal 28 Mei 2013

[40] Sri Palupi, Problem dan Tantangan dalam Akses Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, dalam Prasetyohadi dan Savitri Wisnuwardhani (Ed), Penegakan Hak Asasi Manusia dalam 10 Tahun Reformasi, Komnas HAM, Jakarta, 2008, hlm 111

[41] Artidjo Alkostar, Pembangunan Hukum dan Keadilan, dalam  Moh. Mahfud MD, dkk (Ed), Kritik Sosial… Op. Cit, hlm 335-339

[42] Stephan Golub, Beyond Rule of Law Orthodocy : The Legal Empowerment Alternative, “Rule of Law series, Democracy and Rule of Law Project, Number 41, 2003

[43] Suparman Marzuki, Tragedi Politik Hukum HAM, Pusham UII-Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, hlm 431-432

[44] Paulus E. Lotulung, Menuju Sistem Hukum Nasional Pro Penyandang Disabilitas, Prospek dan tantangan. Jakarta, Makalah, tanpa tahun Publikasi

[45] Rival G Ahmad, dkk, Dari Parlemen ke Ruang Publik : Menggagas Proses Pembentukan Peraturan Partisipatif, Jentera, Edisi 2, Tahun 2003, hlm 118-119

[46] I Nyoman Nurjaya, Pluralisme Hukum Sebagai Instrumen Integrasi Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, dalam Donny Donardono (Ed), Wacana Pembaharuan… op. cit, hlm 75-77

[47] Arif Budiman, Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hlm 2-9

[48] Ibid

[49] Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1988,, hlm 27

[50] Erman Rajagukguk, Agenda Pembaharuan Hukum Ekonomi Indonesia, dalam Moh. Mahfud MD, dkk, Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan, UII Press, Yogyakarta, 1997

[51] Mauro Cappelletti dan Bryant Garth (Eds), Acces To Justice : Book I, Supra note 1, hlm  6-7

[52] Willem van Genugten J.M (ed), Human Rights Reference, Netherlands ministry of foreignAffairs, The Hague,  1994, hlm. 73

[53] Ricardo Simartana, Pluralisme Hukum, Mengapa Perlu?, dalam Donny Donardono (Ed), Wacana Pembaharuan Hukum di Indonesia, HuMa, 2007, hlm 72-73

[54] Stephan Golub, Beyond Rule of Law Orthodocy : The Legal Empowerment Alternative, “Rule of Law series, Democracy and Rule of Law Project, Number 41, 2003

[55] Abdul Hakim G. Nusantara, Politik Hukum Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta, 1988,, hlm 27

[56] Lihat International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Pasal 2, 3 dan 26 sebagaimana telah diratifikasi dan menjadi UU No. 12 tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik

[57] Lihat International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Pasal 2, 3 dan 26 sebagaimana telah diratifikasi dan menjadi UU No. 12 tahun 2005 tentang Hak Sipil dan Politik

[58] Willem van Genugten J.M (ed), Human Rights Reference, Netherlands ministry of foreignAffairs, The Hague,  1994, hlm. 73

Continue Reading

Contoh Surat Kuasa Menjual

KUASA UNTUK MENJUAL

Yang bertandatangandibawah ini:

Nama                          : _____________________________________

Tempat/tanggal lahir   : _____________________________________

Pekerjaan                    : _____________________________________

Alamat                         : _____________________________________

Dengan ini memberi kuasa penuh kepada:

Nama                          : _____________________________________

Tempat/tanggal lahir   : _____________________________________

Pekerjaan                    : _____________________________________

Alamat                         : _____________________________________

Nama                          : _____________________________________

Tempat/tanggal lahir   : _____________________________________

Pekerjaan                    : _____________________________________

Alamat                         : _____________________________________

Nama                          : _____________________________________

Tempat/tanggal lahir   : _____________________________________

Pekerjaan                    : _____________________________________

Alamat                         : _____________________________________

———————————————————KHUSUS———————————————————-

Untuk dan atas nama Pemberi Kuasa menjual, melepaskan hak, mengoperkan, atau dengan cara lain memindahtangankan kepada Pihak lain dengan harga dan syarat-syarat yang ditetapkan sendiri oleh penerima kuasa atas:

Sebidang tanah Hak ___________________ Nomor: _______________ Seluas _____ m2 (______________________ meter persegi), yang terletak di ____________________ , Kecamatan ______________________ , Kelurahan __________________ , sebagaimana diuraikan dalam Gambar Situasi tanggal ________________ dan menurut Sertifikat tanggal ___________________ , terdaftar atas nama ___________________ , Yang diperoleh Tuan ___________________ tersebut di atas, berdasarkan Putusan Pengadilan Nomor: ____________ Tanggal _____ berikut bangunan yang berdiri diatas tanah tersebut beserta turutan-turutannya, setempat dikenal Kompleks ____________________ .

Selanjutnya disebut Tanah dan Bangunan.

Untuk itu menghadap di mana perlu, di antaranya di depan Notaris/Pejabat Pembuat Akta Tanah dan instansi lainnya, memberikan keterangan-keterangan, membuat/suruh membuat, dan menandatangani akta-akta dan surat-surat yang diperlukan, menerima uang hasil penjualannya, memberikan tanda penerimaan-nya/kuitansinya atas uang hasil penjualan tersebut, serta melakukan segala tindakan yang dipandang baik dan berguna oleh penerima kuasa bagi terlaksananya kuasa ini tidak ada yang dikecualikan.

Jakarta, ____________ 2013

Pemberi Kuasa                                                          Penerima Kuasa

____________                                                            _____________

_____________

_____________

PERJANJIAN KONTRAK (KUASA JUAL) TANAH

 

Pada hari ini, …………………….., tanggal …………… bulan ………………………… tahun…………….. (……..- ……….-……………), bertempat di …………………………., yang bertanda tangan  di bawah ini:

Nama          : …………………………………………………………….

Pekerjaan    : …………………………………………………………….
Jabatan       : …………………………………………………………….

Alamat         : …………………………………………………………….

No KTP        : …………………………………………………………….

Dalam hal ini bertindak untuk dan atas nama diri sendiri, selanjutnya disebut sebagai Pihak Pertama (PEMILIK TANAH)

Nama          : …………………………………………………………….

Pekerjaan    : …………………………………………………………….

Jabatan       : …………………………………………………………….

Alamat         : …………………………………………………………….

No KTP       : …………………………………………………………….

Selanjutnya disebut sebagai Pihak Kedua (PENERIMA KUASA JUAL)

Kedua belah pihak terlebih dahulu menerangkan bahwa Pihak Pertama adalah pemilik tanah dengan identifikasi sebagai berikut:

Tipe Properti      :   luas tanah ……………………….m2,

 

Alamat                :  ……………………………………………………………………………………

Harga Jual          :  Rp. …………………………………………………………………………….,-

        (…………………………………………………………………………………..)

Status sertifikat :  …………………………………………………………………..

Pihak Pertama dan Pihak Kedua sepakat untuk mengikatkan diri dalam suatu perjanjian keagenan seperti tertuang dalam pasal-pasal sebagai berikut:

Pasal 1

Pihak Pertama dengan ini menyerahkan kepada Pihak Kedua  semua data, catatan, dan dokumen yang berhubungan dengan  properti tersebut untuk diperiksa kepada instansi yang berwenang  dan setuju untuk membayar biaya pemeriksaan tersebut, sebagai hak eksklusif yang diberikan oleh Pihak Pertama kepada Pihak Kedua.

Pasal 2

Pihak Pertama tidak diperkenankan, kecuali dengan persetujuan Pihak Kedua, mencari pembeli atau menunjuk agen lain untuk mencari pembeli selama masa hak eksklusif. Jika Pihak Pertama atau  agen lain mendapatkan pembeli selama masa hak eksklusif  dan properti tersebut terjual, maka Pihak Pertama harus  membayar komisi kepada Pihak Kedua sebagai pembayaran ganti rugi.

Pasal 3

  1. Pihak Kedua akan mendapatkan komisi sebesar Rp. ……………………………….. apabila tanah yang dimaksud terjual dengan harga Rp. ……………………………………..
  2. Pihak Kedua akan mendapatkan keseluruhan nilai kelebihan uang dari hasil penjualan tanah senilai Rp. …………………………….
  3. Pihak kedua tetap mendapat komisi sejumlah ……………………………………., apabila penjualan tanah tidak mencapai harga yang diharapkan, yakni Rp. …………………………………….

Pasal 4

Pihak Pertama dengan ini menjamin bahwa:

  1. Pihak Pertama adalah pemilik satu-satunya yang berhak atas bangunan tersebut.
  2. Pada saat ini (sesuai tanggal) tidak sedang terikat kepada agen lainnya, dalam hal menyerahkan hak eksklusif untuk menjual atau yang lain.

Pasal 5

Pihak Pertama dengan ini memberikan izin kepada Pihak Kedua untuk melakukan hal-hal sebagai berikut :

  1. Memasuki dan memperlihatkan properti tersebut pada para peminat pada saat yang wajar dan setelah memberitahukan terlebih dahulu kepada Pihak Pertama.
  2. Mempromosikan/mengiklankan properti tersebut di media massa, baik cetak maupun elektronik.

Pasal 6

Para pihak sepakat untuk menyelesaikan setiap perselisihan yang terjadi terkait dengan perjanjian ini dengan cara musyawarah untuk mufakat. Apabila musyawarah untuk mufakat tidak tercapai, para pihak sepakat untuk menyelesaikannya secara hukum. Untuk itu, para pihak memilih domisili hukum yang tetap di Kantor Panitera Pengadilan Negeri …………………………

Pasal 7

Demikian perjanjian ini dibuat dalam rangkap 2 (dua) dengan materai cukup, ditanda tangani oleh para pihak dalam keadaan sehat jasmani dan rohani serta tanpa paksaan dari pihak manapun

Pihak I                                                                                    Pihak II

………………………….                                                            …………………………………

Saksi-Saksi
Saksi Pihak I                                                                          Saksi Pihak II

………………………                                                          ………………………………….

Continue Reading

Contoh Proposal Disertasi

KEDUDUKAN KORPORASI

DALAM PENYELENGGARAAN NEGARA

DAN PEMERINTAHAN

DI INDONESIA

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

            Hak Korporasi[1] dalam rangka turut serta dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan tidak diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan. Hanya saja dalam tataran praktek korporasi sebagai bagian dari subjek hukum seringkali turut andil dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan. Hal itu dapat terlihat dari aspek kebijakan-kebijakan Pemerintah yang memberikan ruang yang cukup luas dan menguntungkan bagi kalangan korporasi yang sangat dekat dengan Pemerintahan. Kebijakan-kebijakan Pemerintahan banyak dipengaruhi oleh kalangan korporasi,[2] hal itu lebih disebabkan oleh adanya sumbangan yang bersifat tidak mengikat kepada oknum Pejabat Publik pada saat sebelum atau akan proses rekrutment serta pemilihan dalam jabatan Pemerintahan, sehingga pada saat terpilih sebagai pejabat yang memegang kendali tugas, wewenang serta kebijakan-kebijakan yang strategis, maka dengan sendirinya dapat dikendalikan oleh kalangan swasta atau korporasi.

Dewasa ini korporasi memiliki peranan yang sangat penting terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara.[3] Bahkan, dalam beberapa aspek peranan korporasi melebihi peran dan pengaruh suatu negara. Dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu negara korporasi seringkali melakukan tindakan-tindakan yang mengarah pada pelanggaran hukum bahkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.[4] Dalam kondisi yang demikian korporasi berusaha semaksimal mungkin untuk dapat mempertahankan eksistensinya guna mengembangkan bisnis dan jaringannya, yang tujuannya akhirnya akan mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya yang merupakan tujuan pokok setiap korporasi.

Dengan terjadinya persaingan di era globalisasi yang semakin pesat, peran korporasi semakin tidak terelakkan lagi, sehingga jangkauan korporasi tidak hanya masyarakat sebagai objek dari pencari keuntungan dari korporasi, akan tetapi juga sudah menjalar kepada tingkatan Negara dan pemerintahan untuk dapat menguasai pasar serta kebijakan-kebijakan strategis yang menguntungkan pribadi dan golongan.[5] Kondisi yang demikian tentu akan berdampak negative bagi perkembangan bernegara. Mengingat indepedensi terhadap produk-produk kebijakan yang dihasilkan cenderung akan memihak sehingga tidak berdasarkan pada tujuan yang benar, melainkan tujuannya untuk menguntungkan segelintir oknum yang merupakan bagian dari korporasi.

Keberadaan suatu korporasi sebagai badan hukum tidak lahir begitu saja. Artinya korporasi sebagai suatu badan hukum bukan ada dengan sendirinya, akan tetapi harus ada yang mendirikan, yaitu pendiri atau pendiri-pendirinya yang diakui menurut hukum perdata memiliki kewenangan secara hukum untuk dapat mendirikan korporasi. Menurut hukum perdata, yang diakui memiliki kewenangan hukum untuk dapat mendirikan korporasi adalah orang (manusia) atau natural person dan badan hukum atau legal person.[6] Seperti halnya dalam hal matinya suatu korporasi. Suatu korporasi hanya dapat dinyatakan mati apabila dinyatakan mati oleh hukum perdata, yaitu tidak ada lagi keberadaan atau eksistensinya (berakhir) sehingga karena tidak ada lagi, maka dengan demikian korporasi tersebut tidak dapat lagi melakukan perbuatan hukum atau dalam istilah hukumnya dikatakan bahwa korporasi tersebut mati atau bubar.[7] Namun demikian lahir, bubar atau bahkan berkembangnya korporasi juga erat kaitannya dengan intervensi negara dan Pemerintahan, mengingat segala sesuatu yang berkaitan dengan Korporasi segala bentuk perijinannya juga erat hubungannya dengan Pemerintah.[8]

Dalam hukum pidana Indonesia memberikan pengertian korporasi dalam arti luas. Korporasi menurut hukum pidana indonesia tidak sama dengan pengertian korporasi dalam hukum perdata. Pengertian korporasi menurut hukum pidana lebih luas daripada pengertian menurut hukum perdata. Menurut hukum perdata, subjek hukum, yaitu yang dapat atau yang berwenang melakukan perbuatan hukum dalam bidang hukum perdata, misalnya membuat perjanjian, terdiri atas dua jenis, yaitu orang perseorangan (manusia atau natural person) dan badan hukum (legal person).[9]

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, yang dimaksud dengan pengertian korporasi menurut hukum perdata ialah badan hukum (legal person). Namun dalam hukum pidana pengertian korporasi tidak hanya mencakup badan hukum, seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi, atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi, menurut hukum pidana, firma, perseroan komanditer atau CV, dan persekutuan atau maatschap juga termasuk korporasi. Selain itu yang juga dimaksud sebagai korporasi menurut hukum pidana adalah sekumpulan orang yang terorganisasi dan memiliki pimpinan dan melakukan perbuatan-perbuatan hukum, seperti melakukan perjanjian dalam rangka kegiatan usaha atau kegiatan sosial yang dilakukan oleh pengurusnya untuk dan atas nama kumpulan orang tersebut.[10] Bagaimana pengertian korporasi dari aspek hukum administrasi negara, hal ini yang menjadi cukup menarik untuk dianalisis dan dijadikan bahan kajian bersama, mengingat pertanyaan yang mendasar bagaimanakah posisi dan kedudukan korporasi dalam penyelenggaraan pemerintahan seperti yang telah diurai diatas.

Untuk mengamankan kebijaksanaan ekonominya, pemerintah antara lain melakukannya dengan memperluas peraturan yang mengatur kegiatan bisnis, baik melalui peraturan baru maupun penegkan yang lebih keras terhadap peraturan-peraturan yang ada. Dalam menghadapi keadaan yang demikian, korporasi dapat
melakukannya dengan cara melanggar peraturan yang ada, seperti pelanggaran terhadap peraturan perpajakan, memberikan dana-dana kampanye yang ilegal kepada para politisi dengan imbalan janji-janji untuk mencaut peraturan yang ada atau memberikan proyek-proyek tertentu, mengekspor perbuatan ilegal ke negara lain.[11] Fakta-fakta tersebut sudah tidak dapat terelakkan, sesuai dengan tujuan korporasi yakni sebagai organisasi bisnis dan aktivitas komersial untuk memperoleh profit dengan menjalankan suatu aktivitas yang menghasilkan barang atau jasa. Sehingga tujuan hukum tidak tercapai sebagaimana tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.[12]

Berdasarkan uraian diatas, maka kedudukan, peran dan fungsi korporasi dalam turut andil penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan sangat signifikan, meskipun secara normatif tidak disebutkan mengenai hak-hak korporasi dalam upaya ikut serta dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan. Hal demikian memunculkan banyak pertanyaan mengenai kedudukan Korporasi dalam Pemerintahan, apakah memang terdapat hubungan kedudukan antara korporasi dengan penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan, ataukah tidak terdapat hubungan antara penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan dengan korporasi. Untuk itulah penulis sangat tertarik untuk menelaah dan meneliti mengenai kedudukan korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka masalah yang akan dirumuskan berkaitan dengan kedudukan korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan diantaranya sebagai berikut :

  1. Apakah subjek hukum korporasi dapat ikut serta dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan ?
  2. Mengapa korporasi di Indonesia dapat secara leluasa ikut serta dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan ?
  3. Bagaimana kedudukan korporasi dalam rangka ikut serta dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah yang diuraikan pada bab sebelumnya mengenai kedudukan korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan maka tujuan penelitian diantaranya sebagai berikut :

  1. Menjelaskan apakah subjek hukum korporasi dapat ikut serta dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan
  2. Mengetahui mengapa korporasi di Indonesia dapat secara leluasa ikut serta dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan
  3. Memahami kedudukan korporasi dalam rangka ikut serta dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh dalam pembahasan mengenai kedudukan korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan diantaranya adalah :

  1. Secara teoritis dapat menambah dan memperdalam keilmuan dalam bidang Hukum Tata Negara dan Administrasi Negara serta Hukum Bisnis yang berkaitan dengan kedudukan korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan.
  2. Manfaat praktis adalah untuk  membangun kesadaran dan pemahaman kepada publik akan kedudukan korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan

1.5. Kerangka Teoritis

1.5.1.      Teori Subjek Hukum

Subyek Hukum adalah segala sesuatu yang pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum.[13] Subjek hukum juga merupakan sesuatu yang menurut hukum berhak/berwenang untuk melakukan perbuatan hukum atau siapa yang mempunyai hak dan cakap untuk bertindak dalam hukum. Selain itu subjek hukum adalah sesuatu pendukung hak yang menurut hukum berwenang/berkuasa bertindak menjadi pendukung hak. Ada juga yang berpendapat segala sesuatu yang menurut hukum mempunyai hak dan kewajian.
Menurut teori tradisional, subjek hukum adalah orang yang merupakan subjek dari suatu kewajiban hukum atau suatu hak. Teori tradisional mengidentikkan konsep “subjek hukum” dengan konsep “person”. Definisi Person menurut teori tradisional adalah manusia sebagai subjek dari hak dan kewajiban. Konsep pemegang hak dan kewajiban memainkan peran sangat penting dalam teori tradisional yang membahas tentang konsep “legal person”. Jika pemegang hak dan kewajiban adalah manusia, berarti yang dibicarakan oleh teori tradisional adalah “orang secara fisik” (physical person), jika pemegang hak dan kewajiban itu merupakan entitas lain, berarti yang dibicarakan teori tradisional adalah “badan hukum” (juristic person).[14] Yang termasuk dalam subyek hukum yaitu :

  1. Manusia atau Orang (naturlijke person)
  2. Badan Hukum (vichtperson) adalah suatu badan yang terdiri dari kumpulan orang yang diberi status “persoon” oleh hukum sehingga mempunyai hak dan kewajiban. Badan hukum dapat menjalankan perbuatan hukum sebagai pembawa hak manusia. Seperti melakukan perjanjian, mempunyai kekayaan yang terlepas dari para anggotanya dan sebagainya. Perbedaan badan hukum dengan manusia sebagai pembawa hak adalah badan hukum tidak dapat melakukan perkawinan, tidak dapat diberi hukuman penjara, tetapi badan hukum dimungkinkan dapat dibubarkan.
  1. Subjek Hukum Manusia

Adalah setiap orang yang mempunyai kedudukan yang sama selaku pendukung hak dan kewajiban. Pada prinsipnya orang sebagai subjek hukum dimulai sejak lahir hingga meninggal dunia. Ada juga golongan manusia yang tidak dapat menjadi subjek hukum, karena tidak cakap dalam melakukan perbuatan hukum yaitu, Anak yang masih dibawah umur, belum dewasa, dan belum menikah serta orang yang berada dalam pengampunan yaitu orang yang sakit ingatan, pemabuk, pemboros.

Secara yuridisnya ada 2 alasan yang menyebutkan manusia sebagai subjek hukum yaitu manusia mempunyai hak-hak subyektif dan Kewenangan hukum. Syarat-syarat cakap hukum yakni seseorang yang sudah dewasa berumur 21 tahun (Undang Perkawinan No.1/1974 dan KUHPerdata)[15], Seseorang yang berusia dibawah 21 tahun tetapi pernah menikah, Sesorang yang sedang tidak menjalani hokum dan berjiwa sehat dan berakal sehat. Syarat-syarat tidak cakap hukum adalah seseorang yang belum dewasa, sakit ingatan, kurang cerdas, orang yang ditaruh dibawah pengampuan dan seseorang wanita yang bersuami (Pasal 1330 KUH Perdata).[16]

  1. Subjek Hukum Badan Hukum

            Badan Hukum adalah badan/kumpulan manusia yang oleh hukum diberi status sebagai orang yang memiliki hak dan kewajiban. Badan hukum ialah suatu badan usaha yang berdasarkan hukum yang berlaku serta berdasarkan pada kenyataan persyaratan yang telah dipenuhinya telah diakui sebagai badan hukum, yakni badan usaha yang telah dianggap atau digolongkan berkedudukan sebagai subjek hukum sehingga mempunyai kedudukan yang sama dengan orang, meskipun dalam menggunakan hak dan melaksanakan kewajibannya harus dilakukan atau diwakilkan melalui para pengurusnya. Contoh-contoh badan hukum: PT (Perseroan Terbatas), Yayasan, PN (Perusahaan Negara), Perjan (Perusahaan Jawatan), dan sebagainya.

Badan hukum mempunyai syarat-syarat yang telah ditentukan oleh hukum yakni memiliki kekayaan yang terpisah dari kekayaan anggotanya dan Hak dan kewajiban badan hukum terpisah dari hak dan kewajiban para anggotanya. Badan hukum dibedakan dalam 2 bentuk, yaitu :[17]

–          Badan Hukum Publik

–          Badan Hukum Privat

Ada bebrapa teori tentang hakikat badan hokum, yaitu:[18]

  1. Teori fiksi dari Freidrich Carl Von Savigny

Hanya manusia lah yang menjadi subjek hokum, sedangkan badan hokum dikatakan sebagai subjek hokum hanyalah fiksi, yaitu sesuatu yang sebenarnya tidak ada tetapi orang menghidupkannya dalam bayangannya. Badan hokum itu ciptaan Negara/pemerintah yang wujudnya tidak nyata, untuk menerangkan sesuatu hal.

  1. Teori organ dari otto von gierke

Badan hokum adalah organ seperti halnya manusia yang menjelma dalam pergaulan hokum yang dapat meyatakan kehendak melalui alat-alat yang ada padanya (pengurus, anggota) seperti halnya manusia. Badan hokum itu nyata adanya.

  1. Teori harta kekyaan bertujuan dari brinz

Badan hokum merupakan kekayaan yang bukan kekayaan perorangan, tapi serikat tujuan tertentu. Badan hokum itu mempunyai pengurus yang berhak dan berkehendak.

  1. Teori kekayaan bersama dari molengraaft

Apa yang merupakan hak dan kewajiban badan hokum pada hakekatnya merupakan hak dan kewajiban para anggota bersam-sama. Kekayaan badan hokum juga merupakan kekayaan bersama seluruh anggotanya.

  1. Teori kenyataan yuridis dari paul scholter

Badan hokum itu merupakan kenyataan yuridis. Badan hokum sama dengan manusia hanya sebatas pada bidang hokum saja

1.5.2.      Teori Kewenangan dan Kekuasaan

Diskusi permasalahan hukum tentunya akan berkaitan erat dengan masalah kekuasaan dan wewenang. Hubungan hukum dengan kekuasaan dapat di rumuskan dengan slogan ”hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”.[19] Dalam artian bahwa dalam penerapan hukum, maka di perlukan kekuasaan sebagai pendukung, salah satu sebabnya adalah di karenakan hukum bersifat memaksa, karena tanpa adanya paksaan, maka pelaksanaan hukum akan mengalami hambatan. Namun semakin tertib masyarakatnya, maka semakin berkurang kekuasaan sebagai pendukungnya.

Karena begitu eratnya kaitan antara hukum dan kekuasaan, maka seakan tidak dapat memisahkan antara keduanya. Bahkan ada yang menyebutkan bahwa hukum sendiri sebenarnya adalah kekuasaan.[20] Hukum merupakan salah satu sumber dari kekuasaan, namun juga merupakan pembatas bagi kekuasaan. Oleh karena itu tidak dapat dibenarkan apabila kekuasaan di gunakan sebagai alat untuk bertindak sewenang-wenang. Karena dalam tataran praktis dilapangan orang akan cenderung ingin memiliki kekuasaan yang melebihi dari apa yang telah di gariskan. Padahal hukum memang membutuhkan kekuasaan, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan kekuasaan itu untuk menunggangi hukum.[21]

Miriam Budiardjo memberikan arti kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah-laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.[22] Kekuasaan ini yang kemudian oleh sebagian besar di cari atau bahkan menjadi rebutan dalam setiap kehidupan masyarakat modern seperti sekarang ini. Hal itu di pengaruhi oleh adanya hasrat dan keinginan manusia yang bermacam-macam sehingga dirasa perlu untuk memaksakan kemauan dirinya atas orang lain.

Hal yang sama juga di katakan Mac Iver yang merumuskan kekuasaan sebagai berikut :

The capacity to control the behavior of other either directly by fiat or indirectly  by the manipulation of available means, yang artinya kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan memberi perintah, maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia. [23]

Lebih lanjut Miriam Budiardjo bahwa kekuasaan dalam masyarakat selalu berbentuk piramida yang bersumber pada kekerasan fisik, kedudukan dan kepercayaan.[24] Agar kekuasaan dapat di jalankan maka di butuhkan penguasa atau organ sehingga negara itu di konsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu berdasarkan subjek-kewajiban.[25] Dengan demikian, lahirlah teori yang menyatakan bahwa negara merupakan subjek hukum buatan atau tidak asli atau yang di sebut teori organ atau organis.[26]

Asal atau sumber kekuasaan dalam suatu negara secara umum dapat di golongkan menjadi 2 (dua) bagian. Pertama, erat kaitannya dengan teori teokrasi, yang mana menyatakan bahwa asal mula kekuasaan berasal dari Tuhan. Teori ini berkembang pada zaman abad pertengahan yakni abad ke V sampai abad ke XV.[27] Sedang Kedua berhubungan dengan teori hukum alam yang secara umum memberikan pemahaman bahwa kekuasaan berasal dari rakyat. Kekuasaan dari rakyat tersebut yang kemudian di serahkan kepada seseorang (raja) untuk menyelenggarakan kebutuhan masyarakat.

Bila di hadapkan pada persoalan kekuasaan, maka orang berpendapat bahwa kekuasaan itu sering diartikan hanya dalam bidang politik saja.[28] Padahal kekuasaan dapat beraspek dua keilmuan, yakni berkaitan dengan hukum dan politik. Dalam hukum tata negara, wewenang (bevoegdheid) di deskripsikan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht), dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.[29] Kekuasaan mempunyai makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh legislatif, ekskutif dan yudikatif adalah kekuasaan formal.

Kekuasaan dapat berasal dari dua bagian, pertama berasal dari peraturan perundang-undangan dan yang kedua berasal dari bukan peraturan perundang-undangan atau karena jabatan yang dimilikinya. Sedangkan kewenangan hanya berasal dari peraturan perundang-undangan yang sah dan diakui oleh suatu negara.

Berdasarkan uraian diatas, maka kekuasaan memiliki dua aspek, yakni aspek politik dan aspek hukum. Sedangkan kewenangan hanya beraspek hukum saja. Dapat diartikan bahwa kekuasaan bersumber pada peraturan perundang-undangan dan di luar peraturan perundang-undangan, sedangkan kewenangan harus harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kewenangan merupakan kekuasaan yang sah, yang bersumber pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kekuasaan belum tentu kewenangan, akan tetapi kewenangan sudah tentu merupakan kekuasaan.

Kewenangan dan wewenang tentunya memiliki perbedaan yang mendasar. Dalam bahasa Belanda wewenang di sebut juga ”bevoegheid”. Menurut Philipus M. Hadjon, ada perbedaan antara kewenangan dengan wewenang, perbedaannya terletak pada karakter hukumnya. Istilah ”bevoegheid” digunakan baik dalam konsep hukum publik maupun dalam konsep hukum hukum privat. Dalam hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya di gunakan dalam konsep hukum publik.[30]

Dalam konsep hukum tata negara, “bevoegheid” (wewenang) di deskripsikan sebagai “rechtmacht” (kekuasaan hukum). Jadi dalam hukum publik wewenang berkaitan dengan kekuasaan.[31] Sedangkan dalam konsep hukum administrasi Belanda, soal wewenang selalu menjadi bagian penting dan bagian awal dari hukum administrasi karena objek hukum administrasi adalah “bestuursbevoegdheid” (wewenang pemerintahan).[32]

Jadi perbedaan antara kewenangan dan wewenang adalah pertama kali harus membedakan antara (authority, gezag) dan wewenang (competence, bevoegdheid). Gezag adalah ciptaan orang-orang yang sebenarnya paling berkuasa.[33] Kewenangan yang disebut juga “kekuasaan formal” yang berasal kekuasaan yang di berikan oleh Undang-Undang atau legislatif dari kekuasaan ekskutif atau administratif yang bersifat utuh atau bulat. Sedangkan wewenang hanya mengenai suatu bagian tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheben).[34] Wewenang juga merupakan dalam ruang lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintahan (besluit), akan tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas serta distribusi wewenang utamanya di tetapkan dalam Undang-Undang Dasar.

Sedangkan kewenangan dapat diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi  maupun mandat.[35] Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan, sedang delegasi adalah pemindahan/pengalihan suatu kewenangan yang ada.[36] Secara sederhana dapat diartikan atribusi merupakan kewenangan yang asli atas dasar konstitusi (Undang-Undang Dasar), sedang kewenangan delegasi pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain dan mandat pemberian wewenang untuk bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat.

Ada perbedaan khusus antara delegasi dan mandat. Delegasi merupakan pemberian, pelimpahan atau pengalihan kewenangan oleh suatu organ pemerintahan kepada pihak lainuntuk menganmbil keputusan atas tanggung jawab sendiri, sedangkan mandat bertanggung jawab atas nama atau tanggung jawabnya sendiri mengmbil kepuusan.[37] Akan tetapi sebenarnya dalam teori pendelegasian, apabila suatu kewenangan sudah di delegasikan, maka tidak dapat lagi di tarik kembali oleh lembaga pemberi delegasi.

1.6. Metode Penelitian

Fokus penelitian[38] pada penelitian ini adalah akan mengkaji mengenai Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia. Sedangkan Metode yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah metode penulisan hukum normatif[39], yaitu cara penulisan yang didasarkan pada analisis terhadap beberapa asas hukum dan teori hukum serta peraturan perundang-undangan yang sesuai dan berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Penelitian hukum normatif ini adalah suatu prosedur dan cara penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari segi normatifnya.[40]

Sedangkan pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah terdiri dari 3 (tiga) pendekatan yakni pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual[41](conceptual approach), dan pendekatan perbandingan (comparative approach).[42] Pendekatan perundang-undangan (statute approach) di gunakan untuk meneliti dan mengkritisi[43] peraturan perundang-undangan yang dalam penormaannya masih terdapat kekurangan dalam hal Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia. Pendekatan konseptual (conceptual approach) dipakai untuk memahami konsep-konsep dan teori[44] yang berkaitan dengan Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia, serta pendekatan perbandingan (comparative approach) di pakai untuk meneliti perbandingan Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia dengan Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di beberapa negara di dunia.

Bahan hukum merupakan bahan dasar yang akan dijadikan acuan atau pijakan dalam penulisan penelitian ini. Adapun yang menjadi bahan hukum dalam penulisan penelitian ini terdiri dari 3 (tiga) bagian, yakni bahan hukum primer, skunder dan tersier. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.[45] Bahan-bahan hukum primer terdiri dari  peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim.

Bahan hukum skunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.[46] Adapun bahan hukum skunder yang digunakan untuk memberikan penjelasan mengenai materi yang terdapat dalam bahan hukum primer berasal dari beberapa literatur, buku tesk, jurnal hukum, karangan ilmiah dan buku-buku lain yang berkaitan langsung dengan tema penulisan penelitian ini.Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder.[47] Bahan hukum ini sebagai alat bantu dalam penulisan penelitian ini. Adapun bahan hukum tersier ini dapat berupa kamus-kamus hukum yang berkaitan langsung dengan penelitian ini.

Dalam penelitian ini di gunakan metode analisis deduksi,[48] yaitu metode analisa dengan melakukan analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan (rumusan masalah) yang terdapat dalam penelitian ini untuk kemudian di korelasikan dengan beberapa asas dan teori yang menjadi landasan atau pisau analisa dalam penulisan penelitian ini sebagai langkah untuk menemukan konklusi, jalan keluar maupun konsepsi ideal tentang hal-hal yang menjadi pembahasan.

1.7. Sistematika Penulisan

Dalam penelitian ini di susun dengan sistematika yang terbagi dalam 4 (empat) Bab. Masing-masing Bab terdiri dari atas beberapa subbab guna lebih memperjelas ruang lingkup dan cakupan permasalahan yang diteliti. Adapun urutan dan tata letak masing-masing Bab serta pokok bahasannya adalah sebagai berikut :

            BAB 1     : PENDAHULUAN

Bab ini berisi uraian latar belakang permasalahan munculnya Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia. Selanjutnya di tetapkan rumusan masalahyang menentukan arah penelitian dan ruang lingkup pembahasan, sehingga akan secara komprehensif memberikan gambaran pembahasan yang menjadi titik tekan pembahasan. Dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penulisan yang memberikan gambaran mengenai tujuan dan manfaat dari penulisan sesuai tema yang diambil, dan yang terakhir di jelaskan tentang metode penelitian, dalam metode penelitian diuraikan tipe penelitian bagaimana sebuah pendekatan masalah dilakukan sekaligus sumber bahan hukum, prosedur pengumpulan bahan hukum dan dasar analisis yang dipakai guna mendukung pembahasan. Dalam bab ini diakhiri dengan pertanggung jawaban sistematika, yakni gambaran dari masing-masing bab atau pembahasan.

            BAB 2: LANDASAN TEORITIK KEDUDUKAN KORPORASI

                          DALAM PENYELENGGARAAN NEGARA

                          DAN PEMERINTAHAN

Pada Bab II ini akan di uraikan tentang landasan teori Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia, beserta pertimbangan-pertimbangan yang dugunakan dalam membahas Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia. Disitu akan disebutkan mengenai hal-hal yang berhubungan dengan Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia. Pada sub bab berikutnya akan disinggung mengenai teori yang berkaitan dengan pembahasan, seperti teori subjek hukum, teori korporasi, teori kewenangan dan kekuasaan. Hal itu diperlukan untuk memberikan gambaran atau sebagai pisau analisa dalam pembahasan berikutnya. Sehingga pedoman berfikir dalam pembahasan akan berpedoman pada teori-teori yang ada pada bab ini.

            BAB 3: POLA KEIKUTSERTAAN KORPORASI DALAM

                          PENYELENYELENGGARAAN NEGARA

                          DAN PEMERINTAHAN

Dalam bab 3 ini akan diurai mengenai pola dan jenis-jenis keikutsertaan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara. Dalam bab ini juga akan dikaji mengenai berbagai macam pola dan jenis-jenis keikutsertaan korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan yang ada di berbagai negara yang ada di dunia. Dalam bab ini juga akan dibandingkan dengan beberapa negara yang dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahannya mengikutsertakan Korporasi untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Dengan demikian akan terjadi perbandingan Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia dengan berbagai negara yang ada di dunia, sehingga mampu memberikan gambaran mengenai Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia dan yang ada di berbagai negara di dunia.

            BAB IV  : KEDUDUKAN KORPORASI DALAM

                              PENYELENGGARAAN NEGARA

                              DAN PEMERINTAHAN DI INDONESIA

Dalam Bab ini pembahasan akan di fokuskan pada jawaban atas perumusan masalah mengenai Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia. Pada bab ini akan dijelaskan mengenai Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia. Pada bab ini akan kedudukan korporasi sebagai apa dan sebaliknya negara perannya sebagai apa. Melalui pembahasan ini akan mengetahui akar pokok persoalan mengenai Kedudukan Korporasi dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan di Indonesia. Sehingga dapat memberikan jawaban yang cukup mendasarkan pada fakta filosofis, yuridis dan sosiologis.

            BAB V  : PENUTUP

Pada Bab ini akan di bagi menjadi dua bagian. Pertama, berisi kesimpulan yang merupakan jawaban dari pertanyaan pada rumusan masalah pada Bab I, jawaban akan di tulis berdasarkan rangkuman analisa pada Bab III dan Bab IV dalam penelitian ini. Sedangkan yang kedua, saran yang berisi gagasan dan ide-ide konstruktif yang dapat di jadikan masukan tentunya untuk mengatasi permaslahan-permasalahan yang berkaitan dengan pembahasan.

                [1]  Hak-hak korporasi dalam hukum tidak banyak disebutkan secara gamblang, meskipun dalam kenyataannya sebagai subjek hukum korporasi memiliki hak-hak yang secara nyata dapat dilihat secara kasat mata. Mengenai hak-hak korporasi baca T. Mulya Lubis, ed. Peranan Hukum dalam Perekonomian di Negara Berkembang. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986. Hal. 72

                [2] Hal itu yang menyebabkan adanya ketimpangan pelayanan publik yang diberikan pemerintah, dikarenakan kurang mampu memberikan pertimbangan rasional dalam upaya pengabdian kepada masyarakat. W. Riawan Tjandra. dkk, Peningkatan Kapasitas Pemerintah Daerah dalam Pelayanan Publik, Pembaruan, Yogyakarta, 2007, Hal 15

                [3] Pertumbuhan ekonomi berbanding lurus dengan perkembangan hukum, hukum harus mempu mengimbangi perkembangan teknologi informasi. Baca Hikmahanto Juwana, Hukum Ekonomi dan Hukum internasional. Jakarta: Lentera Hati, 2002. Hal. 25

                [4] Berkaitan dengan terminologi pengertian Hak Asasi Manusia secara gamblang dijelaskan melalui buku : Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat Studi HTNFHUI, Jakarta, 2008, Hal 51-53

                [5] Untuk mengetahui bahaya yang diakibatkan oleh adanya intervensi swasta terhadap Negara, baca Gunarto Suhardi, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Ekonomi. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya, 2002. Hal. 26

                [6] R. Shyam Khemani project director, “A framework for the design and implementation of competition law and policy,” World Bank, OECD, 1998. hal.2.

                [7] Rudhi Prasetya, Perseroan Terbatas teori dan praktek, Graha Ilmu, Jakarta, 2009, Hal 37

                [8] Hubungan-hubungan antara korporasi dengan Pemerintah terdapat dalam buku Andi Ayyub Saleh, Tamasya Perenungan Hukum dalam “Law in Book and Law in Action” Menuju Penemuan Hukum (Rechtsvinding), Yarsif Watampone, Jakarta, 2006. Hal. 23

                [9] Erman Rajagukguk, “Hukum Ekonomi Indonesia Memperkuat Persatuan Nasional, Mendorong Pertumbuhan Ekonomi dan Memperluas Kesejahteraan Sosial,” Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Denpasar, 14-18 Juli 2003.

                [10] Achmad Ali, “Keterpurukan Hukum di Indonesia: Penyebab dan Solusinya,” Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia, 2002. hal. 7-8.

                [11]  Hikmahanto Juwana, “Politik Hukum UU bidang Ekonomi di Indonesia.” bahan kuliah ke-2 Aspek Hukum dalam Kebijakan Ekonomi Angkatan XV PD Program Magister Perencanaan Kebijakan Publik-FEUI. Hal.7.

                [12] Liberalisme, Kapitalisme memunculkan banyak pelanggaran hukum, yang pada akhirnya memunculkan beberapa kerugian bagi keberlangungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Baca Satjipto Rahardjo, “Liberalisme, Kapitalisme, dan Hukum Indonesia,” dalam buku “Sisi-Sisi Lain Dari Hukum Di Indonesia,” Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2003. hal.21.

                [13] Pengertian secara umum berpedoman menurut pengertian ini. Untuk beberapa pengertian subjek hukum lainnya baca Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2005. Hal 41

                [14]  Hans Kelsen membagi pengertian badan hukum menurut keberlakuannya, apakah pada saat zaman modern atau pada saat masa lampau. Kelsen Hans, Teori Hukum Murni Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Nusa Media, Bandung, 2010. Hal. 61

                [15] Untuk mengetahui lebih dalam mengenai hal ini, dijelaskan didalam bukum R. Soebekti, Hukum Perdata, PT. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1992. Hal. 58

                [16] Hal ini masih timbul berdebatan, mengingat seiring perkembangan zaman wanita juga bagian dar subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum secara pribadi. Baca Elsi Kartika Sari dan Advendi Simangunsong, Hukum dalam Ekonomi, PT. Grasindo, Jakarta, 2005. Hal. 62

                [17] M. Arief Amrullah, Kejahatan Korporasi, Bayu Media, Malang. 2006, Hal 86

                [18] Untuk dapat menelaah teori-teori menganai hakikat badan hukum, dapat mebaca E. Utrecht, Pengantar Dalam Hukum Indonesia, Cetakan Kesebelas, Penerbit Buku ichtiar Baru, Jakarta, 1989, Hal. 185. Bandingkan dengan Hartono Hadisoeprapto, Pengantar Hukum Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1999, Hal. 46

                [19] Adegium hukum ini yang selalu dijadikan argumentasi dalam setiap kita mempelajari ilmu hukum, untuk itu istilah ini menjadi populer di kalangan mahasiswa, dosen dan setiap orang yang secara langsung maupun tidak langsung mempelajari ilmu hukum. Baca Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional (Bandung: Alumni, 1994), Hal. 75

                [20] Hukum merupakan bagian dari kekuasaan, dan kekuasaan adalah hukum. Baca Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, (Pradnya Paramita, Jakarta, 1976), hal. 68.

                 [21] Karakteristik hukum membutuhkan kekuasaan yakni untuk memberikan kepastian hukum. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000), hal. 146.

                 [22] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002), hal.35.

                [23] Mac Iver, The Web of Government, dalam Moh.Kusnardi dan Bintan Siragih, Ilmu Negara, (Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000), hal 116.

                [24] Op Cit, hal. 36

                [25] Rudasi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, (Makalah Pada Fakultas Hukum Universitas Islam  Indonesia, Yogyakarta), hal. 37-38.

                [26] F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Dwiwantara, Bandung), 1964, hal. 127-129

                [27] Soetomo, Ilmu Negara, (Usaha Nasional, Surabaya, 1993), hal. 51-69

                 [28] Moh. Kusnardi dan Bintan Siragih, Ilmu Negara, (Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000), hal. 116.

                [29] Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, (Makalah Univ. Airlangga, Tanpa Tahun), hal. 1

                [30] Ibid, hal. 1

                [31] Ibid, hal. 1

                [32] Ibid, hal. 1

                [33] Kranenburg dan Tk. B. Sabaroedin, Ilmu Negara Umum, (PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1986), Hal. 20

                [34] Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, (PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2006), hal. 211.

                [35] Mustamin DG. Matutu.dkk, Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di Indonesia, (UII Press, Yogyakarta, 2004), hal. 109-159.

                [36] Philipus M. Hadjon. dkk, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, (Gajah Mada University Press, 2002), hal. 130.

                [37]Jimly Ashiddiqie, Perihal Undang-Undang, (Jakarta, Konstitusi Press, 2006), hal. 378.

                [38] Fokus penelitian merupakan bagian yang sangat penting dalam upaya penulisan karya tulis ilmiah, mengingat fokus penelitian erat kaitannya dengan tujuan yang ingin dicapai dari suatu karya tulis. Untuk memahami mengenai ini, baca John W. Creswell, Reserch Design, Qualitative & Quantitative Approaches, (SAGE Publications, International Educational and Professional Peblisher, Thousand Oaks, London New Delhi, 1994) Hal. 2. Bandingkan S. Nasution, Metode Research (Penelitian Ilmiah) usulan Penelitian, Desain Penelitian, Hipopenelitian, Validitas, Sampling, Populasi, Observasi, Wawancara, Angket, (PT. Bumi Aksara, Jakarta, Cetakan ke-4, 2011), Hal. 16

                [39] Penelitian hukum normatif ini merupakan kegiatan sehari-hari seorang sarjana hukum, bahkan penelitian hukum yang bersifat  normatif hanya mampu dilakukan oleh seorang sarjana Hukum, sebagai seorang yang sengaja dididik untuk memahami dan menguasai disiplin Hukum. Sebagaimana pendapat C.F.G Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, (Bandung : Penerbit Alumni, cetakan ke-2, 2006) 139

                [40] Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Bayu Media Publishing, Malang, 2006), Hal.57

                [41] Unsur pertama dari bahasa keilmuan merupakan konsep. Kegiatan membangun sebuah teori atau model, mirip dengan membangun rumah atau tembok, sebelum membangun seorang pengembang (developer) tentu harus mengetahui  struktur tanah, luas lahan, dan alokasi penggunaannya arah dan kekuatan tiupan angin dan lain sebagainya.  Untuk itu konsep dapat diartikan sebagai symbol yang digunakan untuk memaknai fenomenon. Baca John J.O.I Ihalalauw, Bangunan Teori, (Salatiga : Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana, Edisi Millenium, 2000), hal20-22

                [42] Untuk lebih lebih jelasnya tentang macam-macam pendekatan dalam penelitian hukum normatif bandingkan Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Rajawali Pers, Jakarta, 2001), hal. 14. dengan Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Prenada media, Jakarta, 2006), hal. 93-137 dan Johnny Ibrahim, Op Cit, Hal. 299-321

                [43] Dalam studi ini berupaya memberikan masukan kritik dan saran terhadap peraturan prundang-undangan yang kurang tepat dan baik baik dari segi penormaan maupun dalam realitas penyelenggaraannya, untuk itu kemudian dinamakan sebagai teori hukum kritis. Untuk mengetahui hal teori ini silakan baca Roberto M Unger, Law and Modern Society : Toward a Criticism of Social Theory, (The Free Press), hal235. Bandingkan Munir Fuady, Filsafat dan Teori Hukum Postmodern, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, cetakan ke-1, 2005), hal.103

                [44] Teori hukum berbeda dengan hukum posotif, teori hukum menjadi landasan dalam pembentukan dan cara pandang terhadap hukum positif. Untuk itu kemudian terdapat hubungan antara kegiatan berfikir, bahasa hukum dan teori hukum. Baca J.J.H. Bruggink, Rechts Reflecties, Grondbegrippen uit de Rechtstheori, (England : Kawuler, 1995) hal. 1-2. Bandingkan H.R. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, (Bandung : Penerbit Refika Aditama, cetakan ke-2, 2005), hal. 45

                [45] Peter Mahmud Marzuki, Op Cit, Hal. 141

                [46] Op Cit, Hal.13

                [47] Op Cit, Hal. 52

                [48] Metode deduksi adalah metode yang merupakan kesimpulan-kesimpulan umum yang diperoleh berdasarkan proses pemikiran setelah mempelajari peristiwa-peristiwa khusus atau peristiwa-peristiwa yang konkret. Untuk lebih jelasnya baca : Sjachran Basah, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, (PT. Citra Aditya Bakti, Bandung), Hal. 71. Bandingkan Erliana Hasan, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian Ilmu Pemerintahan, (Ghalia Indonesia, Jakarta, Cetakan ke 1, 2011), Hal. 174

Continue Reading

PERLUKAH PRESIDEN MENGELUARKAN PERPU NO. 1 TAHUN 2013

PERLUKAH PRESIDEN MENGELUARKAN PERPU NO. 1 TAHUN 2013

Oleh :

Saiful Anam, SH., MH.

Pada tanggal 17 Oktober 2013 Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono menandatangani naskah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia  nomor 1 tahun 2013 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dengan ditandanganinya Perpu tersebut tentu menjadi hukum positif yang wajib dihargai dan dijalankan oleh semua kalangan. Akan tetapi perlu mendapat sorotan tentang urgensi serta muatan yang tertuang dalam Perpu Nomor 1 Tahun 3013 menuai problematika hukum, sehingga dalam pelaksanaannya terdapat problem hukum apakah Perpu Nomor 1 Tahun 3013 dapat menjadi solusi alternatif bagi keberlangsungan Pemerintahan atau justeru menambah problem baru bagi penyelenggaraan Pemerintahan.

Secara konstitutional berdasarkan Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Presiden berwenang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang. Tentunya kewenangan tersebut terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi, yakni harus terdapat kondisi hal ihwal kegentingan yang memaksa. Dengan demikian terdapat suatu keadaan dimana kondisi dan suasananya dalam keadaan tidak umum, sehingga Presiden mengambil sikap harus dibentuk suatu produk hukum untuk mengantisipasi keadaan yag tidak umum tersebut. Untuk itu hal yang demikian sering disebut sebagai hak perogratif Presiden. Untuk menentukan suatu keadaan dimana dapat dikategorikan sebagai kondisi ihwal kegentingan yang memaksa tentu Presiden harus menggunakan hak perogratif yang bersifat objektif dan sukjektif. Objektifitas dalam menentukan kondisi tersebut diharapkan menjadi ukuran yang dominan sehingga hal-hal yang menjadi kepentingan subjektif seorang Presiden dapat diminimalisir.

Apabila dihubungkan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia  nomor 1 tahun 2013 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka harus diketahui latar belakang dikeluarkannya Perpu tersebut. Seperti diketahui bahwa Perpu tersebut dilatarbelakangi oleh tertangkap tangannya Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar bersama 4 orang lainnya dalam operasi tangkap tangan di rumah dinas kawasan Widya Chandra. Kondisi yang demikian dianggap bertentangan dengan Pasal 24C ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yakni hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap jabatan sebagai pejabat Negara. Selain itu untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum Indonesia, serta untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang menjalankan fungsi menegakkan Undang-Undang Dasar akibat adanya kemerosotan integritas dan kepribadian yang tercela dari hakim konstitusi. Berdasarkan alasan-alasan singkat diatas maka kemudian Presiden mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia  nomor 1 tahun 2013 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Analisis selanjutnya adalah benarkah kondisi tersebut dikatakan dan merupakan kondisi hal ihwal kegentingan yang memaksa, sehingga kemudian Presiden mengeluarkan Perlu Nomor 1 tahun 2013. Tentu hal itu harus dibandingkan dengan beberapa kasus hukum yang beberapa periode waktu yang lalu pernah menggemparkan bangsa ini. Contoh misalnya yang terjadi pada ditetapkannya Andi Mallaranggeng selaku Menteri Pemuda dan Olahraga pada saat itu, juga kasus korupsi Simulator SIM yang menimpa Djoko Soesilo, Korupsi Pengadaan Al-Qur’an Zulkarnaen Djabar, Korupsi daging impor yang melibatkan Lutfi Hasan Ishaq dan Achmad Fathonah dan kasus-kasus korupsi lainnya yang melibatkan pejabat publik belakangan ini. Tentu apabila dihubungkan dengan perkara-perkara korupsi lain diatas, tertangkap tangannya Akil Mochtar oleh Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan hal yang biasa-biasa saja, dan merupakan perkara yang hampir sama terjadi pada kasus-kasus lainnya yang menimpa pada lembaga Negara lainnya. Akan tetapi dengan dikeluarkannya Perpu Nomor 1 Tahun 2013 seolah perkara yang menimpa Akil Mochtar merupakan perkara yang menyebabkan kegentingan yang memaksa menurut versi Presiden, sehingga kemudian dikeluarkan Perpu untuk mengatasi itu. Kriteria kegentingan Presiden ini yang menyebabkan kebingungan publik, apalagi tenggang waktu Presiden dalam mengeluarkan Perpu Nomor 1 tahun 2013 sangat lama yakni 15 (lima belas) hari sejak tertangkapnya Akil Mochtar, sehingga Perpu penyelamatan MK dianggap kehilangan momentum. Selain itu terdapat beberapa usulan dari berbagai kalangan kenapa Presiden hanya terfokus pada perkara yang menimpa Akil mochtar, kenapa Perpu tidak ditujukan pada keseluruhan lembaga Negara yang semakin hari semakin banyak yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi.

Mengenai perdebatan substansi hukum tentang Perpu Nomor 1 Tahun 2013 yang berkaitan dengan pembatasan syarat untuk menjadi hakim konstitusi yang sebelumnya berasal dari anggota Partai politik yakni tidak menjadi anggota partai politik  dalam jangka waktu paling singkat 7 (tujuh) tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi. Syarat tersebut selain menuai pro dan kontra, juga dapat diuji materi ke Mahkamah Konstitusi dengan dasar bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) juncto Pasal 28 C ayat (2) dan Pasal 28 D ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang pada intinya setiap warga Negara bersamaan kedudukannya didepan hukum dan pemerintahan, serta memperoleh kesempatan yang sama dalam Pemerintahan. Untuk itu syarat bagi calon anggota hakim mahkamah konstitusi diwajibkan tidak menjadi anggota partai politik  dalam jangka waktu paling singkat 7 (tujuh) tahun dapat dianggap diskriminatif dan bertentangan dengan konstitusi. Mengingat contoh Akil Mochtar tidak dapat di dramatisir terhadap angota Partai Politik lainnya, contoh misalnya Prof. Dr. Moh. Mahfud MD, SH., SU yang sebelumnya pernah aktif di Partai Kebangkitan Bangsa, akan tetapi reputasinya dapat dipertanggung jawabkan.

Perdebatan berikutnya adalah kedudukan Panel Ahli yang merupakan perangkat dibentuk oleh Komisi Yudisial untuk menguji kelayakan dan kepatutan calon hakim konstitusi yang diusulkan oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden. Panel ahli terdiri dari 7 (tujuh) yang berasal dari, 1 (satu) orang diusulkan oleh Mahkamah Agung,  1 (satu) orang diusulkan oleh DPR, 1 (satu) orang diusulkan oleh Presiden dan 4 (empat) orang dipilih oleh Komisi Yudisial berdasarkan usulan masyarakat yang terdiri atas mantan hakim konstitusi, tokoh masyarakat, akademisi di bidang hukum, dan praktisi hukum. Dalam hal pembentukan Panel ahli menuai kritikan dari berbagai kalangan, Pembentukan panel ahli untuk menguji kelayakan dan kepatutan calon hakim agung oleh Komisi Yudisial dianggap mengambil alih kewenangan yang selama diberikan kepada 3 (lembaga) Negara untuk melakukan fit and proper tes terhadap calon Hakim Mahkamah Konstitusi, selain itu independensi dari Komisi Yudisial dalam rangka pembentukan panel ahli dapat dipersoalkan, mengingat campur tangan Komisi yudisial dalam pembentukan Panel Ahli dianggap sama halnya sebagai cara lama yang pernah dipakai untuk membatasi kewenangan Mahkamah Konstitusi. Untuk itu kedudukan Panel Ahli dapat dipersoalkan keberadaannya, mengingat independensi dan kewenangan sangat besar dalam menetukan anggota Hakim Konstitusi yang akan duduk dalam Mahkamah Konstitusi.

Selain itu perdebatan terletak pada Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang merupakan perangkat dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial untuk menjaga kehormatan dan perilaku hakim konstitusi. Mahkamah Konstitusi bersama-sama dengan Komisi Yudisial menyusun dan menetapkan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap hakim konstitusi dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga kehormatan dan perilaku hakim konstitusi. Keanggotaan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi berjumlah 5 (lima) orang yang terdiri dari, 1 (satu) orang mantan hakim konstitusi, 1 (satu) orang praktisi hukum, 2 (dua) orang akademisi yang salah satu atau keduanya berlatar belakang di bidang hukum dan 1 (satu) orang tokoh masyarakat. Sama halnya seperti Panel Ahli yang dapat dipersoalkan dari segi kedudukannya, Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi dianggap mengembalikan kewenangan lama yang sebelumnya pernah diajukan uji materi terhadap kewenangan Komisis Yudisial dalam rangka menjaga Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi yang pada akhirnya dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi. Untuk itu kewenangan ini sangat dilematis, mengingat hal yang hampir sama sebelumnya telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga keberadaan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi sangat mungkin apabila diajukan uji materi akan dibatalkan oleh MK.

 

Continue Reading

PRO DAN KONTRA HAKIM PEMERIKSA PENDAHULUAN

URGENSI HAKIM PEMERIKSA PENDAHULUAN DALAM KUHAP

Oleh :

Saiful Anam, SH., MH.

Perjalanan panjang Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) sejak tahun 2004 hingga saat ini menuai banyak pro dan kontra, sehingga pembahasannya memakan waktu yang sangat lama, mengingat stabilitas politik hukum yang berkembang terdapat dinamika mengenai substansi hukum (legal subtance) yang terkandung dalam beberapa pasal dalam RUU-KUHAP tersebut. Tentunya tidak terlepas dari berbagai keinginan, pemikiran, pandangan dan kepentingan dari berbagai sektor lembaga serta praktisi yang akan melaksanakan peran, fungsi dan wewenangnya dalam upaya penegakan hukum pidana (crime of justuce) di Indonesia. Hal yang demikian tentu menambah referensi pengetahuan terhadap objek yang menjadi perdebatan baik oleh oknum lembaga Negara, pemangku kebijakan, pengamat, akademisi, praktisi dan masyarakat luas yang berminat secara langsung maupun tidak langsung dalam bidang sistem peradilan pidana di Indonesia pada khususnya.

Hal yang menjadi trend topic pembahasan dalam beberapa periode belakangan ini adalah mengenai kedudukan, peran, fungsi dan wewenang dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan dalam RUU-KUHAP yang telah disampaikan oleh Pemerintah kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR),  yang dalam waktu dekat akan segera dibahas pasal demi pasal. Perubahan krusial dalam RUU-KUHAP tersebut berkaitan dengan kewenangan Hakim Pemeriksa Pendahuluan, diantaranya menguji sah tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyadapan, sah atau tidaknya penghentikan penyidikan dan penghentian penuntutan, sah tidaknya perolehan alat bukti, ganti rugi karena salah penangkapan, penahanan, penyitaan, untuk pemohon, layak tidaknya penanganan perkara oleh penyidik, layak tidaknya perkara yang telah dilakukan gelar perkara. Hal ini yang kemudian dianggap oleh berbagai kalangan sebagai bagian dari kewenangan super yang diberikan kepada lembaga baru yakni Hakim Pemeriksa Pendahuluan, bahkan selain itu terdapat beberapa kalangan yang menilai merupakan bagian dari pelemahan dan pembatasan terhadap kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang selama ini gencar melakukan upaya pencegahan dan penanganan perkara Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) di Indonesia.

Dalam beberapa catatan yang dirilis oleh Indonesian Corruption Watch (ICW), terdapat beberapa Pasal yang rentan menuai persoalan serta cenderung mengekang eksistensi Komisis Pemberantasan korupsi (KPK), diantaranya adalah :

  1. Pasal 3 ayat 2 intinya ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga terhadap tindak pidana yang diatur dalam UU di luar KUHP, kecuali undang-undang tersebut menentukan lain.

Dampak dari Pasal 3 ayat 2 yaitu, bahwa ketentuan ini bisa meniadakan hukum acara khusus dalam penanganan kasus korupsi yang saat ini digunakan KPK.

  1. Pasal 44 intinya tentang penuntut umum dapat mengajukan suatu perkara kepada Hakim Pemeriksa Pendahuluan untuk diputus layak atau tidak layak untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan.

Dampak dari Pasal 44 yaitu bahwa penuntutan kasus korupsi yang ditangani KPK dapat dihentikan oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan.

  1. Pasal 58 intinya tentang Penentuan penahanan pada tahap penyidikan yang melebihi 5×24 jam.

Dampak dari Pasal 58 yaitu KPK dapat dianggap tidak memiliki kewenangan. Disini, hanya disebutkan Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) dalam hal penahanan dilakukan oleh Kejaksaan Negeri. Kepala Kejaksaan Negeri atau penuntutan Kejaksaan Agung dalam hal penahanan dilakukan oleh Kejaksaan Agung.

  1. Pasal 67 intinya tentang penangguhan penahanan yang diajukan oleh tersangka atau terdakwa.

Dampaknya dari Pasal 67 yakni Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menangguhkan penahanan yang dilakukan oleh KPK.

  1. Pasal 75 intinya tentang penyitaan harus mendapat izin Hakim Pemeriksa Pendahuluan.

Dampak dari Pasal 75 yakni Hakim Pemeriksa Pendahuluan dapat menolak memberikan persetujuan penyitaan, barang yang disita harus dikembalikan kepada pemilik.

  1. Pasal 83 intinya tentang penyadapan pembicaraan harus mendapat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan.

Dampak dari Pasal 83 yakni penyadapan pembicaraan hanya dapat dilakukan apabila mendapat persetujuan dari hakim.

  1. Pasal 84 intinya tentang dalam keadaan mendesak, penyidik dapat menyadap tanpa surat izin dari Hakim Pemeriksa Pendahuluan.

Dampak dari Pasal 84 yakni jika Hakim Pemeriksa Pendahuluan tidak memberi persetujuan penyadapan, maka penyadapan KPK akan dihentikan.

  1. Pasal 240 intinya tentang terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan kasasi kepada Mahkamah Agung, kecuali putusan bebas.

Dampak dari Pasal 240 yakni kasus korupsi yang diajukan oleh KPK, jika divonis bebas ditingkat pertama atau banding, maka tidak dapat dikasasi.

  1. Pasal 250 intinya tentang Putusan MA mengenai pemidanaan tidak boleh lebih berat dari putusan pengadilan tinggi.

Dampak dari Pasal 250 yakni kasus korupsi yang diajukan oleh KPK jika divonis berat ditingkat pertama atau banding, maka dapat dipastikan divonis lebih rendah jika dikasasi.

Catatan yang dirilis oleh Indonesian Corruption Watch (ICW) tentunya sangat berdasar, mengingat tingginya angka tindak pidana korupsi saat ini yang sedang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tentu kekhawatiran-kekhawatiran itu muncul dari lembaga seperti Indonesian Corruption Watch (ICW) merupakan suatu kelumrahan, mengingat lembaga tersebut intens melakukan upaya-upaya gerakan minimalisasi terhadap Korupsi Kolusi dan  nepotisme di Indonesia. Namun ada baiknya kiranya apabila kita melihat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 (KUHAP) yang saat ini berlaku di Indonesia, sebenarnya telah terdapat lembaga Praperadilan, yang semangat didalamnya hampir menyerupai Hakim Pemeriksa Pendahuluan, akan tetapi lembaga Praperadilan dianggap tidak mampu memberikan alternatif dan terobosan hukum dalam rangka pengawasan dan mekanisme komplain terhadap proses penegakan hukum, utamanya terhadap jaminan dan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM), untuk itu lembaga Praperadilan peran, fungsi dan kedudukannya dianggap belum optimal dalam rangka menjawab proses pendahuluan (pra ajudikasi), yakni hanya bersifat formal, mengedepankan unsur objektif, sedangkan unsur subjektif tidak dapat diawasi oleh hakim serta cenderung berkaitan dengan hal-hal administratif.

Selain itu apabila melihat secara nyata yang terjadi di lapangan seringkali terdapat kewenangan yang sangat absolut (besar) yang diberikan kepada penyidik dalam hal melakukan tugas dan wewenangnya melakukan penyidikan terhadap perkara-perkara yang bersifat khusus maupun umum dengan segala kekurangannya, yang dalam perkembangannya membutuhkan keahlian serta interpretasi khusus terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang terus berkembang seiring perkembangan zaman (teknologi informasi), seringkali professionalisme, keahlian, sumber daya manusia manusia, peraturan perundang-undangan belum mampu menjawab perkembangan yang ada, untuk itu cukup banyak pula terjadi penyalahgunaan wewenang yang dilakukan baik secara nyata maupun secara awam dikarenakan belum mampunya menyerap nilai-nilai keilmuan yang terus berkembang seiring perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk menghindari yang demikian tentu sangat dibutuhkan lembaga yang memiliki tugas dan wewenang khusus melakukan (pre judicial) untuk menentukan apakah terhadap perkara tertentu layak atau tidak dilanjutkan dalam proses peradilan.

Kekuasaan yang selama ini hanya bertumpu pada lembaga penyidik dalam upaya menggali dan mendapatkan informasi yang tepat dan akurat, tidak cukup hanya melalui pengawasan internal dan eksternal, namun juga dibutuhkan pengawasan professional yang dilakukan oleh lembaga yang benar-benar kompeten melakukan penilaian terhadap peristiwa hukum tertentu. Sehingga tidak akan terjadi lagi yang sering kita dengar bersama, yakni kriminalisasi terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang sebenarnya lebih dekat kepada penyelesaian Hukum Perdata atau Hukum Administrasi Negara, tentunya hal yang demikian untuk melindungi Hak Asasi Manusia dalam rangka mendapatkan hak-haknya yang sesuai dengan kaidah-kaidah serta asas-asas hukum yang berlaku demi terciptanya keadilan dan kemanfaatan hukum di Indonesia. Mengenai kekhawatiran-kekhawatiran terhadap terjadinya kekuasaan yang absolut oleh Hakim Pemeriksa Pendahuluan, maka peran serta masyarakat menjadi symbol utama dalam rangka pengawasan extra ordinary, tidak hanya bagi hakim pemeriksa pendahuluan, akan tetapi pada setiap tingkatan proses penegakan hukum di Indonesia, sehingga mampu memberikan tingkat keadilan yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.

Tentu Hakim Pemeriksa Pendahuluan diharapkan menjadi solusi alternatif terhadap banyaknya keluhan-keluhan yang selama ini dialami masyarakat dalam rangka proses penegakan hukum, untuk itu dibutuhkan professionalisme, tekad, integritas serta pengetahuan hukum yang luas tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat normatif yang dapat ditemukan dalam suatu peraturan perundang-undangan, akan tetapi mampu menggali nilai-nilai keadilan yang ada dalam masyarakat serta perkembangan zaman yang juga menuntut adanya pengetahuan yang luas utamanya mengenai perkambangan hukum di tingkatan nasional, regional bahkan internasional guna menciptakan stabilitas hukum yang berdasarkan pada kepastian, keadilan dan kemanfaatan. Untuk itu dibutuhkan kesadaran bersama untuk berupaya membangun Negara hukum Indonesia yang semakin hari semakin berkembang kearah yang lebih baik. Semoga…

Continue Reading

MAKNA KURBAN BAGI PEJABAT PUBLIK

MAKNA KURBAN BAGI PEJABAT PUBLIK

Oleh :

Saiful Anam

Kiranya perjalanan kita Bangsa Indonesia dalam bernegara perlu melihat dan meresapi kembali arti makna dan fungsi dari Hari Raya Idul Adha yang diselenggarakan pada hari ini oleh umat Islam yang ada di dunia. Makna sederhana dari Idul Adha ini adalah kita sebagai pribadi-pribadi harus mampu memberikan yang terbaik antar sesama, tidak terkecuali terhadap perbedaan-perbedaan yang ada di negeri tercinta ini. Idul Kurban harus menjadi motivasi bagi bangsa ini untuk terus menanggulangi semakin merosotnya moral dan integritas para aparatur pejabat pemerintahan yang sedang melanda di negeri yang kita kita cintai ini. Sehingga pada akhirnya kemerosotan itu dapat kita tanggulangi dengan selalu bersifat arif dan bijak dalam melakukan aktivitas kenegaraan yang menjungjung tinggi moral dan integritas bangsa.

Sebagai bangsa yang terus berkembang, tentunya menjadi kewajiban untuk selalu introspeksi diri dalam setiap aktivitas yang dilakukan sehari-hari, tidak terkecuali pejabat publik yang sedang berusaha melakukan kerja-kerja terbaik guna keberlangsungan kemakmuran masyarakat yang dipimpinnya. Persoalan Korupsi Kolusi dan Nepotisme masih menjadi persoalan serius bangsa ini dalam upaya melakukan reformasi birokrasi. Meskipun titik beratnya tetap berada jalur yang sama, yakni moralitas bangsa yang tertanam pada diri pribadi aparatur pemerintah yang tidak berubah dan masih mempertahankan nilai-nilai lama yang dapat merugikan bangsa dan Negara dalam menjalankan aktivitas pemerintahannya.

Idul adha mengajarkan kita untuk ikhlas dan rela berkorban untuk keberlangsungan hidup orang lain yang memang membutuhkan uluran dan bantuan kita untuk melanjutkan hidup dan kehidupannya guna mencapai yang lebih baik dari waktu kewaktu. Hal ini tentu harus menjadi tolok ukur Pejabat Publik dalam melakukan kerja-kerja ekstranya yakni untuk kepentingan masyarakat luas, sehingga aparatur pemerintah ini mampu mengimplemantasikan nilai-nilai yang terkandung dalam Idul Adha ini dalam melakukan aktivitasnya untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat luas. Sehingga masyarakat dapat terbantu bebannya dalam menjalankan aktivitas yang semakin hari semakin rumit.

Masyarakat ini tentunya hanya ingin melihat dan merasakan sebagai bangsa yang berdaulat agar supaya benar-benar berusaha untuk bekerja dan mengutamakan kepentingan masyarakat luas, sehingga kerja-kerja aparatur pemerintah benar-benar berfungsi untuk mengabdikan dirinya untuk masyarakat luas, bukan untuk kepentingan diri pribadi dan golongannya. Masyarakat sangat mendambakan pemimpin dan pejabat publik yang merakyat, yang benar-benar menjalankan misinya untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat, bukan hanya janji-janji dan konsep belaka seperti yang sering kita dengar bersama.

Sebagai bentuk kesungguhan kita dalam upaya memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan, maka itulah sesungguhnya makna dan fungsi yang terkandung dalam Idul Adha. Makna dan fungsi itulah yang harus tertanam dalam maindset berfikir pejabat publik kita, sehingga korupsi Kolusi dan Nepotisme dari waktu-kewaktu dapat diminimalisir, dan tiba saatnya pelayanan kepada masyarakat menjadi sasaran utama dalam menjalankan aktivitas pemerintahan. Apabila itu yang menjadi tujuan dari pejabat publik, maka dengan keyakinan penuh bangsa ini akan merubah menjadi bangsa seperti yang dicita-citakan oleh rakyat Indonesia.

Keinginan untuk selalu bekerja untuk kepentingan masyarakat luas adalah menjadi tujuan utama dari Pemerintah, sehingga makna dan tujuan Kurban menjadi sangat cocok untuk diimplemantasikan dalam tataran kenegaraan, sehingga masyarakat akan merasakan dampak dari adanya kerja-kerja Pemerintah dalam menjalankan aktivitasnya. Bukan hanya bersifat seremonial dan hanya untuk kepentingan pribadi dan golongan, akan tetapi lebih kepada persoalan yang secara utuh yang dihadapi oleh bangsa ini secara komprehensif. Dengan demikian jalan keluar menuju kemakmuran bangsa ini akan segera tercapai.

Sikap dan mental pejabat publik yang hanya berfikir kepentingan diri sendiri dan golongannya harus segera dirubah, meskipun tidak mudah akan tetapi harus segera dilakukan, dikarenakan sikap dan sifat yang demikian sangat merugikan masyarakat luas, dan merupakan kesenangan yang hanya didapat oleh segelintir orang, akan tetapi tidak mampu memberikan manfaat yang lebih besar kepada kepentingan bangsa dan Negara. untuk itu pola-pola Korupsi, Kolusi dan Nepotisme harus segera ditinggalkan, karena pola itulah yang dapat memberikan efek yang sangat buruk bagi keberlangsungan bangsa ini.

Dalam upaya meretas perbuatan, sikap dan mental yang tidak baik itulah, maka salah satu alternatif adalah meresapi dan melaksanakan nilai-nilai yang terkandung dalam Idul Adha, yakni sikap rela dan ikhlas berkorban untuk orang lain yang membutuhkan uluran bantuan dari yang berkecukupan untuk memberi, sehingga yang membutuhkan merasa terbantukan dengan adanya bantuan dari orang-orang yang arif dan bijak dalam memberikan bantuan. Dengan demikian implementasi inilah yang harus kita laksanakan dalam kehidupan bangsa dan Negara, sehingga apatur pemerintah dapat membedakan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan masyarakat luas.

Semoga Idul Adha yang diselenggarakan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia mampu memberikan dampak yang signifikan terhadap perubahan sikap dan mental masyarakat Indonesia pada umumnya dan Pejabat Publik khususnya dalam menjalankan aktivitasnya guna memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat. Sehingga Korupsi kolusi dan nepotisme dapat dikurangi dari kehari dengan adanya sifat dan sikap yang ikhlas dalam melakukan kegiatan Pemerintahan.

Continue Reading

PRINSIP – PRINSIP TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG (MONEY LAUNDRY)

Tindak Pidana Pencucian uang (Money Laundry) sebagai suatu kejahatan mempunyai ciri khas yaitu bahwa kejahatan ini bukan merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda. Hal ini ditandai dengan bentuk pencucian uang sebagai kejahatan yang bersifat follow up crime atau kejahatan lanjutan, sedangkan kejahatan utamanya atau kejahatan asalnya disebut sebagai predicate offense atau core crime atau ada negara yang merumuskannya sebagai unlawful actifity yaitu kejahatan asal yang menghasilkan uang yang kemudian dilakukan proses pencucian.

Dalam ketentuan Pasal 1 angka (1) UU No. 8 Tahun 2010 disebutkan bahwa pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang tersebut. Dalam pengertian ini, unsur-unsur yang dimaksud adalah unsur pelaku, unsur perbuatan melawan hukum serta unsur merupakan hasil tindak pidana.

Sedangkan pengertian tindak pidana pencucian uang dapat dilihat ketentuan dalam pasal (3), (4), dan (5) UU No. 8 Tahun 2010. Intinya dalah bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan suatu bentuk kejahatan yang dilakukan baik oleh seseorang dan/atau korporasi dengan sengaja menempatkan, mentransfer,mengalihkan,membelanjakan,membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan itu, termasuk juga yang menerima dan mengusainya.

Dari defenisi tindak pidana pencucian uang sebagaimana di jelaskan diatas, maka tindak pidana pencucian uang mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

  1. pelaku
  2. perbuatan (transaksi keuangan atau financial) dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dari bentuknya yang tidak sah (ilegal) seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah (legal).
  3. merupakan hasil tindak pidana

Secara garis besar unsur pencucian uang terdiri dari: unsur objektif (actus reus) dan unsur subjektif (mens rea). Unsur objektif (actus reus) dapat dilihat dengan adanya kegiatan menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negari, menukarkan atau perbuatan lain atas harta kekayaan (yang diketahui atau patut diduga berasal dari kejahatan). Sedangkan unsur subjektif (mens rea) dilihat dari perbuatan seseorang yang dengan sengaja, mengetahui atau patut menduga bahwa harta kekayaan berasal dari hasil kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta tersebut.

Ketentuan yang ada dalam UU No. 8 Tahun 2010 terkait perumusan tindak pidana pencucian uang menggunakan kata “setiap orang” dimana dalam pasal 1 angka (9) ditegaskan bahwa Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasiSementara pengertian korporasi terdapat dalam pasal 1 angka (10). Dalam pasal ini disebutkan bahwa Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Sementara itu, yang dimaksud dengan transaksi menurut ketentuan dalam Undang-undang ini adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih. Adapun transaksi keuangan diartikan sebagai transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran, penarikan, pemindah bukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, dan atau kegiatan lain yang berhubungan dengan uang. Transaksi keuangan yang menjadi unsur tindak pidana pencucian uang adalah transaksi keuangan yang mencurikan atau patut dicurigai baik transaksi dalam bentuk tunai maupun melalui proses pentransferan/memindahbukukan.

Transaksi Keuangan Mencurigakan menurut ketentuan yang tertuang pada pasal 1 angka (5) UU No. 8 Tahun 2010 adalah: transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan;

  1. transaksi keuangan oleh pengguna jasa keuangan yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini;
  2. transaksi keuangan yang dilakukan maupun yang batal dilakukan dengan menggunakan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana; atau
  3. transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporkan oleh Pihak Pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

Menyebutkan tindak pidana pencucian uang salah satunya harus memenuhi unsur adanya perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010, dimana perbuatan melawan hukum tersebut terjadi karena pelaku melakukan tindakan pengelolaan atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana. Pengertian hasil tindak pidana diuraikan pada Pasal 2 UU UU No. 8 Tahun 2010. Pada pasal ini Harta kekayaan yang dikualifikasikan sebagai harta kekayaan hasil tindak pidana adalah harta yang berasal dari kejahatan seperti: korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migrant, bidang perbankan, bidang pasar modal, bidang asuransi, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, bidang perpajakan, bidang lingkungan hidup, bidang kehutanan, bidang kelautan dan perikanan serta tindak pidana lain yang diancam hukuman 4 tahun penjara.

Perlu dijadikan catatan, bahwa dalam pembuktian tindak pidana pencucian uang nantinya hasil tindakan pidana merupakan unsur delik yang harus dibuktikan. Pembuktian apakah benar atau tidaknya harta kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana adalah dengan membuktikan adanya tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan tersebut. Bukan untuk membuktikan apakah benar telah terjadi tindak pidana asal (predicate crime) yang menghasilkan harta kekayaan.

Dalam ketentuan sebagaimana yang sebutkan pada pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010, teridentifikasi beberapa tindakan yang dapat dikualifikasi kedalam bentuk tindak pidana pencucian uang, yakni tindakan atau perbuatan yang dengan sengaja:

  1. Menempatkan harta kekayaan ke dalam penyedia jasa keuangan baik atas nama sendiri atau atas nama orang lain, padahal diketahui atau patut diduga bahwa harta tersebut diperoleh melalui tindak pidana.
  2. Mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil dari tindak pidana pencucian uang, dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama orang lain.
  3. Membelanjakan atau menggunakan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh dari tindak pidana. Baik atas nama dirinya sendiri atau atas nama pihak lain.
  4. Menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh dari hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri ataupun atas nama pihak lain.
  5. Menitipkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh berdasarkan tindak pidana, baik atas namanaya sendiri atau atas nama pihak lain.
  6. Membawa ke luar negeri harta yang diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diproleh dari tindak pidana.
  1. Menukarkan atau perbuatan lainnya terhadap harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat berharga lainnya, dengan tujuan untuk menyembunyikan/menyamarkan asal usul harta kekayaan tersebut.
Continue Reading

ASAS – ASAS HUKUM PERIKATAN YANG HARUS DIKETAHUI

Perikatan dalam bahasa Belanda disebut “ver bintenis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti ; hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, meninggalnya seorang. Dapat berupa keadaan, misalnya; letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan atau letak rumah yang bersusun (rusun). Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupan bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi ‘akibat hukum’. Dengan demikian, perikatan yang terjadi antara orang yang satu dengan yang lain itu disebut hubungan hukum.

Jika dirumuskan, perikatan adalah adalah suatu hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu. Hubungan hukum dalam harta kekayaan ini merupakan suatu akibat hukum, akibat hukum dari suatu perjanjian atau peristiwa hukum lain yang menimbulkan perikatan. Dari rumusan ini dapat diketahui bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan (law of property), juga terdapat dalam bidang hukum keluarga (family law), dalam bidang hukum waris (law of succession) serta dalam bidang hukum pribadi (pers onal law).
Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata, pengertian perikatan adalah suatu hubungan dalam lapangan harta kekayaan antara dua orang atau lebih dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain berkewajiban atas sesuatu.

Beberapa sarjana juga telah memberikan pengertian mengenai perikatan. Pitlo memberikan pengertian perikatan yaitu suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak (kreditur) dan pihak lain berkewajiban (debitur) atas suatu prestasi. Pengertian perikatan menurut Hofmann adalah suatu hubungan hukum antara sejumlah terbatas subjek-subjek hukum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa orang daripadanya (debitur atau pada debitur) mengikatkan dirinya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu  terhadap pihak yang lain, yang berhak atas sikap yang demikian itu.
Istilah perikatan sudah tepat sekali untuk melukiskan suatu pengertian yang sama yang dimaksudkan verbintenis dalam bahasa Belanda yaitu suatu hubungan hukum antara dua pihak yang isinya adalah hak an kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.

Dalam beberapa pengertian yang telah dijabarkan di atas, keseluruhan pengertian tersebut menandakan bahwa pengertian perikatan yang dimaksud adalah suatu pengertian yang abstrak, yaitu suatu hal yang tidak dapat dilihat tetapi hanya dapat dibayangkan dalam pikiran kita. Untuk mengkonkretkan pengertian perikatan yang abstrak maka perlu adanya suatu perjanjian. Oleh karena itu, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah demikian, bahwa perikatan itu dilahirkan dari suatu perjanjian.

Di dalam hukum perikatan, terdapat sistem yang terbuka, dan yang dimaksud dengan system terbuka adalah setiap orang dapat mengadakan perikatan yang bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun, baik itu yang diatur dengan undang-undang atau tidak, inilah yang disebut dengan kebebasan berkontrak, dengan syarat kebebasan berkontrak harus halal, dan tidak melanggar hukum, sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-undang. Di dalam perikatan ada perikatan untuk berbuat sesuatu dan untuk tidak berbuat sesuatu. Yang dimaksud dengan perikatan untuk berbuat sesuatu adalah melakukan perbuatan yang sifatnya positif, halal, tidak melanggar undang-undang dan sesuai dengan perjanjian. Sedangkan perikatan untuk tidak berbuat sesuatu yaitu untuk tidak melakukan perbuatan tertentu yang telah disepakati dalam perjanjian.

Dasar Hukum Perikatan

Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHPerdata terdapat tiga sumber adalah sebagai berikut :

  1. Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
  2. Perikatan yang timbul undang-undang.

Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata :”Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit de wet allen) atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang” (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen)

  1. Perikatan terjadi karena undang-undang semata.

Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya di luar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang berdampingan. Di luar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan di atas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu : kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber-sumber perikatan.

  1. Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan manusia
  2. Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela ( zaakwarneming).

Unsur-Unsur Perikatan

  1. Hubungan hukum (legal relationship)
  2. Pihak-pihak yaitu 2 atau lebih pihak (parties)
  3. Harta kekayaan (patrimonial)
  4. Prestasi (performance)

Ad. 1. Hubungan hukum

  • Hubungan yang diatur oleh hukum;
  • Hubungan yang di dalamnya terdapat hak di satu pihak dan kewajiban di lain pihak;
  • Apabila salah satu pihak tidak melaksanakan kewajiban, dapat dituntut pemenuhannya

Hubungan hukum dapat terjadi karena :

  1. Kehendak pihak-pihak (persetujuan/perjanjian)
  2. Sebagai perintah peraturan perUUan

Dasar hukum Pasal 1233 KUHPdt “tiap-iapt perikatan  dilahirkan karena persetujuan baik karena  UU”.

Contoh A berjanji menjual sepeda motor kepada B Akibat dari janji, A wajib menyerahkan sepeda miliknya kepada B dan berhak menuntut harganya sedangkan B wajib menyerahkan harga sepeda motor itu dan berhak untuk menuntut penyerahan sepeda.

Dalam contoh diatas apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban maka hukum “memaksakan” agar kewajiban-kewajiban tadi dipenuhi.

Perlu dicatat tidak semua hubungan hukum dapat disebut perikatan. Contoh kewajiban orang tua untuk mengurus anaknya bukanlah kewajiban dalam pengertian perikatan.

Artinya adalah setiap hubungan hukum yang tidak membawa pengaruh terhadap pemenuhan kewajiban yang bersumber dari harta kekayaan pihak yang berkewajiban tidaklah masuk dalam pengertian dan ruang lingkup batasan hukum perikatan.

Ad. 2. Pihak-pihak (subjek perikatan)

  1. Debitur adalah pihak yang wajib melakukan suatu prestasi atau Pihak yang memiliki utang (kewajiban)
  2. Kreditur adalah Pihak yang berhak menuntut pemenuhan suatu prestasi  atau pihak yang memiliki piutang (hak)

Pihak-pihak (debitur kreditur) tidak harus “orang” tapi juga dapat berbentuk “badan”, sepanjang ia cakap melakukan perbuatan hukum.

Pihak-pihak (debitur kreditur) dalam perikatan dapat diganti. Dalam hal penggantian debitur harus sepengatahuan dan persetujuan kreditur, untuk itu debitur harus dikenal oleh kreditur agar gampang menagihnya misalnya pengambilalihan hutang (schuldoverneming) sedangkan penggantian kreditur dapat terjadi secara sepihak.

Seorang kreditur mungkin pula mengalihkan haknya atas prestasi kepada kreditur baru, hak mana adalah merupakan hak-hak pribadi yang kwalitatif (kwalitatiev persoonlijke recht), misalnya A menjual sebuah mobil kepada B, mobil mana telah diasuransikan kepada perusahaan asuransi. Dengan terjadinya peralihan hak milik dari A kepada B maka B sekaligus pada saat yang sama B mengambil alih juga hak asuransi yang telah melekat pada mobil tersebut. Perikatan yang demikian dinamakan perikatan kwalitatif dan hak yang terjadi dari perikatan demikian dinamakan hak kwalitatif.

Selanjutnya seorang debitur dapat terjadi karena perikatan kwalitatif sehingga kewajiban memenuhi prestasi dari debitur dinamakan kewajiban kwalitatif, misalnya seorang pemilik baru dari sebuah rumah yang oleh pemilik sebelumnya diikatkan dalam suatu perjanjian sewa menyewa, terikat untuk meneruskan perjanjian sewa menyewa.

Dalam suatu perjanjian orang tidak dapat secara umum mengatakan siapa yang berkedudukan sebagai kreditur/debitur seperti pada perjanjian timbal balik (contoh jual beli). Si penjual adalah kreditur terhadap uang harga barang yang diperjual belikan, tetapi ia berkedudukan sebagai debitur terhadap barang (objek prestasi) yang perjualbelikan. Demikian sebaliknya si pembeli berkedudukan sebagai debitur terhadap harga barang kreditur atas objek prestasi penjual yaitu barang yang diperjualbelikan.

Ad. 3. Harta kekayaan

Harta kekayaan sebagai kriteria dari adanya sebuah perikatan. Tentang harta kekayaan sebagai ukurannya  (kriteria) ada 2 pandangan yaitu :

  1. Pandangan klasik : Suatu hubungan dapat dikategorikan sebagai perikatan jika hubungan tersebut dapat dinilai dengan sejumlah uang
  2. Pandangan baru : Sekalipun suatu hubungan tidak dapat dinilai dengan sejumlah uang, tetapi jika masyarakat atau rasa keadilan menghendaki hubungan itu diberi akibat hukum, maka hukum akan meletakkan akibat hukum pada hubungan tersebut sebagai suatu perikatan

Ad. 4. Prestasi (objek perikatan)

Prestasi adalah kewajiban yang harus dilaksanakan. Prestasi merupakan objek perikatan. Dalam ilmu hukum kewajiban adalah suatu beban yang ditanggung oleh seseorang yang bersifat kontraktual/perjanjian (perikatan). Hak dan kewajiban dapat timbul apabila terjadi hubungan antara 2 pihak yang berdasarkan pada suatu kontrak atau perjanjian (perikatan). Jadi selama hubungan hukum yang lahir dari perjanjian itu belum berakhir, maka pada salah satu pihak ada beban kontraktual, ada keharusan atau kewajiban untuk memenuhinya (prestasi).

Selanjutnya kewajiban tidak selalu muncul sebagai akibat adanya kontrak, melainkan dapat pula muncul dari peraturan hukum yang telah ditentukan oleh lembaga yang berwenang. Kewajiban disini merupakan keharusan untuk mentaati hukum yang disebut wajib hukum (rechtsplicht) misalnya mempunyai sepeda motor wajib membayar pajak sepeda motor, dll

Bentuk-bentuk prestasi (Pasal 1234 KUHPerdata) :

  1. Memberikan sesuatu;
  2. Berbuat sesuatu;
  3. Tidak berbuat sesuatu

Memberikan sesuatu misalnya pemberian sejumlah uang, memberi benda untuk dipakai (menyewa), penyerahan hak milik atas benda tetap dan bergerak. Berbuat sesuatu misalnya membangun rumah. Tidak melakukan sesuatu misalnya A membuat perjanjian dengan B ketika menjual apotiknya, untuk tidak menjalankan usaha apotik dalam daerah yang sama. Ketiga prestasi diatas merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh debitur.

Ketiga prestasi diatas mengandung 2 unsur penting :

  1. Berhubungan dengan persoalan tanggungjawab hukum atas pelaksanaan prestasi tsb oleh pihak yang berkewajiban (schuld).
  2. Berhubungan dengan pertanggungjawaban pemenuhan tanpa memperhatikan siapa pihak yang berkewajiban utk memenuhi kewajiban tsb (Haftung)

Syarat-syarat prestasi :

  1. Tertentu atau setidaknya dapat ditentukan;
  2. Objeknya diperkenankan oleh hukum;
  3. Dimungkinkan untuk dilaksanakan

Schuld adalah kewajiban debitur untuk membayar utang sedangkan haftung adalah kewajiban debitur membiarkan harta kekayaannya diambil oleh kreditur sebanyak hutang debitur, guna pelunasan hutangnya apabila debitur tidak memenuhi kewajibannya membayar hutang tersebut.

Setiap kreditur mempunyai piutang terhadap debitur. Untuk itu kreditur mempunyai hak menagih hutang piutang tersebut. Di dalam ilmu pengetahuan hukum perdata, disamping hak menagih hutang (vorderingsrecht), apabila debitur tidak memenuhi kewajiban membayar hutangnya maka kreditur mempunyai hak menagih kekayaan debitur sebesar piutangnya pada debitur itu (verhaalsrecht).

Azas-azas dalam hukum perikatan

Asas-asas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.

  1. Asas kebebasan berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUHP Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
  2. Asas konsensualisme, artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUHP Perdata.

Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat adalah :

  1. Kata Sepakat antara Para Pihak yang Mengikatkan Diri Kata sepakat antara para pihak yang mengikatkan diri, yakni para pihak yang mengadakan perjanjian harus saling setuju dan seia sekata dalam hal yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan tersebut.
  2. Cakap untuk Membuat Suatu Perjanjian Cakap untuk membuat suatu perjanjian, artinya bahwa para pihak harus cakap menurut hukum, yaitu telah dewasa (berusia 21 tahun) dan tidak di bawah pengampuan.
  3. Mengenai Suatu Hal Tertentu Mengenai suatu hal tertentu, artinya apa yang akan diperjanjikan harus jelas dan terinci (jenis, jumlah, dan harga) atau keterangan terhadap objek, diketahui hak dan kewajiban tiap-tiap pihak, sehingga tidak akan terjadi suatu perselisihan antara para pihak.
  4. Suatu sebab yang Halal Suatu sebab yang halal, artinya isi perjanjian itu harus mempunyai tujuan (causa) yang diperbolehkan oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum

Wanprestasi dan Akibat-akibatnya

Wansprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan. Adapun bentuk dari wansprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :

  1. Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
  2. Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan;
  3. Melakukan apa yang dijanjikan tetapi terlambat;
  4. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

Akibat-akibat wansprestasi berupa hukuman atau akibat-akibat bagi debitur yang melakukan wansprestasi , dapat digolongkan menjadi tiga kategori, yakni :

  1. Membayar Kerugian yang Diderita oleh Kreditur (Ganti Rugi)

Ganti rugi sering diperinci meliputi tinga unsure, yakni:

  1. Biaya adalah segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan oleh salah satu pihak;
  2. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditor yang diakibat oleh kelalaian si debitor;
  3. Bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditor.
  4. Pembatalan Perjanjian atau Pemecahan Perjanjian

Di dalam pembatasan tuntutan ganti rugi telah diatur dalam Pasal 1247 dan Pasal 1248 KUH Perdata. Pembatalan perjanjian atau pemecahan perjanjian bertujuan membawa kedua belah pihak kembali pada keadaan sebelum perjanjian diadakan.

  1. Peralihan Risiko

Peralihan risiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika terjadi suatu peristiwa di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa barang dan menjadi obyek perjanjian sesuai dengan Pasal 1237 KUH perdata.

Continue Reading

ANALISIS PENYELESAIAN PIUTANG BUMN DI INDONESIA

PIUTANG BUMN BUKANLAH PIUTANG NEGARA

  1. PENGERTIAN KEUANGAN NEGARA

–          Ketentuan Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara adalah adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut. Sedangkan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam penjelasan pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena (a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik tingkat pusat maupun di daerah. (b) berada dalam penguasan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum dan perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjan dengan negara

–          Kedua pengertian keuangan negara dalam dua undang-undang yang berbeda pada hakekatnya adalah sama dan tidak bertentangan satu sama lain. Pengertian ini sudah jelas dan tidak terlalu sulit unutk membuktikan adanya unsur yang merugikan keuangan negara. Berbeda dengan hal ini, perekonomian negara memiliki arti yang masih kabur sehingga sangat sulit untuk menentukan apa yang dimaksud unsur perekonomian negara dibandingkan dengan unsur keuangan negara seperti yang disebutkan dalam penjelasan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

–          Dipeerlukan suatu formulasi hukum yang baru bagi penegak hukum, khususnya hukum pidana korupsi di Indonesia berkaitan dengan aspek kerugian negara. Penerapan asas-asas hukum pidana korupsi yang demikian mengaburkan dan tidak membedakan bentuk kerugian negara seperti dalam undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan penyimpangan hukum. Sebagai bukti terpisahnya negara sebagai badan hukum publik dengan keuangannya dalam bentuk saham dalam PERSERO, akan jelas terlihat bilamana PERSERO tersebut mengalami kerugian dan dinyatakan pailit maka pernyataan pailit tersebut tidak mengakibatkan negara pailit juga. Perlu juga dilakukan pemisahan antara negara berdasarkan peranan dan statusnya sebagai badan hukum publik dan badan hukum perdata.

  1. BUMN SEBAGAI BADAN HUKUM

Dalam ilmu hukum pendukung hak dan kewajiban disebut subyek hukum. Subyek hukum ada dua macam yaitu orang dan badan hukum. Badan hukum adalah sekumpulan orang yang terikat oleh suatu organisasi yang dapat bertindak seperti manusia pada umumnya. Badan hukum memiliki harta kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan pendiri maupun pengurusnya. Dalam melaksanakan kegiatannya badan hukum dapat bertindak berhubungan dengan pihak lain seperti mengadakan perjanjian atau membayar pajak dilakukan oleh pengurusnya.

Menurut teori von Gierke keberadaan badan hukum berada di lapangan hukum harta kekayaan. Sejalan dengan teori tersebut Brinz mengatakan, adanya suatu badan hukum dikarenakan ditentukan negara. Di Indonesia suatu organisasi disebut sebagai badan hukum diatur oleh suatu undang-undang dan untuk memperoleh status badan hukum dilakukan pengesahan dari pemerintah.

Sejalan dengan teori tersebut  BUMN  sebagai badan hukum juga ditetapkan oleh undang-undang. Ada dua macam BUMN yaitu Persero dan Perum.  Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (Pasal 11 UU BUMN). UU Perseroan Terbatas yang berlaku sekarang adalah UU No. 40 Tahun 2007. Persero memperoleh status badan hukum setelah akta pendirian  disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM.

Sedangkan untuk Perum berlaku ketentuan Pasal 35 UU BUMN yang menyebutkan, Perum didirikan dengan Peraturan Pemerintah,   dan memperoleh status badan hukum sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang pendiriannya. Dengan demikian akta pendirian Perum tidak perlu dilakukan pengesahan seperti Persero.

  1. MODAL BUMN BERASAL DARI NEGARA

Setiap perusahaan didirikan untuk mencari keuntungan sehingga dipastikan memerlukan modal  untuk menjalankan kegiatan usahanya. Modal BUMN berasal dari negara dari kekayaan negara yang dipisahkan (Pasal 4 ayat (1) UU BUMN). Arti dipisahkan  tersebut sesuai dengan penjelasan Pasal 4 ayat (1), pemisahan kekayaan kekayaan dari APBN untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, Namur pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip pengelolaan preusan yang sehat.

Dari ketentuan Pasal tersebut, tampak jelas dengan dipisahkannya dari APBN maka modal/kekayaan negara menjadi “putus” hubungannya dengan APBN, sehingga ketika harta kekayaan itu dimasukkan/disetor lepada BUMN membawa akibat, yaitu peralihan hak milik menjadi kekayaan BUMN. Harta kekayaan tersebut bukan lagi milik negara. Hal ini señalan dengan teori badan hukum di atas, bahwa badan hukum memiliki harta kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan pendiri maupun pengurusnya. Oleh karena pengelolaannya sudah tidak mengikuti APBN, di dalam BUMN tidak mengenal adanya DIPA.

Untuk BUMN pendirinya ádalah negara. Sebagai penyerta/pemasok modal BUMN, negara statusnya sebagai pemodal atau pemegang saham. Negara tidak dapat lagi campur tangan atau mengutak-utik modal yang telah dimasukkan BUMN karena sudah menjadi milik BUMN. Selaku pemegang saham mempunyai kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan direksi dan komisaris BUMN.

Dengan kedudukannya sebagai pemegang saham, negara berhak memperoleh pembagian keuntungan atau deviden dari BUMN setiap tahunnya. Sebaliknya apabila BUMN menderita kerugian, negara bertanggung jawab hanya terbatas sebesar modal yang dimasukkan ke dalam BUMN. Bagi persero, pemegang saham tidak bertanggung jawab atas kerugian PT yang melebihi saham yang dimiliki (Pasal 3 ayat (1) UUPT). Untuk Perum Pasal 39 huruf a UU BUMN menyatakan, bahwa pemodal (Menteri) tidak bertanggung jawab atas kerugian Perum  yang melebihi penyertaan modal yang dimasukkannya.

  1. KEUANGAN NEGARA

Keuangan negara diatur dalam UU No. 17 tahun 2003  tentang Keungan Negara. Yang dimaksud keuangan negara ádalah semua hak dan kewajiban negara yang dapatdinilai dengan uang serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut (Pasal 1 angka 1).

Ruang lingkup pengertian keuangan negara berdasarkan Pasal 2 meliputi hal-hal sebagai berikut:

  1. hak negara untuk memungut pajak, mengluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman,
  2. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara  dan membayar tagihan pihak ketiga,
  3. penerimaan negara,
  4. pengeluaran negara,
  5. penerimaan daerah,
  6. pengeluaran daerah,
  7. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah,
  8. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum.
  9. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Memperhatikan ketentuan Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara di atas dihubungkan dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU BUMN tampak terjadi perbenturan kepentingan, di satu pihak kekayaan BUMN sebagai kekayaan BUMN sendiri sedangkan di lain pihak kekayaan BUMN sebagai kekayaan negara, sehingga berkibat menimbulkan ketidakpastian hukum yang membingungkan penegak hukum.

 

  1. PENGARUH KEUANGAN NEGARA TERHADAP BUMN
  2. Perbedaan prinsip UU

Di atas telah diketahui bahwa ruang lingkup keuangan negara yang pada prinsipnya meliputi penerimaan dan pengeluaran negara maupun daerah. Dengan prinsip tersebut ruang lingkup keuangan negara diperluas terutama yang menyangkut kekayaan negara yang dikelola pihak lain termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara sebagaimana Pasal 2 huruf g UU Keuangan negara.

Di lain pihak BUMN yang diatur dalam UU No. 19 Tahun 2003, memang benar modal BUMN berasal dari kekayaan yang dipisahkan bersumber dari APBN, kapitalisasi cadangan, atau sumber lainnya. Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) disebutkan, yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun pembinaan dan pengelolaannya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Dengan prinsip ini, BUMN pengelolaan tidak mengikuti keuangan negara dan akibat pemisahan tersebut harta kekayaan BUMN bukan sebagai kekayaan negara melainkan sebagai kekayaan BUMN sendiri.

Dari adanya perbedaan prinsip tersebut yang menjadi permasalahan adalah sampai sejauhmana pemberlakuan keuangan negara terhadap BUMN?

Sesuai dengan UU No. 19 Tahun 2003 BUMN adalah perusahaan yang berbadan hukum yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Untuk Persero (Perusahaan Perseroan) berlaku UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, sehingga badan hukum Persero diperoleh setelah akta pendiriannya disahkan oleh Menteri Hukum dan HAM. Sedangkan untuk Perum (Perusahaan Umum) dengan Peraturan Pemerintah tentang pendirian Perum disahkan dan diundangan dalam Tambahan Berita Negara RI memperoleh status badan hukumnya.

Dalam teori badan hukum merupakan kumpulan sejumlah orang yang dipandang sebagai subyek hukum. Suatu organisasi disebut badan hukum apabila ditentukan oleh negara yang dalam hal ini disebutkan dalam sebuah undang-undang badan hukum keberadaannya di lapangan hukum harta kekayaan. Oleh karena itu badan hukum memiliki kekayaan sendiri yang terpisah dari kekayaan pendiri maupun pengurusnya. Kekayaan badan hukum digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Sehubungan dengan teori tersebut, BUMN sebagaimana di atas adalah badan hukum. BUMN mempunyai kekayaan sendiri yang terpisah dari pendiri maupun pengurusnya. Kekayaan BUMN pada awalnya berasal dari modal pendirinya yaitu negara. Modal tersebut dari kekayaan negara yang dipisahkan, sehingga tidak berlaku sitem APBN melainkan memberlakukan prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Modal yang dimasukkan ke dalam BUMN menjadi milik BUMN untuk kepentingan usaha dalam mencari keuntungan.

Sebelum pemerintah melakukan pemisahan kekayaan negara dalam rangka penyertaan BUMN, uang tersebut masih berstatus uang publik, karena sebelum penyertaan modal terjadi, negara masih berstatus sebagai badan hukum publik yang tunduk dengan hukum publik. Namun setelah BUMN berdiri, kedudukan negara sebagai badan hukum publik seketika bertransformasi menjadi badan hukum privat, yaitu melakukan pendirian badan hukum BUMN, sehingga terjadilah transformasi dari uang publik menjadi uang privat (Djalil, 2007).

Kedudukan negara terhadap BUMN adalah sebagai pendiri BUMN. Di samping itu negara juga sebagai penyerta modal (pemegang saham). Selaku penyerta modal memiliki hak untuk mengendalikan BUMN melalui keputusan-keputusannya (keputusan RUPS). Tanggung jawab negara terbatas kepada besarnya modal yang dimasukkan. Apabila BUMN menderita kerugian yang melebihi modalnya maka negara tidak ikut bertanggung jawab untuk menanggung kerugian tersebut.

Keberadaan  BUMN bukan termasuk lembaga negara atau lembaga pemerintah, karena BUMN tidak berada pada struktur organisasi negara maupun pemerintah, dan seperti telah disebutkan di atas bahwa BUMN adalah perusahaan yang statusnya sebagai badan hukum perdata. Dengan statusnya tersebut harta kekayaan BUMN bukan merupakan kekayaan Negara.

  1. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 77/PUU-IX/2011

Isi dari Putusan Mahkamah Konstitusi No. 77/PUU-IX/2011 tanggal 25 September 2012 pada intinya memuat bahwa Piutang BUMN bukanlah termasuk piutang negara, sebagaimana Mahkamah Konstitusi dalam amarnya sebagai berikut :

  1. Frasa “atau Badan-badan yang dimaksudkan dalam Pasal 8 Peraturan ini” dalam Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 49 Tahun 1960 adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
  2. Frasa “/Badan-badan Negara” dalam Pasal 4 ayat (4) UU Nomor 49 Tahun 1960 adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
  3. Frasa “atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara” dalam Pasal 8 UU Nomor 49 Tahun 1960 adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat
  4. Frasadan Badan-badan Negara” dalam Pasal 12 ayat (1) UU Nomor 49 Tahun 1960 adalah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat

Dengan demikian, pasca putusan MK, ketentuan tersebut harus dibaca menjadi

Pasal 4

Panitya Urusan Piutang Negara bertugas:

  1. Mengurus piutang Negara yang berdasarkan Peraturan telah diserahkan pengurusannya kepadanya oleh Pemerintah (atau Badan-badan yang dimaksudkan dalam pasal 8 Peraturan ini, –frasa ini dihilangkan karena bertentangan dengan konstitusi-);
  2. tetap/tidak berubah;
  3. tetap/tidak berubah;
  4. Melakukan pengawasan terhadap piutang-piutang/kredit-kredit yang telah dikeluarkan oleh Negara (/Badan-badan Negara, frasa ini dihilangkan karena bertentangan dengan konstitusi-) apakah kredit itu benar-benar dipergunakan sesuai dengan permohonan dan/atau syarat-syarat pemberian kredit dan menanyakan keterangan-keterangan yang berhubungan dengan itu kepada Bank-bank dengan menyimpang dari ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No. 23 tahun 1960 tentang Rahasia Bank.

Pasal 8

Yang dimaksud dengan piutang Negara atau hutang kepada Negara oleh Peraturan ini, ialah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Negara (atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara, frasa ini dihilangkan karena bertentangan dengan konstitusi-) berdasarkan suatu Peraturan, perjanjian atau sebab apapun.

Pasal 12

(1)  Instansi-instansi Pemerintah (dan Badan-badan Negara, frasa ini dihilangkan karena bertentangan dengan konstitusi-) yang dimaksudkan dalam pasal 8 Peraturan ini diwajibkan menyerahkan piutang-piutangnya yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada Panitya Urusan Piutang Negara.

Mengapa MK sampai pada kesimpulan diatas? Pada bagian ini akan dibahas mengenai alasan-alasan yang menjadi pertimbangan MK hingga sampai memutus hal diatas.

Para pemohon, yang terdiri dari 7 (tujuh) perusahaan/badan hukum privat, mengajukan permohonan perkara pengujian UU (judicial review) ke MK. Para pemohon merupakan debitur PT. Bank Negara Indonesia Tbk. Pada saat terjadi krisis moneter yang termasuk sebagai suatu  peristiwa diluar kekuasaan (force majeure), pemohon tidak mendapatkan bantuan berupa pemberian keringanan kewajiban pembayaran termasuk pemotongan hutang (hair cut). Disisi lain, debitur-debitur bermasalah yang tidak kooperatif yang menyelesaikan kreditnya melalui Lembaga BPPN, telah menikmati pengurangan hutang pokok (hair cut) hingga mencapai diatas 50% dari hutang pokoknya. Akan tetapi, para Pemohon yang direstrukturisasi kreditnya melalui Panitia Urusan Piutang Negara ternyata hutang pokoknya semakin bertambah besar. Adanya perbedaan perlakuan ini disebabkan  karena masih berlakunya ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara. Bank-bank BUMN (termasuk PT. BNI Tbk.) hanya dapat menyelesaikan utang tidak tertagih melalui PUPN tanpa memiliki keleluasaan untuk adanya restrukturisasi utang ataupun penundaan utang.

Terhadap kerugian pemohon tersebut, Mahkamah mempertimbangkan bahwa UU nomor 49 tahun 1960 mengenal 2 (dua) jenis piutang, yaitu (i) piutang negara dan (ii) piutang badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara, dalam hal ini termasuk piutang Bank-Bank BUMN yang langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara. Pengaturan penyelesaian piutang terhadap 2 (dua) jenis piutang ini diperlakukan sama menurut UU Nomor 49 Tahun 1960.

Namun demikian, telah terjadi perubahan dalam politik hukum pengaturan tata cara penyelesaian piutang negara. Hal ini dikarenakan terdapat “UU baru” yang membedakan antara piutang negara dan piutang badan-badan yang dikuasai negara.

Berdasarkan Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara pengertian piutang negara adalah

“jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah”.

Oleh karena itu, piutang negara hanyalah piutang Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah, dan tidak termasuk piutang badan-badan usaha yang secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh negara termasuk piutang Bank-bank BUMN. Hal ini disebabkan, Pasal 1 angka 1 dan angka 10 UU Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara mengatur bahwa BUMN adalah badan usaha yang memiliki kekayaan terpisah dari kekayaan negara, sehingga kewenangan pengurusan kekayaan, usaha, termasuk penyelesaian utang-utang BUMN tunduk pada hukum Perseroan Terbatas berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Dengan demikian, berlakunya UU nomor 1 tahun 2004, telah mengubah pengertian piutang negara yang dikandung dalam UU nomor 49 tahun 1960. Piutang BUMN adalah piutang perseroan terbatas BUMN atau piutang swasta yang dibedakan dengan piutang negara atau piutang publik. Klasifikasi utang atau piutang BUMN adalah piutang dari perseroan, sehingga mekanisme penyelesaiannya mengikuti mekanisme perseroan. Piutang Bank BUMN bukan lagi piutang negara yang harus dilimpahkan penyelesaiannya ke PUPN. Piutang Bank-Bank BUMN dapat diselesaikan sendiri oleh manajemen masing-masing Bank BUMN berdasarkan prinsip-prinsip yang sehat di masing-masing Bank BUMN dengan melakukan restrukturisasi baik dalam pola hair cut, konversi maupun rescheduling.

Selain itu, terdapat pertimbangan penting Mahkamah yang tidak termasuk dalam bagian amar putusan dimana MK memperhatikan kedudukan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah. Berdasarkan prinsip “undang-undang yang terbaru mengesampingkan undang-undang yang lama” (lex posterior derogat legi priori) dan “peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah” (lex superior derogat legi inferiori), maka aturan dalam PP Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2006 sepanjang merujuk sebagai pelaksanaan UU nomor 49 tahun1960 (yaitu Pasal II ayat (i) huruf b PP 33/2006) merupakan aturan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip konstitusi dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku umum. Dengan demikian, putusan MK ini memberikan kepastian hukum bagi para pihak sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.

Putusan Mahkamah, sejatinya telah seirama dengan beragam peraturan perundang-undangan terkait dengan tata cara pengurusan piutang Negara/Daerah. Tidak hanya seirama dengan peraturan perundang-undangan, putusan MK juga senada dengan Fatwa Mahkamah Agung nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 16 Agustus 2006 yang dulu pernah diminta oleh Pemerintah (c.q. Menteri Keuangan).

Salah satu perbedaan yang mencolok adalah bahwa MK secara tegas mempertimbangkan bahwa Pasal II ayat (1) huruf b PP nomor 33 tahun 2006 juga bertentangan dengan konstitusi. Sehingga,

“pengurusan piutang Perusahaan Negara/Daerah yang telah diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara c.q. Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dan usul penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah yang telah diajukan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara,”

harus segera dialihkan kepada masing-masing Perusahaan Negara/Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang Perseroan Terbatas dan Badan Usaha Milik Negara beserta peraturan pelaksanaannya dan sesuai dengan mekanisme korporasi. Dengan demikian, untuk menunjang pelaksanaan putusan MK, pemerintah (c.q Menteri Keuangan dan/atau Menteri-menteri yang terkait) perlu segera menyusun perubahan peraturan perundang-undangan dalam rangka penyesuaian dengan putusan Mahkamah Konstitusi.

Kendati memperoleh keleluasaan dalam mengelola kredit bermasalah, bank-bank BUMN diharapkan tetap bisa menjaga integritasnya sehingga tidak menimbulkan moral hazard. Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan yang memperbolehkan hair cut atau pemotongan pokok dari kredit itu harus dibuat aturan atau prosedur internal masing-masing BUMN yang mengatur tata cara penghapusan piutang yang baik.

  1. Fatwa MA

Sehubungan dengan itu, pada tahun 2006 Mahkamah Agung pernah mengeluarkan fatwa atas permintaan Menteri Keuangan RI. Fatwa dituangkan dalam surat Mahkamah Agung  Nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 16 Agustus 2006 Perihal Permohanan fatwa hukum, berbunyi sebagai berikut :

Menunjuk surat Menteri Keuangan RI Nomor S-324/MK.01/2006 tanggal 26 Juli 2006 perihal tesebut di atas, dan setelah Mahkamah Agung mempelajarinya dengan ini dapat disampaikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Bahwa Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara berbunyi: “Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”.
    Pasal 4 ayat (1) Undang-undang yang sama menyatakan bahwa ”Modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan”.
    Dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) tersebut dikatakan bahwa “yang dimaksud dengan dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN untuk selanjutnya pembinaan dan pengelolaanya tidak lagi didasarkan pada sistem Anggaran Pendapatan Belanja Negara, namun pembinaan dan pengelolaanya didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat”;
  2. Bahwa dalam pasal-pasal tersebut di atas, yang merupakan undang-undang khusus tentang BUMN, jelas dikatakan bahwa modal BUMN berasal dari kekayaan negara yang telah dipisahkan dari APBN dan selanjutnya pembinaan dan pengelolaannya tidak didasarkan pada sistem APBN melainkan didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat;
  3. Bahwa pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menyebutkan :
    “Piutang Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Pemerintah Pusat dan/atau hak Pemerintah Pusat yang dapat dinilai dengan uang sebagai akibat perjanjian atau akibat lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku atau akibat lainnya yang sah”;
  4. Bahwa meskipun Pasal 8 Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara menyatakan bahwa “piutang Negara atau hutang kepada Negara adalah jumlah uang yang wajib dibayar kepada Negara atau Badan-badan yang baik secara langsung atau tidak langsung dikuasai oleh Negara berdasarkan suatu peraturan, perjanjian atau sebab apapun” dan dalam penjelasannya dikatakan bahwa piutang Negara meliputi pula piutang “badan-badan yang umumnya kekayaan dan modalnya sebagian atau seluruhnya milik Negara, misalnya Bank-bank Negara, PT-PT Negara, Perusahaan-perusahaan Negara, Yayasan perbekalan dan persediaan, Yayasan Urusan Bahan Makanan dan sebagainya”, serta Pasal 12 ayat (1) Undang-undang yang sama mewajibkan Instansi-instansi Pemerintah dan Badan-badan Negara seabagaimana dimaksud dalam Pasal 8 untuk menyerahkan piutang-piutang yang adanya dan besarnya telah pasti menurut hukum akan tetapi penanggung hutangnya tidak mau melunasi sebagaimana mestinya kepada Panitia Urusan Piutang Negara, namun ketentuan tentang piutang BUMN dalam Undang-undang Nomor 49 Prp. Tahun 1960 tersebut tidak lagi mengikat secara hukum dengan adanya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara yang merupakan undang-undang khusus (lex specialis) dan lebih baru dari Undang-undang Nomor 49 Prp Tahun 1960;
  5. Bahwa begitu pula halnya dengan Pasal 2 huruf g Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 yang berbunyi: Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 meliputi : “g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah”, yang dengan adanya Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN maka ketentuan dalam Pasal 2 huruf g khusus mengenai ”kekayaan negara yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah” juga tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum;
  6. Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, dapat dilakukan perubahan seperlunya atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah.

Dari fatwa Mahkamah Agung di atas dapat disimpulkan bahwa ketentuan Pasal 2 huruf g UU Keuangan Negara tidak mengikat secara hukum kepada BUMN, dengan demikian harta kekayaan BUMN yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan bukan merupakan kekayaan negara.

  1. Pedapat Kemeneg BUMN

Selain fatwa tersebut, ada pendapat dari  Kementerian Negara BUMN yang tertuang dalam suratnya No. S- 298/S.MBU/2007 25 Juni 2007 tertanggal 25 Juni 2007 yang ditujukan kepada Direksi, Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN  tentang hubungan UU Keuangan Negara dengan UU BUMN yang isinya dapat disimpulkan sebagai berikut:

Sesuai dengan UU Keuangan Negara dan UU BUMN, maka kekayaan Negara yang ada pada BUMN hanya sebatas modal/saham, untuk selanjutnya dikelola secara korporasi sesuai dengan kaidah-kaidah hukum korporasi, tidak lagi dikelola berdasarkan kaidahkaidah hukum kekayaan Negara. Berdasarkan kedua undang-undang tersebut, mengingat ruang lingkup Keuangan Negara terdiri dari kekayaan Negara yang tidak dipisahkan dan kekayaan Negara yang dipisahkan, maka dalam pengelolaan keuangan Negara berlaku dua kaidah atau rezim hukum, yaitu kaidah hukum Keuangan Negara yang mengatur pengelolaan kekayaan Negara yang tidak dipisahkan (APBN/APBD), dan kaidah hukum Korporasi yang mengatur pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan (BUMN/BUMD). Bagi BUMN memang berlaku kedua rezim hukum tersebut, namun rezim hukum Keuangan Negara hanya berlaku bagi BUMN sebatas yang terkait dengan permodalan dan eksistensi BUMN. Misalnya, di dalam UU BUMN diatur bahwa pendirian, penggabungan, peleburan, pengambilalihan, perubahan modal, privatisasi, dan pembubaran BUMN ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, dan bahkan dalam prosesnya melibatkan Menteri Teknis, Menteri Keuangan, Presiden, dan DPR. Sedangkan tindakan-tindakan operasional (di luar permodalan dan eksistensi BUMN), tunduk sepenuhnya kepada rezim hukum Korporasi. Hal tersebut jelas dinyatakan dalam Pasal 11 UU BUMN yang menyatakan bahwa terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam UU Nomor 1 Tahun 1995 (sekarang UU No. 40 Tahun2007 tentang Perseroan Terbatas).

  1. PP No. 33 Tahun 2006 sebagai regulasi

Dengan adanya fatwa Mahkamah Agung dan pendapat Kementerian Negara BUMN yang isinya sejalan tersebut dapat diketahui bahwa oleh karena Pasal 2 huruf g tidak mengikat BUMN maka pengaruh UU Keuangan Negara terhadap BUMN tidak sampai memasuki “rumah tangga” BUMN. Harta kekayaan BUMN bukan sebagai harta kekayaan negara melainkan sebagai milik BUMN sendiri. Hal ini sesuai dengan teori badan hukum yang memiliki harta kekayaan sendiri yang terpisah dari harta kekayaan pengurus maupun para pendirinya. Negara selaku pendiri BUMN berkedudukan sebagai pemegang saham/pemilik modal BUMN yang berhak atas pembagian deviden atau keuntungan BUMN.

Setelah mengetahui bahwa BUMN mempunyai harta kekayaan sendiri, maka jika BUMN bersengketa di pengadilan sebagai tergugat konsekuensinya harta kekayaannya dapat disita oleh pengadilan  baik sita jaminan atau sita eksekusi. Seandainya di dalam BUMN masih terdapat barang-barang milik negara tidak dapat disita berdasarkan UU Perbendaraan negara.

Kemudian  apabila BUMN mempunyai piutang yang belum dibayar oleh debiturnya meskipun telah jatuh tempo, tidak lagi menyerahkan penyelesaian piutangnya ke Panitia Urusan Piutang Negara (PUPN). Sebelum belakunya UU No. 19 Tahun 2003 BUMN menyelesaikan piutangnya melalui PUPN dasarnya adalah Pasal 8 UU PUPN karena piutang negara mencakup piutang perusahaan negara yang sekarang disebut BUMN. Berdasarkan UU BUMN pemerintah telah mengeluarkan PP No. 33 Tahun 2006 tentang Perubahan atas PP No. 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah berlaku sejak tanggal diundangkan yaitu 6 Oktober 2006, mengatur sebagai berikut:

Pasal I:

Ketentuan Pasal 19 dan Pasal 20 dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah, dihapus.

Pasal II:

  1. Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku :
  2. Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah untuk selanjutnya dilakukan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang Perseroan Terbatas dan Badan Usaha Milik Negara beserta peraturan pelaksanaannya.
  3. Pengurusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah yang telah diserahkan kepada Panitia Urusan Piutang Negara c.q. Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang Negara dan usul penghapusan Piutang Perusahaan Negara/Daerah yang telah diajukan kepada Menteri Keuangan melalui Direktur Jenderal Piutang dan Lelang Negara tetap dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 49 Prp Tahun 1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara/Daerah beserta peraturan pelaksanaannya.
  4. Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Dengan adanya UU BUMN dan PP tersebut maka berpengaruh terhadap penyelesaian utang piutang BUMN yang tidak lagi melalui lembaga PUPN berakibat wewenang PUPN hanya menyelesaian piutang-piutang negara yang bukan berasal dari BUMN.  Oleh karena itu sudah waktunya UU PUPN perlu diubah atau diganti dengan mengikuti perkembangan zaman.

  1. PENYELESAIAN PIUTANG BUMN

Dengan keluarnya PP 33 Tahun2006 sebagai peraturan pelaksana UU BUMN yang dilatarbelakangi Fatwa MA dan pendapat Kemeneg BUMN sebagaimana suratnya di atas berpengaruh terhadap penyelesaian utang piutang BUMN, karena sebelumnya BUMN menyerahkan penyelesaian ke PUPN.

Penyelesaian utang piutang sejak saat itu tidak lagi ke PUPN, karena harta BUMN bukan lagi sebagai kekayaan negara, tetapi kekayaan BUMN sendiri sehingga sesuai PP No. 33 Tahun 2006  piutang BUMN diselesaikan menurut UU Perseroan Terbatas dan UU BUMN.

Berdasarkan hal tersebut, menurut hemat kami BUMN menyelesaikan utang piutangnya dengan mengikuti tata cara ketentuan hukum jaminan yang berlaku, tanpa menutup kemungkin BUMN menggunakan lembaga perdamaian dengan cara mediasi atau lembaga arbitrase.

Apabilan BUMN menyelesaikan piutangnya mengikuti hukum jaminan, maka berlaku ketentuan-ketentuan  yang ada dalam UU sebagai berikut:

  1. UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (tanah dan bangunan),
  2. UU No. 42 Tahun 1999 tetang Fidusia (barang bergerak),
  3. Buku Kedua Bab Kedua Puluh, dari Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1161 KUH.Perdata tentang gadai (barang bergerak), dan
  4. Pasal 60 s/d Pasal 66 UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran, Pasal 314 KUHD,  KUH.Perdata Pasal 1168, 1169, 1171 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 1175 dan Pasal 1176 ayat (2), Pasal 1177, Pasal 1178, Pasal 1180, Pasal 1186, Pasal 1187, Pasal 1189, Pasal 1190, Pasal 1193 s/d Pasal 1197, Pasal 1199 s/d Pasal 1205, Pasal 1207 s/d Pasal 1919, Pasal 1224 s/d Pasal 1227 tentang hipotek kapal.

Dari ketentuan-ketentuan hukum jaminan tersebut BUMN mempunyai kebebasan untuk melakukan pilihan hendak menyelesaikan utang piutangnya, melalui lembaga pengadilan atau menyelesaikan sendiri (mengeksekusi sendiri jaminan utang).

Jika BUMN memilih menyelesaikan melalui pengadilan, sesuai hukum acara perdata maka prosedurnya dapat dilakukan dengan:

  1. Mengajukan gugatan perdata kepada debitur/nasabahnya dengan alasan wanprestasi atas utangnya, atau 
  2. Mengajukan permohonan eksekusi terhadap grosse akta hak tanggungan/fidusia/hipotek kapal.

BUMN dapat mengajukan gugatan perdata terhadap nasabah/debiturnya karena wanprtestasi atas utangnya. Gugatan ini di sidangkan dengan acara jawab-menjawab, pembuktian, dan putusan. Setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap, sebagai pihak yang dimenangkan BUMN mengajukan permohonan eksekusi kepada ketua pengadilan negeri, karena pengadilan bersikap pasif. Pengadilan tidak mungkin mengeksekusi putusannya sendiri apabila tidak diminta.

Semua grosse akta yang berkepala Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, dapat dimintakan permohonan eksekusi kepada pengadilan karena dengan title eksekutorial tersebut grosse akta memiliki kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap. Pengajuan permohonan eksekusi grosse akta tanpa perlu dilakukan pemeriksaan seperti perkara gugatan perdata. Dengan permohonan eksekusi ketua pengadilan dapat langsung mengeluarkan penetapan eksekusi grosse akta.

Untuk gadai, meskipun dalam gadai tidak dikenal adanya grosse akta, karena gadai dapat dilakukan secara lisan, namun Pasal 1156 KUH.Perdata memungkinkan untuk melakukan eksekusi melalui pengadilan. Pasal tersebut menyebutkan, bahwa bagaimanapun apabila debitur atau pemberi gadai cidera janji, kreditor dapat menuntut di muka Hakim supaya barangnya gadai dijual menurut cara yang ditentukan oleh Hakim untuk melunasi utang beserta bunga dan biaya, ataupun Hakim, atas tuntutan kreditur, dapat mengabulkan bahwa barang gadainya akan tetap pada kreditor untuk suatu jumlah yang akan ditetapkan dalam putusan hingga sebesar utangnya beserta bunga dan biaya.

Continue Reading